banner Wajah Pendidikan Indonesia: Rapi di Dokumen, Retak di Kenyataan

Wajah Pendidikan Indonesia: Rapi di Dokumen, Retak di Kenyataan



Suara Numbei News - Ketika musim akreditasi datang, suasana sekolah di berbagai pelosok Indonesia berubah drastis. Ruang guru bukan lagi tempat diskusi tentang strategi pembelajaran atau karakter siswa, melainkan menjadi ruang darurat dokumentasi. Tumpukan map warna-warni, binder tebal, dan lembar tanda tangan bertebaran di setiap meja. Guru yang biasanya mengajar dengan riang kini tenggelam dalam tumpukan berkas yang seolah tak ada habisnya.

Setiap foto kegiatan harus dicetak, setiap notulen harus diketik, setiap SK harus dibuat—even untuk hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Semua demi satu tujuan: “nilai akreditasi.” Dan di tengah kelelahan itu, muncul pertanyaan yang menggigit: Benarkah inilah wajah pendidikan bermutu yang dibanggakan negeri ini?

 

Formalitas yang Menyandera Esensi

Akreditasi, pada hakikatnya, adalah instrumen mulia. Ia dimaksudkan sebagai sarana penjamin mutu, agar sekolah mampu melihat kekuatannya dan memperbaiki kekurangannya. Namun dalam praktik, akreditasi telah berubah menjadi simbol dari obsesi administratif: sebuah ajang di mana sekolah dinilai bukan dari apa yang mereka lakukan untuk murid, tetapi dari seberapa rapi dokumen yang mereka simpan.

Guru menjadi operator administrasi, kepala sekolah menjadi manajer laporan, dan siswa—ironisnya—sering kali hanya menjadi pelengkap foto dokumentasi kegiatan.
Akreditasi yang seharusnya menghidupkan semangat evaluasi diri, kini berubah menjadi upacara simbolik untuk memuaskan mata sistem.

Di sinilah tragedi kecil pendidikan kita terjadi: guru yang seharusnya mengajar dengan hati malah diajarkan untuk menulis “bukti kegiatan” dengan imajinasi. Tidak sedikit yang akhirnya belajar “memoles dokumen” agar tampak ideal, padahal esensinya kosong. Sistem ini secara tidak langsung mendorong praktik formalitas yang jauh dari nilai kejujuran dan integritas.

 

Pemerintah dan Ilusi Mutu Pendidikan

Pemerintah dengan bangga menampilkan data akreditasi: berapa banyak sekolah berstatus A, berapa persen lembaga yang “terakreditasi unggul.” Namun di balik statistik yang indah itu, ada kenyataan yang jauh lebih muram. Banyak sekolah di pelosok yang masih berjuang tanpa fasilitas layak. Banyak guru yang mengajar lebih karena panggilan hati, bukan karena upah yang manusiawi.
Tetapi semua itu jarang masuk dalam laporan keberhasilan—karena yang dinilai bukan perjuangan, melainkan dokumen.

Wajah pendidikan Indonesia, dalam banyak hal, adalah wajah yang berlapis topeng. Di atas kertas, kita tampak maju. Di rapor mutu, kita terlihat meningkat. Tapi di ruang-ruang kelas yang panas dan sempit, guru masih berjuang dengan kapur dan papan tulis reyot. Di hati para siswa, masih banyak yang datang ke sekolah dengan perut kosong dan sepatu bolong.

Pemerintah sering bicara tentang “transformasi pendidikan,” namun transformasi macam apa yang lahir dari sistem yang mengukur keberhasilan dengan tumpukan bukti fisik? Bagaimana mungkin mutu pendidikan meningkat jika energi guru dihabiskan bukan untuk mengajar, tetapi untuk menulis laporan kegiatan yang bahkan tidak pernah dilaksanakan secara utuh?

 

Filosofi yang Hilang dari Ruang Kelas

Pendidikan, dalam pandangan para pemikir besar seperti Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire, bukanlah sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi pembentukan manusia seutuhnya. Ki Hadjar mengingatkan bahwa pendidikan harus menuntun kodrat anak agar tumbuh sesuai zamannya, bukan menyesuaikan anak dengan sistem yang kaku.
Namun, di era modern ini, guru justru dikekang oleh sistem yang terlalu sibuk mengatur “bagaimana mengajar” ketimbang “mengapa harus mengajar.”

Filosofi pendidikan telah bergeser menjadi administrasi pendidikan. Nilai keikhlasan dan kebijaksanaan yang seharusnya mewarnai profesi guru tergantikan oleh tekanan target dan format laporan.
Kita membangun pendidikan yang tampak “tertib” di luar, tetapi kehilangan makna di dalam.

Lebih tragis lagi, mental birokrasi ini menular hingga ke siswa. Mereka belajar bahwa keberhasilan bukan tentang proses dan makna, tapi tentang tanda tangan dan nilai akhir. Ketika guru dipaksa bekerja demi dokumen, siswa belajar bahwa pendidikan adalah urusan simbol, bukan substansi.

 

Ironi di Balik Nilai A

Nilai akreditasi A kerap dijadikan kebanggaan sekolah. Plakat dan spanduk besar dipasang di depan gerbang, seolah menjadi lambang kejayaan. Namun, apakah nilai A itu benar-benar menggambarkan mutu pembelajaran di dalamnya?
Tidak sedikit sekolah yang mendapatkan nilai tinggi berkat kecakapan administratif, bukan karena kualitas pembelajaran yang sesungguhnya.

Guru sering kali tersenyum getir melihat paradoks ini. Di satu sisi, mereka senang karena sekolahnya mendapat pengakuan. Tapi di sisi lain, mereka tahu betul bagaimana proses itu dijalankan—betapa banyak waktu belajar yang terbuang hanya untuk menyiapkan dokumen.
Mutu pendidikan seolah diukur dari kemampuan menulis laporan, bukan dari kemampuan mendidik manusia.

 

Refleksi untuk Pemerintah dan Kita Semua

Sudah saatnya pemerintah meninjau kembali paradigma akreditasi dan penjaminan mutu pendidikan di Indonesia. Guru tidak boleh lagi dijadikan korban dari sistem yang lebih menghargai berkas daripada praktik nyata.
Kalau benar ingin meningkatkan mutu pendidikan, maka yang pertama harus dibangun adalah kesejahteraan dan martabat guru. Bagaimana mungkin guru diminta mencetak generasi unggul, sementara dirinya terus dihimpit oleh ketidakpastian dan beban administratif yang berlebihan?

Pendidikan tidak akan pernah bermutu jika kebijakan dibuat dari atas meja tanpa memahami denyut kehidupan sekolah di bawah. Setiap regulasi yang lahir dari ruang rapat kementerian seharusnya melihat realitas guru di lapangan—yang mengajar di kelas berdebu, menulis laporan di malam hari, dan masih harus mengajar esok paginya dengan senyum.

Kita butuh sistem yang menghargai manusia, bukan sistem yang menilai kertas. Kita butuh kebijakan yang menumbuhkan semangat belajar, bukan semangat melengkapi dokumen. Dan kita butuh pemerintah yang lebih percaya pada guru, bukan yang terus mencurigai dan membebani mereka dengan verifikasi tanpa henti.

 

Menjemput Kembali Ruh Pendidikan

Pendidikan sejati bukanlah soal nilai akreditasi, tetapi soal nurani. Ia tumbuh dari dialog, keteladanan, dan cinta terhadap pengetahuan. Guru yang baik tidak lahir dari laporan sempurna, tetapi dari komitmen untuk terus belajar bersama murid-muridnya.

Maka, jika kita ingin wajah pendidikan Indonesia benar-benar berubah, kita harus berani melucuti formalitas yang membelenggu. Akreditasi boleh tetap ada, tetapi semangatnya harus berubah: dari sekadar penilaian administratif menjadi ruang refleksi yang hidup. Dokumen boleh ada, tetapi jangan sampai menelan waktu dan jiwa para pendidik.

Karena pada akhirnya, nilai sejati pendidikan tidak pernah bisa dicetak di lembar akreditasi. Ia hanya bisa dirasakan di hati para murid yang tumbuh menjadi manusia merdeka, berpikir kritis, berperilaku bijak, dan berjiwa luhur.

Dan selama kita masih sibuk menata berkas sementara anak-anak kehilangan makna belajar, maka pendidikan kita hanyalah panggung sandiwara yang megah di laporan, tapi hampa di kenyataan.
Kita telah menjadikan sekolah sebagai mesin dokumentasi, bukan taman pengetahuan.
Dan jika pemerintah terus menutup mata terhadap kenyataan ini, maka wajah pendidikan Indonesia akan tetap tampak rapi di atas kertas—namun retak di hati para guru yang menghidupinya.

 

Penutup: Pendidikan Bukan Sekadar Bukti Fisik

Ketika akreditasi berikutnya datang, semoga kita tidak lagi sibuk mencari foto dan tanda tangan, tetapi sibuk membangun pengalaman belajar yang bermakna.
Semoga pemerintah tidak hanya menghitung berapa sekolah yang mendapat nilai A, tetapi bertanya: apakah anak-anak kita bahagia belajar hari ini?
Karena di situlah ukuran sejati mutu pendidikan: bukan di tabel penilaian BAN-S/M, melainkan di wajah-wajah kecil yang berani bermimpi karena gurunya masih punya waktu untuk mengajar dengan hati.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama