Renu Rai Malaka, "Taan Tilun Hodi Rona, Hare Hodi Matan" (Kampanye Pilkada Malaka 2020)
Tahun
2020 akan di helat hajat “pesta demokrasi lokal” yang disebut dengan Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak termasuk Kabupaten Malaka, dan ini
adalah merupakan tahun janji politik Pilkada yang membutuhkan partisipasi
masyarakat untuk menentukan calon pemimpin lokal untuk menerima mandatory
amanat.
Atmosfir
musim obral janji politik sudah mulai terasa sejak pertengahan tahun 2019 yang
lalu hingga saat ini, hal ini adalah sudah sangat lumrah dalam model politik
yang “dianut” dalam tatanan demokrasi yang berlaku saat ini.
Obral
janji politik itu terjadi sejak masa atau fase filterisasi bakal calon untuk
mendapatkan “tiket” rekomendasi partai bagi yang hendak mencalonkan diri
melalui kendaraan partai politik dan dukungan melalui pengumpulan kartu tanda
penduduk (KTP) bagi yang hendak berangkat melalui jalur
perseorangan/independent, mereka mengobral janji, tiada lain agar dipilih oleh
para pemegang kekuasaan untuk memilih yakni rakyat bagi yang sudah memenuhi
syarat memilih sebagaiamana diatur oleh ketentuan terkait dengan pemilihan
kepala daerah, sehingga keinginan jadi pemimpin, dan jadi yang notabene sebagai
penerima madat publik dapat terwujud, maka berbagai janji pun diobral untuk
menarik simpati, sehingga ketika pemegang hak pilih akan menggunakan hak
pilihnya terhipnotis untuk menentukan pilihannya kepadanya.
Obral
janji ini tentu akan terus terjadi dan berlangsung sampai dengan detik-detik
masing-masing orang menggunakan hak pilihnya, walaupun masa kampanye sudah
ditutup rapat secara normatif namun secara factual hal itu akan terus terjadi.
Obral
janji politik memang sangat asyik dikumandangkan, dan terdengar Indah untuk
didengar, misalkan obral janji, jika saya terpilih akan memakmurkan,
mensejahterakan dan membuat masyarakat sentosa, akan menyediakan itu dan itu,
membebaskan ini dan ini serta membangun ini termasuk yang itu.
Sasaran
target politikpun akan banyak yang terbius oleh obral-obral janji politik,
namun mungkin banyak juga yang sudah tidak percayai lagi terhadap obral janji
calon pemimpin atau calon kepala daerah, berkaca pada pemilu-pemilu ataupun
pilkada-pilkada yang telah berlangsung sebelumnya, karena banyak pemimpin yang
ketika sudah duduk dalam tahta singgasana tidak menepati janji-janjinya dan
justru lebih daripada itu mengamankan posisi diri, keluarga dan elit-elit
kolega pendukungnya ketimbang memenuhi janjinya kepada rakyat pada masa sebelum
terpilih.
Beberapa
fakta menunjukan bahwa ketika mereka sudah terpilih dan duduk pada tahta
singgasana kepala daerah, seringkali lupa atau pura-pura lupa terhadap
janji-janji yang pernah diobralkan dihadapan masyarakat pada saat melakukan
kampanye baik yang dilakukan oleh calon itu sendiri maupun oleh tim suksesnya
termasuk oleh partai-partai pengusung maupun pendukungnya.
Seringkali
mereka asyik, sibuk dengan dunianya sendiri sebagai pemimpin bersama dengan
elit kolega-koleganya. Herankah…? Ketika janji itu, ditagih atau dipertanyakan,
dijawab enteng dengan mimik wajah yang dingin, datar seolah tanpa beban dengan
obral janjinya, "Lah saya kan tidak janji itu-itu kan janji
pengsung/pendukung saya, saya tidak pernah bilang begitu," dan mungkin
dengan bahasa-bahasa pembelaan lainya (menghindar). Dia berkelit dengan
pembenarannya sendiri, bahwa yang namanya janji politik tidak perlu terlalu
perlu untuk dipusingkan, janji politik bisa atau boleh tidak ditepati.
Jika
kita mungkin sepakat bahwa janji adalah hutang (apapun agama dan
keyakinanya), maka apakah janji politik Pilkada adalah termasuk katagori hutang
yang harus dibayar. Jika janji politik adalah merupakan janji akad kontrak
politik kepada publik atau janji kepada banyak orang yang harus ditepati, maka
tidak ada alasan untuk tidak ditunaikan.
SEPERTINYA
menjadi pemandangan yang lumrah, apabila di musim kampanye PILKADA ini, papan
bunga dari para calon Bupati atau Walikota bersama wakilnya menghiasi
acara-acara kedukaan dimana saja berada bahkan sampai di setiap sudut dan di
pelosok-pelosok. Tentunya ucapan belasungkawa melalui papan bunga “turut
berduka cita” tersebut adalah hal yang secara etis dibenarkan di kalangan
masyarakat, walau belum tentu yang meninggal dunia dan bersama keluarganya
mengenal baik dan dekat dengan para pengucap belasungkawa ini.
Para
calon tak sedikit tiba-tiba menjadi orang yang sangat baik dan sangat peduli,
bahkan sering sangat tidak tahu malu. Karena tanpa undangan resmi sekalipun,
mereka tiba-tiba hadir di setiap perkawinan maupun acara ulang tahun orang yang
sama sekali mereka tidak saling kenal. Pokoknya musim Kampanye ini menjadi
musim aneh-aneh.
Keanehan
seringkali terjadi pada para calon ini, tiba-tiba mereka menjadi sangat mahir
berbicara mengenai kesejahteraan rakyat, hebat menafsir makna kedaulatan
rakyat, dan tak sedikit diantaranya menjadi pakar moral dan orang saleh. Dalam
musim kampanye, para calon sedikit-sedikit gelar acara, apapun alasannya
pokoknya buat acara, undang orang banyak, menyuruh mc (master of ceremmony) memuji-muji
dirinya, dan tak sedikit juga memuji-muji diri sendiri. Tak peduli suara
sumbang alias fals, menyanyi dan berjoget ria sambil ditepuki dan disoraki oleh
para hadirin. Semua keanehan ini terjadi karena satu alasan utama yaitu mencari
simpati dan memohon suara agar dipilih.
Kampanye
menjadikan rakyat kelihatan sangat nyata. Setiap saat yang dibicarakan hanya
persoalan rakyat. Hak-Hak rakyat harus diperjuangkan dan bahkan jika boleh
dipenuhi hak-hak rakyat tersebut pada saat itu juga. Bagi calon yang ber-duit,
telinganya cukup pekah terhadap suara-suara lirih, sedih dan meminta tolong
dari rakyat kecil. Dengan uangnya persoalan yang dihadapi langsung dihitung
berapa biaya untuk menyelesaikannya, dan akhirnya berapa harga suara rakyat
kecil ini untuk dibeli.
Kampanye
menjadi ramai dengan berbagai proposal kegiatan, menjadi ajang minta-minta dan
akhirnya berakhir pada komitmen yang “transaksional. Rakyat akhirnya memahami
bahwa calon bupati atau walikota yang seperti demikian, bukanlah calon pemimpin
yang baik dan yang bisa diandalkan. Pembangunan, peningkatan kesejahteraan,
kualitas pendidikan dan berbagai janji-janji muluk yang disampaikan pada saat
kampanye hanyalah untuk menunjukan kualitas kampanye, bahwa janji itu akan
dipenuhi. Rakyat tahu bahwa itu tidak akan mungkin terjadi. Janji-janji itu
yang diucapkan saat kampanye hanyalah intimidasi dengan intonasi rayuan gombal,
dan pasti tidak akan ditepati.
Mari
kita evaluasi beberapa kali PILKADA di daerah kita. PILKADA sebelumnya ada
berapa calon Bupati dan Wakil Bupati? Ada berapa janji-janji baik dalam bentuk
program dan kegiatan yang disampaikan pada saat kampanye? Siapa Bupati yang
terpilih pada saat itu? Dan Sampai saat ini berapa janji-janjinya yang
ditepati? Semoga dijawab dengan jujur tanpa intimidasi atau bujuk rayu.
Sepertinya
setelah PILKADA rakyat kembali ke kehidupan yang nyata lagi. Buaian, rayuan,
dan bahkan intimidasi pada saat kampanye berakhir sesaat setelah calon terpilih
dilantik. Euforia dan pesta demokrasi berakhir. Rakyat kembali mencangkul di
ladang masing-masing seperti sedia kala, sambil menghitung-hitung berapa harga
dirinya, atau suaranya yang telah laku terjual pada saat PILKADA lalu.
Lantas,
apakah kita kehilangan harapan? Apakah benar para calon Bupati dan Wakil Bupati
dalam PILKADA kali ini adalah orang-orang yang tiba-tiba menjadi aneh dan
akhirnya berbuat apa saja termasuk money politic yang penting
terpilih nantinya? Kampanye hanyalah obral janji dan omong kosong belaka? Atau
barangkali diantara kita masih mau menjual suara kita? Hanya masing-masing diri
kita yang bisa menjawabnya.
Selamat
menyongsong pemilihan kepala daerah Kabupaten Malaka dengan riang gembira dan
apa adanya serta wajar-wajar saja. (*)