banner 25 Desember dan Mualaf: Antara Kebebasan Iman dan Eksploitasi Sunyi

25 Desember dan Mualaf: Antara Kebebasan Iman dan Eksploitasi Sunyi



Suara Numbei News - Peringatan 25 Desember sebagai Hari Mualaf Sedunia sering diangkat dalam ruang-ruang dakwah dan media sosial dengan narasi heroik: kisah hidayah, keberanian berpindah iman, dan kemenangan spiritual. Namun di balik narasi yang indah itu, fakta-fakta sosial yang terjadi di lapangan justru memperlihatkan wajah lain yang jarang dibicarakan secara jujur dan kritis.

Fakta pertama yang tak terbantahkan: banyak mualaf mengalami tekanan sosial dan konflik keluarga. Di Indonesia, perpindahan agama kerap dipandang bukan sekadar pilihan personal, melainkan dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap identitas keluarga, suku, atau komunitas. Tidak sedikit mualaf yang kehilangan relasi dengan orang tua, diputus dukungan ekonomi, bahkan diusir dari rumah. Ini bukan cerita tunggal, melainkan pola yang berulang dan dapat ditemukan di berbagai daerah.

Fakta kedua, perlindungan negara terhadap mualaf masih lemah dan bersifat seremonial. Negara menjamin kebebasan beragama secara konstitusional, tetapi dalam praktiknya, mualaf sering dibiarkan berjuang sendiri menghadapi dampak sosial dan administratif. Masalah perubahan data kependudukan, status pernikahan, hak waris, hingga pemakaman sering menjadi beban tambahan yang tidak diantisipasi oleh sistem. Negara hadir dalam slogan, tetapi absen dalam pendampingan nyata.

Fakta ketiga yang perlu dikritisi adalah komodifikasi kemualafan. Di banyak ruang publik, mualaf kerap dijadikan alat legitimasi ideologis: ditampilkan di mimbar, direkam kisahnya, disebarluaskan sebagai bukti keberhasilan dakwah. Namun setelah sorotan kamera padam, tidak sedikit mualaf yang kembali hidup dalam keterasingan, tanpa pembinaan berkelanjutan, tanpa jaminan pendidikan, pekerjaan, atau dukungan psikologis. Iman direkam, tetapi manusianya ditinggalkan.

Fakta keempat, yang paling sensitif namun nyata, adalah kemualafan yang dipengaruhi faktor ekonomi dan relasi kuasa. Dalam kondisi kemiskinan, ketimpangan pendidikan, atau ketergantungan sosial, keputusan berpindah agama tidak selalu lahir dari kebebasan nurani yang utuh. Ketika bantuan sosial, beasiswa, atau perlindungan dijadikan pintu masuk, maka kemualafan berisiko menjadi pilihan yang tidak sepenuhnya bebas. Ini bukan tuduhan, melainkan realitas yang berulang dan perlu kejujuran moral untuk mengakuinya.

Ironisnya, kritik terhadap praktik-praktik ini sering dianggap sebagai serangan terhadap agama. Padahal yang dikritik bukan iman, melainkan cara iman dipraktikkan dalam struktur sosial yang timpang. Agama, apa pun namanya, kehilangan nilai etiknya ketika dipakai sebagai alat dominasi, pencitraan, atau statistik keberhasilan.

Maka, Hari Mualaf Sedunia seharusnya menjadi hari introspeksi, bukan perayaan sepihak. Pertanyaannya bukan berapa banyak orang yang berpindah agama, tetapi:
apakah mereka hidup lebih bermartabat?
apakah mereka benar-benar dilindungi?
apakah kebebasan iman dihormati sejak awal hingga akhir?

Tanpa kejujuran menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Hari Mualaf Sedunia hanya akan menjadi panggung simbolik yang menutupi fakta pahit: bahwa banyak mualaf masih berjalan sendiri, di persimpangan iman dan realitas sosial yang keras.

Iman sejati tidak membutuhkan eksploitasi. Ia membutuhkan keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab moral—terutama terhadap mereka yang memilih jalan iman dengan segala risikonya.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama