Menelisik Romansa Partisipasi
Politik Pilkada di Era Pandemi
Ketika politik berpayung Bhinneka
Tunggal Ika
tanda, menyatunya perbedaan yang
indah sejati
Ketika politik berpayung
Negara Kesatuan Republik
Indonesia
kedaulatan bangsa, abadi nan jaya
Ketika politik berpayung
kejujuran dan kebenaran
pastikan, tiada dusta diantara
kita
Setiap negara dalam
menjalankan roda pemerintahannya selalu berpedoman pada kebijakan politik yang
dianut negara itu. Demikian pula halnya Indonesia, selepas melewati masa Orde
Baru dan bergelut pada era reformasi mulai memperbaharui diri memasuki
paradigma baru bernegara.
Seiring dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, yang
kemudian direvisi menjadi UU No 32 tahun 2004, kemudian diperbaharui kembali
melalui kemunculan UU No 23 tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah, paradigma
birokrasi di Indonesia mengalami perubahan dari paradigma pemerintahan yang
sentralistik ke mode desentralistik.
Perubahan ini membawa
konsekuensi terhadap mekanisme pelaksanaan partisipasi publik dalam
penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan. Implementasi desentralisasi di
setiap daerah berimplikasi pada semangat daerah untuk berlomba-lomba memajukan
daerahnya melalui kreatifitas dan inovasi dari masyarakat dan pemimpin
daerahnya untuk bergerak ke arah kemajuan dan kesejateraan. Semangat otonomi
daerah dan desentralisasi begitu bergelora sampai ditingkat desa, semboyan
membangun dari desa pun bergema mengisi diskursus pembangunan daerah.
Sistem pemilihan
langsung kepala daerah berimplikasi positif pada peran serta masyarakat untuk
terlibat aktif menentukan arah pembangunan daerah melalui suara sahnya ketika
memilih pemimpin daerah yang menurut masyarakat tepat untuk menahkodai daerah
tersebut.
Dengan adanya sistem
tersebut, potensi untuk menjadi pemimpin di daerah begitu besar bagi setiap
masyarakat di daerah tersebut. Sayangnya, untuk maju melalui jalur independen
dalam setiap pemilihan kepala daerah sangatlah sulit sebab butuh sosok yang sangat
populis baik secara karakter maupun keterlibatan dalam proses perjalanan daerah
tersebut.
Proses pencalonan
kepala daerah dengan mengacu pada UU No 10 tahun 2016 khususnya pada pasal 40
ayat 1 memberi syarat bagi setiap individu atau kelompok yang ingin mengajukan
diri menjadi calon kepala daerah melalui partai politik atau gabungan partai
politik harus memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah
kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25% dari akumulasi perolehan
suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Meneropong
Sikap Partisipan
Ketika segala proses
administratif telah dilalui dan memasuki masa kampanye lalu bergeser lagi ke
proses pencoblosan sampai pada tahap akhir yakni penetapan dan pelantikan
kepala daerah terpilih, posisi masyarakat masih terlibat aktif dalam proses
partisipasif, dan euforia berdemokrasi terlihat batang hidungnya.
Lantas, sejauh mana
partisipasi masyarakat setelah proses pelantikan terjadi? Partisipasi
masyarakat setelah proses terjadi terkesan mengalami degradasi dari grafik yang
sejak awal proses pemilukada di adakan sampai pada pelantikan, partisipasi
masyarakat terlihat begitu melonjak tinggi bahkan sampai menyentuh
"langit-langit" dari peta grafik, semakin berkurang euforia pesta
demokrasi, maka semakin melorot perjalanan grafik partisipasi masyarakat.
Masyarakat kembali
disibukkan oleh aktivitas dan rutinitas harian mereka dalam menafkahi hidup dan
kehidupannya walaupun masih ada yang benar-benar terlibat langsung seperti para
tim sukses yang selalu hilir mudik memantau perkembangan perolehan suara
berbasis data statistik hasil survei ataupun berbekal klaim-klaim sepihak atas
kemenangan yang diraih pasangan calon yang didukungnya.
Fenomena partisipasi
politik musiman masih menghantui proses demokrasi pada daerah-daerah di
Indonesia. Sejauh pengamatan saya, fenomena ini bisa timbul diakibatkan oleh
adanya keinginan bersama untuk menyuarakan aspirasi secara massal oleh suatu
kelompok pada suatu daerah mengenai problematika yang sedang dihadapi. Kemudian
adanya kerinduan untuk mengimplementasikan hakikat utama dari politik yakni
mencapai kebahagiaan umum yang mungkin sampai saat ini masih bias makna sebenarnya.
Hal ini bisa dilihat dari keseriusan masyarakat untuk tetap terlibat dalam
perumusan, pelaksanaan, evaluasi suatu kebijakan pascapemilihan.
Selain itu juga, di
saat pesta demokrasi berlangsung, tidak bisa dipungkiri bahwa peredaran uang
yang sangat besar baik sebagai "mahar politik" sebagai dampak dari
mahalnya biaya politik ataupun sebagai momentum bagi sekelompok orang tertentu
untuk mencicipi "dana gratis" dari pasangan calon yang ingin
mendapatkan suara melalui jalan terjal money politics.
Pola-pola menuhankan
uang dalam politik marak sekali terjadi. Ini berdampak pada kualitas pemimpin
yang ditelurkan dikemudian hari. Satu tahun awal masih pada tahapan pencitraan
seperti sebelumnya agar masyarakat tidak shock. Tahun kedua dan tahun ketiga mulai
mengembalikan dana politik yang telah dipakai sebelumnya dengan berbagai
strategi baik itu money loundry, mark-up anggaran, sampai pada
politik balas budi. Lalu di dua tahun berikutnya berfokus pada budaya menabung
untuk target pemilu di periode berikutnya sehingga target pemajuan daerah hanya
isapan jempol dan semboyan belaka. Pola-pola seperti ini layaknya rahasia umum
bagi masyarakat kita.
Membumikan
Demokrasi di Era Pandemi
Ketika Indonesia
diterpa pandemi Covid-19, pelaksanaan pemilihan kepala daerah juga mendapat
tantangan tersendiri, melalui Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 yang mengatur
pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada pada masa pandemi. Setiap daerah yang
mengadakan pesta demokrasi harus mengikuti protokol covid dalam menjalankan
mekanisme pelaksaannya hingga ide-ide kreatif baru untuk menyuarakan visi-misi
kepada masyarakat. Sebab untuk kegiatan debat publik atau debat terbuka, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) mengatur jumlah peserta yang dapat menghadiri secara
langsung yakni maksimal 50 orang, dan harus melakukan daring secara online jika
ingin mengikuti debat tersebut, serta berbagai macam metode kampanye yang
dilarang dan ada yang diperbolehkan.
Romantisme partisipan
dengan para pasangan calon saat pilkada sedikit dipisahkan oleh aturan pilkada
masa pandemi, hal ini tentunya tidak menyurutkan semangat untuk berpartisipasi
dari masyarakat untuk bisa mengambil bagian dalam pesta 5 tahunan tersebut.
Tetapi apakah romantisme ini bisa bertahan lama antara partisipan baik itu
antara tim sukses dengan pasangan calon terpilih atau antara masyarakat dengan
pasangan calon terpilih? Entalah. Sebab dalam politik tidak ada yang abadi.
Mengutip dari
republika.id, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan 243 pelanggaran
protokol kesehatan saat pendaftaran bapaslon. Jumlah itu hampir separuh dari
total 687 pendaftar pilkada. Partai politik dan bakal pasangan calon (bapaslon)
yang melanggar itu tidak menerapkan protokol kesehatan, yaitu membawa sejumlah
pendukung dan melakukan pengerahan massa.
Sering kita jumpai saat
deklarasi pasangan calon di beberapa daerah yang ingin melakukan pendaftaran
diri ke KPU, banyak yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar dan ada beberapa
anggota dalam deklarasi yang tidak mematuhi protokol kesehatan seperti tidak
menggunakan masker, tidak mengindahkan jarak aman antar satu individu dengan
individu lainnya yaitu 1-2 meter. Bahkan adapula tim kampanye/tim sukses dari
pasangan calon tertentu yang tidak menggunakan masker yang mungkin sedikit
memberi gambaran bahwa gegap gempita pesta demokrasi mengalahkan kejamnya virus
corona yang mampu mencabut nyawa seseorang.
KPU sendiri optimis,
partisipasi masyarakat dengan menargetkan partisipasi pemilih sebesar 77,5 %
atau sama dengan pemilihan umum tahun 2019 silam. Dalilnya adalah pemilihan di
tengah pandemi adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat dan bisa memancing
penasaran untuk datang ke TPS .
Namun hal ini berbeda
dengan catatan katadata.co.id, yang memaparkan bahwa partisipasi pemilih pada
dua Pilkada terakhir tak pernah menyentuh 80%. Tahun 2018, Pilkada digelar di
171 daerah dengan prosentase partisipasi masyarakat sebesar 73,24%. Sementara
itu pada Pilkada tahun 2015 yang diselenggarakan di 264 wilayah menampilkan
data yang lebih rendah, yakni sebesar 70%. Hal ini diungkapkan mengingat daerah
penyelenggara Pilkada 2020 mayoritas sama dengan Pilkada 2015.
Partisipasi masyarakat
untuk bergelut dalam semangat demokrasi memang sangat penting. Maka dari itu,
perlu terobosan baru dari pasangan calon untuk dapat mengakomodasi sikap partisipatif
dari masyarakat baik itu melalui pertemuan daring seperti webminar melalui
media sosial ataupun media elektonik, ataupun menerapkan strategi door to
door atau strategi-strategi politik konvensional dengan mengedepankan protokol
covid.
Atau seperti cara baru
yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon walikota Solo yaitu Gibran
Rakabuming yang memanfaatkan teknologi dengan berkampanye secara daring melalui
LCD yang didesain sedemikian rupa dengan ditopang oleh roda agar mempermudah
mobilitas media tersebut sehingga mudah berkeliling dari satu tempat ke tempat
yang lain, sehingga masyarakat bisa secara langsung berkomunikasi dengan Gibran
tanpa harus bertemu secara fisik.
Ide baru ini memang
cocok di implementasikan di daerah Jawa yang infrastruktur teknologi
informasinya lebih baik, namun sangat sulit untuk dipraktikkan di beberapa
daerah pelosok tanah air yang infrasturktur fisik berupa jalan, jembatan yang
masih jauh panggang dari api, dan infrastruktur politik masih belum mumpuni
apalagi dengan kondisi jaringan listrik dan internet yang masih terbatas
membuat ide kampanye secara daring atau webminar masih mengalami kendala.
Untuk itu, para
partisan perlu berinovasi agar tetap mampu melibatkan partisipasi masyarakat
dalam berinteraksi dengan calon pemimpinnya tanpa harus mengumpulkan massa
dalam jumlah besar yang menyalahi aturan protokol kesehatan masa pandemi
ini.
Sedangkan bagi
penyelenggara pemilu untuk menyediakan media dan ruang penyampaian aspirasi
demi menampung jeritan masyarakat agar dapat dirangkum untuk dijadikan
pertanyaan saat debat publik berlangsung sehingga pertanyaan-pertanyaan bisa
serelevan mungkin dengan kondisi riil ditengah masyarakat dan apabila memungkinkan
untuk memperbanyak jumlah TPS agar tidak menyebab pengumpulan massa dalam satu
tempat pada waktu tertentu.
Kreatifitas baru perlu
dikembangankan agar partisipasi masyarakat dalam menyambut dan terlibat dalam
pesta demokrasi bisa terakomodasi baik itu saat proses awal, masa kampanye,
tahapan pencoblosan atau saat pesta demokrasi telah usai sehingga keterlibatan
masyarakat baik saat musrenbangdes, musenbangcab, musrenbang, ataupun saat
perumusan maupun penetapan RPJMD bisa selalu terlihat. Prinsip Transparansi
informasi dari dan untuk publik tidak tertutup sehingga mampu membumikan konsep
demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat".
Pada akhirnya yang bisa
kita ingatkan kepada para pelaku kampanye, tetaplah mengisi ruang politik
itu dengan cara-cara yang dibenarkan oleh regulasi, etika dan hati nurani.
Tempatkan masyarakat itu sebagai subjek pemilihan. Sebab atas kebaikan dan keikhlasan
hati merekalah calon akan menjadi pemenang. Jangan tinggalkan noda yang hitam
dimasa kampanye ini dengan
menjadikan masyarakat pemilih hanya
sekumpulan orang yang memiliki hak suara untuk dirayu, dibujuk, diiming-iming,
bila perlu dipaksa untuk memilih atau tidak memilih.