Manusia
Berpikir: Sang Petualang Pencari Pengetahuan
Khayalan
ganjil pernah muncul di benak seorang sahabat:
Apa yang bakal terjadi andaikata kesanggupan berpikir yang de facto sekarang ada pada manusia terdapat juga pada binatang? Atau sebaliknya, apa yang terjadi apabila kepada manusia tidak diberikan kesanggupan yang istimewa itu? Tentu tidak ada jawaban yang positif, yang pasti dan meyakinkan. Kalau saja binatang mempunyai otak yang sama dengan manusia tentu saja manusia tidak bisa mengklaim dirinya sebagai tuan atas segala-galanya. Manusia tidak mengatakan kepada dirinya sebagai satu-satunya makhluk yang berbudaya, karena binatang pasti mempunyai budayanya. Sebaliknya kepada manusia andaikan tidak diberikan kesanggupan istimewa untuk berpikir maka barangkali manusia sudah punah. Karena dengan kondisi biologisnya yang kurang menguntungkan ia akan sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan alam dan kalah bersaing dengan binatang-binatang. Dipandang dari segi biologis manusia adalah “makhluk yang berkekurangan”. Tangan, kaki, moncongh, sayap, kulit, mata pada binatang lebih cepat berfungsi dengan sangat terampil dibandingkan dengan manusia membutuhkan waktu yang panjan. Untuk bisa terbang, seekor anak burung hanya membutuhkan waktu beberapa minggu saja. Sedangkan seorang anak membutuhkan waktu berminggu-minggu dan berbulan-bulan agar bisa berdiri dan mulai berjalan.
Kayalan
ini walaupun absurd tetapi berguna untuk mengingatkan kita tentang hakikat
manusia seperti yang sudah dikatakan Aristoteles atau seperti yang dialami
setiap hari. Aristoteles memberikan definisi manusia sebagai binatang yang berbudi. Kesanggupan berpikir
diangkat sebagai hakikat yang paling manusiawi sekaligus yang paling membedakan
manusia dari binatang. Memang benar bahwa ada beberapa jenis tingkah laku yang
terjadi dalam tingkah laku berpikir pada manusia terdapat juga pada binatang,
terutama binatang vertebrata. Tetapi manusia sudah mengembangkannya sedemikian
maju sehingga terdapat jurang yang begitu lebar antara manusia dan binatang
yang paling “pintar” sekalipun.
Sejarah
manusia ditandai dengan perubahan peradaban. Betapa pesatnya perkembangan
manusia dari zaman ke zaman. Peradaban manusia merupakan manifestasi
pengetahuan manusia yang adalah produk pikirannya. Manusia mengenal realita
hidupnya, lalu berusaha memahaminya serta menghayatinya secara lebih sempurna.
Dari menyemat daun untuk menutup tubuh sekadarnya hingga berpakaian gemerlap
yang bernilai jutaan rupiah. Dari pengalaman bernaung di bawah gua-gua gelap
hingga menghuni gedung-gedung pencakar langit. Berawal dari budaya batu dan
tiba untuk sementara pada budaya komputer dan gadget. Semakin tinggi peradaban,
manusia semakin lebar jurang perbedaan manusia dengan binatang dan semakin
nyata kebenaran definisi Aristoteles di atas.
Manusia Sanggup Mengenal dan Bisa
Mengerti
Berpikir
pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Pengetahuan
di sini dilihat dalam pengertian yang luas. Pengertian kita tidak terbatas pada
pengetahuan ilmiah. Semua orang (bahkan binatang) memiliki pengetahuan,
walaupun jumlah dan bobotnya berbeda-beda. Pengetahuan merupakan suatu kekayaan
dan kesempurnaan bagi yang mempunyainya. Melalui pengetahuan, binatang dinilai
lebih tinggi dari tumbuh-tumbuhan. Manusia oleh kesanggupannya untuk mengatasi
segala-galanya lebih tinggi dari binatang. Dalam kalangan manusia itu sendiri
ada perbedaan antara orang yang berpengetahuan banyak dengan yang memiliki
wawasan berpikir sedikit. Dengan pengetahuannya manusia mempunyai peluang
juntuk berprestasi lebih baik. Pengetahuan itu tersendiri merupakan suatu nilai
yang menyempurnakan subjek. Berpikir sebagai proses membuahkan pengetahuan
merupakan suatu rangkaian gerakan pikiran yang terjadi pada manusia berakal
budi. Bergerak dari yang kabur kepada yang jelas, dari yang sederhana kepada
yang lebih kompleks. Gerakan ini merupakan gerakan mengenal pada manusia. Pada
manusia ada kesanggupan mengenal apa saja. Kesanggupan ini berlangsung
sepanjang umur hidup manusia. Dengan kesanggupan ini manusia menjadi pencari
pengetahuan yang tanpa henti. Manusia menjadi makhluk yang senantiasa bertanya.
