Hujan malam itu bukan
sekadar fenomena alam. Ia menjelma kritik kosmis. Dalam filsafat, hujan adalah
simbol purifikasi dan pembaruan, tetapi juga simbol ketelanjangan manusia di
hadapan alam. Ia menyingkap kerapuhan: atap bocor, jalan becek, dan tubuh yang
menggigil. Di titik ini, Malam Natal di Harekain menjadi cermin telanjang bagi
iman umat. Sebab iman yang sejati selalu diuji dalam kerapuhan, bukan dalam
kenyamanan. Pertanyaannya menjadi tajam: sejauh mana iman umat sungguh berakar,
dan sejauh mana ia hanya bertahan sebagai kebiasaan sosial yang diwariskan
tanpa refleksi?
Natal adalah paradoks
teologis terbesar: Allah memilih lahir dalam kemiskinan, bukan dalam kemegahan.
Namun paradoks ini sering kehilangan daya gugatnya. Di Harekain, keterbatasan
hidup justru menyingkap ironi pahit: kemiskinan yang dirayakan secara simbolik
dalam teologi sering kali tidak disikapi secara serius dalam praksis gerejawi
dan sosial. Natal diperingati, tetapi struktur ketidakadilan dibiarkan berjalan
seperti biasa. Dalam konteks ini, Malam Natal berisiko menjadi estetika
spiritual—indah dirasa, namun tumpul dalam daya ubah.
Secara kritis,
kehidupan iman umat di kampung-kampung seperti Harekain masih terjebak dalam
pola devosional yang patuh namun pasif. Umat rajin hadir dalam perayaan
liturgi, taat pada struktur gereja, tetapi jarang diajak untuk menggugat
realitas hidupnya sendiri dengan terang Injil. Iman lebih sering dimaknai
sebagai kepatuhan, bukan sebagai kesadaran etis. Akibatnya, iman kehilangan
daya profetisnya. Ia tidak lagi menjadi kekuatan yang menginterogasi
ketidakadilan, melainkan menjadi penghiburan yang meninabobokan.
Di sinilah peran gereja
dan para pelayan pastoral—terutama pastor paroki—perlu dibaca secara kritis.
Natal bukan hanya perayaan kelahiran Kristus, tetapi juga evaluasi kehadiran
gereja di tengah umat. Apakah gereja sungguh hadir sebagai tubuh Kristus yang
terluka bersama umat, atau hanya sebagai institusi yang mengatur ritus dan
kalender liturgi? Inkarnasi menuntut keberanian untuk turun, bukan sekadar
berbicara dari mimbar. Tanpa keberanian itu, khotbah tentang kasih hanya akan
menjadi gema yang hilang ditelan hujan.
Hujan di Harekain turun
tanpa diskriminasi. Ia tidak memilih rumah mana yang layak dibasahi. Sementara
itu, manusia—termasuk komunitas beriman—sering kali justru sibuk memilah: siapa
yang layak diperhatikan, siapa yang boleh diabaikan. Natal yang sejati
seharusnya mengguncang logika selektif ini. Jika Allah sendiri memilih hadir
dalam keterpinggiran, mengapa gereja sering merasa nyaman berada di pusat, jauh
dari jerit pinggiran?
Malam Natal di Harekain,
dengan rinai hujannya yang setia, menolak iman yang dangkal dan sentimental. Ia
menuntut iman yang berpikir, yang berani bertanya, bahkan yang berani menggugat
dirinya sendiri. Sebab iman yang tidak pernah dikritik akan berubah menjadi
ideologi, dan iman yang kehilangan keberanian etis akan menjadi hiasan
spiritual tanpa daya hidup.
Ketika hujan terus
turun dan malam semakin larut, Natal di Harekain tidak menawarkan jawaban
instan. Ia justru meninggalkan kegelisahan yang subur: kegelisahan tentang
kejujuran iman, tentang keberpihakan gereja, dan tentang tanggung jawab manusia
terhadap sesamanya. Dalam kegelisahan itulah harapan lahir. Sebab hanya iman
yang gelisah yang masih hidup, dan hanya Natal yang mengguncang yang layak
dirayakan.
