Politik Malin Kundang, Kisah Inspiratif Untuk Pilkada Malaka 2020

Politik Malin Kundang, Kisah Inspiratif Untuk Pilkada Malaka 2020

Pilkada Malaka, Belajar Dari Kisah Politik Malin Kundang Karangan Sapardi Djoko Damono



Mengapa saya memberikan judul seperti itu, karena saya mengamati dan belajar dari pengalaman yang selama ini didapatkan melalui baik itu organisasi maupun dalam kelompok diskusi. Saya melihat bahwa dalam politik hanya ada satu yang abadi yakni “kepentingan abadi”. Tidak mungkin seseorang bisa melakukan sesuatu tanpa ada pengorbanan maupun penyerangan dari berbagai sisi untuk mencapai apa yang diinginkan. Ada satu larangan dalam berpolitik yaitu dilarang kalah. Saya pernah mendengar bahwa kita sebaiknya terus melakukan pendewasaan dalam berpolitik. Saya meragukan akan pendapat tersebut untuk bisa terjadi.

Selama ini dalam berpolitik kita pasti dihadapkan pada satu pendapat bahwa harus bisa sampai dalam satu tujuan yang utama dengan tidak mempedulikan kepentingan yang lain. Hal ini benar-benar mencerminkan perbuatan anak kecil. Salah seorang dosen Mata Kuliah Hak Asasi Manusia saya pernah berkata bahwa “dalam berpolitik tidak boleh salah tetapi boleh bohong berbeda sekali dengan ilmuwan”. Jadi apabila ada ungkapan bahwa kelakuan anggota dewan seperti seorang kanak-kanak TK, hal itu memang sangat wajar bagi saya dan sudah tidak heran. Karena memang ajaran politik yang mengajarkan untuk bersikap egois tanpa mempedulikan kepentingan lain. Tahun ini merupakan tahun politik bagi negara tercinta kita, masyarakat harus waspada dengan banyaknya ajakan dan permintaan yang diberikan oleh para calon wakil rakyat (kepada daerah). Semoga saja masyarakat semakin jeli dan berhati-hati dengan segala ajakan mereka. Memang pada awalnya mereka memberikan berbagai janji-janjiyangcukup menggiurkan tetapi apabila para wakil rakyat sudah dihadapkan pada dua buah kepentingan yaitu partai dan rakyat. Sangat mustahil mereka mendahulukan kepentingan rakyat, kalaupun kepentingan rakyat didahulukan maka pasti ada hidden agenda didalamnya. Saya bukannya skeptis dalam hal perilaku para calon wakil rakyat, tapi saya benar-benar bosan dengan segala hal yang mereka tunjukkan.

Pada masa-masa sekarang mereka benar-benar seolah-olah mendewakan rakyat tanpa peduli dengan kepentingan partai atau pribadi. Hal ini mirip sekali dengan seorang anak kecil apabila mereka meminta kepada orang tuanya sesuatu. Tetapi walau bagaimanapun anak kecil itu memiliki jiwa dan hati yang bersih sehingga mustahil untuk mereka memiliki tujuan lain. Sebagai orang tua maka wajib bagi kita untuk memberikan pengajaran kepada mereka. Rakyat itu seperti orang tua bagi calon wakil rakyat, tetapi saya memperingatkan kepada para calon Kepala Daerah agar jangan menjadi “anak durhaka”. Sangat disayangkan apabila kalian menjadi para penerus Malin Kundang, kalian sudah berjanji kepada para orang tua atau dalam hal ini rakyat.

Mari berinspirasi pada kisah Malin Kundang versi politik berikut:

Tepat ketika ibunya mengucapkan kutukan, Malin Kundang meloncat ke laut. Ia tiba-tiba melihat kelebat buruk tentang nasib buruk yang menghampirinya.

Nasib yang akan mengabadikannya dalam sebongkah batu di lepas pantai. Sebelum itu terjadi, Malin memutuskan untuk habis-habisan melawan takdir. Ia meloncat, lalu berenang tanpa putus ke pantai. Tak ingin jadi anak durhaka pada ibunya.

Sepanjang perjalanan panjang menuju pantai. Ombak kenangan dan rasa bersalah menghantam kepalanya. Semua budi, kebaikan, peluh kasih bundanya hadir dalam sebuah ironi: tepat ketika ibunya mengucap kutukan.

Harapan menyambutnya di bibir Pantai Air Manis… Pergilah Malin ke pasar, menemui setiap perempuan yang mirip sang Ibu. “Ibu! Saya anak ibu, si Malin,” ucap Malin pada tiap perempuan yang ditemuinya.

Hari berganti hari. Hanya satu jawaban yang ia temui: “Kamu keliru, Nak. Aku bukan ibumu. Aku tak punya anak bernama Malin”. Begitu seterusnya.

Ia pun berkeliling pasar dan bersujud di hadapan setiap perempuan yang ia dapati. Mula-mula kerumunan pasar menganggapnya aneh. Tapi kemudian, kelakuan Malin menjadi seperti parodi bagi penduduk desa.

Kisah Malin menjadi sebuah drama penghibur, pencampuran sempurna antara olokan dan pengharapan. Kisah seorang anak manusia terus menerus meminta ampun dan berharap untuk tidak jadi batu.

 

Tak hanya penduduk desa dalam kisah baru Malin Kundang, kita-para pembaca-pun terhibur oleh cerita Sapardi Djoko Damono ini.

Sapardi menuliskan “nasib baru” Malin ini dalam cerita “Sebenar-benar Dongeng tentang Malin Kundang yang Berjuang Melawan Takdir Agar Luput dari Kutukan Sang Ibu”. Sapardi seolah mau menyampaikan kepada kita bahwa: Malin Kundang belum jadi batu. Ia telah kembali ke daratan. Ke kehidupan yang penuh kedurhakaan.

**
Di daratan, di kehidupan yang bukan dongeng ini, kita pun diperhadapkan pada politik Malin Kundang: politik yang mendurhakai Mande Rubayah demi tumpukan harta dan kuasa.

Dari “Demos”, sang ibu, lahirlah anak-anak partai politik sebagai anak kandung demokrasi. Sang ibu demos selalu mengorbankan dirinya (atau dikorbankan) dalam tiap fase persalinan demokrasi.

Susah payah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Demos selalu menjadi ibu Malin Kundang: yang dikuras kesana-kemari, dijadikan statistik dan jamban janji, yang penyabar, yang selalu menunggu anaknya di dermaga.

Dalam perih doa ibu. Anak-anaknya makin tak tahu diri. Partai-partai politik makin asyik melegitimasi dinasti dan oligarki; tokoh-tokoh politik sibuk berdagang dan mengubah penampilan, berharap akan ada anak saudagar yang kan membuatnya jadi pemiliki kapal; sistem politik kacau balau persis seperti kapal yang membawa Malin ke seberang, ke negeri yang membuatnya lupa ibu di desa.

Politik Malin Kundang adalah politik yang lupa daratan. Ketika demokrasi-liberal di negeri ini mendapatkan panggung sejarahnya, demokrasi itu hanya melahirkan partai-partai borjuis dan tokoh-tokoh kelas menengah politik. Tokoh-tokoh itu lalu menjadi icon sekaligus patron.

Figur-figur ini, menurut, A.E. Priyono, direktur Riset Publik Vitue Institute, lahir dari ketiadaan basis gerakan sosial yang luas di belakangnya.

Dalam perkembangan kemudian, mereka menjadi kekuatan elite yang akhirnya berhasil merebut lembaga-lembaga formal demokrasi. Mereka secara lembut perlahan mengganti wajah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi-oligarkis.

Kisah yang serupa dengan Malin Kundang saat ia terdampar di pulau dimana ia berubah menjadi orang yang kaya raya dan mempersunting seorang putri saudagar. Sebuah adegan kelas menengah baru bertemu tuan borjuis.

Setelah lama menikah akhirnya Malin memutuskan untuk pergi berlayar bersama istri dan anak buahnya. Sang ibu, Mande Rubayah menanti di dermaga.

Ada setumpuk doa, harapan, dan rasa cemas yang ia bawa saat menjemput anaknya. Perasaan itu juga yang kita rasakan lima tahun sekali.

Setiap lima tahun, kita harus menyaksikan drama partai politik yang kembali “merakyat”, kembali ke daratan dengan drama yang kita tahu akan berakhir seperti apa: Malin yang durhaka. Harapan jadi kutukan.

Tapi, bagaimana jika seperti ini: tepat ketika ibunya mengucapkan kutukan, Malin Kundang meloncat ke laut. Tepat sebelum ia dikutuk jadi batu, ia diingatkan oleh survey, penelitian, lembaga-lembaga anti-durhaka, hingga guru spiritual.

Malin memutuskan untuk habis-habisan melawan takdir sejarahnya. Ia berenang tanpa putus ke Pantai Air Manis, kembali ke konstituen. Kembali memohon restu demos untuk memilihnya. Pilih saya, lagi dan lagi…

Sekembalinya ke daratan, Malin tidak tahu bahwa ada “takdir” lain yang menyambutnya: di desa asal Malin, ibunya tidak bisa ditemuinya lagi. Mande Rubayah telah hilang bersama kepercayaan, doa, dan harapan yang telah membatu.

Tidak ada perasaan yang lebih melukai selain perasaan dikhianati. Mungkin dengan alasan yang sama, angka golongan putih di negeri ini terus pasang-naik: dari 7,3 persen (1999), 15,9 persen (2004), hingga 29 persen (2009 dan 2014).

Ibu demos seakan makin menyadari bahwa pemilu hanyalah kapal dimana para politisi korup mendulang suara, mencuri nilai-lebih kekuasaan.

Selama empat kali musim elektoral (1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019), mereka hanya menyaksikan praktek demokrasi yang kian elitis, semakin jauh dari kepentingan petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota, dan mereka yang katanya “dipelihara oleh negara”.

Mula-mula kita menganggap aneh para Malin yang terus menerus mencari maaf ibunya. Mereka memohon dengan permintaan maaf yang juga tak kalah aneh: iklan di televisi, posting di medsos, dan parade baliho norak di ruang-ruang publik.

Lama kelamaan, seperti kisah Malin ala Sapardi, kita terbiasa mendengar janji-janji kosong, slogan-slogan yang itu-itu saja, goyang dangdut yang begitu-begitu juga, senyum palsu yang sama. Kelakuan Malin ini menjadi parodi, bahan olok-olok, hiburan sekaligus pseudo-harapan.

Partai-partai politik demokrasi elektoral hari ini masih terus menjalankan politik Malin Kundang, drama yang terjadi pun persis sama: Malin bisa menolak jadi batu, namun ia akan tetap kehilangan ibu.

Saya disini hanya sebagai seorang penulis dan sekedar mengamati segala fenomena di masyarakat. Bukan bermaksud merendahkan atau menghina semua pihak yang merasa terhina atau merasa sakit hati dengan tulisan saya. Semoga kita diberikan petunjuk agar tetap bisa berada di jalan kebaikan meskipun pasti banyak rintangan yang akan menghadang, semoga tetap mendahulukan kepentingan rakyat diatas segalanya. Amin.

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama