Setiap foto kegiatan
harus dicetak, setiap notulen harus diketik, setiap SK harus dibuat—even untuk
hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Semua demi satu tujuan: “nilai
akreditasi.” Dan di tengah kelelahan itu, muncul pertanyaan yang menggigit: Benarkah
inilah wajah pendidikan bermutu yang dibanggakan negeri ini?
Formalitas yang Menyandera Esensi
Akreditasi, pada
hakikatnya, adalah instrumen mulia. Ia dimaksudkan sebagai sarana penjamin
mutu, agar sekolah mampu melihat kekuatannya dan memperbaiki kekurangannya.
Namun dalam praktik, akreditasi telah berubah menjadi simbol dari obsesi
administratif: sebuah ajang di mana sekolah dinilai bukan dari apa yang mereka
lakukan untuk murid, tetapi dari seberapa rapi dokumen yang mereka simpan.
Guru menjadi operator
administrasi, kepala sekolah menjadi manajer laporan, dan
siswa—ironisnya—sering kali hanya menjadi pelengkap foto dokumentasi kegiatan.
Akreditasi yang seharusnya menghidupkan semangat evaluasi diri, kini berubah
menjadi upacara simbolik untuk memuaskan mata sistem.
Di sinilah tragedi
kecil pendidikan kita terjadi: guru yang seharusnya mengajar dengan hati malah
diajarkan untuk menulis “bukti kegiatan” dengan imajinasi. Tidak sedikit yang
akhirnya belajar “memoles dokumen” agar tampak ideal, padahal esensinya kosong.
Sistem ini secara tidak langsung mendorong praktik formalitas yang jauh dari
nilai kejujuran dan integritas.
Pemerintah dan Ilusi Mutu Pendidikan
Pemerintah dengan
bangga menampilkan data akreditasi: berapa banyak sekolah berstatus A, berapa
persen lembaga yang “terakreditasi unggul.” Namun di balik statistik yang indah
itu, ada kenyataan yang jauh lebih muram. Banyak sekolah di pelosok yang masih
berjuang tanpa fasilitas layak. Banyak guru yang mengajar lebih karena
panggilan hati, bukan karena upah yang manusiawi.
Tetapi semua itu jarang masuk dalam laporan keberhasilan—karena yang dinilai
bukan perjuangan, melainkan dokumen.
Wajah pendidikan
Indonesia, dalam banyak hal, adalah wajah yang berlapis topeng. Di atas kertas,
kita tampak maju. Di rapor mutu, kita terlihat meningkat. Tapi di ruang-ruang
kelas yang panas dan sempit, guru masih berjuang dengan kapur dan papan tulis
reyot. Di hati para siswa, masih banyak yang datang ke sekolah dengan perut
kosong dan sepatu bolong.
Pemerintah sering
bicara tentang “transformasi pendidikan,” namun transformasi macam apa yang
lahir dari sistem yang mengukur keberhasilan dengan tumpukan bukti fisik?
Bagaimana mungkin mutu pendidikan meningkat jika energi guru dihabiskan bukan
untuk mengajar, tetapi untuk menulis laporan kegiatan yang bahkan tidak pernah
dilaksanakan secara utuh?
Filosofi yang Hilang dari Ruang Kelas
Pendidikan, dalam
pandangan para pemikir besar seperti Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire,
bukanlah sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi pembentukan manusia
seutuhnya. Ki Hadjar mengingatkan bahwa pendidikan harus menuntun kodrat anak
agar tumbuh sesuai zamannya, bukan menyesuaikan anak dengan sistem yang kaku.
Namun, di era modern ini, guru justru dikekang oleh sistem yang terlalu sibuk
mengatur “bagaimana mengajar” ketimbang “mengapa harus mengajar.”
Filosofi pendidikan
telah bergeser menjadi administrasi pendidikan. Nilai keikhlasan dan
kebijaksanaan yang seharusnya mewarnai profesi guru tergantikan oleh tekanan
target dan format laporan.
Kita membangun pendidikan yang tampak “tertib” di luar, tetapi kehilangan makna
di dalam.
Lebih tragis lagi, mental
birokrasi ini menular hingga ke siswa. Mereka belajar bahwa keberhasilan bukan
tentang proses dan makna, tapi tentang tanda tangan dan nilai akhir. Ketika
guru dipaksa bekerja demi dokumen, siswa belajar bahwa pendidikan adalah urusan
simbol, bukan substansi.
