BENARKAH NENEK MOYANG KAMI MENYEMBAH BERHALA?
(Oleh:
Frederick Mzaq)
I.
Pendahuluan
Tak dapat disangkal bahwa kita
pernah hidup dalam suatu zaman yang memandang rendah falsafah hidup di
kampung-kampung kita. Dan saya kira pandangan semacam ini, sadar atau tidak, masih
dianut sebagian orang di zaman ini. Karena telah mengenyam pendidikan formal,
lalu ada yang menganggap banyak hal yang sebenarnyua merupakan buah pemikiran
filosfis mendalam dari nenek moyang kita sejak berabad-abad lampau sebagai
pikiran yang telah ketinggalan zaman.
Banyak orang akan menolah untuk
berdiskusi tentang kebudayaan asli di kampung-kampung kita. Orang seakan merasa
berdosa berbicara tentang ritus-ritus nenek moyang kita yang sering mereka
lakukan di bawah pohon-pohon besar dan berbagai tempat lainnya. Kalau membicarakan
hal ini orang menganggapnya sebagai suatu penyembahan berhala. Hal ini dianggap
sebagai dualisme kepercayaan. Orang merasa bahwa perbuatan ini adalah tanda
tidak sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan. Itu ungkapan kepercayaan yang
sia-sia.
Nenek moyang kita dianggap sebagai
penyembah berhala atau kafir. Tragisnya mereka dianggap tidak beragama. Pendapat
ini didasarkan hanya ketika mereka melihat nenek moyang kita membakar dan
mengorbankan hewan serta mereciki darahnya di bawah sebuah pohon. Rupaya orang-orang
ini tidak melihat nilai lain yang ada di balik ritus ini. Coba buktikan bahwa
nenek moyang kami tidak beragama! Apakah nenek moyang kami menyembah pohon
sebagai Tuhan?
Masih segar dalam ingatan kita
ketika kebudayaan asli kita direndahkan, dianggap sebagai kebudayaan kolot,
belum maju dan ketinggalan zaman. Akibatnya banyak orang yang mencari suatu
kebudayaan, yang katanya, moderen, keren dan maju sesuai dengan perkembangan zaman.
Tetapi apa yang terjadi? Di kemudian hari orang moderen menganggap agama tidak
punya arti dan tidak relevan dengan zaman sekarang. Agama hanya dianggap
sebagai suatu fenomena dari berbagai fenomena budaya lainnya. Orang-orang
moderen bahkan menggangap agama sebagai poenghalang kebebasan manusia. Manusia dihalang-halangi
dalam mengungkapkan dirinya dengan adanya berbagai perintah dan larangan agama,
demikian kata Nietzsche. Dan orang moderen bersikap; anti religius. Hal ini
sangat bertentangan dengan agama asli dalam kebudayaan primal yang melihat
agama sebagai bagian utuh dan merupakan mahkota seluruh dimensi kehidupan
manusia.
II.
Masa lalu Yang Patut Disesali
Masa telah lampau patut disesali
karena pernah terjadi kebudayaan asli dianggap sebagai sesuatu yang kafir
(Kirchberger & Prior (eds.), 1996: 5). Nenek moyang kita dianggap menyembah
berhala. Ritus-ritus agama asli dilihat sebagai perbuatan sia-sia dan tidak
berguna. Malah agama asli dilihat sebagai idol yang sangat berbahaya terhadap
keselamatan dan sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan. Dan agama Katolik
melihat dirinya sebagai satu-satunya yang paling benar. Karena itu gereja
pernah punya rencana supaya kebudayaan-kebudayaan yang dianggap arkais ini
harus dilenyapkan dari muka bumi. Berdasarkan kisah masa lampau, para
misionaris pernah memberikan seruan untuk tidak melakukan ritus-ritus upacara
adat. Bahkan ada kisah pembakaran rumah adat dan tempat-tempat yang dianggap
keramat.
Para misionaris akhirnya menyerah. Mereka
dipaksa untuk berusaha dengan cara lain. Yang menarik bahwa pada akhirnya para
misionaris ini melihat sesuatu yang lebih pada kebudayaan ini. Dengan susah
payah mereka datang dan berusaha masuk serta mengenal lebih mendalam tentang
kebudayaan asli masyarakat, tempat mereka bermisi. Mereka belajar bahasa daerah
dengan segala macam adat istiadatnya. Kultur Eropa yang sering mereka
agung-agungkan ditanggalkan.
Hasilnya? Sangat mengejutkan!
Kebudayaan yang selama ini mereka anggap sebagai kebudayaan yang sangat
primitif (banyak antropolog tidak suka menggunakan kata primitif ini. Sekarang lebih
sering digunakan kata “asli” sebagai satu bentuk penghargaan kekhasannya) dan
arkais ternyata menyimpan keagungan yang sangat dahsyat. Di dalam kesederhanaan
mereka terependam khazanah nilai hidup dan kerohanian yang mendalam. Mereka percaya
bahwa seluruh hidup mereka harus dihayati selaras dengan tuntutan sang “Wujud
Tertinggi”, bahwa di dalam kosmos yang misterius ini, Allah benar-benar ada. Para
misionaris ternyata menemukan nilai-nilai ajaran yang justru sesuai dengan
ajaran kristen yang hendak mereka wartakan (Borneman, 1993:537)
Di sini terpaksa para misionaris
harus mengakui dengan rendah hati bahwa mereka pernah memiliki prasangka dan
dugaan yang keliru terhadap kebudayaan ini. Namun, kekeliruan ini tidak boleh
digeneralisasi kepada semua misionaris, karena ternyata dari mereka ada banyak
orang yang sungguh-sungguh menjadi “orang setempat”.
III.
Asal-Muasal Kekeliruan
Pertanyaaannya, mengapa falsafah hidup dan kebudayaan asli kita dianggap sebagai sesuatu yang sangat rendah dan tidak berguan dalam jangka waktu lampau? Gagasan ini bermula dari para profesor di Eropa yang kerjanya hanya tahu duduk di balik meja dan menilai segala sesuatu tanpa pernah langsung merasakannya di lapangan.
Ratusan tahun yang lalu, ketika alat-alat transportasi belum semaju sekarang, yang bisa melanglang buana ke seluruh buana ke seluruh dunia hanyalah para misionaris. Dari tanah misi para misionaris melaporkan banyak hal baru dan aneh yang mereka temukan kepada profesornya di Eropa. Para profesor ini menganalisis secara asal-asalan berbagai temuan itu lalu membuat proposisi secara gegabah, tanpa suatu hidpotesis, bahwa semua hal menunjukkan perbuatan idolatria (penyembahan berhala). Hal ini bisa dimengerti karena ketika itu, konsep Eropasentris sangat berpengaruh. Orang mengukur segala sesuatu berdasarkan kadar kebudayaan Eropa. Konsep inipun sangat kuat dalam Gereja. Akibatnya para misionaris datang dengan konsep bahwa segala sesutu yang non Eropa adalah rendah dan terbelakang.
Mungkin tidaklah berlebihan yang dikatakan oleh seorang Afrika, Takatso Mofokeng, bahwa para leluhur orang Kristen berkulit putih sekarang ini mempergunakan Alkitab untuk membenarkan superioritas mereka atas orang-orang Kristen berkulit non putih. (Mofokeng, 1998:24). Dan hampir semua tempat, Alkitab disampaikan dalam kemitraan kolonial dan para misionaris. Namun jangan dilupakan bahwa di antara kedua kelompok ini sering terjadi ketegangan pada berbagai titik dalam sejarah (Fernandes, 2000: 12). Dan karenanya sering terjadi bahwa orang Kristen Asia dicap sebagai kaki tangan para kolonial.
Konsep Eropasentris ini sedemikian kuat sehingga Gereja pun dipengaruhi konsep ini. Konsep ini bukan hanya terjadi di Amerika, melainkan terjadi juga di Asia, Afrika, dan Australia. Untuk memahami gejala ini pertama-tama kita harus mengerti kekhasan agama Kristen yang didatangkan dari Eropa Barat yang mempunyai mental ekspansionis dan etnosentris (Fernandes, 2000: 13). Dan menurut Takatso Mofokeng, para leluhur orang-orang Kristen berkulit putih yang ada sekarang ini mempergunakan Alkitab untuk membenarkan superioritas mereka atas orang-orang berkulit putih.
Mungkin benar bahwa mereka menyamakan areti kata culture (budaya) dengan kata civilization (peradaban). Muncul pertanyaan patokan apa yang dapat dipakai untuk mengukur tinggi rendahnya suatu kebudayaan? Karena orang Eropa memiliki suatu kebudayaan orang yang berdasarkan kebudayaan kita maka kita akan jatuh pada apa yang dinamakan etnosentrisme sempit.
Kebudayaan merupakan produk orang-orang tertentu pada zaman tertentu berdasarkan situasi dan lingkungannya. Karena merupakan produk dari manusia yang adalah makhluk terbatas, maka hal ini tidak lepas dari usaha manusia untuk selalu member catatan kritis padanya.
IV.
Nenek moyang kami: Homo Religiosus
Salah satu ritus upacara adat penyembelihan darah korban binatang pada tempat yang dianggap keramat |
4.1.Nama Wujud Tertinggi
Nenek moyang kami adalah manusia-manusia beriman. Dengan pengetahuan mereka yang seadanya mereka mengaku bahwa ada sesuatu atau satu pribadi yang sangat berkuasa. Melihat keajaiban alam dan berbagai fenomenanya mereka merasa dan mengakui bahwa di balik semua hal ini pasti ada yang menciptakannya. Melihat sebuauh pohon besar mereka terkagum. Tentu pohon ini tidak ada dengan sendirinya. Mereka yakin bahwa semuanya ini dicptakan oleh Wujud Tertinggi.
Orang Malaka (dahulu dikenal Belu Selatan) dengan bahasa daerahnya tetun terik fehan, menyebut Wujud Tertinggi dengan nama Maromak. Secara etimologis maromak merupakan kata serapan dari kata dasar kroman yang artinya terang atau bercahaya. Dalam arti teologis, Maromak menunjuk pada wujud Tertinggi yaitu Allah.
Maromak dilukiskan
sebagai pribadi yang teistis dan transcendental. Maromak adalah pribadi yang agung dan perkasa, yang menguasi langit
dan bumi, dan jauh melampui semua manusia. Dan tidak ada mahkluk yang sederajat
denganNya. Namun,Ia diyakini tetap aktif dan memiliki intervensi di dalam
dinamika keehidupan manusia setiap hari. Bahwa Maromak yang berkuasa menurunkan hujan dan embun serta cahaya
matahari setiap harinya.
4.2.Tempat-tempat
kultus orang Malaka (Belu Selatan)
4.2.1.
Uma
Lulik (Rumah Adat)
Uma Lulik merupakan
tempat sekaligus pusat perayaan keagamaan setiap suku. Dan tiap suku memiliki Uma Lulik. Mereka percaya bahwa di sini
yang Ilahi bersemayam. Dan hal ini yang membangkitkan rasa takut dan horma. Uma Lulik ini sudah ada sejak nenek
moyang masih mengembara. Budaya ini ditradisikan dari generasi ke generasi
sampai sekarang ini. Di dalam uma lulik dismpan
barang-barang pusaka peninggalan leluhur. Dan peninggalan-peninggalan ini
sebagai tanda kehadiran matabian (leluhur)
yang adalah pendiri.
Di
sini mereka berdoa bagi orang tua dan sanak keluarga yang telah meninggal
supaya membantu mereka yang masih ada di dunia ini sekarang. Doa dan kurban
melambangkan hormat dan cinta mereka. Di tempat ini mereka menyembelih hewan
dan mempersembahkan sesajian dengan keyakinan ada kehidupan di dunia seberang. Bahwa
apa yang dimiliki perlu dinikmatyi secara bersama dengan mereka yang telah
meninggal.
4.2.3.
We
Lulik (air keramat)
Setiap
suku memiliki we lulik masing-masing, dan biasanya terletak di hutan. We lulik ini diyakini sebagai sumber
daya kehidupan suku. Setiap tahun, di saat upacara hamisan (upacara panen jagung muda) biasanya diadakan upacara ritual
adat. Melalui we lulik ini mereka melihat suatu keajaiban yaitu
kehidupan dialirkan kepada mereka. Di balik we
lulik ini mereka melihat sesuatu
yang kudus melampaui segala sesuatu. Karena itu air ini tidak ditimba secara
sembarangan. Dan yang melanggar akan dikenakan denda adat.
Hal
ini juga mereka lakukan di pohon-pohon besar, hutan-hutan lebat, gua-gua,
kebun, sawah, padang peternakan. Mereka percaya bahwa tempat-tempat ini adalah
kediaman roh-roh. Karena itu, orang harus terlebih dahulu meminta izin kepada
roh-roh itu sebelum menggunakan tempat-tempat tersebut. Namun mereka tidak
berhenti di sini saja, sebab mereka yakin tempat-tempat itu hendak menghantar
mereka ke sesuatu yang tertinggi dan melamapaui segala sesuatu di dunia ini.
V.
Penutup dan Catatan Kritis
Dari
uraian ini menjadi nyata bahwa nenek moyang kami adalah manusia-manusia
relegius. Dengan caranya mereka menyatakan sembah baktinya kepada Wujud
Tertinggi. Karena itu sangatlah tidak adil kalau menyebut mereka orang-orang
kafir. Seandainya dikatakan kafir, saya bertanya, apa definisi (batasan) kafir
itu?
Supaya
tidak menimbulkan kecurigaan dan salah tafsir, kita tentu harus mengetahuinya
secara mendalam adat dan kebudayaan kita. Karena sering terjadi bahwa kita
salah kaprah dalam menilai kebudayaan dan filsafat hidup kita sendiri akibat
konsep Eropasentris yang etnosentris dan suiperior.
Memang
harus diakui ada juga nilai-nilai yang mungkin tidak sesuai dengan keagamaan
secara umum dan kekristenan khususnya. Hal ini yang harus kita waspadai. Karena
orang-orang Malaka (ema fehan)
percaya ada roh-roh halus yang berkeksistensi karena kekuatannya sendiri. Pandangan
ini sangat bertentangan dengan paham kekristenan karena dunia dan segala isinya
yang ada diciptkan Tuhan.
Saya
berpikir sebaiknya kita jangan melupakan akar budaya dan falsafah hidup asli
kita, supaya kita memiliki jati diri yang sebenarnya. Dan ini sekaligus
menghantar kita untuk menjadi manusia yang sungguh-sungguh beriman. Karena justru
yang mengenal jati dirinya sendiri dan akar budayanya yang sebenarnya akan
bertahan dalam hidup ini. Kalau ini tidak dihayati, saya yakin, arus
globalisasi dan moderenisasi akan menghempaskan orang-orang zaman ini ke
berbagai arah.
KEPUSTAKAAN
Dore Dae, Ansel.
“Sejarah Kebudayaan Indonesia’. Kuliah
Mimbar. STFK Ledalero, 2012.,
Fernandes,
walter. “Peran Agama Dalam Kolonialisme Dan Globalisasi”. Dalam Georg
Kirchberger & John Prior (eds.). Kirbat
Baru Bagi Anggur Baru. Seri Verbum. Ende: Nusa Indah, 2000.
Mofokeng,
Takatso. “Orang-orang Kristen Hitam, Alkitab dan Pembebasan”. ”. Dalam Georg
Kirchberger & John Prior (eds.). Sabda
Allah Denyut Jantung Misi (II). Seri Verbum. Ende: Nusa Indah, 1998.
Subagya, Rahmat. Kepercayaan dan Agama. Kanisius:
Yogyakara, 1976