Sifat ingini tahunya tidak terbatas dan tidak pernah puas dengan
jawaban-jawaban yang sudah diperolehnya. Manusia menjadi makhluk yang terbuka
kepada realitas agar realitas berelasi dengannya.
Manusia
mempunyai kesanggupan untuk mengenal segala hal baik yang ada terhadap dirinya
maupun yang ada di dalam dirinya. Mengenal realitas berarti manusia tahu bahwa
realitas itu ada. Tidak semua realitas yang dikenalnya dapat dijelaskan
“mengapa dan untuk apa realitas itu berada?” Dengan kata lain, tidak semua yang
manusia kenal manusia dapat mengerti dan memahaminya. Hanya sedikit dari yang
ia kenali bisa dimengerti dan dipahaminya. Mengerti suatu realitas berarti tahu mengapa realitas itu berada. Kita coba
cari contoh yang dapat menjelaskan bahwa mengenal realitas belum berarti juga
sudah mengerti realitas. Seorang anak kecil mengenal adanya kalender yang tergantung
pada dinding, sebuah weker kecil di atas meja, tetapi tidak mengerti untuk apa
semuanya itu. Basnyak hal di dunia ini walaupun kita mengenalnya namun kita
tidak bisa mengertinya. Terhadap semuanya itu kita mengambil sikap percaya akan
adanya sebab yang belum kita pahami dan mengertinya.
Mengerti
realitas merupakan kekhasan pengetahuan manusiawi yang membedakannya dengan
pengetahuan binatang dan sekaligus membedakan pengetahuan manusia yang satu
dengan manusia yang lain. Seorang anak murid Sekolah Dasar Kelas I dan seorang
sarjana matematika sama-sama mengatahui bahwa hasil penjumlahan dua dan tiga
adalah k5. Akan tetapi itu tidak berarti bobot pengetahuan mereka sama persis.
Pengetahuan murid itu lebih bersifat satu ingatan atau hafalan tanpa terlebih
jauh memahaminya. Ia tidak dapat menjelaskan apa sebab 2 + 3 = 5. Sedangkan
seorang sarjana dengan kesanggupan abstraksi matematisnya memahami lebih jauh.
Jalan Sampai Pada Pengetahuan
Bagaimana
manusia bisa sampai pada mengenal realitas? Apa saja sarana yang manusia
miliki? Pengalaman merupakan permulaan dan dasar pengetahuan manusia. Melalui
pengalamannya manusia memperoleh bahan, isi dan objek pengetahuannya. Ada
bermacam-macam pengalaman manusia: pengalaman relegius, puitis, ilmiah dan
lain-lain. Namun pengalaman indrawi merupakan pengalaman yang paling umum dan
sederhana. Dikatakan demikian karena ia dialami setiap hari oleh semua orang
baik tua maupun muda , berpendidikan maupun orang awam. Semua manusia yang
sehat tidak pernah keliru menangkap objek lewat indranya.
Dengan
indranya manusia dapat mencapai secara langsung kenyataan-kenyataan yang
mengelilingi dirinya. Hal ini terjadi karena dalam proses sensasi manusia
seolah-olah ditarik keluar dari dirinya untuk mengadakan perhubungan dengan
objek yang dihadapinya. Lewat sensasi kesadaran kita membuka diri kita kepada
dunia sekitar. Melalui indra maka batu, kayu, rumput, orang lain, panas,
dingin, pahit menjadi ada terhadap kita. Jadi sensasi sebenarnya merupakan
kehadiran timbal balik dari dunia dan manusia melalui mana manusia mengalami
dan menerimanya dan dunia menampakan diri secara aktif.
Bagaimana
sifat pengetahuan indrawi ini? Hingga pada tahap indrawi pengetahuan manusia
tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada binatang. Objek dan isi pengetahuan
yang dicapai masih bersifat konkret, individual, material. Yang kita tangkap
dan kita kenal masih merupakan objek tertentu, satu demi satu. Dengan melihat
kita dapat mengenal adanya si A, rumah itu, kursi yang ini, dan lain-lain.
Indra tidak dapat mengenal dan menangkap kodrat dari objek yang ia kenali.
Dengan indra saja kita tidak sanggup mengerti mengapa yang lain itu berada.
Karena bertolak dari pengetahuan indrawi, manusia dengan kesanggupan
intelegensinya menangkap ciri khas yng sama dalam beberapa objek individual
tertentu. Inilah yang dinamakan kesanggupan abstrakasi.
Kesanggupan
abstraksi adalah kesanggupan yang khas manusiawi. Abstraksi merupakan satu
gerakan pikiran yang terjadi dari bayangan, gambar konkret kepad pengertian
yang mengatasi bayang konkret. Menurut Piaget, abstraksi merupakan proses untuk
mengembangkan secara konstruktif sebuah konsep melalui generalisasi, pemisahan
dan idealisasi di mana objek-objek nyata atau relasi-relasinya dikembangkan
dalam suatu pola klasifikasi atau konsep berdasarkan ciri-ciri umum dari
objek-objek atau tindakan-tindakan. Kalau melalui sensasi yang dicapai hanya
segi-segi materiil, yang konkret individual, maka dalam abstraksi manusia
menangkap, menyimpan struktur essensial, ciri umum kelompok individu. Lewat
sensasi terbentu dalam ingatan kita orang-orang tertentu seperti nama Feby,
Veny, Jo, Ria. Ersy, Martin, Dev dan lain-lain. Da;lam tingkat abstraksi unsur
individual ditanggalkan dan yang ditangkap adalah ciri umum bahwa mereka semua
adalah manusia.
Melalui
abstraksi manusia mencapai pengetahuan yang bersifat universal dan seharusnya.
Pengetahuan ini tida lagi terikat pada waktu dan tempat tetapi berlaku kapan
dan dimana saja. Sifatnya yang demikian menjadi dasar pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan yang dicapai melalui pengalaman indrawi masih bersifat partikular
dan sementara. Ilmu tidak bermaksud mendaftar objek demi objek atau peristiwa
demi peristiwa. Ilmu membatasi diri pada hal asasi dan bertujuan mengerti
mengapa hal itu terjadi. Ilmu berguna sejauh mampu merumuskan hukum-hukum yang
bersifat umum dan seharusnya sehingga bisa dipakai di segala tempat dan waktu.
Pengetahuan
yang dicapai lewat sensasi dan abstraksi selanjutnya dibuat verifikasi. Manusia
berusaha menimbang lalu menyelidikinya, membanding dan menilainya. Gerakan ini
pada pokoknya mengikuti dua pola dasar yakni induksi dan deduksi. Induksi
apabila bergerak dari sebab kepada akibat, dari yang umum kepada yang khusus.
Berpikir: Suatu Panggilan Seumur
Hidup
Karena
ia manusia maka ia berpikir dan karena ia berpikir maka dia adalah manusia.
Dari satu pihak berpikir merupakan satu kenyataan kesanggupan yang ada pada
manusia karena ia adalah manusia. Dengan demikian berpikir adalah satu
pemberian istimewa yang didapat oleh setiap individu. Di lain pihak berpikir
merupakan suatu tugas untuk menjadikan manusia semakin manusiawi. Dengan
mengembangkan daya berpikir manusia membedakan diri dari binatang.
Kenyataan
akan kesanggupan berpikir merupakan satu yang bersifat umum bagi manusia. Dapat
dikatakan bahwa berpikir merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada
diskriminasi apa pun dalam kegiatan
berpikir. Bakat berpikir sudah ada sejak manusia itu lahir dan berlangsung
terus hiingga ia mati. Inilah hiburan besar bagi manusia bahwa walaupun dalam
banyak hal mereka tidak memiliki hak yang sama, tetapi dalam soal inti
kemanusiaanya secara sangat individual mereka mempunyai hak yang sama atas
bakat yang paling manusiawi.
Berpikir
sebagai satu pemberian merupakan satu kenyataan itimewa. Ia tidak ada pada diri
pribadi sebagai harta benda. Tidak bisa dibandingkan dengan pakaian, emas,
mobil dan lain-lain. Setiap harta benda kalau semakin digunakan semakin ia
berkembang. Pikiran manusia tidak pernah beku, tidak pernah tertutup atau
selesai. Jawaban atas satu persoalan menjadi dasar untuk persoalan yang lebih
baru. Pikiran manusia selalu memuncak dalam arus gerak tanpa henti. Setiap kali
berpikir, pikiran itu sanggup membentuk dan menyempurnakan dirinya. Berpikir tentang
masalah yang sama tidak berarti satu pengulangan tanpa pengembangan dan
pengayaan. Dalam arus berpikir ulang tentang masalah yang sama memberi jaminan
pengertian yang lebih luas dan lebih mendalam.
Meskipun
kesanggupan berpikir merupakan sesuatu yang manusiawi, namun tidak berarti kesanggupan
itu akan secara spontan dan otomatis berkembang dalam diri setiap manusia. Berpikir
sebagai satu pemberian istimewa mengandaikan juga tanggung jawab aktif setiap
pribadi untuk mengembanghkan dan menyempurnakannya. Ada beberapa syarat yang
diandaikan agar kemampuan berpikir dapat terwujud. Memenuhi syarat ini
merupakan tanggung jawab dalam tugas manusia baik sebagai individu maupun
sebagai masyarakat.
Dalam
kegiatan berpikir dibutuhkan dari setiap individu satu kesabaran. Karena kesanggupan
berpikir kita tidak pernah memahami
secara sempurna segala realitas seketika. Hanya dalamm satu proses yang panjang
kesanggupan berpikir kita makin lama semakin maju memahami realitas. Di samping
kesabaran dibutuhkan kehendak, keyakinan dan keberanian. Sangat langka terjadi
bahwa orang mengerti objek secara spontan. Orang mengenal dan mengerti apa yang
dikenal dan dimengerti. Semua manusia mempunyai mata yang sama tetapi tidak
berarti mempunyai pengetahuan yang sama. Kepada para mahasiswa, seorang dosen
logika pernah menasihatkan: “berpikir biasanya tidak gampang dan tidak enak
bagi manusia yang selalu mau bertindak secara spontan, mengikuti kecenderungan
badannya, cari yang gampang atau instan. Berpikir menuntut satu usaha, effort
dari pihak kehendak yang bersedia melayani intelek dan menguasai
kecenderungan-kecenderungan perasaan.
Berpikir
juga mengandaikan kerja sama dengan orang lain. Sebagian besar pengetahuan yang
dimiliki seseorang pada awalnya merupakan dapatan dari orang lain. Orang lain
memberi informasi, membimbing dan mendorong agar ia sanggup berpiki. Bantuan dan
kerja sama ini paling bisa dilakukan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dalam
kegiatan yang demikian masing-masing pihak sebaiknya menyelami kata-kata
seorang filsuf besar Jerman, Emmanuel Kant, kepada murid-muridnya: “Kamu tidak
akan belajar dari saya filsafat, tetapi bagaimana berfilsafat. Bukan
pikiran-pikiran untuk diulang melainkan bagaimana untuk berpikir. Berpikirlah sendiri,
carilah sendiri, berdirilah di atas kaki sendiri”
Penutup
Manusia
berpikir dari saat ke saat, sejak ia dilahirkan hingga masuk ke liang kubur. Ia
berpikir setiap kali ia menghadapi masalah. Ia berpikir untuk menemukan jalan
penyelesaian, entah dengan menghindari atau mengadaptasikan dirinya. Lebih dari
itu dalam pengalaman setiap hari manusia bukan saja menghadapi masalah yang
sudah ada melainkan menciptakan masalah, mempersoalkannya, mempertanyakannya
serta menjelaskannya. Dalam setiap kesibukan ini manusia selalu berpikir. Dari pengalaman
itu ia belajar banyak, mengenal banyak dan mengerti banyak.
Semakin
seseorang mengetahui banyak hal, semakin ia mengerti dengan benar dan mendalam
maka ia membangun di dalam dirinya keinginan untuk mempunyai cara berpikir yang
luas dan memiliki wawasan pengetahuan yang komprehensif. Piaget seorang
psikolog terkenal sampai akhir hayat hidupnya tetap ingin menjadi “seorang anak”.
Karena ia menganggap masa kanak-kanak sebagai tahap kreatif yang paling utama. Tahap
ini ditandai oleh keterbukaan kreatif, rasa kagum yang tak terbatas, dan
petualangan dari rasa ingin tahu. Seorang anak selalu membuka lagi jalannya
sendiri secara baru dan harus menemukan isi hidupnya.