banner Krisis Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Bersama: Catatan Kritis dan Tajam dalam Perspektif Aristoteles dan Stoisisme

Krisis Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Bersama: Catatan Kritis dan Tajam dalam Perspektif Aristoteles dan Stoisisme

Membaca Banjir Bandang di Sumatra dan Aceh sebagai Cermin Krisis Etika Publik

 


Suara Numbei News - Banjir bandang yang berulang kali melanda wilayah Sumatra dan Aceh tidak dapat lagi dibaca semata-mata sebagai fenomena alam yang netral dan tak terelakkan. Ia adalah peristiwa sosial, politik, dan terutama etis. Di balik air yang menerjang permukiman, merenggut nyawa, dan menghancurkan mata pencaharian, tersimpan jejak panjang keputusan manusia: pembabatan hutan, pembiaran tambang ilegal, alih fungsi lahan tanpa kendali, serta negara yang sering hadir terlambat—jika tidak absen sama sekali. Di titik inilah filsafat moral menjadi relevan, bukan sebagai wacana abstrak, melainkan sebagai alat kritik terhadap cara manusia mengelola hidup bersama dan relasinya dengan alam.

Dalam kerangka Aristoteles, kehidupan yang baik (eudaimonia) hanya mungkin tercapai jika manusia hidup sesuai dengan keutamaan (aretÄ“) dan rasionalitas. Manusia bukan makhluk yang hidup terpisah dari lingkungannya, melainkan bagian dari tatanan yang lebih luas. Konsep zoon politikon menegaskan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas, dan karena itu setiap tindakan individu—terlebih kebijakan negara—harus diarahkan pada kebaikan bersama (bonum commune). Ketika hutan-hutan di Sumatra dan Aceh ditebang demi ekspansi ekonomi yang serakah, kerusakan itu bukan sekadar kesalahan ekologis, melainkan kegagalan etika publik: keputusan yang mengorbankan kebaikan bersama demi keuntungan segelintir pihak.

Aristoteles menempatkan phronesis—kebijaksanaan praktis—sebagai kebajikan utama dalam tindakan politik. Kebijaksanaan ini menuntut pertimbangan jangka panjang, keseimbangan, dan kesadaran akan konsekuensi. Banjir bandang justru menyingkap absennya phronesis dalam pengelolaan lingkungan. Kebijakan tata ruang yang mengabaikan daya dukung alam, izin konsesi yang melanggar kawasan lindung, dan lemahnya penegakan hukum menunjukkan negara bertindak tanpa kebijaksanaan. Dalam bahasa Aristoteles, ini adalah tindakan yang tidak berbudi luhur (non-virtuous), karena melahirkan penderitaan luas dan merusak tatanan hidup bersama.

Lebih jauh, Aristoteles memahami keadilan bukan hanya sebagai kepatuhan pada hukum, tetapi sebagai keadilan distributif: pembagian beban dan manfaat secara proporsional. Dalam konteks banjir bandang, ketidakadilan tampak telanjang. Manfaat eksploitasi alam dinikmati oleh korporasi dan elite politik, sementara risiko ekologis ditanggung oleh masyarakat akar rumput—petani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin kota. Negara yang membiarkan ketimpangan ini sejatinya sedang memelihara ketidakadilan struktural. Banjir bandang, dengan demikian, adalah ekspresi dari ketimpangan etis yang telah lama mengendap.

Stoisisme membawa kritik ini ke level yang lebih eksistensial. Bagi kaum Stoa, alam adalah kosmos yang rasional, diatur oleh logos. Manusia yang bijak adalah manusia yang hidup selaras dengan hukum alam tersebut. Merusak alam berarti melawan rasio, dan hidup melawan rasio berarti hidup dalam kekacauan batin dan sosial. Eksploitasi lingkungan di Sumatra dan Aceh mencerminkan manusia yang dikuasai oleh pathos—nafsu serakah, ambisi kekuasaan, dan kerakusan ekonomi—bukan oleh akal budi.

Stoisisme menolak keras sikap menyalahkan takdir. Memang, hujan lebat dan perubahan iklim global berada di luar kendali langsung manusia. Namun, kaum Stoa dengan tegas membedakan antara apa yang berada di luar kendali kita dan apa yang sepenuhnya berada dalam kuasa kita. Deforestasi, tambang ilegal, pengabaian peringatan ilmiah, serta lemahnya penegakan hukum lingkungan adalah wilayah tanggung jawab manusia. Mengatasnamakan “bencana alam” untuk menutupi kelalaian manusia adalah bentuk pengingkaran tanggung jawab moral—sebuah pelarian dari kewajiban rasional untuk bertindak bijak.

Dalam perspektif Stoik, kebajikan tertinggi adalah hidup selaras dengan alam dan menerima konsekuensi logis dari tindakan manusia. Namun penerimaan ini bukan pasrah tanpa koreksi, melainkan refleksi kritis yang mendorong perubahan sikap. Banjir bandang seharusnya dibaca sebagai tanda bahwa manusia telah melanggar harmoni kosmik. Jika pelanggaran itu terus diulang, maka penderitaan bukan lagi kebetulan, melainkan keniscayaan.

Pertemuan antara Aristoteles dan Stoisisme memperlihatkan satu simpulan tegas: krisis lingkungan adalah krisis karakter dan krisis tata kelola. Ia tidak akan selesai hanya dengan normalisasi sungai, pembangunan tanggul, atau bantuan darurat pascabencana. Tanpa perubahan etis—baik pada level individu, korporasi, maupun negara—upaya teknis hanyalah penundaan bencana berikutnya. Etika Aristoteles menuntut negara yang berkeutamaan, sementara Stoisisme menuntut warga yang rasional dan mampu mengendalikan nafsunya.

Catatan paling tajam dari banjir bandang di Sumatra dan Aceh adalah ini: manusia modern sering membanggakan kemajuan, tetapi gagal menjadi bijak. Alam tidak “murka”; manusialah yang kehilangan keutamaan dan rasio. Selama pembangunan dipahami semata sebagai pertumbuhan ekonomi, dan bukan sebagai upaya menjaga keseimbangan hidup bersama, maka air akan terus mencari jalannya sendiri—menyapu ilusi manusia tentang kuasa dan kemajuan.

Banjir bandang, pada akhirnya, adalah pengadilan sunyi atas etika kita. Ia tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi dengan kehancuran. Dan jika manusia terus menolak belajar, maka setiap tetes hujan berikutnya bukan lagi peringatan, melainkan konsekuensi dari kegagalan moral yang dipelihara bersama.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama