Di lingkungan SD
Katolik Naibone, di mana nilai moral dan religius diajarkan sejak dini, problem
irasionalitas ini menjadi semakin menarik. Sekolah religius punya kekuatan: ia
membentuk karakter, menanamkan nilai, dan mengajarkan refleksi. Namun ia juga menyimpan
potensi jebakan: keyakinan bisa berubah menjadi dogma bila tidak diimbangi
proses berpikir kritis. Anak-anak yang terbiasa mengikuti instruksi dari figur
otoritas—guru, pastor, orang tua—sering tumbuh dengan pola berpikir “otoritas =
benar”. Sikap hormat memang baik, tetapi ketika hormat meniadakan pertanyaan,
di situlah pendidikan kehilangan fungsi ilmiahnya.
Di sinilah filsafat
sains memasuki gelanggang. Filsafat sains bukan hanya bicara tentang metode
eksperimen atau cara kerja ilmu pengetahuan; ia mempertanyakan bagaimana
manusia membangun kebenaran. Ia mengingatkan bahwa sains berkembang melalui
keraguan, pengujian, koreksi diri, dan keterbukaan terhadap kesalahan.
Pertanyaannya: apakah model pendidikan kita memberi ruang bagi hal-hal itu? Ataukah
kita lebih sering menuntut anak untuk “benar pada percobaan pertama”? Apakah
kita mengajak mereka bertanya, atau kita lebih suka mereka diam dan patuh?
Ironisnya, banyak
sekolah dasar justru menjadi tempat di mana pola pikir System 1—intuisi cepat,
impulsif, dan emosional—semakin mengakar. Kahneman menunjukkan bahwa manusia
mempercayai intuisi mereka bahkan ketika intuisi itu salah. Anak empat hingga
dua belas tahun hidup dalam dominasi System 1; mereka mengandalkan tebakan,
pengalaman pertama, atau contoh yang paling mudah diingat. Kita melihat ini
setiap hari: siswa menjawab soal matematika dengan cara yang “terasa benar”,
bukan yang logis; siswa menyimpulkan penyebab suatu peristiwa berdasarkan
pengalaman tunggal; atau siswa meniru jawaban teman karena mengikuti arus
sosial.
Namun, masalahnya bukan
pada anak. Masalahnya pada pendidikan yang salah menangani kenyataan psikologis
ini. Alih-alih menggunakan intuisi sebagai pintu masuk menuju penalaran, banyak
pembelajaran justru memaksa anak untuk “langsung logis”, padahal sistem
kognitif mereka belum siap. Akibatnya? Anak merasa salah berarti bodoh, salah
berarti dihukum, dan berpikir mendalam terasa berbahaya. Di sinilah filsafat
sains memberikan kritik keras: kebenaran tidak lahir dari ketepatan instan, tetapi
dari keberanian melakukan kesalahan dan merevisinya.
Di sekolah Katolik,
refleksi sebenarnya bisa menjadi jembatan untuk masuk ke System 2—cara berpikir
lambat, sadar, dan terstruktur. Doa pagi, momen keheningan, pemeriksaan batin,
semuanya adalah kesempatan untuk melatih kemampuan menunda penilaian dan
mengevaluasi keputusan. Namun sayangnya, praktik pembelajaran di banyak sekolah
masih berorientasi pada hasil, bukan proses; pada jawaban benar, bukan
pertanyaan kritis. Kita lupa bahwa refleksi yang sejati justru menghidupkan
kemampuan berpikir ilmiah: menimbang bukti, menahan dorongan emosional, dan
mempertimbangkan alternatif.
Dengan kata lain,
pendidikan sains di SD Katolik Naibone membutuhkan keberanian untuk mengkritik
diri sendiri. Guru harus menyadari bahwa bias kognitif bukan kelemahan moral,
tetapi kodrat manusia. Confirmation bias tidak hilang hanya karena anak
dimarahi. Anchoring bias tidak lenyap hanya karena mereka diceramahi. Bias itu
hanya bisa dikikis dengan latihan berpikir, diskusi terbuka, dan pengalaman
belajar yang memungkinkan anak menemukan kesalahan mereka tanpa rasa takut.
Pendidikan yang efektif bukan yang menuntut anak berpikir seperti ilmuwan,
tetapi yang melatih anak mengalami proses berpikir seperti ilmuwan.
Sampai hari ini, kita
masih sering mendengar klaim bahwa anak SD “belum bisa berpikir kritis”. Klaim
ini bukan hanya salah, tetapi berbahaya. Anak bisa berpikir kritis; yang belum
bisa adalah bertahan lama dalam proses berpikir itu. Dan justru di sinilah
tugas pendidikan berada. Bila guru membiasakan anak menjelaskan alasan di balik
jawabannya, meninjau ulang jawaban setelah mendapat informasi baru, atau berani
mengatakan “saya belum tahu”, maka perlahan System 2 tumbuh. Bila sekolah
memberi ruang bagi kesalahan sebagai bagian dari belajar, bukan kegagalan
karakter, maka pola pikir ilmiah berkembang.
Menggabungkan filsafat
sains dan irasionalitas Kahneman memberi kita kaca pembesar baru: pendidikan
bukan hanya soal kurikulum atau metode, tetapi soal memahami cara kerja pikiran
manusia. Jika SD Katolik Naibone mampu mengambil pelajaran ini, maka ia tidak
sekadar mencetak siswa yang patuh dan berprestasi, tetapi manusia yang mengenal
dirinya—kesalahan, bias, intuisi, dan kapasitas rasionalnya. Manusia yang dapat
menimbang antara iman dan akal, bukan meletakkan keduanya dalam pertentangan,
melainkan dalam dialog yang dewasa.
Pertanyaannya sekarang:
beranikah kita mengubah cara mengajar? Beranikah kita meninggalkan pola pikir
yang terlalu mengandalkan otoritas dan mulai membudayakan pertanyaan? Beranikah
kita menerima bahwa berpikir benar membutuhkan waktu, dan bahwa tugas sekolah
bukan membuat anak cepat, tetapi membuat anak tepat?
Jika jawabannya ya,
maka pendidikan di SD Katolik Naibone dapat menjadi contoh bagaimana iman, sains,
dan psikologi manusia bersatu untuk menciptakan pembelajaran yang lebih
manusiawi—sebuah pendidikan yang tidak hanya mengajar apa yang harus
dipikirkan, tetapi bagaimana cara berpikir itu sendiri.
