BANGGA SEBAGAI ANAK KAMPUNG: JANGAN
KAMPUNGAN
"Mengaku
orang kampung,,,,,,,,,," begitu tulis Thamrin Sonata Thamrin atau yang
biasa di panggil bung TS pada riwayat saya sebagi salah seorang penulis pada
buku (In) Toleransi yang diterbitkan Peniti Media beberapa waktu lalu.
Lahir
dan hidup di desa (kampung), tak semua orang membanggakannya. Terbukti, banyak
yang tidak suka kalau disebut anak desa atau anak kampung. Mereka ini
biasanya malu mengaku diri sebagai orang desa (anak dari pelosok kampung
tertentu). Kalau bertemu sesama dari desa atau kampung, mereka cenderung
menghindar atau pura-pura tidak mengenal. Padahal mereka sendiri, lahir dan
dibesarkan di kampung yang sama.
Saya
justru sebaliknya. Saya bangga jadi anak kampung. Dengan segala kesederhanaan,
keramahan, ketulusan dan juga panorama alam yang jarang dialami oleh orang
kota. Lebih lagi, tinggal di kampung itu, surganya dunia ini. Segala yang kita
cari dan rindukan ada di kampung. Mau makan jagung, ubi, nasi, buah-buahan,
semua ada di sana. Lebih lagi, kedamaian dan ketentraman hidup sangat terasa di
desa.
Terkesan
akan pengalaman masa kecilnya di desa, Andrea del Verocchio seniman kebangsaan
Italia pernah menulis begini, “Aku bangga
tempatku dilahirkan. Di desa nan sunyi, yang mengalirkan beribu inspirasi. Dan
ketika, aku melangkah, berjuta harapan lahir dalam kesahajaan dan
kesederhanaan.” Ini sebuah ungkapan hati. Juga sebuah rasa syukur yang
tidak berhingga. Bahwa tempat kita lahir dan dibesarkan, adalah rumah hati kita
yang akan selalu dikenang dan dirindukan.
Kampung itu Sejarah dan Budaya
Kampung
itu adalah rumah dan ia mewakili sejarah hidup. Melalang buana di negeri orang
tidak berarti melupakan, “apa yang di belakang.” Ungkapa Soekarno kiranya
penting untuk selalu dikenang. “Jasmerah,” Jangan sekali-sekali melupakan
sejarah. Sebab, sejarah bisa terulang (history is repetead). Atau kata-kata
indah yang pernah ditulis oleh filosof eksistensialis asal Denmark, Soren
Kierkegaard, “Hidup hanya akan dimengerti
ke belakang, tetapi harus dijalankan ke depan.”
Goresan singkat ini lahir berkat refleksi mendalam atas peradaban kampung
Numbei yang nota bene hanya dihuni oleh orang-orang tua dan opa oma yang sudah
lanjut usia. Kebanyakan anak yang dilahirkan di kampung ini tinggal di daerah
perantauan bahkan ada yang lupa sesekali mudik ke kampung halamannya.
Sungguh
saya tak mengada ada, saya asli orang kampung yang lahir di Kampung Numbei
salah satu kampung terisolasi bagian dari kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten
Malaka-NTT, tapi jelas tidak kampungan. Dalam menerapkan pergaulan, saya
mencoba bergaul dengan siapapun, tanpa memandang bulu, yang saya bedakan cuma
bulu mata, bulu kaki, bulu ketek. Artinya, saya hidup dalam sebuah komunitas
yang menjunjung tinggi tali silaturrahmi sesama manusia.
Apa
kata Rostow benar adanya, orang kampung atau dalam Bahasa sosiologis disebut
masyarakat tradisional salah satu cirinya adalah mata pencaharian lebih dominan
di sector pertanian, sementara system ekonomi belum berorientasi ke pasar.
Lantas
rugikah kita jadi orang kampung, oh tidak, percaya deh, jadi orang kampung tidak
ada ruginya jika kita bisa menerapkan dan menjalani berbagai aktivitas sesuai
dengan ciri dari orang kampung. Kata rostow tadi, cirinya adalah system ekonomi
belum berorientasi pasar dan mata pencaharian lebih dominan di sector
pertanian. Mengkombinasikan gaya hidup orang kota dengan orang kampung adalah
suatu seni.
Meski
bergaul dengan orang kota, pengalaman hidup dikota, sebagai orang kampung
jangan tinggalkan ciri orang kampung, jangan sekali kali petantang petenteng
seolah jadi orang kota yang katanya sudah individualistik itu, tak kenal
tetangga dan sebagainya, meski Rostow bilang ekonomi orang kampung belum
berorientasi pasar dan masih mengandalkan pertanian, kelak pasti ada
manfaatnya.
Bertani,
bagi orang yang berpikir modern, pasti berkilah, buat apa bertani, terlalu lama
menunggunya, menanam, mengurus, sampai memanen membutuhkan waktu, mendingan
beli di pasar atau di Supermarket, beres urusan.
Ya
itulah pikiran instan orang kota, beda dengan orang kampung yang logika
berpikirnya sederhana, meskipun saya menanam tidak makan hasilnya, tapi kelak
anak cucu akan bisa menikmati, jadi masih untung ada orang kampung, coba kalau
orang kampung semua berpikir seperti orang kota tadi, berpikir instan, maka
bisa dipastikan di pasar dan di Supermarket tidak ada yang jual beras, sayuran,
buah dan sebagainya.
Perkara
hidup manusia ialah tentang merawat hati. Sering terdengar ungkapan demikian,
manusia adalah hatinya. Pernyataan ini benar adanya. Hati adalah keseluruhan
diri manusia. Segala perkara manusia selalu dikaitkan dengan hati. Ketika
terjadi kesalahan atau kekeliruan misalnya, orang tidak menyebut di mana kakimu,
tetapi di mana hatimu. Maka, kalau hati jadi membatu, ia perlu lunakkan.
Perkara
merawat hati hemat saya ialah tentang proses untuk menerima diri dan menjadi
diri sendiri. Sepanjang hidup, kita selalu bergulat dengan proses perkara
menerima diri. Kadang muncul pertanyaan, apa pentingnya menerima diri, saya
lebih nyaman menjadi seperti orang lain. Saya teringat, seorang kudus yang
mengatakan, “Menjadi bahagia itu ialah menjadi diri sendiri. Tidak ada yang
lebih membuat orang merasa puas, bersyukur, dan nyaman dengan segala perkara
hidup ini kalau belum sungguh-sungguh menerima diri apa adanya.” Menerima diri
membuat orang mampu menerima orang lain. Tak hanya itu, penerimaan diri
memungkinkan orang bangga dengan asal usul, budaya, sejarah hidupnya.
Di sudut sebuah kota di pulau bunga, seorang guru muda, selalu ke ladang
sehabis mengajar. Gaji bulanan yang diterimanya sebenarnya sudah sangat cukup
menghidupkan keluarga kecilnya. Tetapi saat ditanya, mengapa masih terus ke
ladang, ia menjawab, “Aku anak petani. Ladangku adalah hidupku. Dari
penghasilan ladang ini, aku bisa sekolah hingga sarjana. Aku tidak akan
melupakannya.” Demikian katanya sambil tersenyum. Ia bangga dengan statusnya
sebagai anak petani dan orang desa. Sebab di sanalah ia lahir dan dibesarkan.
Baginya melupakan desa, sama dengan tidak dilahirkan di dunia ini.
Jangan Malu Sebagai Anak Kampung
Saya
sendiri adalah orang kampung maka saya pasti mengenal semua yang ada di dalam
kampung, umpamanya cerita orangtua tentang kebaikan dan kebenaran. Di kampung
juga saya diajarkan mengenal yang namanya musyawarah mufakat. Penulis juga
mengenal yang namanya ekonomi rakyat yang bersifat barter. Dan bagi saya semua
pengetahuan tentang apa pun ada di kampung.
Menurut
saya, orang kampung adalah orang yang berkarakter, orang yang menciptakan
peradaban, orang yang memiliki segalanya dalam menjaga alam dan
memanfaatkannya. Sementara itu orang kampungan adalah orang yang lupa pada
kampungnya, orang yang mengkhianati kampungnya dan orang yang tidak
mempunyai identitas yang jelas, primitif, sempit pemikirannya.
Sebenarnya
kita sudah diajarkan oleh orang tua dan leluhur kita tentang pendidikan,
seperti menjaga alam, mengelola Sumber Daya Alam (SDA) dan mengenal nilai-nilai
sosial budaya. Bagi saya pendidikan dasar itu sudah tertanam sejak kecil
di kampung. Dan pendidikan seperti itu ada dalam diri. Sebagai contoh, orang
yang tidak berpendidikan seperti yang diajarkan pendidikan formal saat ini bisa
melakukan hal-hal yang diajarkan di dunia pendidikan formal. Mereka bisa
mengelola SDA, menjalankan nilai-nilai kehidupan sosial, mampu bermusyawarah,
juga mampu untuk memimpin serta mampu untuk menciptakan apa yang diajarkan
leluhur (dalam hal karya seni).
Saat
ini menurut saya, kampung adalah sumber segalanya dari semua kebutuhan hidup
manusia. Alasan saya mengapa menjadi sumber segalanya sebab di sanalah manusia
hidup dan berkembang dan mampu memberikan hidup bagi orang lain yang
hidup di kota.
Orang
yang hidup di kota sebenarnya dihidupkan oleh orang yang bekerja di kampung.
Dan bagi saya kita harus bangga menjaga dan membangun kampung. Sebagian besar
kita yang hidup di kota sebanarnya mempunyai sejarah asal-usul dari kampung.
Kalau
saya analogikan bahwa masyarakat di kampung adalah orangtua, maka masyarakat
yang hidup di kota adalah anaknya. Jadi jangan sekali-kali kita melupakan
orangtua di kampung. Semua orang yang berada di kota sebenarnya anak-anak dari
kampung.
Saat
ini ketika anak tumbuh dan dewasa, mulai tidak mengakui lagi orang tuanya,
tidak menghormati lagi orang tuanya yang melahirkan dan membesarkannya. Bahkan
dituduh sebagai orang yang primitif, kolot, terpinggirkan dan mulai merampas
dan menjual tanahnya. Begitulah analogi saya.
Jadi
saat ini kita perlu menyadari bahwa pulang dan membangun kampung itu adalah
bagian dari mengabdi kepada orang tua. Namun jangan membangun dari kampung
hanya untuk menyenangkan hati orang tua dan ujung-ujungnya menipu.
Orangtua
di kampung-kampung sudah mengajarkan nilai kebenaran dan kejujuran. Dan nilai
itu sudah ditanam sejak kecil kepada kita.
Kita
yang berasal dari kampung sebenarnya harus bangga karena kita masih punya
kampung. Kita tidak boleh malu mengatakan kalau kita adalah orang kampung.
Orang kampung bukanlah orang yang primitif, kolot, terpinggirkan. Akan tetapi
orang kampung adalah orang yang benar, pintar dan berkarakter.
Jika
saat ini seseorang tidak mempunyai kampung sebenarnya ia lupa terhadap orang tuanya
dan lupa identitasnya dari mana ia berasal.
Untuk
kaum muda yang berasal dari kampung mulailah kita bersama-sama membangun
kampung. Wilayah adat harus kita jaga, begitu juga dengan SDA-nya. Sebab negara
hari ini justru mengajarkan kita untuk meninggalkan kampung dan pergi menjauh
dari kampung. Negara saat ini dengan alat kekuasaannya masih mengikuti watak
penjajah. Bentuk pembangunannya bersifat eksploitasi dan diskriminasi. Negara
belum membangun sesuai dengan karakter ketimuran kita yang menjunjung tinggi
kebhinekaan tunggal ika.
Pendidikan
yang difasilitasi oleh negara hanya untuk kita melupakan kampung, menindas dan
menciptakan kita menjadi konsumtif. Tujuan membentuk sebuah negara hanya
sebagai alat untuk merampas tanah dan sumber daya alam dan menghilangkan budaya
dan adat istiadat kita. Sistem pendidikan yang diciptakan negara hanya untuk
membuat kita menjadi kuli di tanah sendiri. Kita akan tersisihkan di
kampung sendiri dan akhirnya akan melupakan identitas sendiri.