Etika Sosial Kehidupan Masyarakat Kampung Numbei- Kabupaten Malaka,Timor

Etika Sosial Kehidupan Masyarakat Kampung Numbei- Kabupaten Malaka,Timor

ETIKA SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG NUMBEI,

KABUPATEN MALAKA-TIMOR

(Oleh: Frederick Mzaq)





1.      Pendahuluan

Apa itu filsafat? Perihal persoalan ini, banyak orang mungkin juga termasuk para mahasiswa filsafat memiliki pemahaman bahwa filsafat adalah sebuah pengetahuan yang sistematik, metodik, dan koheren mengenai seluruh realitas dari seginya yang paling mendalam sebagaimana diajarkan di bangku-bangku kuliah.

Pemahaman tentang filsafat di atas memang benar, namun tidak mutlak. Dalam arti lain, filsafat dipandang sebagai kebijaksanaan dan pandangan hidup. Lebih dari itu filsafat berusaha melihat implikasi-implikasi dari kebijaksanaan dan pandangan hidup, dalam kaitannya dengan  masalah-masalah kemanusiaan.

Ema (orang) Numbei dalam realitas hidupnya juga memiliki pandangan hidup yang menyimpan nilai-nilai moral, psikologis, kognitif, kultural, sosial dan religius. Dalam tulisan ini,  penulis mengangkat pandangan hidup Neon Ida, Laran Ida dan mencoba mengais nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya.

 

2.      Selayang Pandang Kampung Numbei

Dari segi rasial, ema Numbei adalah sebutan untuk orang yang tinggal di kampung Numbei atau yang berasal dari Kampung Numbei. Kampung Numbei merupakan salah satu kampung yang berada di wilayah kabupaten Malaka. Kampung Numbei ini juga merupakan sebuah dusun dari wilayah Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Dari segi linguistik, ema Numbei berkomunikasi menggunakan bahasa Tetun Terik atau Tetun Fehan. Bahasa Tetun atau Lia Tetun merupakan salah satu asset budaya bangsa yang ada pada masyarakat Numbei, yang kian hari terasa semakin didesak oleh bahasa lain yang datang dari luar.

Dari segi kesukuan, ada beberapa suku di Kampung Numbei yakni Suku Mamulak, Mota Ibun, Uma Klaran (Taromi), Tahu Atok, Uma Bot (Naisore) dan beberapa suku kecil lainnya. Suku-suku ini merupakan suku asli yang sudah lama mendiami wilayah kampung Numbei dengan pusat kerajaannya di Kampung Builaran, Desa Builaran, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka yakni kerajaan Liurai Fatuaruin (Builaran).

 

3.      Filsafat Hidup “Neon Ida Laran Ida

3.1.  Esensi

Secara etimologis, ungkapan Neon Ida, Laran Ida berasal dari dari kata Neon berarti pikiran, akal, batin, budi. Laran berarti hati atau jiwa. Sedangkan ida berarti satu atau tunggal. Secara harafiah ungkpan Neon Ida, Laran Ida berarti sehati-sepikiran atau sehati-sejiwa.

Secara realis, Neon Ida Laran Ida selalu menunjuk pada etika sosial yang dimiliki oleh masyarakat kampung Numbei, yaitu prinsip keterbukaan, kasih mengasihi, harga-menghargai di antara sesama manusia. Filsafat tradisional ema Numbei ini pada hakikatnya mengungkapkan kasih persaudaraan, persatuan dan integrasi yang kokoh di dalam komunikasi keluarga, suku dan masyarakat. Selain itu, term teknis ini menyiratkan suatu ikatan lahir batin yang kuat dan ikatan persaudaraan yang dilandasi oleh perasaan senasib-seperjuangan. Lewat filsafat hidup ini, ema Numbei berusaha mengekspresikan pengalaman hidup bersama mereka, yakni peka terhadap kebutuhan serta tanggap terhadap situasi dan kondisi sesama. Di sini, aspek kolegialitas lebih ditonjolkan ketimbang aspek personalitas. Istilah orang Numbei tentang hal ini:  habusik ba, ita ne ida dei (biar bagaimanapun juga, kita ini tetap satu).

Secara legendaris, filsafat hidup Neon Ida Laran Ida dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran akan pentingnya kerja sama dan tanggung jawab moral untuk mempertahankan kelanggengan hidup komunitas suku dan masyarakat.

 

3.2.      Tuntutan daan Pengandaian

Realitas filsafat hidup Neon Ida Laran Ida mengandaikan atau menuntut adanya kondisi-kondisi pendukung tertentu. Kondisi-kondisi ini juga disebut sebagai prasyarat-prasyarat mutlak demi terpenuhnya nuansa Neon Ida Laran Ida. Adapun kondisi-kondisi itu sebagai berikut:

 

3.2.1.      Relasi kekerabatan yang intim

Terminology bahasa Tetun yang sering digunakan untuk menyebut adanya relasi kekerabatan dalam kehidupan bersama adalah feto-nan atau nan-feton. Secara harafiah, term ini berarti “kakak adik atau saudara/i”. Namun term ini kemudian mengalami perluasan makna menjadi sebuah term teknis untuk menyebut relasi kekerabatan yang intim dalam kehidupan bersama. Dalam term ini, terkandung nilai kekerabatan yang jauh melintasi tapal batas hokum, jenis kelamin, status social dan lain-lain.

Atas dasar ini, term feto-nan atau nan-feton dipandang sebagai unsur yang paling hakiki dalam menentukan visi dan perspektif hidup bersama. Dalam kedudukannya, term ini dipandang sebagai dasar dan jiwa bagi setiap interaksi social. Dengan demikian, nan-feton atau feto-nan  menjadi term elementer untuk mengungkapkan relasi kekerabatan yang apik dalam kehidupan ema Numbei.

 

3.2.2.      Keikhlasan tanpa kedok

Dalam upaya mencapai ideal Neon Ida Laran Ida, setiap ema Numbei diharapkan untuk memiliki sebuah hati yang ikhlas tanpa ada “:udang di balik batu”. Keikhlasan yang dimaksud, mengarah pada suasana batin yang peka terhadap situasi dan kondisi serta kebutuhan sesama. Dalam persepektif ini, setiap fungsi dan peranan selalu mesti mengarah pada upaya konsilidasi perdamaian, dan integrasi komunitas suku dan


masyarakat, tanpa menuntut imbalan atau balas budi. Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap ema Numbei yang memiliki status dan kedudukan social tertentu dalam masyarakat, hendaknya menaati hak dan kewajibannya, sebab secara psikologis dan moril status itu mengikat, dalam arti mesti dilaksanakan demi integrasi dan kesatuan tatanan komunitas suku dan masyarakat.

 

3.2.3.      Saling percaya dan terbuka satu sama lain

Relasi social ema Numbei hendaknya dibangun di atas dasar saling percayta dan saling terbuka. Untuk itu, mesti ada komunikasi interpersonal yang efektif di antara satu sama lain. Istilah ema Numbei fiar ba malu (saling percaya) yakni saling mengikat hati yang menujukkan tingginya nilai keterbukaan dan saling percaya di antara satu sama lain seyogyanya selalu dipegang teguh, demi terwujudnya hidup Neon Ida Laran Ida.

 

3.3.      Wujud dan Relalisasi

Perwujudan prinsip hidup Neon ida Laran ida dalam realitas hidup ema Numbei biasanya tampak dalam praksis hidup bersama yang padu. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh realisasi atau wujud praksis Neon Ida Laran Ida.

3.3.1.      Gotong royong (hakawak malu)

Para antropolog mencirikan masyarakat pedesaaan sebagai pemilik sosialitas. Ciri ini melekat erat dalam diri masyarakat pedesaan yang sering diungkapkan lewat pelbagai kegiatan dan praksis hidup. Koentjaraningrat mencontohkan bahwa masyarakat pedesaan di wilayah Jawa sering mengungkapkan sosialitas mereka lewat kegiatan bersama yang dinamakan gotong royong dalam aktivitas bercocok tanam di sawah dan di ladang.

Contoh di atas rasanya tidak jauh berbeda dengan praksis hidup ema Numbei yang berlandaskan filsafat hidup Neon Ida Laran Ida, dalam realitas hidup ema Numbei,


prinsip gotong royong (hakawak) sedemikian meresapi hidup mereka sehingga tidak memungkinkan adanya tempat bagi berkembangnya egoisme dalam diri mereka. Lebih jauh ema Numbei melihat prinsip hakawak malu sebagai suatu sarana yang harus ditempuh dan dipegang  untuk menangai setiap aktivitas mereka dalam kehidupan sosialnya. Hakawak malu sebagai wujud adanya sehati sepikiran, sering mendorong anggotas suku dan masyarakat untuk secara spontan turut berpartisipasi dalam meringankan beban anggota masyarakat tanpa pamrih apapun.

Fenomena hakawak malu sangat tampak pada momen-momen seperti panen hasil jagung, aktivitas membangun rumah adat ataupun rumah salah satu anggota masyarakat, dan momen kematian. Dalam aktivitas panen hasil kebun misalnya, partisipasi aktif anggota masyarakat yang lain bukan menjadi persoalan, bila mereka telah diberitahu terlebih dahulu. Biasanya dalam acara seperti ini, pemilik kebun Cuma menyediakan makan bersama dengan lauk ala kadarnya sebagai tanda ucapan terima kasihnya atas bantuan anggota masyarkat yang lainnya. Walaupun akhirnya setiap pekerjaan hanya memperoleh “imbalan” yang tidak seberapa, namun hal itu bukanlah yang terpenting. Yang terpenting adalah bagaimana mereka telah berpartisipasi dalam kegiatan hakawak malu tadi. Bagi ema Numbei, ketidakhadiran (tidak berpartisipasi) dalam kegiatan hakawak adalah sebuah kekurangan yang pelru disesali. Alasannya, secara psikologis dan moril mereka telah dipersatukan dalam suatu ikatan Neon Ida Laran Ida.

 

3.3.2.      Saling membantu (tulun malu)

Kalau kita melihat distingsi gontong royong dan saling membantu dalam perspektif Bahasa Indonesia, mungkin hal ini tidak terlalu tampak. Namun dari sudut pandang (perspektif) bahasa Tetun, antara kata “saling membantu” (tulun malu) dan Gotong royong (hakawak) ada perbedaan dalam hal aksentuasinya. Hakawak lebih menunjuk pada faktor kerja sama dan karena itu, yang dibutuhkan di sini adalah tenaga. Sedangkan tulun malu menunjuk pada panggilan untuk menolong sesame dalam bentuk tenaga dan materi.

Tulun malu adalah prinsip hidup yang dimiliki oleh ema Numbei dalam melaksanakan aktivitas tertentu. Tulun malu mengarah pada pengertian bahu-membahu, saling membantu menangani aktivitas tertentu, termasuk di dalamnya soal persiapan. Misalnya, dalam aktivitas pembangunan rumah adat, praksi tulun malu tampak dalam kesiapan diri seseorang untuk juga turut  menanggung sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan pembangunan nanti. Dalam hal ini, mungkin ada yang membantu dengan menyediakan perlengkapan pembangunan rumah adat, misalnya daun gewang, tiang, mirplat, paku dan sebagainya. Sementara di kalangan kaum perempuan, ada pembagian tugas, misalnya ada sekelompok orang yang menangani minuman, ada yang menangani makanan, dan sebagainya.

Semua upaya di atas merupakan ungkapan salingh membantu (tulun malu) dalam praksis hidup ema Numbei.  Praksis-praksis hidup sebagaimana dijelaskan di atas menjadi bagian dari ema Numbei, yang bias juga disebut sebagai kekayaan tradisional ema Numbei. Dan ini merupakan wujud dari penghayatan falsafah hidup Neon Ida Laran Ida.

 

4.      Penutup

Demikian sedikit uraian mengenai filsafat hidup ema Numbei, Neon Ida Laran Ida (sehati-sepikiran atau sehati-sejiwa). Dari uraian singkat ini, kita mengetahui bahwa ema Numbei sejak dulu hingga sekarang memiliki filsafat hidup yang kaya makna dan nilai. Filsafat hidup Neon Ida Laran Ida  yang menjadi focus pembahasan dalam tulisan ini, misalnya menyimpan cukup banyak nilai di antaranya nilai moral, psikologgis dan cultural.

Atas dasar ini maka ema Numbei bisa disamakan dengan orang Yunani dengan filsafat sistematik-metodiknya. Jadi benarlah kalau manusia digelari homo philosophicus.

 

 

 

KEPUSTAKAAN

 

Koentjaraningrat, kebudayaan Mentalitas dan pembangunan. Jakarta: Gramedia. 1985

 

______________ Masyarakat Desa Indonesia Masa Kini. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1964

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama