Peran Perempuan tak Hanya Urusan Dapur-Sumur-Kasur?

Peran Perempuan tak Hanya Urusan Dapur-Sumur-Kasur?


Perempuan di Dapur Kehidupan

Weldemina Yudit Tiwery


Setiap pagi dikau di sana untuk menyediakan sarapan pagi

dan memastikan bahwa semua orang di rumah

memulai hari dengan tiada kekurangan makan

Setiap siang dikau di sana untuk menyediakan makan siang

dan memastikan bahwa semua orang di rumah

tak kelaparan sepanjang hari

Setiap sore dikau di sana untuk menyediakan kudapan sore

dan memastikan bahwa semua orang di rumah

telah menjalani hari dengan baik

Setiap malam dikau ada di sana untuk menyediakan makan malam

Dan memastikan bahwa semua orang di rumah

akan menikmati istirahat dengan perut kenyang

Di mata orang modern dapur tak berharga

Namun dikau memberinya harga yang tinggi sebagai dapur kehidupan

Dan  tiada kehidupan yang tiada berharga

Dikau mengolah makanan dan minuman kehidupan di sana

Otakmu merancangkan menu kehidupan di sana

Jemarimu mencetakkan asupan kehidupan di sana

Di panci dan kuali makanan kehidupan dimasak

Bersama keringat dan doa

Dan dikau menyajikannya penuh cinta setiap hari

Semenjak pagi, siang, sore hingga malam.

Begitu seterusnya siklus kehidupan

Berporos di dapur

Di mata orang modern dapur tak berharga

Namun di sana dikau membubungkan setinggi-tingginya asap kehidupan

Hingga ke singgasana Illahi

Menyeruakkan aroma rempah nan harum melebihi aroma parfum impor

Semua orang terpesona karenanya

Di mata orang modern, dapur tak berharga

Namun di sana terdapat meja hidangan cinta

Cinta yang tersaji tanpa meminta balas

Cinta yang terberi tanpa syarat

Cinta yang teraktakan tanpa banyak kata

Maka jika engkau pencinta kehidupan

Jangan seorangpun menghinakan perempuan dan dapur

 

Feri Kairatu-Ambon, 22 Oktober 2017

 

Peran Perempuan tak Hanya Urusan Dapur-Sumur-Kasur

 

Pandangan R.A Kartini Tentang Perempuan


Dalam catatan sejarah, RA Kartini digambarkan sebagai perempuan luar biasa. Di kala adat istiadat memaksanya bergumul di dapur-sumur-kasur, Kartini malah rajin menulis dan membaca buku, majalah, koran, hingga Alquran.


Sebelum berusia 20 tahun, berbagai buku yang dilahapnya antara lain, De Stille Kracht (The Hidden Force) karya Louis Couperus, kemudian karya-penulis Frederik van Eeden, Augusta de Witt, Mrs Goekoop de-Jong van Beek, dan Berta von Suttner. Sebagian besar adalah penulis-penulis negeri Belanda.


Selain itu, berbagai surat kabar juga tak luput dibacanya. Seperti surat kabar Semarang De Locomotief, yang disunting Pieter Brooshooft. Termasuk, majalah budaya dan ilmiah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Di majalah yang terakhir ini, Kartini mulai mengirimkan tulisan-tulisannya yang diterbitkan.


Perempuan yang namanya menjadi simbol emansipasi perempuan Indonesia itu lahir dari keluarga yang dekat dengan Pemerintah Belanda. Tak heran, ia bisa dengan mudah mendapatkan buku, koran, dan majalah, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia saat itu adalah barang langka. Bahkan, di usia 20 tahun, ia sudah fasih berbicara dan membaca bahasa asing.


Kecintaanya dalam menulis, membuatnya menyukai membaca artikel-artikel jurnalistik, berbagai buku, hingga menjalin persahabatan lewat dunia pena dengan teman sebaya dari luar negeri. Literasinya pun kian kaya.


