banner Dari Naibone untuk Indonesia: Suara Guru yang Berjuang Menuntaskan Calistung demi Masa Depan Anak Bangsa

Dari Naibone untuk Indonesia: Suara Guru yang Berjuang Menuntaskan Calistung demi Masa Depan Anak Bangsa

Siswa-siswi SD katolik Naibone Kecamatan Sasitamean sedang mengikuti apel pagi sebelum kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.


Suara Numbei News - Di sebuah sekolah kecil di pelosok Naibone, para guru setiap pagi memulai hari dengan doa dan tekad yang sama: mengajarkan anak-anak membaca, menulis, dan berhitung. Bagi sebagian orang di kota, itu hal biasa. Tapi bagi mereka di Naibone, itu adalah perjuangan seumur hidup. Di tengah fasilitas minim, buku yang usang, dan kelas yang kadang beratap bocor, mereka menyalakan api kecil pendidikan yang sering padam oleh ketidakpedulian negara.

Kisah ini bukan hanya tentang satu sekolah. Ini adalah cermin kecil dari ketimpangan besar pendidikan Indonesia — antara mereka yang dibanjiri program digitalisasi di kota dan mereka yang masih bergulat dengan dasar literasi di pelosok.

Ketika “Merdeka Belajar” Tak Menyentuh Akar Masalah

Kita sering mendengar jargon-jargon baru dari kementerian: Merdeka Belajar, Profil Pelajar Pancasila, Kurikulum Merdeka, dan seterusnya. Semuanya terdengar indah, tapi di ruang-ruang kelas di Naibone, istilah-istilah itu terasa jauh.
Bagaimana mungkin bicara “projek profil pelajar” jika anak kelas tiga saja belum bisa mengeja namanya sendiri?

Bagaimana mau menilai “kompetensi abad 21” jika kemampuan dasar abad 19 pun belum tuntas?

Realitas ini menelanjangi satu hal: negara terlalu cepat melompat tanpa menoleh ke bawah.
Guru-guru di Naibone tidak menolak inovasi, mereka hanya butuh keadilan titik awal. Sebuah sistem yang peka bahwa tidak semua anak Indonesia belajar dalam kondisi yang sama, dan tidak semua guru bisa bekerja dengan sumber daya yang memadai.

Calistung: Bukan Sekadar Kompetensi, tapi Martabat

Calistung bukan hanya soal kemampuan akademik. Ia adalah gerbang menuju kesadaran dan kemandirian manusia.

Anak yang tidak bisa membaca akan kesulitan memahami dunia, bahkan mudah dimanipulasi oleh informasi palsu.

Guru-guru di Naibone memahami hal ini lebih dalam daripada siapapun. Karena bagi mereka, setiap huruf yang diajarkan adalah bentuk pembebasan.

Namun perjuangan itu sering kali berlangsung dalam sunyi. Tanpa gaji tambahan, tanpa sorotan kamera, tanpa perhatian pejabat. Mereka bekerja bukan karena sistem mendorong, tetapi karena hati mereka menolak menyerah.
Di sinilah letak ironi pendidikan Indonesia: yang paling tulus justru paling terpinggirkan.

Kebijakan yang Terlalu Sentralistik dan Seragam

Salah satu akar masalah pendidikan kita adalah kebijakan seragam untuk realitas yang berbeda.
Kurikulum, standar penilaian, dan indikator capaian dirancang dari meja birokrat yang jauh dari ruang kelas pelosok.

Guru di kota besar dan guru di Naibone diukur dengan alat yang sama, padahal medan tempur mereka tak sebanding.

Kita butuh keberanian politik untuk mengubah paradigma:
bahwa keadilan pendidikan bukan berarti semua harus sama, melainkan setiap anak mendapat kesempatan sesuai kebutuhannya.

Negara harus hadir tidak hanya lewat instruksi, tetapi lewat kehadiran nyata di lapangan — memperbaiki infrastruktur, menyediakan buku yang layak, melatih guru sesuai konteks lokal, dan memberi insentif bagi mereka yang bertugas di wilayah terisolasi.

Suara dari Naibone: Kritik yang Tulus untuk Bangsa

Suara dari Naibone sesungguhnya bukan keluhan, melainkan peringatan moral bagi bangsa ini.

Jika anak-anak di pelosok gagal menuntaskan Calistung, maka seluruh sistem pendidikan kita gagal menunaikan janji konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kita boleh berbangga dengan skor PISA atau peringkat internasional, tetapi angka-angka itu tidak berarti apa-apa jika masih ada anak yang tidak bisa membaca satu paragraf pun di usia 10 tahun.

Guru-guru Naibone tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin anak-anak mereka bisa membaca masa depan sendiri.

ereka tidak mencari panggung, karena panggung mereka adalah papan tulis kusam tempat mereka menulis masa depan bangsa dengan kapur putih yang mudah hilang. Tapi justru di sanalah letak keabadian pendidikan: di tangan-tangan sederhana yang tak pernah berhenti mengajar.

Penutup: Dari Huruf ke Harapan

Pendidikan sejati tidak lahir dari kebijakan besar, tetapi dari ketulusan kecil yang terus menyala.
Dari Naibone, para guru memberi pelajaran penting kepada kita semua: bahwa perubahan besar dimulai dari satu huruf yang berhasil diajarkan kepada anak yang sebelumnya tak tahu membaca.

Maka sebelum kita berbicara tentang revolusi pendidikan digital, sebaiknya kita pastikan dulu bahwa tidak ada satu pun anak Indonesia yang tertinggal di balik huruf-huruf yang belum bisa mereka kenali.

Dari Naibone, untuk Indonesia —

Suara kecil yang mengingatkan kita bahwa masa depan bangsa ini sedang dieja,
huruf demi huruf, oleh tangan-tangan guru yang tak pernah menyerah
.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama