TRADISI LISAN(Dongeng atau Cerita Rakyat):FILSAFAT
RAKYAT JELATA YANG LESTARI ATAU PUNAH?
(Oleh: Frederick Mzaq))
1.
Pendahuluan
Tulisan ini berakar pada ikhtiar penulis untuk
menggali kekayaan kebudayaan kita. Kekayaan itu menjelma dalam tradisi-tradisi
lisan yang tersebar pada setiap suku bangsa di negeri ini. Melalui
cerita-cerita daerah, lagenda, mitos, dongeng, syair-syair daerah dan
pantun-pantun, terungkap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mnerupakan kekayaan
asli kita. Kebijaksanaan-kebijaksanaan (filsafat) asli ini diteruskan dari
mulutu ke mulut kaum jelata sederhana. Ia tetap hidup subur di kampung-kampung.
Bila kaum jelata sedang menanam jaguang atau padi, menuainya, pertemuan adat
perkawinan, upacara adat kesukuan dan lain sebagainya, muncullah untaian-untaian
filsafat jelata yang bernas itu.
Hal ini tidak bermaksud mengobarkan sentiment kedaerahan. Tetapi sebuah usaha untuk menghargai dan mempelajari kebudayaan yang ada pada setiap daerah. Dengan mengetahui kita dapat menghargai. Walalu kita terbagi-bagi tetapi kita tetap satu, dalam semboyan khas Bhineka Tunggal Ika. Dengan itu pula kita dapat meminalasir “keterasingan” di tengah-tengah masyarakat kita. Kita dibekali pengetahuan dan kebijaksanaan asli sebagai bagian dari keseluruhan kebudayaan umat manusia pada umumnya dan kebudayaan bangsa pada khususnya. Kita ditempat dan dididik untuk peka terhadap masalah-masalah kebudayaan. Dan pada akhirnya kita ikukt bertanggung jawab mengembangkan kebudayaan manusia secara utuh.
Dalam proses penggalian itu, yang perlu mendapat
penekanan adalah nilai-nilai kemanusiaan. Suripan Sadi Hutomo, menulis,:
Ilmu budaya
perlu demi pembentukan sikap agar manusia tidak tenggelam dalam disiplin
masing-masing tetapi menyadari bahwa dia merupakan bagian dari keseluruhan kebudayaan
manusia. Tuntutan pada setiap pribadi
untuk ikut serta mengisi, membina dan mengembangkan kebudayaan bertujuan
agar manusia tetap hidup dalam sifat kemanusiaannya yang utuh. Hal tersebut
diharapkan dapat dicapai dengan mempelajari, berlatih dan membentuk sikap peka
terhadap masalah-masalah kebudayaan (Basis XXXIII, hlm. 146).
2.
Kebudayaan
Nasional
Pembukaan UUD 1945 secara jelas menyebutkan bahwa
kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Termasuk di
dalamnya unsure-unsur kebudayaan asing yang member manfaat dan sumbangan bagi
kebudayaan nasional. Setiap budaya etnik yang ada tidak bisa diperbandingkan
satu sama lain karena masing-masing memiliki kekhasannya sendiri-sendiri dan
tidak satu tolak ukur yang sama. Dan “daerah’ dalam konteks ini harus dipahami
sebagai suku bangsa.
Menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati, puncak-puncak
kebudayaan daerah yang terhitung sebagai
kebudayaan nasional meliputi unsure-unsur kebudayaan daerah-tidak seluruh
kebudayaan tersebut yang sudah diterima dan dirasakan oleh suku bangsa lain di
negeri ini selain suku bangsa pemiliknya. Berpatokan pada definisi ini, maka
kita dapat dengan lebih mudah memahami kategori puncak-puncak kebudayaan
daerah. Dan dengan pemahaman demikian kita dapat berkesimpulan bahwa kebudayaan
nasional tidak identik dengan penjumlahan kebudayaan dari kebudayaan etnik yang
ada di negeri ini.
Maka batasan tentang kebudayaan nasional adalah
“kebudayaan baru” yang nilai-nilai pokoknya diacu secara bersama-sama seluruh
warga Negara Indonesia. Sedangkan, unsure-unsur kebudayaan daerah yang
dikategorikan kebudayaan nasional Indonesia adalah unsure-unsur yang sudah
mampu diteerima oleh masyarakat Indonesia lainnya di luar lingkungan
kebudayaannya sendiri.
Hal ini sangat penting untuk dipahami dalam perspektif kebudayaan nasional karena berkat sumbangan kebudayaan daerah tersebut dalam kebudayaan nasional, setiap warga Indonesia akan memiliki “akar”. Tanpa kenyakinan dasar tersebut tiap warga Indonesia seolah tidak memiliki ”akar” yang dalam sebagai
komunitas nasional yang telah ditumbuhkan sebagai komunitas nasional yang telah ditumbuhkan semenjak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dengan demikian, sebagai komunitas bangsa kita bersama-sama memiliki dasar pegangan yang mengokohkan setiap derap langkah kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.
Tradisi
Lisan
Setiap bangsa di belahan bumi ini memiliki dongeng
atau cerita rakyat sendiri,. Pada umumnya dengan tema yang mirip.
Dongeng-dongeng ini biasanya hanya berbeda tempat kejadian, nama, bahasa dan
pengungkapannya. Dongeng-dongeng yang diceritakan oleh Hans Christian Anderson
dari Denmark dan Sherezade dari Mesopotamia menjadi sangat terkenal di seluruh
dunia. India dan Cina dengan masa lampaunya yang gemerlapan juga kaya dengan
perbendaharaan dongeng rakyat jelata.
Negara Indonesia yang dipenuhi dongeng dan cerita
rakyat setiap kelompok etnik mempunyai khazanahnya masing-masing. Dari alam
Minangkabau, kita disuguhi dongeng Si Malin Kundang, anak durhaka yang karena
dibutakan oleh gemerlap kekayaannya tidak
mau mengakui ibunya yang tua keriput penuh duka nestapa. Akibatnya, sang Ibu
mengutuk si Malin Kundang dan perahu yang ditumpanginya beserta isinya dihantam
badai laut dan terdampar di pantai di depan kota Padang. Di tempat itu
ditemukan sebuah batu karang yang oleh masyarakat setempat diyakini jelmaan
Malin Kundang dan perahunya.
Pada zaman dahulu, ada tukang dongeng yang digemari
rakyat. Dalam perkembangan zaman yang membawa perubahan, para manula (manusia
usia lanjt) khususnya nenek-nenek menggantikannya. Sampai akhir tahun 1950-an
nenek-nenek dan kakek-kakek merupakan tukang dongeng yang setia ditunggu para
cucu sebagai aktivitas rutin sebelum tidur. Tetapi kini kegiatan waktu luang
sebelum tidur itu perlahan menghilang ditelan perkembangan zaman. Anak-anak
zaman now, lebih senang menghabiskan waktunya menonton video-video via
internet, semisal youtube Kids. Zaman sekarang orang lebih tertarik kepada
dunia maya (berselancar internet). Keadaan inilah yang melenyapkan generasi
yang dapat dan gemar mendongeng.
3.1. Relevansi Tradisi Lisan
Setiap kelompok
etnik memiliki tradisi lisannya masing-masing. Tradisi-tradisi lisan ini
mengungkapkan alam pikiran, kepercayaan asli para penghayatnya. Ia berisi
kebenaran yang diyakini, tetapi bukan kebenaran sejarah ataupun kebenaran
ilmiah, melainkan kebenaran pengalaman hidup. Dari dongeng atau cerita rakyat
kita dapat menimbal ajaran tentang nilai, ideal, ganjaran bahkan hukuman yang
setimpal dengan pelanggaran. Karena itu, kebenaran-kebenaran tersebut sering
memaksa para penghayatnya untuk mengamalkannya secara bertanggung jawab.
Tradisi lisan juga merupakan media komunikasi ampuh yang mengungkapkan
angan-angan, imajinasim, harapan-harapan dan kritik-konstruktif.
3.2.
Pintu Pertama
Pada tingkat
yang lebih mendalam, tradisi lisan merupakan pintu pertamauntuk membuka dan
menyelami rahasi kehidupan suatu komunitas etnis tertentu. Berlandaskan
pemahaman yang mendalam dan menyeluruh terhadap tradisi lisan tersebut,
pihak-pihak yang berkompeten dituntut untuk mengambil kebijaksanaan dengan
tepat dan kontekstual. Karena secara langsung ataupun tidak langsung
kebijaksanaan tersebut akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tersebut.
Pemahaman yang proporsional juga akan memiminimalisasi bahkan menghilangkan
tindakan pelecehan bahkan pemusnahan nilai-nilai kehidupan yang diyakini oleh
suatu suku bangsa tertentu.
Di sini proses
pembangunan sebagai inovasi seharusnya tidak memungkiri atau menutup mata
terhadap tradisi lisan. Pembangunan harus memperhatikan nilai-nilai hidup dalam
masyarakat. Jadi, pembangunan harus beragam, bervariasi dan tidak seragam.
4.
Tradisi
Lisan Terancam Punah?
Kebudayaan daerah yang mampu berdialog dengan
kebudayaan lain adalah kebudayaan yang senantiasa melakukan
pembaharuan-pembaharuan tetapi sekaligus berakar pada tradisinya. Kita melihat
contoh seorang Penyair yang bernama Sutardji Calzoum Bachri, yang mampu mengaktulisasikan tradisi
mantra (Riau) dalam syair-syair mistisnya. Di sini kita diarahkan untuk melihat
bahwa seorang seniman yang hanya bersikap tradisional dan tidak mampu melakukan
pembaharuan-pembaharuan “justru seniman tidak berakar pada tradisi’.
Selanjutnya untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya “disinegrasi
kebudayaan” akibat guncangan-guncangan globalisasi, harus diambil inisitiatif
penyelamatan kebudayaan daerah yang beraneka ragam melalui transformasi
kreatif. Sekarang ini ada gelombang dan gempa yang dahsyat yang mengguncang
kehidupan rohani dan kesadaran kulutural masyarakat sebagai akibat perubahan
social budaya yang tepat dan mendalam sehingga mengakibatkan disorientasi
cultural atau disintegrasi kebudayaan. Indonesia dan semua Negara di dunia
mengalami gelombang peradaban ghlobal dalam arus zaman perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Situasi dan kondisi ini mengusik kesadaran rakyat
melalui telekomunikasi modern yang sulit dibendung. Keadaan ini menantang
setiap insan untuk bertanya, “Apakah kita mampu melakukan transformasi cultural
secara kreatif ataukah hanya bisa menjadi resipien?”
Searah dengan derasnya arus globalisasi tradisi
lisan nusantara ikut tersisih dari panggung kehidupan masyarakat. Pengaruh
modernisasi memang dapat diintegrasikan bahkan dapat memperkaya tradisi lisan.
Namun, ia dapat merusak struktur dasar masyarakat, sehingga komunitas bangsa
tercabik-cabik. Hal ini terjadi karena tradisi lisan erat rekatannya poada
lingkungan fisik, kehidupan rohani serta aktivitas social budaya masyarakat.
Tersisihnya tradisi lisan menyiratkan jugua tersisihnya masyarakat tersebut.
Tersisinya tradisi lisan itu mengkhawatirkan, bahkan
oleh budayawan Mochtar Lubis disinyalir sebagai suatu “malapetaka budaya”.
Tradisi lisan adalah sarana populis untuk mentransmisikan nilai-nilai yang
sangat berharga, seperti nilai-nilai persahabatan, kejujuran dan keberanian.
Tradisi lisan yang hidup di kalangan masyarakat juga merupakan media pendidikan
moral, filsafat, sejarah dan memberikan rasa estetis. Pendidikan melalui
tradisi lisan ini menghindarkan pendidik dari tindakan memaksakan kehendak dan
anak didik terhindar dari sikap “harus menerima” segala sesuatu dari sang
pendidik. Di sini ada ruang kebebasan.
5.
Pelestarian:
Tuntutan Mendesak
Menyadari pentingnya tradisi lisan, mala usaha untuk
menghimpun dan “memprasstikan” tradisi lisan nusantara yang syarat makna tersebut menjadi sebuah
tuntutan yang mendesak. Hal ini perlu, mengingat tradisi lisan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari budaya manusia. Pelestarian inipun menjadi sebuah
langkah antisipatif guna mencegah punahnya tradisi lisan bersama surutnya
generasi penutur dari panggung sejarah kehidupan.
Secara eksternal, pelestarian tradisi lisan
mengabadikan pemahaman terhadap sejarah, filsafat, apresiasi dan relasi
masing-masing dengan lingkungannya. Dengan demikian, tudingan bahwa rakyat
jelata adalah perusak lingkungan, peladang berpindah, primitive, bahkan
“biadab” dapat diminimalisasikan. Bahkan tudingan-tudingan negative itu harus
dihilangkan. Sementra internal kolektif. Pelestarian tradisi lisan memberikan
keabsahan kepada identitas masyarakat. Hal ini akan menumbuhkan semangat
kebersamaan, kebanggaan akan budaya sendiri yang akhirnya memupuk rasa percaya
diri.
Pelestarian tradisi lisan merupakan usaha untuk
menghidupkan kembali tradisi penuturan lisan bagi masyarakat asli (indigenous people) dan memperbanyak
teks-tekls tradisi lisan bagi masyarakat tidak asli (non indigenous people). Bagi yang tinggal di kota, pelestarian
tradisi lisan merupakan salah satu cara “mengakarkan” mereka pada budaya asli.
Upaya iniperlu untuk mengenal dan memahami tradisi lisan. Sedangkan bagi masyarakat
asli, pelestarian secara tertulis sajak tidak cukup, tetapi harus dihidupkan
kembali tradisi penuturan lisan tersebut. Salah satunya adalah menciptakan
suasana agar anak-anak dapat menjadi
penutur. Guru dapat member tugas kepada para murid untuk mencari dan
menguasi salah satu cerita rakyat daerahnya. Para murid dapat membahasakan
cerita itu dengan bahasanya sendiri. Di sini terdapat proses pewarisan.
Tercipta kader-kader tradisi lisan.
6.
Penutup
Tradisi lisan adalah filsafat jelata yang syarat
makna. Ia terlahir dari keaslian alam dan menjelma dalam nurani keseharian kaum
jelata di dalam peradaban kehidupannya. Ia bertumbuh dan berkembang dalam
takaran yang sederhana. Ia menjadi media penyalur kebijaksanaan kepada setiap
generasi.
Tetapi sejalan dengan arus modernisasi , tardisi
lisan ikut terhanyut dan terhempas. Ai mendekati ambang kepunahan, bahkan
memasuki tahap yang sangat mencemaskan. Bila ini terjadi, bangsa ini akan
kehilangan sejuta ajaran kebijaksanaan tradisional. Ia akan tersingkir, didesak
kemajuan sarana-sarana komunikasi yang kian update. Relakah kita membiarkan
nilai-nilai itu tergusur dari panggung budaya kita?
Pada titik ini, pelestarian tradisi lisan baik
disampaikan secara langsung maupun tertulis manjadi kebutuhan atau tuntutan
yang amat mendesak. Mengapa? Karena melalui tradisi lisan minat dan imajinasi
kita diperluas. Kita belajar banyak hal perihal manusia dan kehidupan. Kta
memperluas wawasan dan pengalaman. Kita memperoleh kearifan, etika, wawasa
estetika, solidaritas dan lain sebagainya. Relakah kita melepaskan filsafat
bernas dari “ladang” dan “kebun” budaya kita ini?
Kepustkaan:
Bunanta, Murti.
“Mendongenglah Sejak Dini”. Dalam Hidup, no. 15 Thn. LIII, 11 (April 1999)
Hutomo, Suripan.
“Sastra Daerah Perguruan Tinggi”. Dalam Basis, XXXIII, hlm. 146
Sedyawati, Edi. “Kebudayaan Nasional
Bukan Penumlahan Kebudayaan Etnik”. Dalam Kompas, 3 Juni 2014.