KAMPANYE PILKADA MALAKA:
ADU GAGASAN BUKAN ADU FISIK
(Catatan Kecil Terhadap insiden tindak pemukulan terhadap wartawan media online suluhdesa.com, Ferdi Costa dan gardamalaka.com, Bojes Seran yang sekaligus sebagai pemimpin redaksi (pemred) gardamalaka.com.)
Pilkada
Malaka tahun 2020 harapannya,dimaknai sebagai kompetisi ide dan prestasi untuk
menjaga mutu pilkada sebagai perwujudan hak politik rakyat. Subtansinya pilkada
bukan semata mengganti orang atau kepemimpinan, pilkada bukan lahan bisnis
partai politik dan pilkada bukan nilai tukar tamba rupiah tapi pilkada adalah
instrumen suksesi kekuasaan melalui pemilihan umum untuk peralihan kekuasaan
secara periodik dan tertib, agar memobilisasi pendapat publik,menjadi sarana
bagi rakyat menyalurkan aspirasinya.
Sesungguhnya
kata David Mendell dalam Bukunya From
Promise to Power (2007) bahwa berpolitik tanpa ide dan gagasan, sama
artinya dengan memangku jabatan tanpa tanggung jawab.Olehnya itu memilih
pemimpin itu harus dilihat pada visi,program dan rekam jejak berkarya dari
kepala daerah yang dimiliki.Maka agenda uji publik menjadi syarat tersendiri
bagi publik untuk menilai kualitas isi kepala daerah yang terbaik dan
bermutu.Bukan memaksa publik untuk memilih kepala daerah yang krisis ide atau
gagasan pada akhirnya makin menggeser makna politik dari tujuan Asasinya,karena
politik hanya menjadi ruang adu jotos bukan adu ide atau gagasan.
Artinya
Pilkada 2020 dijadikan arena pertengkaran ide atau gagasan bukan sekedar obral
janji yang kosong subtansi. Karena pengalaman disetiap momentum Pilkada
pelbagai baliho dan spanduk dengan tampilan beragam oleh para kontestan yang
akan bertarung hidup mati untuk memperebutkan tahta kekuasaan selama 5 tahun
kedepan.
Berbagai
strategi pencitraan dibalut dalam pesan politik yang manis dengan asal dapat
meraup simpati serta mendulang suara pemilih disetiap hari H pencoblosan
seperti,dukung kami untuk perubahan yang lebih baik atau dengan tawaran visi
misi lain kesehatan gratis,pendidikan gratis,membuka lapangan kerja,
pengantasan kemiskinan dan lain sebagainya.
Tujuannya
untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan
partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan
lewat proses pilkada.
Publik
harus tahu bahwa tujuan pelbagai baliho,spanduk dengan tampilan beragam.
Seperti,dukung kami untuk perubahan,dan tawaran visi misi lain kesehatan
gratis,pendidikan gratis,membuka lapangan kerja,pengantasan kemiskinan semua
itu adalah strategi partai politik untuk mendapat simpati publik terhadap
kandidat kepala daerah yang diusung oleh partai politik agar rakyat memilihnya.
Kenyataannya
akhir disetiap kontestasi pilkada semua visi misi dan program itu lenyap atau
hilang tanpa sebab,dan ini sering terjadi disetiap momentum pilkada.Setidaknya
partai politik harus tahu dan sadar diri bahwa rakyat itu adalah segalahnya di
alam demokrasi.Seperti ungkapan Abraham Lincoln, government of the people, by the people,and for the people artinya
pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat,dan untuk rakyat,bukan sebaliknya buy the
people (membeli rakyat), dan force the people(menekan rakyat) dengan segalah
cara untuk meraih status Quo.
Kata
Yudi Latif dalam tulisannya ”Tersesat dalam Pesta Demokrasi” yang dimuat di Media Indonesia,17 Maret 2014, ketika uang menjadi bahasa politik,Suara bisa
dibeli dan dimanipulasi,Idealisme pemilih dirobohkan,otoritas Komisi Pemilihan
Umum dihancurkan, Ketika nilai-nilai idealisme publik tidak memiliki saluran
efektif, nilai-nilai kepentingan investor mendikte kebijakan politik.
Nilai
integritas Negara yang demokratis mengalami degradasi karena karakter politisi
dengan cara menghalalkan segala cara disetiap pemilu masih terlihat
aktif.Sehingga output dari pilkada tidak ada daulat rakyatnya tapi daulat
partai,sehingga cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat jauh dari harapan.
Harapan
Penulis bahwa;Kesadaran kritis di tubuh partai politik harus ada dan aktif. Untuk mencari pola startegi yang ideal dalam rangka mengkampanyekan pendidikan politik kepada publik,bahwa Bagaimana memilih kepalah daerah yang
ideal.Tentunya strategi itu tidak hanya dilakukan saat menjelang Pilkada tetapi
sudah harus dilakukan secara reguler jauh sebelum pelaksanaan pilkada dimulai.
Untuk
mewujudkan pemilu demokratis, terdapat beberapa parameter yaitu: Kesatu
Kesetaraan antar warga negara. Kedua Kepastian hukum yang dirumuskan
berdasarkan asas pemilu demokratis. Ketiga Persaingan bebas dan adil antar
kontestan pemilu. Keempat Partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh
rangkaian penyelenggaraan tahapan pemilu. Kelima Badan penyelenggara pemilu yang
profe-sional,independen dan imparsial. Keenam Integritas pemungutan,
penghitungan,tabu-lasi dan pelaporan suara pemilu.Ketuju Penyelesaian sengketa
pemilu yang adil dan tepat waktu.
Tentunya
tujuh Poin pikiran yang di tawarkan oleh Surbakti (2015:11) diatas harus
dimaknai dan dipraktekkan dalam kerja-kerja Pilkada. Agar mewujudkan kualitas
pemilu demokrasi. Maka sukses dan tidaknya untuk mewujudkan kualitas pilkada
demokrasi tergantung partisipasi publik.
Sebaliknya
partisipasi publik aktif dan tidaknya tergantung cara kerja KPU,Bawaslu dan
Partai Politik teristimewa Partai Politik. Karena kenyataannya disetiap
momentum Pilkada Partai politik lebih banyak titik fokusnya pada basis pemilih
atau partisipasi penggunaan hak pilih ketimbang partisipasi politik masyarakat.
Sehingga untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak sesuai harapan.
Karena
titik fokus partai politik selama ini berada pada partisipasi penggunaan hak
pilih dari pada partisipasi politik.Lihat ungkapan Samuel P. Huntington dan
Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi sebagai esensi penting dalam
partisipasi politik,dimana ukuran utamanya adalah kemampuan masyarakat untuk
terlibat dalam mempengaruhi kebijakan.
Olehnya
itu partai politik harus memahaminya.Agar Pilkada Malaka tahun 2020 ini
utamakan partisipasi Politik masyarakat.Karena semakin banyak partisipasi
politik Masyarakat untuk memberikan hak politiknya.Maka semakin berkualitas
sistem Demokrasi kita.Sehingga akhir dari proses Pilkada untuk
menghasilkan kualitas pemimpin transformasional dan mampu bertindak sebagai
problem solver di masa mendatang bisa tercita-citakan.
Namun
yang menjadi tanya kini, bukannya kesantunan akan membimbing seseorang pada
sebuah komitmen atau kesepakatan sehingga perbedaan menjadi benih untuk
mewujudkan kebersamaan? Lalu mengapa karena berbeda pilihan dan dukungan harus
berakhir dengan adu jotos? Apa iya, perhelatan pilkada yang telah dilaksanakan
masih menyisakan benih-benih permusuhan?Atau jangan-jangan ini menandakan
krisis demokrasi?
Bila
kita menengok jauh kebelakang, Socrates telah mengajarkan bahwa politik adalah
kesantunan dan politik juga adalah martabat dan harga diri, sehingga dalam
berpolitik seseorang harus memiliki keutamaan moral.
Selain
itu, Socrates juga menekankan dalam politik perbedaan adalah hal yang lumrah,
maka jika memaknai perbedaan tanpa memahami makna kandungan aplikasinya justru
akan menimbulkan konflik. Segala bentuk perbedaan akan menciptakan sebuah
kebersamaan manakala kesantunan menjadi landasan pijak atau pondasi dalam
bersikap, bertutur kata dan bertingkah laku.
Pada
titik ini pertanyaan kritisnya, bukankah baik buruknya pemimpin merupakan
pengakuan dari orang lain, bukan atas pengakuan diri pribadinya? Wajar kalau
pertanyaan ini muncul, bukan tidak mungkin akibat perilaku yang dipertontonkan
dua pejabat tersebut maka yang akan mencuat dipermukaan adalah tampilan negatif
yang terus mengendap di memori masyarakat, terlepas benar atau salah. Siapkah?