Belajar tak kenal umur, kata Kartini dalam buku yang berisi kumpulan surat-suratnya, Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). "Belajar pada usia yang sudah matang ada pula lah keuntungannya. Kami sekarang mengerti jauh lebih baik dan memahami segala sesuatu. Dan, banyak hal, yang dulu bagi kami mati sekarang menjadi hidup. Kami tertarik terhadap sangat banyak hal yang dulu tidak kami pedulikan, semata-mata hanyalah karena: kami tidak mengerti," (cuplikan surat kepada Ny Abendanon, Jepara 8 April 1902).


Tentang cita-cita, "Dalam gelap dan kabut itu terlihatlah oleh kami suatu bayang-bayang yang bersinar-sinar dengan indahnya, melambai-lambai dengan ramahnya. Itulah cita-cita kami! Tidak, kami tahu sekarang. Kami tidak dapat lagi melepaskannya, sudah menjadi satu dengan kehidupan kami. Melepaskan cita-cita itu berarti menenggelamkan diri. ... Kami harus diberi hati baru, otak baru, dan darah baru, apabila hendak mengubah pikiran dan perasaan kami ...," (cuplikan surat kepada Ny Abendanon, Jepara 29 November 1901).


Tentang hidup adalah cobaan, "Jangan berputus asa, dan jangan menyesali nasib malang. Sehingga menjadi bosan hidup. Kesengsaraan membawa nikmat. Tidak ada sesuatu yang terjadi berlawanan dengan Rasa Kasih. Kutuk hari ini, besok ternyata rahmat. Cobaan adalah pendidikan dari Tuhan!" (cuplikan surat kepada Ny Abendanon, Jepara 4 Juli 1903).


Membaca sekilas dan memahami isi suratnya, benar-benar memberi gambaran yang jelas, seluas dan sedalam apa pemikiran-pemikirannya. Visi misi seorang manusia tentang wajibnya mencari ilmu, kerja keras meraih cita-cita, memberikan uswah keteladanan sangat butuhnya manusia terhadap Tuhan dan tegarnya menghadapi cobaan. Semua menunjukkan kematangan dan kedewasaannya.



Dari tulisan-tulisan curahan hatinya, jelaslah Kartini adalah sosok yang religius. Ayahnya seorang bupati Jepara—Raden Mas Adipati Sastrodiningrat. Merupakan cucu dari Bupati Demak Tjondronegoro. Ibunya MA Ngasirah, putri dari Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara, dan Nyai Haji Siti Aminah. Maka wajar jika surat-surat Kartini banyak yang bernapaskan Islam. Seperti terungkap dalam tulisan di bawah ini:


"Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik ... sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?" (surat Kartini kepada Abendanon 27 Oktober 1902).


"Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang," (surat Kartini kepada Ny Abendanon 5 Maret 1902).

"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah," (surat Kartini ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903).


"Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai," (surat Kartini kepada Ny Van Kol, 21 Juli 1902).


"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri kepada tangannya, menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama," (surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).


Jika kita merunut tanggal penulisan surat-suratnya, jelas sekali Kartini telah menjadi semakin cerdas dengan berpegang teguh pada ajaran Islam. Awalnya, ia memang terkagum-kagum dengan kehebatan peradaban Barat, namun pada akhirnya ia mengacuhkan.



Menurutnya, banyak hal-hal dari Barat yang tidak layak disebut peradaban. Mulanya, ia memang tercerahkan dengan dahsyatnya pemikiran Barat, namun pada akhirnya ia beristighfar (bertaubat). Rencananya, ia ingin sekali memperjuangkan "kesetaraan gender", namun pada kesimpulannya bukan itu yang ia inginkan. Yang diperjuangkan justru "keserasian gender". Artinya, keserasian antara peran dan tanggung jawab seorang laki-laki (suami) dan perempuan (istri) baik di rumah maupun di luar rumah.

 

Makna dapur api di rumah panggung dalam kehidupan warga etnis minoritas Thai


Dalam rumah panggung tradisional dari warga etnis minoritas Thai, tidak bisa kurang dapur api. Dulu, di setiap keluarga warga etnis minoritas Thai ada generasi-generasi yang hidup bersama  maka setiap rumah panggung, biasanya mempunyai 3-5 ruangan, ada dua tangga yang diletakan di dua ujung rumah dan ada dua ruang dapur. Dalam bahasa Thai, dapur yang diletakkan di bawah kamar tidur tuan rumah disebut sebagai “Chi phay coc” sedangkan dapur luar disebut sebagai “Chi pay pai”. Dua dapur tersebut memiliki manfaat dan makna kemanusiaan yang berbeda serta ada tabu-tabu yang tertentu. Bapak  Ca Van Chung, di Dukuh Co Puc, Kecamatan Chieng Ngan, Kota Son La, Provinsi Son La, Vietnam Utara mengatakan:


“Dapur api sangat diperlukan terhadap satu rumah panggung. Satu rumah yang hangat seharusnya ada dapur api. Menurut adat-istiadat dari warga etnis minoritas Thai, dapur api biasanya dibuat oleh garis ibu. Ketika dapur selesai, seorang yang mewakili  garis ibu akan membakar api pertama”.


Warga etnis minoritas Thai berpikir bahwa Dewa Dapur juga adalah  Dewa Api. Dewa Api memegang posisi yang teramat suci dalam rumah, menghangatkan para anggota keluarga pada hari-hari musim dingin. Dewa Api membuat nasi enak dan Dewa Dapur membuat miras lezat. Dulu, di daerah pedesaan dan pegunungan belum ada listrik maka dapur api digunakan untuk menerangi  dan menghangatkan seluruh keluarga. Semua pekerjaan yang besar atau kecil dalam keluarga juga dibahas dan disetujui di sekitar  dapur api. Oleh karena itu, semua keluarga selalu mempertahankannya supaya  api tidak dipadamkan, terutama pada musim dingin. Tong Van Hia, di Dukuh Mong, Kecamatan Hua La, Kota Son La, Provinsi Son La mengatakan:


“Ruang dapur “Chi phay coc” biasanya ditelakkan di bawah dan berhadapan dengan ruang  pemujaan  nenek-moyang. Dapur ini sedikit digunakan untuk memasak setiap hari, hanya digunakan untuk menghangatkan dan mendidih air. Ketika  ada tamu, semua orang akan berkumpul di sekitar dapur ini  untuk berbincang-bincang”.


Khususnya, dalam ruang dapur di bawah kamar  tidur tuan rumah (atau Chi phay coc), anak-cucu,  terutama menantu perempuan atau para perempuan tidak dapat menggunakannya  untuk memasak atau duduk bersama dengan para orang dewasa di sekitar dapur api. Hal itu memanifestasikan penghormatan  kepada kakek-nenek dan ayah-ibu serta mempertahankan peraturan dalam buku silsilah keluarga. Bapak Tong Van Hia menjelaskan lagi:


“Bagian dapur Chi phay pai diletakkan di ruangan luar rumah panggung. Dapur ini digunakan untuk memasak dan tidak ada tabu-tabu. Semua aktivitas  keluarga pada pokoknya berlangsung di ruangan dapur ini. Kalau keluarga ada perempuan yang baru saja melahirkan anak, juga tidur di samping dapur sampai dengan upacara perayaan sebulan untuk anak itu (berusia segenap sebulan), setelah itu, bisa pindah ke kamar tidur dari pasustri dengan maksud merawat ibu dan bayi menjadi sehat”.


 Dewasa ini, masyarakat sedang berkembang, kehidupan semakin menjadi baik, perabot rumah tangga juga lebih kondusif dan modern. Tapi pada pokoknya, keluarga warga etnis minoritas Thai masih tetap mempertahankan dapur api. Dalam rumah-rumah panggung warga etnis minoritas Thai, sekarang,  kalau tidak ada cukup dua dapur seperti dulu,  harus ada satu dapur. Hal ini menunjukkan bahwa dapur api sungguh-sungguh mempunyai makna penting dalam kehidupan mereka.

 

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama