banner Penyegelan SMP Negeri Kateri Kabupaten Malaka: Antara Hak Pemilik Lahan dan Hak Anak atas Pendidikan

Penyegelan SMP Negeri Kateri Kabupaten Malaka: Antara Hak Pemilik Lahan dan Hak Anak atas Pendidikan

Pemilil lahan Blasius Marsel Bere Mauk bersama keluarga berpose di depan SMP Negeri Kateri, Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka usai menyegel sekolah tersebut. (Dok. victorynews.id)

Suara Numbei News - Peristiwa penyegelan SMP Negeri Kateri di Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur oleh pemilik lahan, Blasius Marsel Bere Mauk bersama keluarganya sebagaimana diberitakan oleh victorinews.id pada Senin 22 September 2022 dengan judul "Pemilik Lahan Segel SMP Negeri Kateri, Sekolah Dinilai Tidak Penuhi Kesepakatan Awal", menjadi cerminan nyata dari persoalan mendasar dalam pengelolaan aset pendidikan di daerah. Kasus ini bukan hanya sekadar konflik antara individu pemilik tanah dengan pemerintah, tetapi juga membuka tabir rapuhnya sistem tata kelola pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang kerap menghadapi persoalan status tanah sekolah.

Tindakan penyegelan yang dilakukan keluarga Blasius merupakan bentuk protes yang lahir dari akumulasi kekecewaan. Hak mereka sebagai pemilik tanah merasa diabaikan, sementara pemerintah tidak kunjung memberikan kepastian hukum atau penyelesaian yang adil terkait penggunaan lahan tersebut. Dalam konteks ini, penyegelan sekolah menjadi simbol resistensi masyarakat terhadap kelalaian negara. Namun, di balik itu, muncul dilema moral: siapa yang paling dirugikan dari tindakan ini? Jawabannya jelas, para siswa. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan hak pendidikan tanpa hambatan kini terpaksa menghadapi ketidakpastian akibat konflik yang bukan berasal dari mereka.

Dari sisi pendidikan, penyegelan sekolah merusak keberlangsungan proses belajar-mengajar. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman dan terbuka, kini berubah menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Dampak psikologis pada siswa juga tidak bisa diabaikan: rasa takut, bingung, hingga potensi menurunnya motivasi belajar. Situasi ini menegaskan bahwa hak anak atas pendidikan, yang dijamin dalam konstitusi dan berbagai regulasi internasional, menjadi korban utama dari lemahnya manajemen aset publik.

Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi cermin lemahnya pemerintah daerah dalam memastikan ketersediaan sarana prasarana pendidikan yang aman secara hukum. Seharusnya, setiap pembangunan sekolah diawali dengan kejelasan status tanah, baik melalui pembelian resmi, hibah, maupun bentuk kesepakatan tertulis lainnya. Ketidakjelasan status ini memunculkan konflik berkepanjangan yang tidak hanya mengganggu pemilik tanah, tetapi juga mengorbankan generasi penerus bangsa.

Solusi Konkret

Agar kasus serupa tidak terus berulang, ada beberapa langkah strategis yang perlu segera dilakukan:

1.      Inventarisasi dan Sertifikasi Tanah Sekolah

Pemerintah daerah bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus melakukan pendataan dan sertifikasi seluruh aset pendidikan. Status hukum tanah sekolah harus jelas, baik melalui pembelian, hibah, atau ganti rugi. Tanpa legalitas yang kuat, sekolah akan terus menjadi objek sengketa.

2.      Mekanisme Mediasi dan Restoratif

Konflik antara pemilik tanah dan pemerintah perlu diselesaikan melalui pendekatan mediasi yang adil, bukan melalui jalur konfrontatif. Mediasi bisa melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, dan lembaga hukum agar kedua belah pihak merasa didengar dan memperoleh keadilan. Pendekatan restorative justice lebih tepat digunakan ketimbang proses hukum formal yang kaku.

3.      Skema Kompensasi yang Layak

Apabila lahan memang milik masyarakat, pemerintah harus menyiapkan mekanisme ganti rugi yang wajar dan transparan. Jika ada bukti bahwa tanah tersebut dihibahkan, pemerintah juga perlu memberikan penghargaan moral atau kompensasi simbolik kepada pihak yang pernah berkontribusi demi pendidikan.

4.      Perlindungan Hak Anak atas Pendidikan

Apapun bentuk sengketa, layanan pendidikan tidak boleh berhenti. Pemerintah daerah perlu menyiapkan skenario darurat, seperti memindahkan sementara kegiatan belajar ke fasilitas publik lain (balai desa, gereja, aula), agar anak-anak tetap bisa belajar tanpa gangguan.

5.      Integrasi Hukum Adat dan Hukum Negara

Di banyak daerah, termasuk Malaka, kepemilikan tanah masih erat dengan adat. Pemerintah harus mampu mengintegrasikan hukum adat dengan hukum negara dalam pengelolaan aset pendidikan. Pengabaian terhadap hukum adat seringkali melahirkan ketidakadilan dan penolakan masyarakat.

Penutup

Kasus penyegelan SMP Negeri Kateri mengajarkan kita tiga hal penting. Pertama, urgensi kepastian hukum aset pendidikan. Pemerintah daerah harus memastikan seluruh aset sekolah memiliki status hukum yang jelas, agar tidak ada ruang untuk sengketa di kemudian hari. Kedua, pentingnya mekanisme mediasi yang humanis dan adil. Konflik antara pemilik lahan dan pemerintah seharusnya dapat diselesaikan melalui dialog yang jujur, transparan, dan mengedepankan solusi win-win, bukan dengan membiarkan persoalan berlarut-larut hingga berujung pada tindakan ekstrem seperti penyegelan. Ketiga, kesadaran kolektif untuk melindungi ruang pendidikan. Masyarakat perlu melihat sekolah sebagai aset bersama yang harus dijaga demi masa depan anak-anak, meskipun aspirasi atau hak-hak individu tetap harus diakui dan dihormati.

Apabila kasus semacam ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin konflik serupa akan terus terulang di daerah lain. Akibatnya, kualitas pendidikan akan semakin tertinggal, dan kepercayaan masyarakat terhadap negara sebagai penyedia layanan dasar akan melemah. Negara memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa hak anak atas pendidikan tidak boleh dikompromikan oleh persoalan administrasi maupun kelalaian birokrasi.

Dengan demikian, penyegelan SMP Negeri Kateri harus menjadi titik balik bagi pemerintah daerah dan pusat untuk berbenah. Kasus ini bukan sekadar sengketa tanah, melainkan peringatan keras tentang betapa rapuhnya fondasi layanan pendidikan jika aspek legalitas, keadilan sosial, dan perlindungan hak anak tidak dijadikan prioritas utama.



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama