Nilai Budaya Koi Ulun (Cukur Rambut) Suku Mamulak Kampung Numbei, Kabupaten Malaka-Nusa Tenggara Timur

Nilai Budaya Koi Ulun (Cukur Rambut) Suku Mamulak Kampung Numbei, Kabupaten Malaka-Nusa Tenggara Timur

 

NILAI BUDAYA KOI ULUN (CUKUR RAMBUT) SUKU MAMULAK

KAMPUNG NUMBEI-DESA KATERI-KABUPATEN MALAKA-NTT

SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

 


Bangsa Indonesia sudah sejak lama mempunyai nilai karakter yang tertuang dalam sila pertama sampai kelima Pancasila. Pembangunan bangsa dan karakter harus berjalan beriringan. (Budimansyah, 2010: 1) menyatakan bahwa hal tersebut tersirat dalam syair lagu kebangsaan Indonesia, yaitu “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Lirik ini berarti dalam membangun bangsa Indonesia yang berkarakter, yang harus dibangun terlebih dahulu adalah jiwanya setelah itu beriringan dengan badan atau raganya. Ki Hadjar Dewantara (Suparlan, 2014:4) menyatakan bahwa untuk membentuk karakter adalah dengan konsep ngerti, ngroso, lan nglakoni. Konsep ini diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Tetum hatene, hanoin, dan halaok.

Konsep tersebut dimaksudkan agar pembangunan karakter ini melalui tiga tahap, yaitu ngerti hatene yang berarti mengerti akan bagaimana karakter yang baik sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Istilah berikutnya adalah hanoin maksudnya adalah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami dan merasakan karakter yang sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia; kemudian halaok adalah mengaplikasikan karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara berkesinambungan.

Transformasi Budaya

Transformasi merupakan pergeseran suatu hal ke arah yang baru tanpa mengubah makna di dalamnya. Transformasi budaya tidak dapat direkayasa ataupun dipaksakan. Transformasi budaya secara pasti dapat mengubah pola pikir dari suatu bangsa. Bangsa yang hebat adalah bangsa yang selalu menjaga nilai tradisinya untuk dijadikan kekuatan menuju bangsa yang maju. Suatu bangsa apabila tidak mau kehilangan jati diri, maka harus diberikan ruang bagi nilai-nilai tradisi untuk tetap berkembang dalam masyarakat.

Fortes (Tilaar, 1999:54) mengemukakan tiga variabel utama dalam transformasi budaya, yaitu (1) unsur-unsur yang ditransformasikan, (2) proses transformasi, dan (3) cara transformasi.

Kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat merupakan suatu bukti yang dapat menyatakan bahwa di dalam kehidupan masyarakat terdapat budaya yang mengandung nilai-nilai untuk menunjang tercapainya kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha transformasi budaya dalam kehidupan masyarakat untuk mempertahankan dan melaksanakan nilai-nilai budaya tersebut agar dapat dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dapat disimpulkan bahwa transformasi budaya merupakan upaya yang dilakukan untuk memindahkan nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya agar masyarakat memiliki karakter yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Karakter Bangsa

 Secara umum karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Samani dan Hariyanto (2012:41) menyatakan bahwa karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun bertindak. Koesoema (2010:79) sementara itu mengartikan karakter sebagai kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekadar berhenti atas determinasi kodratinya, tetapi juga berusaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya sendiri sebagai proses penyempurnaan dirinya terus-menerus.

Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect), kerja sama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love), tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan (unity) (Samani dan Hariyanto, 2012:43). Lickona (2013: 51) menyatakan bahwa karakter memiliki tiga komponen yang memiliki relasi kuat di antara ketiganya dalam hubungannya dengan moral antara lain: (1) moral knowing, (2) moral feeling, dan (3) moral action.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan watak yang dapat memengaruhi seluruh tindakan orang yang satu dengan yang lain. Karakter merupakan identitas atau jati diri yang menjadi acuan interaksi antarmanusia yang satu dengan yang lain. Karakter bisa berasal dari pembawaan lahir dan pembiasaan dari individu dengan lingkungannya yang dapat dilihat melalui proses sosialisasi dengan individu yang lain. Karakter berasal dari jati diri dan jati diri bersumber dari kepribadian.

