Membaca Isyarat Langit Dari Korban Darah Ayam di Suku Mamulak Kampung Numbei, Desa Kateri-Kab. Malaka-NTT

Membaca Isyarat Langit Dari Korban Darah Ayam di Suku Mamulak Kampung Numbei, Desa Kateri-Kab. Malaka-NTT

RITUAL ADAT KARI FOHON/TEIN FOHO

DI RUMAH ADAT SUKU MAMULAK

(Oleh: Frederick Mzaq)

Penulis mengikuti ritus adat pemotongan ayam di tiang agung rumah adat, koda manu ba kakuluk di dalam rumah adat Uma Feto Suku Mamulak, Numbei

 

PENDAHULUAN

Salah satu keunikan budaya dan pariwisata Indonesia terletak pada arsitektur rumah asli milik suku lokal atau yang kerap disebut sebagai rumah adat. Di luar tarian, tradisi, nyanyian, dan kebiasaan masing-masing suku, rumah adat atau rumah tradisional sebenarnya memiliki peran yang sangat penting namun sering kali terlupakan.


 Menurut penuturan Anneke Prasyanti, Tenaga Ahli Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, rumah adat merupakan entitas terkecil untuk mewadahi kegiatan manusia. Sehingga kebiasaan, kepercayaan, serta budaya maupun tradisi yang terbentuk dari penghuni rumah juga akan mempengaruhi bentuk maupun tata ruang rumah tersebut.[1]


 Perubahan-perubahan yang terjadi dalam rumah tradisional menuju modern secara tak langsung dapat 'memaksa' penghuninya untuk tidak melakukan tradisi tertentu. Yang apabila hal ini berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dapat turut menghilangkan identitas diri manusia yang ada di dalamnya.


 Kampung Numbei merupakan salah satu kampung yang berada di wilayah Desa Kateri, Kabupaten Malaka, Provinsi NTT, yang sangat kaya akan tinggalan tradisi megalitik yang berlanjut (living megalithic tradition) yakni bukan dalam bentuk saja pada corak bangunan rumah adat dan barang peninggalan leluhur tetapi lebih  dari itu  pada tata upacara adatnya yang sangat khas dan unik, semisal hamis batar (syukuran panen jagung muda), tunu ba we (membunuh binatang korban di sumber mata air), tein foho/kari fohon (ritual darah ayam dan pemberian sesajian kepada arwah para leluhur yang dilakukan semua anggota suku), koi ulun (pemotongan rambut) dan jenis upacara adat yang lainnya.


 Upacara adat di setiap suku di  Kampung Numbei, memiliki ciri khasnya masing-masing yang masih hidup sampai saat  ini adalah jalan untuk mengungkap dan merekontruksi kehidupan manusia dan budayanya. Bahwasannya tradisi megalitik yang berasal dari masa prasejarah tidak lagi memiliki data lengkap, tinggalan masa prasejarah telah banyak yang rusak, hilang dan pendukungnya tidak dijumpai lagi, sehingga dalam merekontruksi kehidupan prasejarah akan mengalami hambatan, karena data yang tidak lengkap. Berkenaan dengan hal tersebut keberadaan Kampung Numbei yang masih memiliki tradisi megalitik (read, upacara adat pada setiap suku) berkelanjutan sangat membantu dalam merekontruksi kehidupan dan budaya masyarakat masa lalu. Kampung Numbei akan memberikan data dan fakta bagi kita semua tentang tradisi uapcara adat sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur.


 Melalui tulisan ini, penulis lebih fokus mengungkapkan ide tentang ritual darah ayam di rumah adat suku Mamulak, Kampung Numbei pada moment tein fohon/Kari fohon.

 

RITUS TEIN FOHO ATAU KARI FOHON DI RUMAH ADAT

Tein Foho atau Kari Foho merupakan tradisi upacara adat yang sangat urgen di lakukan di rumah adat suku Mamulak-Numbei. Tradisi ini merupakan upacara tahunan yang dilakukan secara bersama-sama dengan menghadirkan semua anggota suku. Tein Foho atau Kari Foho merujuk pada tindakan mengorbankan darah binatang pada kakuluk (tiang agung) yang ada di dalam rumah adat. Adapun tata upacara adatnya sebagai berikut:


a.    Hakes hamutuk: Perundingan bersama semua anggota suku bersama Kepala Suku (Be Fukun Mamulak) untuk menentukan waktu pelaksanaan upacara adat.

b.    Semua Anggota suku hadir bersama pada saat hari yang telah ditentukan. Ketika semua anggota suku sudah hadir maka dimulailah upacara adat yang satu ini dengan susunan acaranya sebagai berikut:

Ø  Halo mama lulik: pengambilan sirih pinang yang ditempatkan pada tempat sirih dan di taruh pada kakuluk.

Ø  Hola We Fohon: pengambilan air kehidupan yang dilakukan oleh beberapa orang yang dipercayakan. Pengambilan air kehidupan ini sangat sakral karena harus berdasarkan petunjuk leluhur. Untuk ritus ini dilakukan secara hikmat bak orang sementara berdoa di Gereja. Air diambil di sumber mata aire we foko, yang lokasinya berada di kawasan hutan Kateri kurang lebih jaraknya 1 Km dari perkampungan Numbei.

Ø  Fai Hare: Penumbukan padi yang dilakukan oleh beberapa perempuan anggota suku. Padi yang ditumbuk akan ditapis dan dibersihkan setelah itu padi ini nantinya akan dimasak di dalam rumah adat.

Ø  Haturu Manu ran ba Kakuluk: pembunuhan ayam pada tiang agung rumah adat. Darah ayam diteteskan pada rumah adat, dan membaca isyarat langit dari organ usus ayam, apakah para arwah leluhur merestui tindakan upacara adat ini.

Ø  Tein eto no naan: kegiatan masak nasi dan merebus daging ayam tanpa bumbuan

Ø  Hasae atau hatetu etu no naan lulik: pemberian makanan siap saji untuk para leluhur.

Ø  Ha ho malu hodi neon no laran ida: Makan bersama yang dilakukan semua anggota suku Mamulak.

Ø  Hola mama lulik: pengambilan sirih pinang pemali oleh setiap anggota suku Mamulak. Sirih pinang dimakan dan tidak boleh taniru (membuang air liur tetapi ditelan)

c.    Semua anggota suku kembali ke rumah mereka masing-masing.

 

RITUAL DARAH AYAM DI DALAM RUMAH ADAT SUKU MAMULAK

 Upaca adat kari fohon atau tein foho merupakan ritus upacara adat, yang sangat urgen dilakukan di dalam rumah adat suku Mamulak. Upacara adat ini bawasannya bukanlah bentuk pemujaan kepada para leluhur tetapi merupakan tradisi penghormatan kepada para leluhur atau arwah nenek moyang suku Mamulak. Karena menurut konsep pemahan anggota suku, manusia tidak berhubungan langsung dengan Tuhan namun melalui perantaraan para leluhur juga, karena hakekat jati diri mereka sebagai makhluk yang berbudaya.


Sebelum pemotongan ayam pada kakuluk (tiang agung) di dalam rumah adat, Kepala Suku Mamulak melantunkan syair-syair adat kepada para leluhur (semacam untaian doa yang disampaikan dalam bahasa tetum). Darah segar tampak memuncrat saat pemotongan ayam berlangsung. Darah ayam tersebut diteteskan pada tiang agung dan ai dudun yang berada di samping 3 rumah adat yang ada di dalam suku Mamulak. 

 Tujuan ritual darah korban ayam di dalam rumah adat antara lain:

§  Persembahan untuk menghormati para leluhur.

§  Mendapatkan bensa no matak malirin (berkat dan rahmat) dari para leluhur agar senantiasa melindungi semua anggota suku dari marabahaya.

§  Mewariskan tradisi para leluhur agar tidak punah hilang ditelan zaman.

 

APAKAH RITUAL KURBAN HEWAN BERMANFAAT ATAU BERPAHALA?

 Ritual kurban atau korban untuk persembahan telah ada sejak munculnya sistem kepercayaan. Banyak dalil atau alasan dari ritual kurban, dari untuk menyenangkan makhluk surgawi hingga untuk membantu sesama manusia.


Kehidupan hewan dan manusia tidak luput dari menjadi objek ritual kurban persembahan oleh orang-orang zaman dulu. Dan faktanya, di masa modern ini, masih ada kelompok masyarakat yang melakukan ritual kuno yang berlumuran darah ini meskipun objeknya sebatas hewan.


 Di mata para praktisi kurban hewan, keberadaan dan kehidupan hewan yang dikurbankan hanya dianggap sebagai pelengkap kehidupan manusia, hanya sebagai makanan yang pantas disembelih dengan cara apa pun. Dan untuk memberi kesan masih memiliki belas kasih, ada di antara praktisi kurban hewan tidak segan-segan menggunakan istilah “membunuh dengan cara yang benar” dengan aturan-aturan yang mereka buat sendiri.[2]


 Kemarin, tanggal 31 Juli 2020, dirayakan umat Islam se-dunia sebagai hari raya idul adha atau lebih populer disebut hari raya korban. Merujuk kepada pengorbanan Nabi Ibrahim AS, yang diuji oleh Allah untuk mengorbankan anaknya Ismail, (yang kemudian diganti dengan seekor kibas), umat Islam yakin bahwa ritual korban adalah ritual menguji keikhlasan setiap manusia untuk melepas apa yang dicintainya jika dimintai kembali oleh Sang Pencipta. Keikhlasan adalah bukti kesetiaan dan ketaatan kepada Allah.


 Ritual itu berlangsung khitmat, termasuk yang dijalankan umat Islam di seluruh Indonesia. Hewan korban pun tidak hanya berasal dari umat Islam, namun juga dari pejabat publik, yang beragama lain, untuk menunjukan teladan kepada rakyatnya tentang arti sebuah pengorbanan.


 Sebenarnya, ritual korban tidak hanya dikenal dalam Islam. Agama Hindu, Kristiani dan Yahudi, termasuk sejumlah kepercayaan kepada Tuhan, juga meyakini dan menjalani ritual korban yang menjadi bagian dari sistem penghambaan diri kepada Sang Pencipta.


 Dalam Hindu misalnya, ritual Melasti yang dilakukan umat Hindu menjelang Hari Raya Nyepi selalu ditandai dengan larung sesaji sebagai pengorbanan untuk menjalankan kewajiban kepada Tuhan. Melati merupakan ritual untuk menyucikan Pratima atau benda sakral umat Hindu di laut, danau, atau sumber mata air lainnya. Biasanya warga mendatangi pantai-pantai yang dekat dengan tempat tinggal mereka untuk mengikuti prosesi Melasti.


 Pada saat itu, ribuan warga berbondong-bondong mendatangi pantai yang menjadi salah satu tujuan utama pariwisata dunia ini. Dengan mengenakan pakaian adat lengkap, warga datang bersama keluarga mereka dengan membawa berbagai macam sesaji.


 Prosesi Melasti ini diawali dengan upacara atau upakara yang dipimpin oleh pendeta Hindu, kemudian dilanjutkan dengan penghaturan sesaji, prosesi ketiga adalah tarian rejang yang dibawakan oleh remaja putri. Dan memasuki tahap akhir ritual Melasti warga menggelar persembahyangan bersama.  


 Usai sembahyang, warga melarung sesaji berupa hewan ternak seperti kambing, ayam atau bebek ke tengah laut. Ritual terakhir melasti ini disebut Pakelem yang tujuannya untuk memohon keselamatan. Memohon kepada Batara Segara (penguasa laut) supaya semuanya mendapat keselamatan.


 Kewajiban korban juga terdapat pada ajaran Nasrani. Kitab injil penuh dengan cerita kurban. Penyaliban Isa menurut umat Nasrani, merupakan salah satu kurban teragung.  Khusus dalam keyakinan umat Katolik, Gereja Katolik Roma menekankan arti perjamuan kudus sebagai sarana keselamatan bagi umat. Gereja-gereja Protestan umumnya lebih menekankan perjamuan sebagai peringatan akan kematian dan pengorbanan Yesus bagi umat manusia.[3]


 Agama Katolik mempercayai bahwa Yesus dikorbankan dalam Ekaristi Kudus, tetapi alkitab menulis bahwa Dia dikorbankan di bukit Golgota. Sesungguhnya Yesus telah mempersembahkan tubuh dan darahnya pada saat perjamuan malam terakhir sebagai awal, dan dilanjutkan pada keesokan harinya ketika Dia harus wafat di kayu salib. Dalam korban misa atau ekaristi, Yesus melanjutkan pengorbanan DiriNya sebagai persembahan pada BapaNya melalui tangan Imam. Mat 26:26-28 : “Dan ketika mereka sedang makan, Yesusmengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-muridNya dan berkata, “Ambillah, makanah, inilah tubuhKu”.


 Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata, “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darahKu, darah perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” Kristus memerintahkan GerejaNya untuk mengabdikan upacara korban tersebutuntuk pengudusan terus-menerus bagi kita para pengikutNya dengan bersabda, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19).


 Dan Gereja Katolik memenuhi perintah Sang Guru ini dalam Misa atau Ekaristi Kudus. Bila Misa Kudus dipersembahkan maka dihadirkanlah Korban Kristus di kayu salib yang dipersembahkan sekali dan untuk selamanya. Misa Kudus memperoleh semua nilainya dari korban di kayu salib. Misa Kudus adalah korban yang satu dan sama dengan korban Yesus di kayu salib.


 Demikian juga dalam ajaran Yudaisme. Kurban dikenal dengan istilah Korban dari akar kata bahasa Ibrani karov yang berarti “[datang] mendekat [kepada Allah]”. Sentralitas kurban dalam Yudaisme jelas, seperti yang banyak diuraikan dalam Alkitab, khususnya dalam pasal-pasal pembukaan Kitab Imamat, dengan penjelasan terinci tentang cara-cara pemberiannya. Kurban dapat diberikan dalam bentuk sesuatu yang berdarah (binatang) ataupun yang tidak berdarah (biji-bijian dan anggur).


 Kurban darah dibagi ke dalam holocaust (kurban bakaran, dengan seluruh binatangnya dibakar habis), kurban penebusan dosa (dalam hal ini hanya bagian-bagian tertentu dari binatang kurban dibakar dan sisanya ditinggalkan untuk imam) dan kurban pendamaian (sama seperti di atas, hanya bagian-bagian tertentu dari binatang kurban dibakar habis).


 Dengan menyelam ritual korban yang ada dalam agama-agama, yang rujukan historisnya kepada teladan para nabi dan atau orang suci, menunjukkan bahwa kurban hanyalah suatu bagian dari pengabdian kepada Allah, dan harus disertai oleh moralitas dan kebaikan dalam diri manusia itu sendiri. Dengan demikian, nilai dan hakekat korban dapat kita kita perluasan dalam relasi negara dan rakyat demi kemajuan suatu bangsa.


 



Inspirasi dari Rumah Adat Suku Mamulak Numbei

Senin, 20 Juli 2020

 

 

Penimba Inspirasi Jalan Setapak

MZaq Numbei Chanell




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama