Fakta pertama yang tak
terbantahkan: banyak mualaf mengalami tekanan sosial dan konflik keluarga. Di
Indonesia, perpindahan agama kerap dipandang bukan sekadar pilihan personal,
melainkan dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap identitas keluarga, suku,
atau komunitas. Tidak sedikit mualaf yang kehilangan relasi dengan orang tua,
diputus dukungan ekonomi, bahkan diusir dari rumah. Ini bukan cerita tunggal,
melainkan pola yang berulang dan dapat ditemukan di berbagai daerah.
Fakta kedua, perlindungan
negara terhadap mualaf masih lemah dan bersifat seremonial. Negara menjamin
kebebasan beragama secara konstitusional, tetapi dalam praktiknya, mualaf
sering dibiarkan berjuang sendiri menghadapi dampak sosial dan administratif.
Masalah perubahan data kependudukan, status pernikahan, hak waris, hingga
pemakaman sering menjadi beban tambahan yang tidak diantisipasi oleh sistem.
Negara hadir dalam slogan, tetapi absen dalam pendampingan nyata.
Fakta ketiga yang perlu
dikritisi adalah komodifikasi kemualafan. Di banyak ruang publik, mualaf kerap
dijadikan alat legitimasi ideologis: ditampilkan di mimbar, direkam kisahnya,
disebarluaskan sebagai bukti keberhasilan dakwah. Namun setelah sorotan kamera
padam, tidak sedikit mualaf yang kembali hidup dalam keterasingan, tanpa
pembinaan berkelanjutan, tanpa jaminan pendidikan, pekerjaan, atau dukungan
psikologis. Iman direkam, tetapi manusianya ditinggalkan.
Fakta keempat, yang
paling sensitif namun nyata, adalah kemualafan yang dipengaruhi faktor ekonomi
dan relasi kuasa. Dalam kondisi kemiskinan, ketimpangan pendidikan, atau
ketergantungan sosial, keputusan berpindah agama tidak selalu lahir dari
kebebasan nurani yang utuh. Ketika bantuan sosial, beasiswa, atau perlindungan
dijadikan pintu masuk, maka kemualafan berisiko menjadi pilihan yang tidak
sepenuhnya bebas. Ini bukan tuduhan, melainkan realitas yang berulang dan perlu
kejujuran moral untuk mengakuinya.
Ironisnya, kritik
terhadap praktik-praktik ini sering dianggap sebagai serangan terhadap agama.
Padahal yang dikritik bukan iman, melainkan cara iman dipraktikkan dalam
struktur sosial yang timpang. Agama, apa pun namanya, kehilangan nilai etiknya
ketika dipakai sebagai alat dominasi, pencitraan, atau statistik keberhasilan.
Maka,
Hari Mualaf Sedunia seharusnya menjadi hari introspeksi, bukan perayaan
sepihak. Pertanyaannya bukan berapa banyak orang yang berpindah agama, tetapi:
apakah mereka hidup lebih bermartabat?
apakah mereka benar-benar dilindungi?
apakah kebebasan iman dihormati sejak awal hingga akhir?
Tanpa kejujuran
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Hari Mualaf Sedunia hanya akan menjadi
panggung simbolik yang menutupi fakta pahit: bahwa banyak mualaf masih berjalan
sendiri, di persimpangan iman dan realitas sosial yang keras.
Iman sejati tidak
membutuhkan eksploitasi. Ia membutuhkan keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab
moral—terutama terhadap mereka yang memilih jalan iman dengan segala risikonya.
.jpg)