banner Filsafat Sains dalam Lensa Psikologi Irasionalitas Kahneman dalam Pendidikan di Sekolah Dasar Katolik Naibone.

Filsafat Sains dalam Lensa Psikologi Irasionalitas Kahneman dalam Pendidikan di Sekolah Dasar Katolik Naibone.



Suara Numbei News - Ada sesuatu yang sering kita lewatkan ketika berbicara tentang pendidikan dasar: bahwa anak bukan sekadar penerima informasi, melainkan makhluk berpikir yang kompleks. Di balik wajah polos dan tingkah laku lugu mereka, terdapat struktur pemikiran yang digerakkan oleh intuisi, bias, dan emosi. Kita sering beranggapan bahwa dengan memberi penjelasan yang benar, anak akan berpikir dengan benar. Dengan memberi aturan yang jelas, anak akan bertindak rasional. Namun, filsafat sains dan temuan Daniel Kahneman justru menghadirkan kritik tajam: manusia tidak begitu sederhana, apalagi anak-anak. Pendidikan sering kali gagal karena ia dibangun di atas asumsi bahwa manusia adalah makhluk rasional yang tinggal diberi instruksi. Kenyataannya, keputusan kita—termasuk siswa sekolah dasar—lebih sering dipimpin oleh irasionalitas yang sistematis.

Di lingkungan SD Katolik Naibone, di mana nilai moral dan religius diajarkan sejak dini, problem irasionalitas ini menjadi semakin menarik. Sekolah religius punya kekuatan: ia membentuk karakter, menanamkan nilai, dan mengajarkan refleksi. Namun ia juga menyimpan potensi jebakan: keyakinan bisa berubah menjadi dogma bila tidak diimbangi proses berpikir kritis. Anak-anak yang terbiasa mengikuti instruksi dari figur otoritas—guru, pastor, orang tua—sering tumbuh dengan pola berpikir “otoritas = benar”. Sikap hormat memang baik, tetapi ketika hormat meniadakan pertanyaan, di situlah pendidikan kehilangan fungsi ilmiahnya.

Di sinilah filsafat sains memasuki gelanggang. Filsafat sains bukan hanya bicara tentang metode eksperimen atau cara kerja ilmu pengetahuan; ia mempertanyakan bagaimana manusia membangun kebenaran. Ia mengingatkan bahwa sains berkembang melalui keraguan, pengujian, koreksi diri, dan keterbukaan terhadap kesalahan. Pertanyaannya: apakah model pendidikan kita memberi ruang bagi hal-hal itu? Ataukah kita lebih sering menuntut anak untuk “benar pada percobaan pertama”? Apakah kita mengajak mereka bertanya, atau kita lebih suka mereka diam dan patuh?

Ironisnya, banyak sekolah dasar justru menjadi tempat di mana pola pikir System 1—intuisi cepat, impulsif, dan emosional—semakin mengakar. Kahneman menunjukkan bahwa manusia mempercayai intuisi mereka bahkan ketika intuisi itu salah. Anak empat hingga dua belas tahun hidup dalam dominasi System 1; mereka mengandalkan tebakan, pengalaman pertama, atau contoh yang paling mudah diingat. Kita melihat ini setiap hari: siswa menjawab soal matematika dengan cara yang “terasa benar”, bukan yang logis; siswa menyimpulkan penyebab suatu peristiwa berdasarkan pengalaman tunggal; atau siswa meniru jawaban teman karena mengikuti arus sosial.

Namun, masalahnya bukan pada anak. Masalahnya pada pendidikan yang salah menangani kenyataan psikologis ini. Alih-alih menggunakan intuisi sebagai pintu masuk menuju penalaran, banyak pembelajaran justru memaksa anak untuk “langsung logis”, padahal sistem kognitif mereka belum siap. Akibatnya? Anak merasa salah berarti bodoh, salah berarti dihukum, dan berpikir mendalam terasa berbahaya. Di sinilah filsafat sains memberikan kritik keras: kebenaran tidak lahir dari ketepatan instan, tetapi dari keberanian melakukan kesalahan dan merevisinya.

Di sekolah Katolik, refleksi sebenarnya bisa menjadi jembatan untuk masuk ke System 2—cara berpikir lambat, sadar, dan terstruktur. Doa pagi, momen keheningan, pemeriksaan batin, semuanya adalah kesempatan untuk melatih kemampuan menunda penilaian dan mengevaluasi keputusan. Namun sayangnya, praktik pembelajaran di banyak sekolah masih berorientasi pada hasil, bukan proses; pada jawaban benar, bukan pertanyaan kritis. Kita lupa bahwa refleksi yang sejati justru menghidupkan kemampuan berpikir ilmiah: menimbang bukti, menahan dorongan emosional, dan mempertimbangkan alternatif.

Dengan kata lain, pendidikan sains di SD Katolik Naibone membutuhkan keberanian untuk mengkritik diri sendiri. Guru harus menyadari bahwa bias kognitif bukan kelemahan moral, tetapi kodrat manusia. Confirmation bias tidak hilang hanya karena anak dimarahi. Anchoring bias tidak lenyap hanya karena mereka diceramahi. Bias itu hanya bisa dikikis dengan latihan berpikir, diskusi terbuka, dan pengalaman belajar yang memungkinkan anak menemukan kesalahan mereka tanpa rasa takut. Pendidikan yang efektif bukan yang menuntut anak berpikir seperti ilmuwan, tetapi yang melatih anak mengalami proses berpikir seperti ilmuwan.

Sampai hari ini, kita masih sering mendengar klaim bahwa anak SD “belum bisa berpikir kritis”. Klaim ini bukan hanya salah, tetapi berbahaya. Anak bisa berpikir kritis; yang belum bisa adalah bertahan lama dalam proses berpikir itu. Dan justru di sinilah tugas pendidikan berada. Bila guru membiasakan anak menjelaskan alasan di balik jawabannya, meninjau ulang jawaban setelah mendapat informasi baru, atau berani mengatakan “saya belum tahu”, maka perlahan System 2 tumbuh. Bila sekolah memberi ruang bagi kesalahan sebagai bagian dari belajar, bukan kegagalan karakter, maka pola pikir ilmiah berkembang.

Menggabungkan filsafat sains dan irasionalitas Kahneman memberi kita kaca pembesar baru: pendidikan bukan hanya soal kurikulum atau metode, tetapi soal memahami cara kerja pikiran manusia. Jika SD Katolik Naibone mampu mengambil pelajaran ini, maka ia tidak sekadar mencetak siswa yang patuh dan berprestasi, tetapi manusia yang mengenal dirinya—kesalahan, bias, intuisi, dan kapasitas rasionalnya. Manusia yang dapat menimbang antara iman dan akal, bukan meletakkan keduanya dalam pertentangan, melainkan dalam dialog yang dewasa.

Pertanyaannya sekarang: beranikah kita mengubah cara mengajar? Beranikah kita meninggalkan pola pikir yang terlalu mengandalkan otoritas dan mulai membudayakan pertanyaan? Beranikah kita menerima bahwa berpikir benar membutuhkan waktu, dan bahwa tugas sekolah bukan membuat anak cepat, tetapi membuat anak tepat?

Jika jawabannya ya, maka pendidikan di SD Katolik Naibone dapat menjadi contoh bagaimana iman, sains, dan psikologi manusia bersatu untuk menciptakan pembelajaran yang lebih manusiawi—sebuah pendidikan yang tidak hanya mengajar apa yang harus dipikirkan, tetapi bagaimana cara berpikir itu sendiri.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama