Anak Muda Mileneal Diharapkan Paham Tentang Sejarah G30S/PKI

Anak Muda Mileneal Diharapkan Paham Tentang Sejarah G30S/PKI

GENERASI MUDA PUNYA INDEPENDENSI MELIHAT TRAGEDI 1965

 

Film G30S/PKI Jadi Sarana Edukasi Generasi Muda     

GENERASI muda Indonesia harus jelas dalam memahami sejarah terkait Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Paling tidak generasi muda mau berpikir kritis melalui pembelajaran sejarah/PKn/IPS di sekolah, bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi dan melibatkan banyak pihak, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), TNI dan CIA.


Seperi telah diakui bangsa Indonesia bahwa paham komunis adalah bahaya laten (tersembunyi) sehingga tetap harus diwaspadai melalui penyadaran yang bisa dilakukan secara sistematis di sekolah ataupun orangtua di rumah.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia harus lebih diaplikasikan dalam praktik kehidupan masyarakat. Sehingga, tidak hanya terjebak pada verbalisme atau hanya sampai pada ucapan khususnya setiap hari Senin, saat upacara bendera di sekolah.

Implikasinya, generasi muda dapat betul-betul merasakan kehidupan yang dilandasi Pancasila, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pembiasaan gotong royong (sila 2 dan 5), kehidupan religius (sila 1), menjaga persatuan (sila ke-3), selalu bermusyawarah dalam mengambil keputusan (sila ke-4).

Pemahaman dan praktik Pancasila yang benar dan baik melalui pendidikan formal maupun informal, hal ini memiliki fungsi strategis terhadap pengaruh pihak-pihak tertentu yang berupaya menyebarkan paham komunis atau paham radikal lainnya.

Memang PKI secara hukum telah dihapus melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966. Namun waspada terhadap paham komunis itu harus, karena bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.

Pada jenjang SMP dan SMA perlu dijelaskan bahwa negara ini pernah mengalami kudeta berdarah. Namun dengan penelasan ada banyak pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut, seperti penjelasan di atas. Sedangkan pada jenjang SD, perlu penjelasan sesuai tingkat umurnya.

Misalnya telah terjadi upaya untuk mengganti ideologi negara dari Pancasila ke komumis. Tetapi intinya, kewaspadaan terhadap bahaya laten komunis tetap menjadi hal utama yang bisa dilakukan baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Namun sebenarnya bukan hanya komunis saja, tapi juga radikalisme dan narkoba.

Menghidupkan Pancasila di tengah-tengah masyarakat justru lebih penting lagi karena berdampak kuatnya ideologi Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, paham komunis akan dapat ditangkal dengan sendirinya. Paham laten komunis itu berupa pikiran, yang akhir-akhir ini muncul dalam wujud simbol-simbol, atau bahkan kegiatan yang cenderung menggiring ke paham itu.

Memahami tragedi nasional terkait G30S/PKI tidak perlu juga harus menonton film dengan judul yang sama. Mengingat film tersebut juga kurang pas ditonton oleh generasi anak-anak. Film tersebut penuh adegan kekerasan seperti penyiksaan dan pembunuhan.

Sehingga tidak pas dikonsumsi anak-anak. Menonton kekerasan di layar lebar atau di layar kaca justru bisa memunculkan sikap pada anak-anak  tidak memiliki empati.

Anak-anak kita adalah para pemimpin di negeri ini 10-20 tahun ke depan. Bisa dibayangkan betapa suram nasib bangsa ini bila nantinya, setelah memimpin negeri ini mereka tidak berempati terhadap persoalan kemanusiaan. Alangkah suramnya masa depan bangsa ini.

Peristiwa 1965 hingga kini masih misteri. Masih terdapat pro dan kontra mengenai peristiwa itu. Di negara demokrasi seperti Indonesia, setiap orang bisa saja melihat peristiwa itu dari berbagai prespektif. Namun, apapun prespektif dan pendapat kita mengenai peristiwa 1965 itu, tidak adil bila kemudian kita mengorbankan anak-anak yang nantinya akan menjadi pemimpin negeri ini di masa depan dengan tayangan yang penuh kekerasaan.

Politik itu memang asyik dan cenderung melenakan. Namun, se-asyik apapun politik tidak boleh menjadikan anak-anak sebagai tumbal nafsu politik orang-orang dewasa. Biarkan orang-orang dewasa berdebat mengenai peristiwa 1965.

Tapi jangan biarkan pikiran anak-anak dikotori dengan berbagai hal yang mempengaruhi psikologi anak, mengganggu perkembangan daya nalar, paham radikalisme, narkoba, hilangnya rasa empati, serta tindak kekerasan seperti adegan kekerasaan dalam tayangan film G30S/PKI.

Generasi Muda Berhak Atas Kebenaran Sejarah

Tepat bulan September, kira-kira 52 tahun silam. Awal sebuah kejayaan bagi beberapa oknum, sekaligus merupakan awal sebuah peristiwa pahit yang kini dikemas sebagai sejarah yang seolah sudah jelas akhirnya. Peristiwa September 1965, peristiwa pembantaian sadis terhadap kurang lebih 78 ribu jiwa.

September 1965 kerap dihubung-hubungkan dengan partai komunis Indonesia atau PKI sebagai dalangnya. Nama PKI begitu terdengar menyeramkan bagi masyarakat. PKI disebut-sebut sebagai


pemberontak, penghianat, dan harus dihapus dari tanah air tercinta. Ideologi komunis ditentang habis-habisan, disebut-sebut sebagai ideologi yang haram.

Pada umumnya, guru mata pelajaran sejarah mulai dari sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas tiap tahunnya memutarkan film dokumenter G30S/PKI. Tampak pada film dokumenter tersebut, beberapa orang anggota PKI dengan sadisnya menyiksa beberapa orang Jenderal dan melakukan pembabibutaan alih-alih untuk pemberontakan demi jatuhnya pemerintahan Soekarno. Apakah sejarah yang turun-temurun tersuap oleh anak bangsa adalah benar begitu adanya?

Kala itu, presiden kedua republik Indonesia Soeharto berhasil menjadi seorang pahlawan yang telah membubarkan PKI dan membuat masyarakat merasa sejahtera. 32 tahun menjabat, Soeharto memimpin tanah air dengan penuh ‘ketenangan’ di setiap penjuru.

Ketenangan yang amat bermakna, ‘tidak ada’ kritikan, ‘tidak ada’ berita-berita buruk. Beragam kejadian misterius kerap terjadi dan sampai saat ini belum jelas bagaimana nasibnya. Lebih baik diam, daripada berpendapat sebab dengan mengangkat aspirasi saja dapat menimbulkan hal yang mengancam keselamatan diri sendiri.

Beragam penculikan aktivis atau pengkritik pemerintah seperti suatu hal yang sengaja tak diacuhkan dan hilang kabarnya begitu saja. Soeharto menjadi presiden menggantikan jatuhnya rezim Soekarno. Soekarno disebut-sebut memberikan tahta kepemimpinannya atas pemerintahan Indonesia kepada Soeharto demi keteduhan politik.

Menurut Cornell Paper, yang merupakan salah satu sumber paling akurat mengenai pemahaman G-30-S/PKI, PKI memiliki hubungan baik dengan Uni Soviet, musuh terbesar Amerika Serikat yang kala itu sedang dalam perang dunia II.

Mereka berpendapat bahwa PKI mendapat banyak keuntungan dari sistem politik Presiden Soekarno yang ke kirian. Jadi, strategi terbaik mereka adalah mempertahankan Soekarno, ketimbang merusaknya. Mereka juga berkesimpulan bahwa G-30-S/PKI adalah masalah internal antara PKI dengan TNI Angkatan Darat.

Menurut mereka, ada beberapa kolonel pembangkang. Mereka memberontak terhadap para jenderal Angkatan Darat yang penuh kemewahan dan harta berlimpah di Jakarta. Namun, pada saat-saat terakhir, ada pihak yang memancing agar PKI terseret.  Sangat berlawanan dengan apa yang tertulis pada sejarah, bukan?

Kebenaran yang melibatkan Amerika Serikat, Soeharto, dan PKI ibarat sebuah harta paling berharga yang tersimpan amat rapih pada tempat paling rahasia hingga tiada satupun orang awam yang dapat mengetahuinya. Sebetulnya, apakah selama ini kita tertipu oleh bangsa sendiri? Namun, pertanyaan yang paling penting ialah, apakah sebenarnya kita peduli bahwa kita sedang tertipu?

Peristiwa 1965 memberikan dampak luar biasa pada keadaan Indonesia sampai hari ini. September 1965 tidak bisa menjadi sejarah yang terlupakan. Pramoedya Ananta Toer pernah berpendapat dalam perbincangannya bersama Andre Vltchek & Rossie Indira yang tertulis pada buku “Saya Terbakar Amarah Sendirian!” bahwa nasib bangsa Indonesia saat ini hanya bisa diubah oleh tangan generasi muda. Memang, generasi muda seharusnya memiliki peran penting terhadap keutuhan bangsa tanah airnya. Namun, bagaimana kabar generasi muda hari ini?

Buku adalah jendela jelajah dunia tanpa harus pergi keliling dunia. Maka, membaca tentunya adalah hal yang amat bermanfaat. UNESCO pada beberapa tahun silam membuat riset yang menghasilkan bahwa minat baca pada Negara Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara. Begitu rendahnya minat kita terhadap membaca, padahal membaca adalah hal mutlak demi kecerdasan suatu bangsa.

Semakin hari, perkembangan teknologi semakin pesat. Sosial media bukanlah hal yang awam bagi masyarakat terutama generasi muda millennial. Kemudahan berbagi status maupun foto dan video pada sosial media seakan membuat privasi seseorang menjadi tiada batasannya.

Sosial media membuat candu para penggunanya, sehari saja tidak membuka akun sosial media, rasanya sangat hampa. Gawai-gawai yang semakin lama semakin canggih, mulai dari harga paling terjangkau sampai seharga sepeda motor. Trend-trend kekinian yang merajalela, mempengaruhi gaya anak muda millennial dari gaya berpakaian, berbicara, hingga kesopanan.

G-30-S/PKI adalah hal yang sangat rumit, dan mungkin terdengar tidak menarik untuk generasi muda millennial Indonesia. Padahal, sesungguhnya bangsa yang besar ialah bangsa yang belajar dari sejarah bangsanya sendiri.

Penutup

Dalam studi khalayak, generasi milenial ini dikategorikan sebagai penonton yang aktif yang bisa memaknai pesan dari media secara bebas sesuai dengan latar belakang pengetahuan, politik, sosial, dan ekonominya. Konsep penonton yang aktif dicetuskan pertama kali oleh Stuart Hall sebagai antitesa dari teori jarum suntik yang sebaliknya percaya bahwa penonton selalu pasif dan mengiyakan pesan yang disampaikan media. Teori jarum suntik sempat ngetop di era propaganda tahun 1940-an. Di era internet dan keterbukaan informasi seperti sekarang ini, sepertinya susah memahami bahwa penonton adalah jiwa-jiwa yang pasif yang hanya mengiyakan pemberi pesan. Berangkat dengan asumsi bahwa generasi muda sekarang adalah penonton yang pintar, seharusnya kita tidak usah terlalu takut. Banyak aktivis menolak pemutaran film itu karena takut bakal menimbulkan trauma dan menghambat proses rehabilitasi dan rekonsiliasi yang diperjuangkan buat korban 1965.

Beragam buku-buku kiri telah beredar keberadaannya, bahkan kita bisa mendapatkannya secara during melalui gawai kita. Namun, jika dilihat dari tingkat minat membaca anak bangsa, berapa jumlah dari generasi muda millennial yang tertarik akan mencari kebenaran sejarah dari membaca? Berapa jumlah dari kita yang cemas akan nasib bangsa sendiri sehingga merasa wajib untuk membaca?

Generasi muda adalah harapan bangsa, kekuatan terbesar suatu bangsa. Sudah semestinya kita memperkokoh jati diri bangsa, terutama pada generasi muda. Generasi muda berhak atas kebenaran sejarah.

Generasi muda bukanlah musuh pemerintah yang harus dipaksa menelan kebohongan sejarah sebab masa depan bangsa ada di tangan generasi muda. Dengan membiasakan kegiatan membaca, itu sudah menjadi awalan bagus demi terciptanya bangsa yang berpikiran luas dan terbuka. Meskipun teknologi terus berkembang pesat, namun generasi muda harus bisa menjadikannya sebagai manfaat, bukan senjata boomerang yang dapat menerka tuannya sendiri.

 

Sumber Inspirasi:

https://news.detik.com/berita/d-3652147/film-g30spki-dipandang-perlu-untuk-generasi-muda

https://siedoo.com/berita-9835-pahamkan-generasi-muda-tentang-sejarah-g30s-pki/

https://geotimes.co.id/opini/generasi-muda-berhak-atas-kebenaran-sejarah/

https://radarkudus.jawapos.com/read/2019/10/02/158743/hartopo-nobar-film-g30spki-jadi-sarana-edukasi-generasi-muda

https://nasional.kompas.com/read/2017/10/02/10470531/belajar-mencerap-film-g30spki-ala-generasi-milenial?page=all

https://tirto.id/generasi-muda-punya-independensi-melihat-tragedi-1965-cxs1

 

 

 

 

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama