banner Ketika Jubah Menjadi Tameng: Sunyi Institusi dan Jerit Korban

Ketika Jubah Menjadi Tameng: Sunyi Institusi dan Jerit Korban



Suara Numbei News - Kasus yang dialami Dessy Ulu tidak bisa dibaca sebagai sekadar “aib personal” atau “kesalahan individu”. Ia adalah potret telanjang dari krisis moral yang lebih dalam, di mana relasi kuasa, pembungkaman sistematis, dan ketakutan institusi untuk kehilangan wibawa bersatu dalam satu wajah: keheningan yang melukai.

Dalam setiap masyarakat, terlebih masyarakat beriman, terdapat figur-figur yang ditempatkan pada posisi sakral. Pastor bukan sekadar individu; ia adalah simbol, rujukan moral, dan perpanjangan tangan institusi Gereja. Maka ketika seorang pastor diduga melakukan kekerasan seksual, menghamili seorang perempuan muda, memaksa pengguguran kandungan, lalu menelantarkan ibu dan anaknya, kerusakan yang ditimbulkan jauh melampaui relasi biologis. Yang hancur bukan hanya tubuh korban, tetapi juga kepercayaan, iman, dan rasa aman umat.

Relasi Kuasa: Ketika “Panggilan Suci” Menjadi Alat Penindasan

Relasi antara Romo Marly Knaofmone dan Dessy Ulu, sebagaimana dituturkan, menunjukkan ketimpangan kuasa yang ekstrem. Seorang pastor—pemimpin rohani, figur otoritas, pembina Orang Muda Katolik—berhadapan dengan seorang perempuan muda yang masih berada dalam fase pencarian jati diri, iman, dan arah hidup. Dalam relasi seperti ini, persetujuan tidak pernah benar-benar bebas.

Ketika ajakan berubah menjadi paksaan, ketika kamar pribadi di istana keuskupan menjadi ruang gelap pemerkosaan, ketika ancaman moral dan spiritual membungkam suara korban, maka kita sedang berhadapan dengan kekerasan seksual berbasis kuasa religius. Ini bukan sekadar dosa pribadi, melainkan kejahatan struktural yang memanfaatkan simbol kesucian untuk melucuti martabat manusia.

Lebih tragis lagi, upaya memaksa korban menggugurkan kandungan menunjukkan logika bejat: janin dianggap aib, bukan kehidupan; perempuan diposisikan sebagai masalah, bukan korban; dan imamat dijadikan alasan untuk menghapus tanggung jawab. Di titik ini, jubah tidak lagi melambangkan pengabdian, melainkan berubah menjadi tameng untuk melarikan diri dari konsekuensi moral dan hukum.

Diamnya Keuskupan: Antara Pembiaran dan Kekerasan Baru

Yang paling mengganggu nurani publik bukan hanya tuduhan terhadap oknum pastor, melainkan sikap Keuskupan Atambua yang memilih diam selama bertahun-tahun. Diam di hadapan penderitaan bukanlah sikap netral. Diam adalah posisi. Dan dalam kasus ini, diam berarti membiarkan ketidakadilan berlangsung.

Ketika laporan, keluhan, dan jeritan korban tidak direspons; ketika otoritas gerejawi tidak memberikan pernyataan apa pun; ketika institusi memilih menutup diri alih-alih membuka ruang klarifikasi dan keadilan, maka Gereja secara tidak langsung sedang berkata: reputasi lebih penting daripada korban.

Dalam etika Kristiani, sikap ini bertentangan secara frontal dengan Injil. Yesus tidak pernah diam di hadapan ketidakadilan. Ia justru berdiri di sisi mereka yang diinjak, disingkirkan, dan dipermalukan. Maka pertanyaannya menjadi sangat mendasar dan menggugat: di pihak siapakah Gereja berdiri hari ini?

Anak yang Dilahirkan: Bukti Hidup yang Diabaikan

Anak yang lahir dari relasi ini bukan sekadar fakta biologis, melainkan subjek moral dan hukum. Pemberian nama oleh Romo Marly Knaofmone—yang mengandung inisial dirinya—adalah pengakuan simbolik yang ironis. Sebab pengakuan sejati bukanlah soal nama, melainkan tanggung jawab konkret: nafkah, kehadiran, perlindungan, dan pengakuan hukum.

Menelantarkan anak sambil tetap berkhotbah tentang kasih, keluarga, dan moralitas adalah bentuk kemunafikan religius yang paling menyakitkan. Anak itu tumbuh bukan hanya tanpa ayah, tetapi juga di bawah bayang-bayang stigma, trauma, dan ketidakadilan yang diwariskan oleh kebisuan orang-orang dewasa yang seharusnya melindunginya.

Pola Kekerasan: Dari Kasus Tunggal ke Budaya Diam

Kesaksian korban-korban lain yang mengaku pernah digoda atau dilecehkan menunjukkan bahwa ini bukan insiden tunggal. Ini adalah pola perilaku yang seharusnya sejak awal memicu alarm serius di dalam institusi. Ketika pola itu dibiarkan, maka yang terjadi adalah normalisasi kebejatan.

Lebih berbahaya lagi, muncul kesan bahwa pelaporan ke otoritas gerejawi dianggap sia-sia. Ketika umat, terutama perempuan, kehilangan kepercayaan pada mekanisme internal Gereja, maka Gereja sedang mengalami krisis legitimasi moral. Institusi yang tidak dipercaya oleh korban telah kehilangan salah satu fungsi dasarnya: melindungi yang lemah.

Antara Iman dan Institusi

Kritik ini penting ditegaskan: iman tidak identik dengan institusi. Mengkritik keuskupan bukan berarti menyerang iman Katolik. Justru sebaliknya, kritik ini lahir dari kecintaan pada nilai-nilai Injil: kebenaran, keadilan, pertobatan, dan keberpihakan pada korban.

Gereja tidak runtuh karena dibongkar, tetapi karena membusuk dari dalam. Dan pembusukan itu dimulai ketika dosa dilindungi, korban dibungkam, dan kebenaran dikorbankan demi citra.

Seruan Moral

Kasus ini menuntut lebih dari sekadar klarifikasi. Ia menuntut:

1.      Keberanian institusi untuk membuka penyelidikan yang transparan

2.      Keberpihakan nyata kepada korban dan anak

3.      Pertanggungjawaban moral, kanonik, dan sipil

4.      Pemutusan budaya diam dan impunitas

Sebab selama keheningan terus dipelihara, luka akan terus berdarah, dan iman umat akan terus terkikis. Pada akhirnya, sejarah akan mencatat bukan hanya dosa para pelaku, tetapi juga kelalaian mereka yang memilih diam ketika kejahatan meminta untuk disuarakan.

Dan di hadapan nurani publik, satu pertanyaan akan terus menggema:
siapa yang sebenarnya dijaga—kesucian iman, atau kenyamanan kekuasaan?



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama