Jika Pilkada Kabupaten Malaka Bernafas Cinta: Antara
Chauvinisme Politik dan Intervensi Hak Politik
Jelang
Pilkada serentak, euphoria politik sangat kuat terlihat dalam pergerakan
pendukung suatu paslon. Kecintaan terhadap paslon bahkan menjadi aktivitas yang
“dilancarkan” untuk selalu diikuti. Terlebur dalam nuansa kebersamaan sesama
pendukung, tentu menjadi alasan kuat selain membangun branding kekuatan paslon
yang didukung agar layak disebut sebagai calon kuat sebagai pemenang Pilkada.
Adakah yang salah dari spirit dukungan terhadap suatu paslon? Tentu tidak.
Namun, harus diingat bahwa spirit pun memiliki kebhinnekaan. Dalam hal ini,
tidak semua orang tentu memiliki persepsi yang sama dalam politik, yaitu tidak
sama dalam menentukan hak politik.
Chauvinisme
Politik, Haruskah Menjadi Fanatisme is Toxic?
Berbicara
Chauvinisme, awalnya adalah berkaitan dengan patriotisme. Bahwa makna awal dari
chauvinisme adalah paham mengenai cinta tanah air dan bangsa (patriotisme) yang
berlebihan. Dalam sejarah, Pencetus aliran ini adalah Nicolas Cauvin, seorang
tentara setia Napoleon Bonaparte. Walaupun di saat Napoleon kalah, Chauvin
tetap setia kepadanya. Istilah tersebut akhirnya muncul dengan sebutan yang
dikonsepkan nama Chauvin.
Chauvinisme
hampir sama dengan primordialisme, yaitu ikatan seseorang pada kelompok yang
menilai kelompoknya superior (kelompok lain inferior). Penilaian tersebut diperolehnya
melalui sosialisasi dan internalisasi (internalized
value). Primordialisme sangat berperan dalam membentuk sikap primordial
seseorang, yaitu sikap yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berasal dari
kelompoknya merupakan satu-satunya yang ‘terbaik’ dan ‘terbenar’, yang lain
nomor berikutnya. Sikap primordialisme dapat membentuk sikap etnosentrisme,
yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subjektif.
Dalam
perkembangannya, sikap-sikap tersebut jika tidak memiliki batas, maka
memunculkan sikap fanatisme ekstrem atau fanatikme sempit yang selalu
membenarkan kelompoknya sendiri. Saat dikaitkan dengan situasi politik, maka
pembenaran, peng-nomorsatu-an, peng-superioritas-an, dan pencintaan yang
berlebihan, adalah terhadap kelompok politiknya sendiri ataupun tokoh
panutannya dalam politik.
Fanatikme
sempit namun toxic (fanatisme is toxic).
Ungkapan tersebut sebenarnya sering diperbincangkan terutama saat perhelatan
kontestasi politik. Bahwa akan semakin terlihat nuansa toxicnya-sebuah fanatisme,
tatkala efek domino pengkubu-kubuan pertarungan politik dimulai. Efek domino
inilah yang kemudian memicu “Politik Panas”.
Politik Santun: Peredam “Politik
Panas”
Fanatikme
yang berlebihan, membentuk pentingnya kepentingan kelompoknya sendiri di atas
kepentingan orang lain. Sikap seperti itu melahirkan beragam perilaku dan
tindakan yang dapat menghalalkan segala cara, bahkan bersifat anti humanisme
karena melanggar batas-batas (boundaries)
sosial. Fanatikme yang berlebihan bahkan cenderung destruktif. Sisi destruktif
bisa menyentuh banyak aspek sosial. Terlebih ketika hal ini dilatarbelakangi
kepentingan politik. Anti humanisme dapat terjadi saat egalitarianisme
(kecenderungan berpikir bahwa seseorang harus diperlakukan sama pada dimensi
seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau budaya), terabaikan. Efek
berikutnya adalah superioritas pada tokoh politik panutannya tanpa menyadari
bahwa politik seyogyanya bersifat temporal.
Proses
politik berpotensi memberikan perubahan pada banyak aspek, termasuk dalam
hubungan sosial. Sebagai contoh, loyalitas maupun fanatisme ekstrem menjadikan
kepentingan tokoh politik yang dipanuti, lebih diutamakan dibandingkan orang
dekatnya sendiri.
Jika ditarik dalam pilkada serentak saat ini, supporter dalam kontestasi
pilkada, memiliki semangat kuat memenangkan jago atau panutannya. Yang terjadi
adalah, jika spirit memenangkan pilihannya tidak dapat diredam, maka akan
mengubah sisi emosional. Dimana jago yang didukung adalah dewa yang sempurna
yang tidak bisa dicelah sedikitpun oleh siapapun. Bahkan, para suporter akan
turut membrainstorming siapapun agar memiliki pilihan yang sama, dan akan
menolak yang sifatnya kontradiktif, meskipun dengan orang dekatnya. Dampak
lainnya adalah intervensi hak berpolitik. Itulah alasan mengapa politik santun,
harus terjaga. Sikap-sikap politik seyogyanya tidak mengabaikan budaya
ketimuran bangsa yang menghargai “tata krama” dalam ber-unggah-ungguh.
Politik Sejatinya Adalah
Pertarungan Strategi, Bukan Psikologis
Politik
dan demokrasi, seharusnya sebuah bagian kemerdekaan setiap individu untuk
berbicara dan menentukan pilihan, namun tatkala sisi psikologis (unsur
subyektifitas) tidak terbentung, maka nilai orisinil dari politik pun hilang.
Politik sejatinya adalah sebuah adu strategi, bukan adu psikologis. Karena
kekuasaan yang ingin diraih dalam sebuah proses politik, sejatinya bukanlah
tujuan akhir sebuah proses tersebut.
Harry
R. Yarger menjelaskan bahwa power is a
means, not an end, kekuasaan adalah sebuah sarana, bukan akhir. Jika
dikaitkan aspek agama, sebagai contoh, bahwa sarana disini adalah bagaimana
sebuah kemasalahan dapat diraih. Kemanfaatan, kebaikan, sifatnya dapat
dirasakan orang banyak, bukan semata kelompok pribadi. Urgensi memandang
kekuasaan adalah sarana untuk berbuat kemaslahatan, karena kekuasaan tak lain
bagian dalam sebuah strategi. Oleh Yarger, strategi adalah tentang masa depan.
“All strategy is about the future, The
future is where strategy has its effect.”
Menyikapi
politik sebagai bagian demokrasi yang harus menghormati kebhinnekaan, karena
politik hari ini adalah investasi untuk situasi politik suatu bangsa di masa
depan. Oleh Ibnu Khaldun, strategi dalam sebuah pemerintahan, harus melihat
sejarah. “It should be known that history
is a discipline that has a great number of (different) approaches”.
Dikaitkan dengan Indonesia, merupakan hal patut disyukuri bahwa negri ini
memiliki sejarah yang sangat istimewa, yaitu perjuangan yang bersatu melawan
penjajah. Maka sejarah ini seharusnya menjadi pondasi penting ketahanan bangsa
untuk tetap menjaga agar Indonesia tetap berdiri tegak dalam pondasi persatuan.
Namun, saat demokrasi berpolitik tak lagi mengindahkan nilai persatuan, tak
lagi memiliki tolerasi dalam kebhinnekaan hak politik, maka politik santun
menjadi keniscayaan. Akhirnya, sebuah pertanyaan besar terbentuk : “Politik
ADEM 2020: Aman Damai tentram, Mungkinkah ?
Jika Pilkada Kabupaten Malaka
Bernafas Cinta
Pilkada damai, harapan seluruh warga Kabupaten
Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, seluruh rakyat Indonesia, bahkan seluruh
manusia di dunia. Siapa yang suka segala hal berjalan lancar dalam kedamaian?
Pilkada, pemilukada, sebagaimana pemilu-pemilu lainnya, pileg, pilpres,
pilkades, hanyalah suatu cara mencapai tujuan bersama, memilih wakil atau
pemimpin, di bawah aturan yang telah disepakati bersama dalam tata kehidupan
bernegara.
Pilkada damai, bersalaman jangan berhenti pada
simbol-simbol ritual semata, namun mesti mengejawantah dalam tiap tapak langkah
berikutnya. Seperti ikrar sepasang manusia yang hendak membangun mahligai rumah
tangga dalam ritual pernikahan, pilkada pun butuh cinta.
Kabupaten Malaka adalah rumah bersama membangun
keluarga. Tak ada keluarga bahagia tanpa keharmonisan antar anggota, dan tiada
keharmonisan antar anggota tanpa dilandasi rasa cinta. Jika pilkada bernafas
cinta, maka jangan pernah ada dusta di antara kita. Di dalam keluarga,
kedamaian adalah dambaan setiap jiwa, lintas batas, lintas usia, lintas ras dan
lintas agama, semua manusia berhak dan bertanggungjawab menciptakan kedamaian.
Jika pilkada bernafas cinta, apapun yang terjadi
selalu indah akhirnya. Jika hendak diartikan sebagai pertarungan atau laga,
namun selama tetap bernafas cinta, maka siapapun yang kalah atau menang tetap
berbuah cinta, damai selalu alam dunia. Ksatria bertugas memperjuangkan apa
yang telah diamanatkan, pertarungan memang kadang tak terelakkan. Namun
pertarungan para ksatria adalah pertarungan bernafas cinta, bukan karena dendam
kebencian ingin menghancurkan.
Semua hanya menjalani peran, wayang-wayang dengan
lakon masing-masing, tunduk pada kehendak sang dalang, selesai urusan, masuk
kotak penyimpanan. Semua senang, semua menang, semua tenang. Hidup dan menang
dengan damai, kalah dan terbunuh dengan damai. Hidup mati, kalah menang, nyaris
tak ada bedanya, jika merupakan akhir dari nafas cinta.
Jika pilkada bernafas cinta, hendak dimaknai sebagai
kompetisi menjadi yang terbaik, semua bisa berlomba mengerahkan kemampuan
terbaiknya. Bermula di atas balok tumpu kebaikan, berlari di lintasan trek
kebaikan, berakhir di garis finish kebaikan, menjadi yang pertama atau yang
terakhir, tak lantas membuat hidup dan karier berakhir. Cinta dan kebaikan
saling membutuhkan. Bila yang satu menjadi akibat, yang lain menjadi alasan,
jika yang lain menjadi akibat, maka yang satu menjadi alasan.
Jika pilkada bernafas cinta, tujuan apapun tak
menjadi problema. Cinta membawa damai, damai membawa cinta. Romantisme penuh
dinamika. Politik hanya sebuah cara. Kekerasan hanya membawa
luka-luka. Pengkhianatan hanya membuat rasa kecewa. Rekayasa hanya mencipta
sesak dada. Nafas cinta menghembuskan kesejukan, kedamaian menyebarkan
kebahagiaan, kekeluargaan di atas segala perbedaan kepentingan.
Jika pilkada bernafas cinta, pengorbanan akan indah
terasa. Fitrah manusia saling memberi untuk menerima, keserakahan hanyalah
bisikan setan yang merusak kedamaian manusia. Memang selalu ada bakteri-bakteri
demokrasi, jangkrik-jangkrik politik yang gemar menebar konflik, penumpang
gelap perusak suasana. Iblis penyebar fitnah dan pengadu domba, penggunting
dalam lipatan, pemancing ikan di air keruh, politikus bulus homo homini lupus.
Namun cinta menjadi penawarnya, hanya roh cinta yang
menyelamatkan manusia, dalam pilkada Kabupaten Malaka-NTT. Nafas cinta dalam
pilkada, telah disimbolkan dengan salaman damai Stefanus Bria Seran dan Simon
Nahak, aktor utama dua ksatria yang siap berlaga di putaran pilkada Malaka 2020.
Semua mesti menyelam ke dalam lautan makna bersama, bergerak serentak bagai
simfoni paduan suara, kolaborasi sempurna elit-publik, pemimpin-rakyat, tanpa
kecuali.
Jika pilkada bernafas cinta, harta, tahta dan wanita
bukanlah masalah. Semua manusia butuh harta-kekayaan, tahta-kekuasaan dan
wanita-pasangan. Namun cinta menjadi pagar yang menjaga jiwa untuk tetap
menghidupkan roh kedamaian, rahmat, kasih sayang, inti sari ajaran nilai-nilai
luhur manusia. Cintalah yang menghidupkan kesadaran untuk saling menjaga
martabat dan harkat sebagai makhluk berkeadaban mulia.
Pilkada bernafas cinta, spirit nilai-nilai
Pancasila, bukti rahmat Tuhan, humanisme-kemanusiaan, persaudaraan persatuan
keluarga bangsa, kerakyatan hikmah kebijaksanaan, hingga akhirnya berbuah pada
keadilan sosial berpemerataan. Nafas cinta berhembus dalam roh demokrasi sejati
nusantara, res-publica, roh absolut negara, agama publik universal, daulat
rakyat, cita-cita bersama Indonesia merdeka.
Pilkada bernafas cinta, bersalaman dalam kedamaian,
demi keluarga besar warga Kabupaten Malaka. Jika diawali dengan cinta,
seharusnya berakhir dengan cinta, semua bernilai kebaikan. Meski kadang perlu
pengorbanan yang menyakitkan, kadang penuh tetesan darah, keringat dan air mata
duka lara, namun nafas cinta mengubahnya menjadi makna yang membawa manusia
tetap berharga.
Tujuan
Pilkada Serentak untuk memperkuat sistem presidensial yang sudah lama berlaku
di Indonesia dan menciptakan iklim demokrasi. Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam
Negeri mengingatkan agar kita bisa menghargai perbedaan pilihan politik, jangan
ada intimidasi. Tunaikan hak pilih berdasarkan hati nurani. Pilkada harus
menghadirkan suasana yang riang gembira, bukan kemudian malah kontes yang
menakutkan. Ayo ciptakan Pilkada Malaka 2020 aman dan damai.
Salam
Penimba Inspirasi Jalan Setapak,
Rabu, 18
November 2020