RITUAL
ADAT KARI FOHON/TEIN FOHO
DI
RUMAH ADAT SUKU MAMULAK
(Oleh: Frederick Mzaq)
Penulis mengikuti ritus adat pemotongan ayam di tiang agung rumah adat, koda manu ba kakuluk di dalam rumah adat Uma Feto Suku Mamulak, Numbei |
PENDAHULUAN
Salah satu keunikan budaya dan
pariwisata Indonesia terletak
pada arsitektur rumah asli milik suku lokal atau yang kerap disebut sebagai
rumah adat. Di luar tarian, tradisi, nyanyian, dan kebiasaan masing-masing suku,
rumah adat atau rumah tradisional sebenarnya memiliki
peran yang sangat penting namun sering kali terlupakan.
RITUS
TEIN FOHO ATAU KARI FOHON DI RUMAH ADAT
Tein Foho atau Kari Foho merupakan
tradisi upacara adat yang sangat urgen di lakukan di rumah adat suku
Mamulak-Numbei. Tradisi ini merupakan upacara tahunan yang dilakukan secara
bersama-sama dengan menghadirkan semua anggota suku. Tein Foho atau Kari Foho
merujuk pada tindakan mengorbankan darah binatang pada kakuluk (tiang agung)
yang ada di dalam rumah adat. Adapun tata upacara adatnya sebagai berikut:
a.
Hakes
hamutuk: Perundingan bersama semua anggota suku bersama Kepala Suku (Be Fukun
Mamulak) untuk menentukan waktu pelaksanaan upacara adat.
b.
Semua
Anggota suku hadir bersama pada saat hari yang telah ditentukan. Ketika semua
anggota suku sudah hadir maka dimulailah upacara adat yang satu ini dengan
susunan acaranya sebagai berikut:
Ø
Halo mama lulik: pengambilan sirih pinang yang
ditempatkan pada tempat sirih dan di taruh pada kakuluk.
Ø
Hola We Fohon: pengambilan air kehidupan yang
dilakukan oleh beberapa orang yang dipercayakan. Pengambilan air kehidupan ini
sangat sakral karena harus berdasarkan petunjuk leluhur. Untuk ritus ini
dilakukan secara hikmat bak orang sementara berdoa di Gereja. Air diambil di
sumber mata aire we foko, yang lokasinya berada di kawasan hutan Kateri kurang
lebih jaraknya 1 Km dari perkampungan Numbei.
Ø
Fai Hare: Penumbukan padi yang dilakukan
oleh beberapa perempuan anggota suku. Padi yang ditumbuk akan ditapis dan
dibersihkan setelah itu padi ini nantinya akan dimasak di dalam rumah adat.
Ø
Haturu Manu ran ba Kakuluk: pembunuhan ayam pada tiang agung
rumah adat. Darah ayam diteteskan pada rumah adat, dan membaca isyarat langit
dari organ usus ayam, apakah para arwah leluhur merestui tindakan upacara adat
ini.
Ø
Tein eto no naan: kegiatan masak nasi dan merebus
daging ayam tanpa bumbuan
Ø
Hasae atau hatetu etu no naan lulik: pemberian makanan siap saji untuk
para leluhur.
Ø
Ha ho malu hodi neon no laran ida: Makan bersama yang dilakukan semua
anggota suku Mamulak.
Ø
Hola mama lulik: pengambilan sirih pinang pemali
oleh setiap anggota suku Mamulak. Sirih pinang dimakan dan tidak boleh taniru
(membuang air liur tetapi ditelan)
c.
Semua
anggota suku kembali ke rumah mereka masing-masing.
RITUAL
DARAH AYAM DI DALAM RUMAH ADAT SUKU MAMULAK
Sebelum pemotongan ayam pada kakuluk
(tiang agung) di dalam rumah adat, Kepala Suku Mamulak melantunkan syair-syair
adat kepada para leluhur (semacam untaian doa yang disampaikan dalam bahasa
tetum). Darah segar tampak memuncrat saat pemotongan ayam berlangsung. Darah ayam
tersebut diteteskan pada tiang agung dan ai dudun yang berada di samping 3
rumah adat yang ada di dalam suku Mamulak.
§
Persembahan
untuk menghormati para leluhur.
§
Mendapatkan
bensa no matak malirin (berkat dan rahmat) dari para leluhur agar senantiasa
melindungi semua anggota suku dari marabahaya.
§
Mewariskan
tradisi para leluhur agar tidak punah hilang ditelan zaman.
APAKAH
RITUAL KURBAN HEWAN BERMANFAAT ATAU BERPAHALA?
Ritual kurban atau korban untuk persembahan telah ada sejak munculnya sistem kepercayaan. Banyak dalil atau alasan dari ritual kurban, dari untuk menyenangkan makhluk surgawi hingga untuk membantu sesama manusia.
Kehidupan hewan dan manusia tidak
luput dari menjadi objek ritual kurban persembahan oleh orang-orang zaman dulu.
Dan faktanya, di masa modern ini, masih ada kelompok masyarakat yang melakukan
ritual kuno yang berlumuran darah ini meskipun objeknya sebatas hewan.
Ritual itu berlangsung khitmat, termasuk yang dijalankan umat Islam di seluruh Indonesia. Hewan korban pun tidak hanya berasal dari umat Islam, namun juga dari pejabat publik, yang beragama lain, untuk menunjukan teladan kepada rakyatnya tentang arti sebuah pengorbanan.
Sebenarnya, ritual korban tidak hanya dikenal dalam Islam. Agama Hindu, Kristiani dan Yahudi, termasuk sejumlah kepercayaan kepada Tuhan, juga meyakini dan menjalani ritual korban yang menjadi bagian dari sistem penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Dalam Hindu misalnya, ritual Melasti yang dilakukan umat Hindu menjelang Hari Raya Nyepi selalu ditandai dengan larung sesaji sebagai pengorbanan untuk menjalankan kewajiban kepada Tuhan. Melati merupakan ritual untuk menyucikan Pratima atau benda sakral umat Hindu di laut, danau, atau sumber mata air lainnya. Biasanya warga mendatangi pantai-pantai yang dekat dengan tempat tinggal mereka untuk mengikuti prosesi Melasti.
Pada saat itu, ribuan warga berbondong-bondong mendatangi pantai yang menjadi salah satu tujuan utama pariwisata dunia ini. Dengan mengenakan pakaian adat lengkap, warga datang bersama keluarga mereka dengan membawa berbagai macam sesaji.
Prosesi Melasti ini diawali dengan upacara atau upakara yang dipimpin oleh pendeta Hindu, kemudian dilanjutkan dengan penghaturan sesaji, prosesi ketiga adalah tarian rejang yang dibawakan oleh remaja putri. Dan memasuki tahap akhir ritual Melasti warga menggelar persembahyangan bersama.
Usai sembahyang, warga melarung sesaji berupa hewan ternak seperti kambing, ayam atau bebek ke tengah laut. Ritual terakhir melasti ini disebut Pakelem yang tujuannya untuk memohon keselamatan. Memohon kepada Batara Segara (penguasa laut) supaya semuanya mendapat keselamatan.
Kewajiban korban juga terdapat pada ajaran Nasrani. Kitab injil penuh dengan cerita kurban. Penyaliban Isa menurut umat Nasrani, merupakan salah satu kurban teragung. Khusus dalam keyakinan umat Katolik, Gereja Katolik Roma menekankan arti perjamuan kudus sebagai sarana keselamatan bagi umat. Gereja-gereja Protestan umumnya lebih menekankan perjamuan sebagai peringatan akan kematian dan pengorbanan Yesus bagi umat manusia.[3]
Agama Katolik mempercayai bahwa Yesus dikorbankan dalam Ekaristi Kudus, tetapi alkitab menulis bahwa Dia dikorbankan di bukit Golgota. Sesungguhnya Yesus telah mempersembahkan tubuh dan darahnya pada saat perjamuan malam terakhir sebagai awal, dan dilanjutkan pada keesokan harinya ketika Dia harus wafat di kayu salib. Dalam korban misa atau ekaristi, Yesus melanjutkan pengorbanan DiriNya sebagai persembahan pada BapaNya melalui tangan Imam. Mat 26:26-28 : “Dan ketika mereka sedang makan, Yesusmengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-muridNya dan berkata, “Ambillah, makanah, inilah tubuhKu”.
Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata, “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darahKu, darah perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” Kristus memerintahkan GerejaNya untuk mengabdikan upacara korban tersebutuntuk pengudusan terus-menerus bagi kita para pengikutNya dengan bersabda, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19).
Dan Gereja Katolik memenuhi perintah Sang Guru ini dalam Misa atau Ekaristi Kudus. Bila Misa Kudus dipersembahkan maka dihadirkanlah Korban Kristus di kayu salib yang dipersembahkan sekali dan untuk selamanya. Misa Kudus memperoleh semua nilainya dari korban di kayu salib. Misa Kudus adalah korban yang satu dan sama dengan korban Yesus di kayu salib.
Demikian juga dalam ajaran Yudaisme. Kurban dikenal dengan istilah Korban dari akar kata bahasa Ibrani karov yang berarti “[datang] mendekat [kepada Allah]”. Sentralitas kurban dalam Yudaisme jelas, seperti yang banyak diuraikan dalam Alkitab, khususnya dalam pasal-pasal pembukaan Kitab Imamat, dengan penjelasan terinci tentang cara-cara pemberiannya. Kurban dapat diberikan dalam bentuk sesuatu yang berdarah (binatang) ataupun yang tidak berdarah (biji-bijian dan anggur).
Kurban darah dibagi ke dalam holocaust (kurban bakaran, dengan seluruh binatangnya dibakar habis), kurban penebusan dosa (dalam hal ini hanya bagian-bagian tertentu dari binatang kurban dibakar dan sisanya ditinggalkan untuk imam) dan kurban pendamaian (sama seperti di atas, hanya bagian-bagian tertentu dari binatang kurban dibakar habis).
Dengan menyelam ritual korban yang ada dalam agama-agama, yang rujukan historisnya kepada teladan para nabi dan atau orang suci, menunjukkan bahwa kurban hanyalah suatu bagian dari pengabdian kepada Allah, dan harus disertai oleh moralitas dan kebaikan dalam diri manusia itu sendiri. Dengan demikian, nilai dan hakekat korban dapat kita kita perluasan dalam relasi negara dan rakyat demi kemajuan suatu bangsa.
Inspirasi dari Rumah Adat Suku
Mamulak Numbei
Senin, 20 Juli 2020
Penimba Inspirasi Jalan Setapak
MZaq Numbei Chanell
[1] Bdk. https://kumparan.com/kumparantravel/merawat-rumah-tradisional-menjaga-tradisi-indonesia-1sHzK39EWtV/full