Tindakan penyegelan
yang dilakukan keluarga Blasius merupakan bentuk protes yang lahir dari
akumulasi kekecewaan. Hak mereka sebagai pemilik tanah merasa diabaikan,
sementara pemerintah tidak kunjung memberikan kepastian hukum atau penyelesaian
yang adil terkait penggunaan lahan tersebut. Dalam konteks ini, penyegelan
sekolah menjadi simbol resistensi masyarakat terhadap kelalaian negara. Namun,
di balik itu, muncul dilema moral: siapa yang paling dirugikan dari tindakan
ini? Jawabannya jelas, para siswa. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan hak
pendidikan tanpa hambatan kini terpaksa menghadapi ketidakpastian akibat
konflik yang bukan berasal dari mereka.
Dari sisi pendidikan,
penyegelan sekolah merusak keberlangsungan proses belajar-mengajar. Pendidikan
yang seharusnya menjadi ruang aman dan terbuka, kini berubah menjadi arena
tarik-menarik kepentingan. Dampak psikologis pada siswa juga tidak bisa
diabaikan: rasa takut, bingung, hingga potensi menurunnya motivasi belajar.
Situasi ini menegaskan bahwa hak anak atas pendidikan, yang dijamin dalam
konstitusi dan berbagai regulasi internasional, menjadi korban utama dari
lemahnya manajemen aset publik.
Di sisi lain, peristiwa
ini juga menjadi cermin lemahnya pemerintah daerah dalam memastikan
ketersediaan sarana prasarana pendidikan yang aman secara hukum. Seharusnya,
setiap pembangunan sekolah diawali dengan kejelasan status tanah, baik melalui
pembelian resmi, hibah, maupun bentuk kesepakatan tertulis lainnya.
Ketidakjelasan status ini memunculkan konflik berkepanjangan yang tidak hanya
mengganggu pemilik tanah, tetapi juga mengorbankan generasi penerus bangsa.
Solusi Konkret
Agar kasus serupa tidak
terus berulang, ada beberapa langkah strategis yang perlu segera dilakukan:
1.
Inventarisasi dan Sertifikasi Tanah Sekolah
Pemerintah
daerah bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus melakukan pendataan dan
sertifikasi seluruh aset pendidikan. Status hukum tanah sekolah harus jelas,
baik melalui pembelian, hibah, atau ganti rugi. Tanpa legalitas yang kuat,
sekolah akan terus menjadi objek sengketa.
2.
Mekanisme Mediasi dan Restoratif
Konflik antara
pemilik tanah dan pemerintah perlu diselesaikan melalui pendekatan mediasi yang
adil, bukan melalui jalur konfrontatif. Mediasi bisa melibatkan tokoh adat,
tokoh masyarakat, dan lembaga hukum agar kedua belah pihak merasa didengar dan
memperoleh keadilan. Pendekatan restorative justice lebih tepat digunakan
ketimbang proses hukum formal yang kaku.
3.
Skema Kompensasi yang Layak
Apabila lahan
memang milik masyarakat, pemerintah harus menyiapkan mekanisme ganti rugi yang
wajar dan transparan. Jika ada bukti bahwa tanah tersebut dihibahkan,
pemerintah juga perlu memberikan penghargaan moral atau kompensasi simbolik
kepada pihak yang pernah berkontribusi demi pendidikan.
4.
Perlindungan Hak Anak atas Pendidikan
Apapun bentuk
sengketa, layanan pendidikan tidak boleh berhenti. Pemerintah daerah perlu
menyiapkan skenario darurat, seperti memindahkan sementara kegiatan belajar ke
fasilitas publik lain (balai desa, gereja, aula), agar anak-anak tetap bisa
belajar tanpa gangguan.
5.
Integrasi Hukum Adat dan Hukum Negara
Di banyak daerah,
termasuk Malaka, kepemilikan tanah masih erat dengan adat. Pemerintah harus
mampu mengintegrasikan hukum adat dengan hukum negara dalam pengelolaan aset
pendidikan. Pengabaian terhadap hukum adat seringkali melahirkan ketidakadilan
dan penolakan masyarakat.
Penutup
Kasus penyegelan SMP
Negeri Kateri mengajarkan kita tiga hal penting. Pertama, urgensi kepastian
hukum aset pendidikan. Pemerintah daerah harus memastikan seluruh aset sekolah
memiliki status hukum yang jelas, agar tidak ada ruang untuk sengketa di
kemudian hari. Kedua, pentingnya mekanisme mediasi yang humanis dan adil.
Konflik antara pemilik lahan dan pemerintah seharusnya dapat diselesaikan
melalui dialog yang jujur, transparan, dan mengedepankan solusi win-win, bukan
dengan membiarkan persoalan berlarut-larut hingga berujung pada tindakan
ekstrem seperti penyegelan. Ketiga, kesadaran kolektif untuk melindungi ruang
pendidikan. Masyarakat perlu melihat sekolah sebagai aset bersama yang harus
dijaga demi masa depan anak-anak, meskipun aspirasi atau hak-hak individu tetap
harus diakui dan dihormati.
Apabila kasus semacam
ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin konflik serupa akan terus terulang di
daerah lain. Akibatnya, kualitas pendidikan akan semakin tertinggal, dan
kepercayaan masyarakat terhadap negara sebagai penyedia layanan dasar akan
melemah. Negara memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa
hak anak atas pendidikan tidak boleh dikompromikan oleh persoalan administrasi
maupun kelalaian birokrasi.
Dengan demikian,
penyegelan SMP Negeri Kateri harus menjadi titik balik bagi pemerintah daerah
dan pusat untuk berbenah. Kasus ini bukan sekadar sengketa tanah, melainkan
peringatan keras tentang betapa rapuhnya fondasi layanan pendidikan jika aspek
legalitas, keadilan sosial, dan perlindungan hak anak tidak dijadikan prioritas
utama.