Ironi di Balik Nilai A
Nilai akreditasi A
kerap dijadikan kebanggaan sekolah. Plakat dan spanduk besar dipasang di depan
gerbang, seolah menjadi lambang kejayaan. Namun, apakah nilai A itu benar-benar
menggambarkan mutu pembelajaran di dalamnya?
Tidak sedikit sekolah yang mendapatkan nilai tinggi berkat kecakapan
administratif, bukan karena kualitas pembelajaran yang sesungguhnya.
Guru sering kali
tersenyum getir melihat paradoks ini. Di satu sisi, mereka senang karena
sekolahnya mendapat pengakuan. Tapi di sisi lain, mereka tahu betul bagaimana
proses itu dijalankan—betapa banyak waktu belajar yang terbuang hanya untuk
menyiapkan dokumen.
Mutu pendidikan seolah diukur dari kemampuan menulis laporan, bukan dari
kemampuan mendidik manusia.
Refleksi untuk Pemerintah dan Kita Semua
Sudah saatnya
pemerintah meninjau kembali paradigma akreditasi dan penjaminan mutu pendidikan
di Indonesia. Guru tidak boleh lagi dijadikan korban dari sistem yang lebih
menghargai berkas daripada praktik nyata.
Kalau benar ingin meningkatkan mutu pendidikan, maka yang pertama harus
dibangun adalah kesejahteraan dan martabat guru. Bagaimana mungkin guru diminta
mencetak generasi unggul, sementara dirinya terus dihimpit oleh ketidakpastian
dan beban administratif yang berlebihan?
Pendidikan tidak akan
pernah bermutu jika kebijakan dibuat dari atas meja tanpa memahami denyut
kehidupan sekolah di bawah. Setiap regulasi yang lahir dari ruang rapat
kementerian seharusnya melihat realitas guru di lapangan—yang mengajar di kelas
berdebu, menulis laporan di malam hari, dan masih harus mengajar esok paginya
dengan senyum.
Kita butuh sistem yang
menghargai manusia, bukan sistem yang menilai kertas. Kita butuh kebijakan yang
menumbuhkan semangat belajar, bukan semangat melengkapi dokumen. Dan kita butuh
pemerintah yang lebih percaya pada guru, bukan yang terus mencurigai dan
membebani mereka dengan verifikasi tanpa henti.
Menjemput Kembali Ruh Pendidikan
Pendidikan sejati
bukanlah soal nilai akreditasi, tetapi soal nurani. Ia tumbuh dari dialog,
keteladanan, dan cinta terhadap pengetahuan. Guru yang baik tidak lahir dari
laporan sempurna, tetapi dari komitmen untuk terus belajar bersama
murid-muridnya.
Maka, jika kita ingin
wajah pendidikan Indonesia benar-benar berubah, kita harus berani melucuti
formalitas yang membelenggu. Akreditasi boleh tetap ada, tetapi semangatnya
harus berubah: dari sekadar penilaian administratif menjadi ruang refleksi yang
hidup. Dokumen boleh ada, tetapi jangan sampai menelan waktu dan jiwa para
pendidik.
Karena pada akhirnya,
nilai sejati pendidikan tidak pernah bisa dicetak di lembar akreditasi. Ia
hanya bisa dirasakan di hati para murid yang tumbuh menjadi manusia merdeka,
berpikir kritis, berperilaku bijak, dan berjiwa luhur.
Dan selama kita masih
sibuk menata berkas sementara anak-anak kehilangan makna belajar, maka
pendidikan kita hanyalah panggung sandiwara yang megah di laporan, tapi hampa
di kenyataan.
Kita telah menjadikan sekolah sebagai mesin dokumentasi, bukan taman
pengetahuan.
Dan jika pemerintah terus menutup mata terhadap kenyataan ini, maka wajah
pendidikan Indonesia akan tetap tampak rapi di atas kertas—namun retak di hati
para guru yang menghidupinya.
Penutup: Pendidikan Bukan Sekadar Bukti Fisik
Ketika akreditasi
berikutnya datang, semoga kita tidak lagi sibuk mencari foto dan tanda tangan,
tetapi sibuk membangun pengalaman belajar yang bermakna.
Semoga pemerintah tidak hanya menghitung berapa sekolah yang mendapat nilai A,
tetapi bertanya: apakah anak-anak kita bahagia belajar hari ini?
Karena di situlah ukuran sejati mutu pendidikan: bukan di tabel penilaian
BAN-S/M, melainkan di wajah-wajah kecil yang berani bermimpi karena gurunya
masih punya waktu untuk mengajar dengan hati.