Definisi karakter menurut Websters New World Collage Dictionary (Darahim, 2015: 21) adalah “Character is the pattern of behavior or personality found in individual or group; moral constitution; moral strength; self discipline, fortitude, and ect”. Karakter merupakan pola hidup, sikap, dan perilaku seorang atau kelompok orang yang sudah baku dan dipergunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Karakter yang baik adalah karakter yang dilandasi oleh norma, sikap, dan perilaku yang kuat.

Pembangunan karakter bangsa merupakan hal yang penting karena berhubungan dengan proses membina dan memperbaiki perilaku dan nilai luhur yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, dapat terbentuk warga negara yang tangguh, berakhlak mulia, berbudi luhur, bergotong royong, yang dilandasi oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tulisan ini akan difokuskan nilai karakter yang terkandung di dalam tradisi koi ulun (cukur rambut) Suku Mamulak-Kampung Numbei.

 

Kearifan Lokal untuk Membangun Karakter Bangsa

Kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang dan tidak lepas dari lingkungan pemiliknya. Kearifan lokal bersifat dinamis menyesuaikan dengan zaman. Menurut Suardiman (Wagiran, 2012:334), kearifan lokal identik dengan perilaku manusia berhubungan dengan: (1) Tuhan, (2) tanda-tanda alam, (3) lingkungan hidup/pertanian, (4) rumah, (5) pendidikan, (6) upacara perkawinan dan kelahiran, (7) makanan, (8) siklus kehidupan manusia dan watak, (9) kesehatan, (10) bencana alam.

Koentjaraningrat (Abidin & Beni, 2014: 168) berpandangan bahwa budaya lokal terkait dengan suku bangsa, yaitu gologan manusia yang terkait oleh kesadaran dan identitas “kesatuan kebudayaan”. Budaya lokal atau kearifan lokal itu lebih khusus berdasarkan golongan etnis, profesi, wilayah, atau daerah. Contohnya, budaya Koi Ulun Suku Mamulak. Kearifan lokal dengan demikian terkait semua mengenai budaya lokal baik suku, adat istiadat, kesenian, maupun pandangan hidup masyarakat setempat dalam berbagai aktivitas masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Masa depan peradaban Indonesia yang modern harus bertumpu pada peradaban yang berbudi luhur dan berkarakter, yang diharapkan akan mampu bersaing dengan peradaban dunia lain. Warisan budaya lokal adalah modal besar dan potensi untuk membentuk karakter bangsa yang tangguh. Kearifan lokal ini dapat berupa tradisi, pepatah, semboyan hidup, ataupun makna filosofis dari kesenian dan adat istiadat masyarakat setempat.

Menurut Suyatno (2011:83), walaupun ada upaya pewarisan kearifan lokal dari generasi ke generasi, tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal akan tetap kokoh menghadapi gempuran globalisasi yang menawarkan gaya hidup yang semakin pragmatis dan konsumtif. Faktanya kearifan lokal yang nyaris tidak terimplementasikan dalam praktik hidup yang makin pragmatis. Ini artinya bahwa walaupun bangsa Indonesia mempunyai kearifan lokal atau budaya lokal yang mengandung nilai-nilai luhur yang sangat baik akan sangat percuma jika bangsa Indonesia tidak mengimplementasikan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena kearifan lokal tidak melulu membicarakan budaya, tetapi juga membicarakan ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus mampu memajukan perekonomian, masalah sosial, dan politik melalui kearifan lokal. Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana bangsa Indonesia menyelesaikan masalah ekonominya dan mampu bertahan hidup dengan kearifan lokal yang dimilikinya.

Pendidikan karakter berbasis kearifan lokal harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, Pancasila, kebudayaan, dan tujuan pendidikan. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama. Ini artinya bahwa dalam kehidupan masyarakat selalu didasari ajaran agama yang dianutnya dan selanjutnya adalah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara haruslah didasarkan nilai-nilai Pancasila. Karakter itu sendiri tidak pernah lepas dari nilai budaya. Nilai budaya mencerminkan karakter masyarakat tersebut. Tujuan pendidikan tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 yang merumuskan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal tidak akan lepas dari kehidupan manusia sekaligus menjadi filter pada zaman globalisasi dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai kearifan lokal sangat berperan dalam kemajuan suatu bangsa.

Budaya koi ulun (cukur rambut) Suku Mamulak tidak diartikan hanya sebagai tindakan formalitas tradisi atau yang berkaitan dengan kesenian, tetapi budaya koi ulun  di Suku Mamulak Numbei meliputi kepercayaan terhadap tradisi ritual cukur rambut bagi anak laki-laki dan perempuan, pengetahuan tentang asal usul tradisi, norma, dan adat istiadat yang dipelihara oleh masyarakat serta kebiasaan hidup sebagai petani dalam mencapai kebutuhan keluarganya. Hal ini sependapat bahwa dalam kebudayaan terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang diadaptasi oleh manusia sebagai anggota masyarakat

Unsur-unsur kebudayaan dibagi menjadi tujuh: (a) bahasa, (b) sistem pengetahuan, (c) organisasi sosial, (d) sistem peralatan hidup dan teknologi, (e) sistem mata pencaharian hidup, (f) sistem religi, (g) kesenian (Koentjaraningrat, 1990: 206-208; Sulasman & Gumilar, 2013: 39-46).

 

Relevansi Nilai Budaya Pemotongan Rambut (Koi Ulun) Dalam Tradisi Ritual Adat Suku Mamulak

 

Menurut Kluchkohn (Yunus, 2014: 105), setiap sistem nilai budaya dalam tiap kebudayaan mengandung lima masalah dasar dalam kehidupan manusia, yakni hakikat hidup, hakikat kerja, hakikat waktu, hakikat hubungan manusia dengan sesamanya, dan hakikat hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Berdasarkan temuan penulis, koi ulun mengandung kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia tersebut. Pertama, hakikat makna. Dalam kegiatan koi ulun, masyarakat Suku Mamulak Kampung Numbei dapat memaknai hidup di dunia. Koi ulun  mengajarkan untuk selalu bergotong royong dalam hal apa pun untuk kepentingan bersama. Dalam upacara ritual cukur rambut (koi ulun), dalam hal ini mengajarkan untuk saling ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa karena selalu diberi kesempatan untuk hidup serta memiliki kesehatan, kebahagiaan hidup, dan apa pun itu dilakukan hanya karena Tuhan Sang Mahakuasa. Upacara ritual ini dengan demikian memberikan anggapan bahwa masyarakat Suku Mamulak, Kampung Numbei mendapatkan kekuatan spiritual untuk menyelamatkan dan menghindarkan dari segala macam bencana. Kegiatan upacara ini tidak lepas dari ajaran agama yang mereka anut yang mayoritas beragama Katholik.

Kedua, hakikat kerja atau hakikat dari karya manusia. Kegiatan koi ulun mengajarkan bahwa meningkatkan nilai kemakmuran dengan mengembangkan budaya lokal adalah hak asasi manusia. Para generasi muda melestarikan budaya dan tradisi masyarakat Suku Mamulak-Numbei, sekaligus menambah nilai kemakmuran dalam kegiatan koi ulun. Warga masyarakat yang sehari-hari berprofesi petani dapat berpartisipasi dalam kegiatan  ritual cukur rambut serta dapat mengembangkan kearifan local yang ada sebagai warisan tradisi leluhur yang harus tetap dijaga dan dilestarikan kepada generasi penerus.

Ketiga, hakikat waktu. Berjalan dan berputarnya waktu tidak dapat dihindari. Waktu merupakan hal yang tidak dapat diputar kembali sehingga jika manusia tidak berhati-hati dalam mempergunakan waktu, manusia akan rugi. Tradisi, begitu juga dari waktu ke waktu lambat laun akan terkikis oleh zaman. Oleh karena itu, manusia harus melestarikannya. Masyarakat Suku Mamulak, Kampung Numbei sadar bahwa nilai-nilai tradisi semakin lama akan semakin banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat Suku Mamulak Numbei melestarikan nilai tradisi tersebut melalui kegiatan koi ulun karena kegiatan tersebut mampu menarik banyak kalangan untuk melestarikannya.

Keempat, hakikat hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Melalui koi ulun, masyarakat Suku Mamulak Kampung Numbei dapat menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan alam. Dalam tradisi upacara ritual cukur rambut yang mengajarkan bagaimana menjaga keseimbangan dengan alam. Hal ini dapat dilihat saat napak tilas ke mata air  saat tahap awal ritual adat koi ulun yakni kuru we fohon di sumber mata air we foko yang berada di hutan lindung Kateri. Saat itulah warga masyarakat asli menjaga alam. Napak tilas tersebut memberi gambaran bahwa sebagai manusia wajib merawat dan bersyukur atas limpahan alam yang Tuhan berikan. Oleh karena itu, ritual adat koi ulun dapat dikatakan sebagai kegiatan dalam masyarakat yang berkaitan dengan alam dan lingkungan. Hal ini sependapat dengan (Fahrianoor, 2013: 38), yang menyatakan bahwa local wisdom is related to activities of the community, especially in relation with interaction towards the nature. Kearifan lokal yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat dengan demikian menurut Fahrianoor dkk. berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap alam.

Kelima, hakikat hubungan manusia dengan manusia lain. Secara umum, manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup. Hal ini tercermin dalam kegiatan upacara ritual cukur rambut, terlihat masyarakat saling bergotong royong dalam melaksanakan kegiatan ini. Masyarakat dan semua anggota Suku Mamulak mengajak peserta untuk bergotong royong dalam kebersamaan menjaga lingkungan dalam semangat persaudaraan dan kekeluargaan.

 

Kearifan lokal identik dengan perilaku manusia yang berhubungan dengan: (1) Tuhan, (2) tanda-tanda alam, (3) lingkungan hidup/pertanian, (4) membangun rumah, (5) pendidikan, (6) upacara perkawinan dan kelahiran, (7) makanan, (8) siklus kehidupan manusia dan watak, (9) kesehatan, (10) bencana alam sehingga kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi budaya yang dinamis dan dapat diciptakan dari kemampuan masyara-kat untuk menerima pengaruh luar melalui proses kreatif yang melahirkan ciptaan baru yang kreatif (Wagiran, 2012: 4-7; Dahliani, 2015: 163-165).

Berdasarkan temuan penulis, kearifan lokal masyarakat Suku Mamulak Numbei dapat dilihat berdasarkan kearifan lokal yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, kehidupan sehari-hari, selanjutnya dengan berbagai upacara ritual yang mereka miliki, kemudian kearifan lokal dalam menjaga keharmonisan dan kearifan lokal yang berkaitan dengan seni. Dalam masyarakat Suku Mamulak Kampung Numbei tertanam konsep tentang menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan. Konsep tersebut bertujuan untuk tercapainya hidup yang selaras, serasi, dan seimbang. Masyarakat Suku Mamulak- Kampung Numbei sangat menjaga hubungan baik dengan Tuhan, dan hal ini dapat dilihat dari cara masyarakat Suku Mamulak menjalankan kewajiban sebagai umat Tuhan yang baik. Kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Mamulak adalah sebagai petani yang sederhana dan selalu berusaha untuk meningkatkan baik itu ekonomi maupun SDM untuk memajukan Kampung Numbei dengan kearifan local yang unik dari setiap suku yang ada di kampung Numbei-Desa Kateri. Masyarakat Kampung Numbei mempunyai berbagai upacara ritual, salah satunya adalah ritual koi ulun (cukur rambut)l. Ritual cukur rambut merupakan ritual spiritual yang menciptakan ketenangan hati masyarakat, yakni ucapan syukur dan meminta keselamatan kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Upacara ritual ini bertujuan untuk menjaga ke-seimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

 

Tahapan-tahapan dalam Ritual Adat Koi Ulun (Cukur Rambut) Suku Mamulak Kampung Numbei.

Proses koi ulun (cukur rambut) dalah suatu ritual pemotongan atau pencukuran rambut untuk anak-anak dari suku Mamulak, Kampung Numbei, Desa Kateri Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuan kegiatan upacara adat kou ulun adalah membersihkan atau membebaskan si anak dari anin at no moras klakar (kesialan, kesedihan, sakit dan malapetaka). Adapun persyaratan atau kewajban bagi anak-anak anggota suku Mamulak untuk mengikuti ritual adat ini antara lain:

1.      Di dalam keluarga anak pertama laki dan anak kedua perempuan dan juga sebaliknya harus mengikuti upacara adat ini. Hal ini mengingatkan anggota suku Mamulak bahwa anak sulung dan anak kedua yakni semisal laki-laki sebagai yang sulung, yang kedua perempuan maka harus mengikuti upacara adat koi ulun. Bagi anak laki-laki dan perempuan sebelum melewati ritus upacara adat yang satu ini maka dilarang keras rambutnya dipotong atau dicukur karena luli (pemali)

2.      Kesiapan dari kedua orang tua yakni Ayah dan Ibu dari anak-anak yang bersangkutan untuk melangsungkan ritual koi ulun sesuai dengan kesepakan bersama anggota suku dengan Be fukun (kepala Suku) Mamulak.

3.      Kegiatan ritual adat koi ulun dilakukan secara berpasang-pasangan untuk anak laki-laki dan perempuan. Keluarga harus menyiapkan 1 ekor babi untuk disembelih.

4.      Waktu upacara adat koi ulun ditentukan berdasarkan hasil musyawarah anggota suku bersama Kepala Suku Mamulak-Numbei.

Selain syarat yang disebutkan di atas adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui di dalam upacara adat koi ulun yakni:

Hari Pertama: Kegiatan dilaksanakan pada sore hari antara lain:

·         Kuru we fohon atau hola we fohon artinya mengambil air yang dianggap suci dan sacral di sumber mata air we Kafatu, di hutan lindung Kateri oleh ferek fukun (Ibu Penjaga Rumah Adat Suku).

·         Halaka badut[1] timur iha kakaluk artinya menyalakan lampu pelita tradisional pada tiang agung di dalam rumah adat Suku Mamulak.



·         Haleka tudik lulik artinya mempersembahkan pisau pemali yang nanti digunakan untuk membunuh babi, yang darahnya diperciki pada tiang agung (kakaluk) rumah adat.

·         Haleka mama artinya mempersembahkan sirih pinang kepada para leluhur.

Hari Kedua: Kegiatan yang dilaksanakan pada siang hari sampai dengan selesai antara lain:

·         Hoda fahi ba artinya penyembelihan darah babi pada kakuluk.

·         Koi ulun: cukur rambut. Setiap anak yang dipanggil namanya didampingi ina fetok (tanta atau bibi keluarga Bapak) maju dihadapan Be Fukun Mamulak (Kepala Suku). Ina fetok duduk bersila sambil memangku si anak agar rambutnya dipotong atau dicukur. Rambut yang dicukur disimpan pada sehelai daun pisang dan disimpan pada tempat sirih (hane matan).

·         Ha adat artinya makan adat. Semua anak yang rambutnya telah dicukur akan makan bersama keluarga dari Bapak. Makanan ini disuguhkan oleh ferek-ferek (ibu-ibu) fukun Mamulak pada bikan timur (piring tradisional yang terbuat dari lumpur atau tanah liat yang sudah diolah dan steril digunakan). Pada saat makan tidak boleh tegur sapa, karena dianggap pemali. Makanan dan daging yang ada di dalam bikan harus dihabiskan.



·         Penyerahan lukton atau Uang Logam Pada Kepala Suku Mamulak, sebagai bentuk ungkapan syukur dan terima kasih. Uang logam zaman dahulu ini akan disimpan pada tempat yang disediakan  yakni  kloat di dalam rumah adat Suku Mamulak.



·         Makan Bersama semua anggota keluarga yang hadir pada upacara ritual adat koi ulun

·         Teber Bersama sebagai ungkapan kegembiraan.

 

Kesimpulan

Berdasarkan temuan penulis dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal masyarakat suku Mamulak Kampung Numbei mempunyai nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan dasar hidup bermasyarakat untuk membangun karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut pantas dijadikan fondamen hidup karena di dalamnya terkandung aspek hatene, hanoin, dan halaok. Hatene mengandung arti tahu tentang jati diri sebagai makhluk Tuhan, yaitu sehebat-hebatnya manusia tetap di bawah kendali Tuhan Yang Maha Esa. Hanoin artinya manusia itu tidak boleh lupa bahwa dirinya kelak akan kembali kepada Tuhan yang telah menciptakan manusia. Halaok berarti manusia wajib untuk menyempatkan diri mengingat Tuhan dengan cara berdoa. Dapat disimpulkan bahwa terdapat relevansi antara kearifan lokal dan karakter bangsa. Kearifan lokal dengan demikian dapat membangun karakter bangsa. Hal ini sependapat dengan Wagiran (2012:329), yang menyatakan bahwa nilai-nilai kearifan lokal bukanlah penghambat pada era global, namun menjadi kekuatan yang luar biasa dalam membangun karakter bangsa.

Pembangunan karakter bangsa dan pen-didikan memiliki andil untuk memajukan agar menjadi bangsa yang maju dengan sumber daya manusia yang berilmu, berwawasan kebangsaan, dan berkarakter. Karakter merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga hilangnya karakter menye-babkan akan hilangnya generasi penerus bangsa. Tujuan pembangunan karakter bangsa adalah un-tuk memperkuat jati diri bangsa, untuk menjaga keutuhan NKRI, untuk membentuk masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, dan membentuk bangsa yang bermartabat. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter berasal dari nilai-nilai budaya masyarakatnya.

Nilai kearifan lokal mempunyai relevansi dengan pembangunan karakter bangsa. Oleh karena itu, upaya menggali nilai kearifan lokal merupakan langkah yang strategis dalam pembangunan karakter bangsa. Kearifan lokal merupakan nilai yang berlaku dan diyakini dalam suatu masyarakat serta menjadi acuan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal dalam masyarakat dapat ditemui dalam semboyan, konsep, pepatah, nyanyian, kitab-kitab kuno, tradisi, dan cara masyarakat lokal memenuhi kebutuhan hidupnya.


Simak Video Upacara Adat Cukur Rambut "Koi Ulun"



 GALLERY FOTO RITUAL ADAT KOI ULUN SUKU MAMULAK KAMPUNG NUMBEI
































































































Kepustakaan

 

Abidin, Y. Z., & Beni, A. S. 2014. Pengantar Sistem Sosial Budaya Di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.

 

Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

 

Dahliani. 2015. “Local Wisdom in Built Environment in Globalization Era”. International Journal of Education and Research, 6(3), 157–166.

 

Darahim, A. 2015. Membentuk Jati Diri & Karakter Anak Bangsa. Jakarta: Institut Pembelajaran Gelar Hidup.

 

Fahrianoor. 2013. “The Practice of Local Wisdom of Dayak People in Forest Conservation in South Kalimantan”. Indonesian Journal of Wetlands Environmental Management, 1(1), 37–46.

 

Gustiningrum, PW dan Idrus Affandi. 2016. “Memaknai Nilai Kesenian Kuda Renggong dalam Upaya Melestarikan Budaya Daerah di Kabupten Sumedang “. Journal of Urban Society’s Art. 3(1), 20–27

 

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.

 

Jakarta: PT Rineka Cipta.

 

Lickona, T. 2013. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Jakarta: PT Bumi Aksara.

 

Nurgiyantoro, B. 2011. “Wayang Dan Pengembangan Karakter Bangsa”. Jurnal Pendidikan Karakter, 1(1), 18–34.

 

Rumansara, E. H. 2003. “Transformasi Upacara Adat Papua: Wor dalam Lingkungan Hidup Orang Biak”. Jurnal Humaniora, 2(15), 212– 223.

 

Sukatno, A. 2003. “Seni Pertunjukan Wayang Ruwatan Kajian Fungsi dan Makna”. Harmonia Jurnal Pengetahuan Dan Pemikiran Seni, 1(1), 1–16.

 

Sukirno. 2009. “Hubungan Wayang Kulit dan Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa”. Brikolase, 1(1), 16–32.

 

Sulasman, & Gumilar. 2013. Teori-Teori Kebudayaan: dari Teori Hingga Aplikasi. Bandung: Pustaka Setia.

Suparlan, H. 2014. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, 1(25), 1–19.

 

Tampubolon, A dan Cecep Darmawan. 2016. “Fashion Budaya Nasional dalam Konteks Wawasan Kebangsaan: Studi Kasus pada Jember Fashion Carnaval”. Journal of Urban Society’s Art, 3(1), 11–19

Wagiran. 2012. “Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis Budaya)”. Jurnal Pendidikan Karakter, 3, 329–339.

 

Yunus, R. 2014. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa Studi Empiris tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish.

 

 



[1] Pada jaman dahulu/ nenek moyang, orang Malaka mengenal Badut Malaka sebagai tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai penerang/ lampu tradisional (badut malaka putih/ “mutin”). Selain itu, Badut Malaka juga dipercayai sebagai penghalau kekuatan roh jahat (badut malaka merah/“mean”)

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama