Pilkada Malaka, Belajar Dari Kisah
Politik Malin Kundang Karangan Sapardi Djoko Damono
Mengapa
saya memberikan judul seperti itu, karena saya mengamati dan belajar dari
pengalaman yang selama ini didapatkan melalui baik itu organisasi maupun dalam
kelompok diskusi. Saya melihat bahwa dalam politik hanya ada satu
yang abadi yakni “kepentingan abadi”. Tidak mungkin seseorang bisa melakukan
sesuatu tanpa ada pengorbanan maupun penyerangan dari berbagai sisi untuk
mencapai apa yang diinginkan. Ada satu larangan dalam berpolitik yaitu dilarang
kalah. Saya pernah mendengar bahwa kita sebaiknya terus melakukan pendewasaan
dalam berpolitik. Saya meragukan akan pendapat tersebut untuk bisa terjadi.
Selama
ini dalam berpolitik kita pasti dihadapkan pada satu pendapat bahwa harus bisa
sampai dalam satu tujuan yang utama dengan tidak mempedulikan kepentingan yang
lain. Hal ini benar-benar mencerminkan perbuatan anak kecil. Salah seorang
dosen Mata Kuliah Hak Asasi Manusia saya pernah berkata bahwa “dalam berpolitik
tidak boleh salah tetapi boleh bohong berbeda sekali dengan ilmuwan”. Jadi
apabila ada ungkapan bahwa kelakuan anggota dewan seperti seorang kanak-kanak
TK, hal itu memang sangat wajar bagi saya dan sudah tidak heran. Karena memang
ajaran politik yang mengajarkan untuk bersikap egois tanpa mempedulikan
kepentingan lain. Tahun ini merupakan tahun politik bagi negara tercinta kita,
masyarakat harus waspada dengan banyaknya ajakan dan permintaan yang diberikan
oleh para calon wakil rakyat (kepada daerah). Semoga saja masyarakat semakin
jeli dan berhati-hati dengan segala ajakan mereka. Memang pada awalnya mereka
memberikan berbagai janji-janjiyangcukup menggiurkan tetapi apabila para wakil
rakyat sudah dihadapkan pada dua buah kepentingan yaitu partai dan rakyat.
Sangat mustahil mereka mendahulukan kepentingan rakyat, kalaupun kepentingan
rakyat didahulukan maka pasti ada hidden agenda didalamnya. Saya
bukannya skeptis dalam hal perilaku para calon wakil rakyat, tapi saya
benar-benar bosan dengan segala hal yang mereka tunjukkan.
Pada
masa-masa sekarang mereka benar-benar seolah-olah mendewakan rakyat tanpa
peduli dengan kepentingan partai atau pribadi. Hal ini mirip sekali dengan
seorang anak kecil apabila mereka meminta kepada orang tuanya sesuatu. Tetapi
walau bagaimanapun anak kecil itu memiliki jiwa dan hati yang bersih sehingga
mustahil untuk mereka memiliki tujuan lain. Sebagai orang tua maka wajib bagi
kita untuk memberikan pengajaran kepada mereka. Rakyat itu seperti orang tua
bagi calon wakil rakyat, tetapi saya memperingatkan kepada para calon Kepala
Daerah agar jangan menjadi “anak durhaka”. Sangat disayangkan apabila kalian
menjadi para penerus Malin Kundang, kalian sudah berjanji kepada para orang tua
atau dalam hal ini rakyat.
Mari
berinspirasi pada kisah Malin Kundang versi politik berikut:
Tepat ketika
ibunya mengucapkan kutukan, Malin Kundang meloncat ke laut. Ia tiba-tiba
melihat kelebat buruk tentang nasib buruk yang menghampirinya.
Nasib yang akan
mengabadikannya dalam sebongkah batu di lepas pantai. Sebelum itu terjadi,
Malin memutuskan untuk habis-habisan melawan takdir. Ia meloncat, lalu berenang
tanpa putus ke pantai. Tak ingin jadi anak durhaka pada ibunya.
Sepanjang
perjalanan panjang menuju pantai. Ombak kenangan dan rasa bersalah menghantam
kepalanya. Semua budi, kebaikan, peluh kasih bundanya hadir dalam sebuah ironi:
tepat ketika ibunya mengucap kutukan.
Harapan
menyambutnya di bibir Pantai Air Manis… Pergilah Malin ke pasar, menemui setiap
perempuan yang mirip sang Ibu. “Ibu! Saya anak ibu, si Malin,” ucap Malin pada
tiap perempuan yang ditemuinya.
Hari berganti
hari. Hanya satu jawaban yang ia temui: “Kamu keliru, Nak. Aku bukan ibumu. Aku
tak punya anak bernama Malin”. Begitu seterusnya.
Ia pun
berkeliling pasar dan bersujud di hadapan setiap perempuan yang ia dapati.
Mula-mula kerumunan pasar menganggapnya aneh. Tapi kemudian, kelakuan Malin
menjadi seperti parodi bagi penduduk desa.
Kisah Malin
menjadi sebuah drama penghibur, pencampuran sempurna antara olokan dan
pengharapan. Kisah seorang anak manusia terus menerus meminta ampun dan berharap
untuk tidak jadi batu.
Tak hanya
penduduk desa dalam kisah baru Malin Kundang, kita-para pembaca-pun terhibur
oleh cerita Sapardi Djoko Damono ini.
Sapardi
menuliskan “nasib baru” Malin ini dalam cerita “Sebenar-benar Dongeng tentang
Malin Kundang yang Berjuang Melawan Takdir Agar Luput dari Kutukan Sang Ibu”.
Sapardi seolah mau menyampaikan kepada kita bahwa: Malin Kundang belum jadi
batu. Ia telah kembali ke daratan. Ke kehidupan yang penuh kedurhakaan.
**
Di daratan, di kehidupan yang bukan dongeng ini, kita pun diperhadapkan pada
politik Malin Kundang: politik yang mendurhakai Mande Rubayah demi tumpukan
harta dan kuasa.
Dari “Demos”,
sang ibu, lahirlah anak-anak partai politik sebagai anak kandung demokrasi.
Sang ibu demos selalu mengorbankan dirinya (atau dikorbankan) dalam tiap fase
persalinan demokrasi.
Susah payah
melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Demos selalu menjadi ibu Malin
Kundang: yang dikuras kesana-kemari, dijadikan statistik dan jamban janji, yang
penyabar, yang selalu menunggu anaknya di dermaga.
Dalam perih doa
ibu. Anak-anaknya makin tak tahu diri. Partai-partai politik makin asyik
melegitimasi dinasti dan oligarki; tokoh-tokoh politik sibuk berdagang dan
mengubah penampilan, berharap akan ada anak saudagar yang kan membuatnya jadi
pemiliki kapal; sistem politik kacau balau persis seperti kapal yang membawa
Malin ke seberang, ke negeri yang membuatnya lupa ibu di desa.
Politik Malin
Kundang adalah politik yang lupa daratan. Ketika demokrasi-liberal di negeri
ini mendapatkan panggung sejarahnya, demokrasi itu hanya melahirkan
partai-partai borjuis dan tokoh-tokoh kelas menengah politik. Tokoh-tokoh itu
lalu menjadi icon sekaligus patron.
Figur-figur ini,
menurut, A.E. Priyono, direktur Riset Publik Vitue Institute, lahir dari
ketiadaan basis gerakan sosial yang luas di belakangnya.
Dalam
perkembangan kemudian, mereka menjadi kekuatan elite yang akhirnya berhasil
merebut lembaga-lembaga formal demokrasi. Mereka secara lembut perlahan
mengganti wajah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi-oligarkis.
Kisah yang
serupa dengan Malin Kundang saat ia terdampar di pulau dimana ia berubah
menjadi orang yang kaya raya dan mempersunting seorang putri saudagar. Sebuah
adegan kelas menengah baru bertemu tuan borjuis.
Setelah lama
menikah akhirnya Malin memutuskan untuk pergi berlayar bersama istri dan anak
buahnya. Sang ibu, Mande Rubayah menanti di dermaga.
Ada setumpuk
doa, harapan, dan rasa cemas yang ia bawa saat menjemput anaknya. Perasaan itu
juga yang kita rasakan lima tahun sekali.
Setiap lima
tahun, kita harus menyaksikan drama partai politik yang kembali “merakyat”,
kembali ke daratan dengan drama yang kita tahu akan berakhir seperti apa: Malin
yang durhaka. Harapan jadi kutukan.
Tapi, bagaimana
jika seperti ini: tepat ketika ibunya mengucapkan kutukan, Malin Kundang
meloncat ke laut. Tepat sebelum ia dikutuk jadi batu, ia diingatkan oleh
survey, penelitian, lembaga-lembaga anti-durhaka, hingga guru spiritual.
Malin memutuskan
untuk habis-habisan melawan takdir sejarahnya. Ia berenang tanpa putus ke
Pantai Air Manis, kembali ke konstituen. Kembali memohon restu demos untuk
memilihnya. Pilih saya, lagi dan lagi…
Sekembalinya ke
daratan, Malin tidak tahu bahwa ada “takdir” lain yang menyambutnya: di desa
asal Malin, ibunya tidak bisa ditemuinya lagi. Mande Rubayah telah hilang
bersama kepercayaan, doa, dan harapan yang telah membatu.
Tidak ada
perasaan yang lebih melukai selain perasaan dikhianati. Mungkin dengan alasan
yang sama, angka golongan putih di negeri ini terus pasang-naik: dari 7,3
persen (1999), 15,9 persen (2004), hingga 29 persen (2009 dan 2014).
Ibu demos seakan
makin menyadari bahwa pemilu hanyalah kapal dimana para politisi korup
mendulang suara, mencuri nilai-lebih kekuasaan.
Selama empat
kali musim elektoral (1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019), mereka
hanya menyaksikan praktek demokrasi yang kian elitis, semakin jauh dari
kepentingan petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota, dan mereka yang katanya
“dipelihara oleh negara”.
Mula-mula kita
menganggap aneh para Malin yang terus menerus mencari maaf ibunya. Mereka
memohon dengan permintaan maaf yang juga tak kalah aneh: iklan di televisi,
posting di medsos, dan parade baliho norak di ruang-ruang publik.
Lama kelamaan,
seperti kisah Malin ala Sapardi, kita terbiasa mendengar janji-janji kosong,
slogan-slogan yang itu-itu saja, goyang dangdut yang begitu-begitu juga, senyum
palsu yang sama. Kelakuan Malin ini menjadi parodi, bahan olok-olok, hiburan
sekaligus pseudo-harapan.
Partai-partai
politik demokrasi elektoral hari ini masih terus menjalankan politik Malin
Kundang, drama yang terjadi pun persis sama: Malin bisa menolak jadi batu,
namun ia akan tetap kehilangan ibu.
Saya
disini hanya sebagai seorang penulis dan sekedar mengamati segala fenomena di
masyarakat. Bukan bermaksud merendahkan atau menghina semua pihak yang merasa
terhina atau merasa sakit hati dengan tulisan saya. Semoga kita diberikan
petunjuk agar tetap bisa berada di jalan kebaikan meskipun pasti banyak
rintangan yang akan menghadang, semoga tetap mendahulukan kepentingan rakyat
diatas segalanya. Amin.