banner Natal di Pinggiran: Rinai Hujan sebagai Gugatan terhadap Iman yang Nyaman

Natal di Pinggiran: Rinai Hujan sebagai Gugatan terhadap Iman yang Nyaman


Suara Numbei News - Malam Natal, 24 Desember 2025, turun perlahan di Kampung Harekain, Desa Builaran, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka. Ia hadir tanpa gegap gempita, tanpa kilau dekorasi berlebih, tanpa hiruk-pikuk konsumsi religius yang kerap membanjiri ruang-ruang kota. Yang hadir justru rinai hujan—jatuh setia di atap seng, tanah merah, dan jalan sunyi kampung. Seolah langit menolak perayaan yang bising dan memilih hening sebagai bahasa paling jujur untuk menyambut kelahiran Sang Kehidupan. Dalam kesenyapan itulah Natal diuji: apakah ia masih hidup sebagai peristiwa iman, atau telah beku sebagai tradisi tahunan yang dihafal tanpa dihayati?

Hujan malam itu bukan sekadar fenomena alam. Ia menjelma kritik kosmis. Dalam filsafat, hujan adalah simbol purifikasi dan pembaruan, tetapi juga simbol ketelanjangan manusia di hadapan alam. Ia menyingkap kerapuhan: atap bocor, jalan becek, dan tubuh yang menggigil. Di titik ini, Malam Natal di Harekain menjadi cermin telanjang bagi iman umat. Sebab iman yang sejati selalu diuji dalam kerapuhan, bukan dalam kenyamanan. Pertanyaannya menjadi tajam: sejauh mana iman umat sungguh berakar, dan sejauh mana ia hanya bertahan sebagai kebiasaan sosial yang diwariskan tanpa refleksi?

Natal adalah paradoks teologis terbesar: Allah memilih lahir dalam kemiskinan, bukan dalam kemegahan. Namun paradoks ini sering kehilangan daya gugatnya. Di Harekain, keterbatasan hidup justru menyingkap ironi pahit: kemiskinan yang dirayakan secara simbolik dalam teologi sering kali tidak disikapi secara serius dalam praksis gerejawi dan sosial. Natal diperingati, tetapi struktur ketidakadilan dibiarkan berjalan seperti biasa. Dalam konteks ini, Malam Natal berisiko menjadi estetika spiritual—indah dirasa, namun tumpul dalam daya ubah.

Secara kritis, kehidupan iman umat di kampung-kampung seperti Harekain masih terjebak dalam pola devosional yang patuh namun pasif. Umat rajin hadir dalam perayaan liturgi, taat pada struktur gereja, tetapi jarang diajak untuk menggugat realitas hidupnya sendiri dengan terang Injil. Iman lebih sering dimaknai sebagai kepatuhan, bukan sebagai kesadaran etis. Akibatnya, iman kehilangan daya profetisnya. Ia tidak lagi menjadi kekuatan yang menginterogasi ketidakadilan, melainkan menjadi penghiburan yang meninabobokan.

Di sinilah peran gereja dan para pelayan pastoral—terutama pastor paroki—perlu dibaca secara kritis. Natal bukan hanya perayaan kelahiran Kristus, tetapi juga evaluasi kehadiran gereja di tengah umat. Apakah gereja sungguh hadir sebagai tubuh Kristus yang terluka bersama umat, atau hanya sebagai institusi yang mengatur ritus dan kalender liturgi? Inkarnasi menuntut keberanian untuk turun, bukan sekadar berbicara dari mimbar. Tanpa keberanian itu, khotbah tentang kasih hanya akan menjadi gema yang hilang ditelan hujan.

Hujan di Harekain turun tanpa diskriminasi. Ia tidak memilih rumah mana yang layak dibasahi. Sementara itu, manusia—termasuk komunitas beriman—sering kali justru sibuk memilah: siapa yang layak diperhatikan, siapa yang boleh diabaikan. Natal yang sejati seharusnya mengguncang logika selektif ini. Jika Allah sendiri memilih hadir dalam keterpinggiran, mengapa gereja sering merasa nyaman berada di pusat, jauh dari jerit pinggiran?

Malam Natal di Harekain, dengan rinai hujannya yang setia, menolak iman yang dangkal dan sentimental. Ia menuntut iman yang berpikir, yang berani bertanya, bahkan yang berani menggugat dirinya sendiri. Sebab iman yang tidak pernah dikritik akan berubah menjadi ideologi, dan iman yang kehilangan keberanian etis akan menjadi hiasan spiritual tanpa daya hidup.

Ketika hujan terus turun dan malam semakin larut, Natal di Harekain tidak menawarkan jawaban instan. Ia justru meninggalkan kegelisahan yang subur: kegelisahan tentang kejujuran iman, tentang keberpihakan gereja, dan tentang tanggung jawab manusia terhadap sesamanya. Dalam kegelisahan itulah harapan lahir. Sebab hanya iman yang gelisah yang masih hidup, dan hanya Natal yang mengguncang yang layak dirayakan.

 




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama