Fenomena ini
menciptakan paradoks sosial: semakin tinggi penghargaan terhadap ijazah,
semakin kabur pula pemahaman tentang makna belajar. Banyak lulusan yang
mengantongi gelar akademik tinggi, tetapi miskin empati, tak mampu berpikir
kritis, dan bahkan gagal menerapkan nilai-nilai moral dalam kehidupan
sosialnya. Pendidikan, dalam praktiknya, sering kali berhenti pada tataran
simbolik—sebuah perayaan kelulusan, bukan proses pencerahan.
Paradigma Pendidikan yang Menyempit
Dalam kajian filsafat
pendidikan, orientasi pendidikan semestinya mengarah pada pembentukan manusia
seutuhnya (the whole person), bukan sekadar manusia yang memiliki ijazah.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan telah direduksi
menjadi mekanisme administratif: naik kelas, ujian, kelulusan, dan sertifikat.
Paulo Freire (1970)
dalam Pedagogy of the Oppressed
menyebut sistem semacam ini sebagai banking education—pendidikan yang
menempatkan siswa sebagai wadah kosong yang diisi oleh guru tanpa dialog dan
refleksi. Akibatnya, proses belajar kehilangan daya kritis dan kemanusiaannya.
Ijazah menjadi komoditas, bukan hasil dari transformasi intelektual.
Lebih jauh lagi,
kebijakan pendidikan yang berorientasi pada sertifikasi dan akreditasi
memperkuat logika pasar dalam dunia pendidikan. Sekolah dan perguruan tinggi
bersaing bukan dalam mutu pembelajaran, tetapi dalam prestise dan akumulasi
lulusan berijazah. Padahal, ijazah tanpa kemampuan reflektif hanyalah tanda
pernah duduk di bangku sekolah—bukan tanda pernah memahami kehidupan.
Ijazah dan Krisis Makna Belajar
Krisis makna belajar
tampak dalam perilaku peserta didik maupun pendidik. Belajar kini sering
dimaknai sebatas kegiatan mengejar nilai dan kelulusan. Kecenderungan ini
menimbulkan sikap pragmatis di kalangan pelajar: belajar untuk lulus, bukan
untuk memahami. Guru pun tak luput dari jebakan administratif: sibuk memenuhi
format, laporan, dan asesmen, sehingga kehilangan ruang untuk mendidik secara
humanis.
Padahal, pendidikan
sejati adalah proses pembentukan kesadaran kritis (critical consciousness), di
mana peserta didik mampu menilai, merenungkan, dan bertindak berdasarkan
nilai-nilai moral dan sosial yang benar. Freire menyebutnya sebagai proses
“menjadi manusia yang sadar akan dirinya dan lingkungannya.” Ketika pendidikan
kehilangan dimensi ini, maka ijazah tak lebih dari sekadar produk
birokrasi—tanpa makna eksistensial.
Kecerdasan Sejati: Lebih dari Sekadar Gelar
Howard Gardner (1983)
melalui teori multiple intelligences menegaskan bahwa kecerdasan manusia
bersifat majemuk. Artinya, kecerdasan tidak bisa diukur semata-mata oleh nilai
akademik atau ijazah. Ada kecerdasan moral, interpersonal, dan spiritual yang
sering kali diabaikan dalam sistem pendidikan formal.
Banyak tokoh besar
dalam sejarah—dari Thomas Edison, Steve Jobs, hingga Ki Hajar Dewantara—adalah
contoh bahwa pendidikan sejati lahir dari keingintahuan, bukan sekadar
kurikulum. Mereka membuktikan bahwa proses belajar melampaui tembok sekolah.
Dengan demikian, kecerdasan sejati bukan hasil dari sertifikat, tetapi buah
dari keinginan untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Pendidikan Humanis: Jalan Menuju Pembebasan
Ki Hajar Dewantara
pernah menegaskan bahwa “pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya
anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Pandangan ini
menegaskan bahwa pendidikan harus berorientasi pada pembentukan manusia yang
merdeka, berkepribadian, dan bermoral.
Oleh karena itu,
pembaruan pendidikan harus berangkat dari perubahan paradigma: dari pendidikan
untuk ijazah menuju pendidikan untuk kesadaran. Kurikulum perlu diarahkan agar
menumbuhkan refleksi, empati, dan kemampuan berpikir kritis. Guru perlu
diposisikan kembali sebagai pendidik sejati, bukan sekadar pelaksana
administratif.
Penutup: Belajar Lebih dari Sekadar Bersekolah
Pada akhirnya, ijazah
hanyalah simbol bahwa seseorang pernah melewati proses formal yang disebut sekolah.
Namun, belajar sejati adalah proses tanpa batas waktu. Ia hidup dalam rasa
ingin tahu, kejujuran intelektual, dan kepekaan hati terhadap sesama.
Masyarakat harus
berhenti mengukur kecerdasan dan keberhasilan seseorang hanya dari selembar
ijazah. Sebab, pendidikan sejati tidak berhenti di ruang kelas, tetapi terus
berlangsung di ruang kehidupan.
Ijazah bisa menandai
bahwa seseorang pernah bersekolah — tetapi hanya sikap, karya, dan
integritaslah yang menandai bahwa ia pernah benar-benar belajar.