Kampung adat Todo di Kecamatan Satar Mese Utara, Nusa Tenggara Timur |
Setidaknya butuh waktu dua jam perjalanan
menggunakan mobil, tapi kalau pakai sepeda motor bisa lebih cepat. Pesona
kampung tradisional yang dihuni 1.395 jiwa ini langsung terpancar kala dipandang
dari atas jalan raya depan Gereja Katolik Todo.
Rasa penasaran mulai bergolak begitu menatap empat
buah rumah kerucut dengan ijuk tua legam berjuntai dari atas ke bawah, serta
deret batu bersusun melingkari halaman kampung. Episentrum halaman terdapat
gunungan batu mazbah menjorok ke pintu rumah adat.
Batu-batu tua setinggi satu meter itu disusun rapi dari gerbang kampung lalu
membagi arah ke kiri dan ke kanan mengikuti bentuk oval halaman yang berada di
depan rumah-rumah kerucut, dan disebut Niang Todo. Empat batang meriam kuno
sisa perang melawan kolonial juga teronggok di pintu masuk Niang Todo.
Masuk ke kintal Niang Todo, pengunjung tidak sekadar
membayar pas masuk. Pengunjung Niang Todo harus menggunakan sarung yang telah
disediakan. Kain tenun khas Todo berbentuk kotak-kotak ini dipakai untuk melindungi
pengunjung dari gangguan roh halus.
“Agar bapak-bapak tidak kenapa-kenapa selama di
sini, ayo silakan pakai,” ujar penjaga situs Niang Todo, Titus Jegadut, seraya
mempersilakan para pengunjung masuk ke kintal Niang Todo, Minggu 4 Juni 2017.
Sambil menapaki batu-batu bersusun, penjaga situ
menceritakan panjang lebar tentang sejarah Niang Todo. Dijelaskan Titus,
kampung adat Todo, konon merupakan pusat kerajaan Manggarai tahun 1111 dengan
baginda raja bernama Tamur.
Istana kerajaan ini kemudian dipindahkan ke
Ruteng pada tahun 1925. Batu-batu susun di pintu masuk lingkungan
Niang Todo masing-masing punya sejarah dan fungsi. Sedikitnya ada lima
batu yang memiliki fungsi berbeda.
Pertama, Watu Ngerungek atau batu tempat dibuatkan
acara adat saat warga meminta turun hujan pada musim kemarau panjang. Kedua,
Watu Jurak atau batu buang sial oleh karena perkawinan sedarah (inces) dan
ketiga Watu Oke Ceki tempat dibuatkan ritual bagi seorang perempuan yang
melepaskan adat istiadatnya untuk mengikuti tradisi suaminya di kampung Todo.
Keempat, Watu Kope Nggor untuk mendeteksi niat dari setiap orang yang datang ke
kampung Todo, dan terakhir Watu Lekek, atau batu sesajen tempat darah hewan
kurban ditumpahkan.
Lihat Juga:
Mumi berusai 2000 tahun lalu ditemukan di Mesir dengan lidah emas
Wisata Sejarah Jong Dobo, Mitos Kutukan Kapal Nan Misterius di Sikka NTT
Anak Kecil: Sebuah Pembelajaran Kepolosan
Rumah kerucut (Niang) di kampung Todo bentuknya sama
dengan rumah Niang, yang ada di Wae Rebo atau kampung Ruteng. Bedanya, pintu
masuk rumah Niang Todo lebih rendah dengan maksud agar siapa pun yang
masuk ke rumah adat ini mesti membungkuk sebagai tanda hormat.
Selain berswafoto dengan latar belakang rumah adat,
pengunjung juga bisa mendapatkan berbagai jenis kain tenun khas Todo. Ada
sebuah bangunan kecil di depan rumah adat biasa dijadikan tempat untuk
menenun berbagai kain tenun seperti Lipa, songket dan selendang syal.
Gendang
kulit bidadari
KEKAYAAN ADAT: Walter Mohon, pemangku adat Todo, menunjukkan peti yang memuat Gendang Loke Nggerang. |
Gadis cantik itu bernama Wela Lowe. Artinya, bunga
yang tengah mekar. Kulitnya putih bening. Jika terpapar cahaya bulan,
pantulannya berpilin tinggi ke langit. Sampai-sampai terlihat dari seberang
lautan. Berkat pengorbanannya, perseteruan tiga raja reda, masa penjajahan
berakhir, dan masyarakat Manggarai bersatu di bawah bendera tunggal, Todo.
Todo lebih jarang dikunjungi. Mungkin karena sudah
tidak alami lagi. Bicara soal desa adat, para turis biasanya lebih suka menuju
Wae Rebo, Verbo, ataupun desa-desa Megalitikum di Bena, Bajawa, Kabupaten
Manggarai Timur.
Kehidupan masyarakat di desa-desa tersebut masih
alami. Rumah adat (niang)-nya masih tegak berdiri, ornamennya masih utuh,
lesung masih berbunyi setiap pagi, para perempuan pun masih setia menenun kain.
Sementara Todo sudah berubah menjadi sebuah
perkampungan modern. Bentuk rumah penduduk tidak jauh berbeda dengan di Pulau
Jawa, misalnya. Ditambah dengan penetapan Todo sebagai situs wisata, jalan
mulai dipaving, pondok-pondok bambu didirikan, serta penginapan dibangun untuk
memanjakan para pengunjung.
Todo terletak di Kecamatan Satar Mese Utara, sekitar
40 km dari kota Kecamatan Ruteng di Kabupaten Manggarai, NTT. Untuk mencapai
desa ini, perlu ditempuh 5 jam perjalanan darat dari kota pelabuhan Labuan Bajo
di sisi barat Pulau Flores. Menyusuri kelok-kelok jalan trans-Flores. Bergunung
dan berjurang, di beberapa bagian, kondisi jalan rusak.
Tapi, dari seluruh desa adat wisata, Todo menyimpan
sejarah besar. Dari tempat itulah Manggarai lahir. Siapa pun tahu bahwa semua
blueprint masyarakat Manggarai tersimpan rapat dalam persemayaman bisu formasi
sembilan Niang Todo.
Lihat Juga:
Tradisi Menangkap Ikan (Hakoro Na'an We) Secara Tradisional
Mengiris Tuak dan Menyuling Sopi (Ko'a tua no teen tua) Gaya Orang Timor di Pinggiran Kota
Sajak Kamu Adalah Filsafat Yang Kupelajari (Aku, Kamu, Kita di Jalan Setapak Pemandangan Alam Indah)
Lama tidak dirawat, sembilan niang itu nyaris
ambruk. Empat niang terbesar masih sempat diselamatkan dan masih berdiri hingga
kini. Lima sisanya dalam proses rekonstruksi. Fungsi niang kini menjadi semacam
monumen, bukan lagi tempat tinggal.
Masyarakat Manggarai sudah terbentuk setidaknya
sejak abad ke-15 saat Portugis datang ke Nusantara. Namun, baru resmi bersatu
menjadi sebuah kerajaan pada masa raja ketiga, Jama. Akar sejarahnya agak
tercecer dengan berbagai versi. Garis waktu suksesi kerajaan baru terekam pada
masa raja kelima, Tamur, yang naik takhta pada 1914.
Sebelum era Jama, wilayah Flores masih berupa tanah
jajahan dua kerajaan besar. Koloni Kerajaan Bima di barat serta Koloni
Kesultanan Gowa di timur. Di timur Flores sendiri berdiri beberapa kerajaan
kecil yang terus-menerus terlibat peperangan.
Todo-Pongkor merupakan satu dari kerajaan kecil yang
dipimpin seorang adak. Seteru utama mereka adalah Adak Cibal. Meskipun pernah
diserang dan semua niang-nya dibakar, Todo terbukti mampu bertahan dan menjadi
klan dominan. Namun, mereka benar-benar bersatu berkat pengorbanan putri
Nggerang.
’’Maka dari itulah, Loke Nggerang dianggap sebagai
simbol pemersatu seluruh Manggarai,’’ ujar Agustinus Bandung, ketua pemangku adat
yang juga keturunan ke-10 raja Todo, di ruang tamunya saat koran ini berkunjung
Juli lalu. Agus bercerita bahwa tiga raja sangat ingin mendapatkan hati putri
Nggerang…
Wela Lowe dimitoskan sebagai seorang keturunan
bidadari. Ada beragam versi tentang asal usulnya. Satu sebab karena sang putri
begitu cantik dengan kulitnya yang bening (nggerang).
Raja Bima, Mori Dima, diceritakan terkesima dengan
cahaya yang memancar dari ujung timur Pulau Flores. Cahaya yang disebut-sebut
sebagai cahaya bulan yang dipantulkan dari kulitnya.
Versi lain menceritakan bahwa di desanya, Ndoso,
putri Nggerang kerap muncul dan hilang di balik hutan. Kemampuan gaib semacam
ini diperoleh dari perkawinan sang ibu, Hendang, dengan makhluk halus (darat).
Versi Agus sebagai ketua dewan pemangku adat Todo,
ibunda Wela Lowe menikah dengan seorang India. Sang suami pergi meninggalkan
Hendang saat sedang hamil. Pesan suaminya, jika anak yang baru lahir adalah
laki-laki, dia wajib dibesarkan. Namun, jika yang lahir perempuan, wajib dibunuh.
Khawatir akan pesan suaminya, Hendang kabur ke
Flores dengan menguntit seorang petugas pajak yang baru saja selesai
menyetorkan pajak ke Kerajaan Bima.
Wela Lowe tumbuh dalam perawatan ibundanya. Warta
tentang kecantikannya segera menyebar ke penjuru Flores. Baik Mori Dima, Adak
Todo, Jama, serta raja Gowa, masing-masing mengirim utusannya untuk melamar
putri Nggerang. Tiga-tiganya ditolak. Sangat populer cerita rakyat yang
menuturkan bahwa Mori Dima mengirim kutukan yang membuat mendung gelap
bergulung-gulung menyelimuti langit Manggarai. Saking marahnya.
Karena sama-sama ditolak, kata Agus, ketiganya pun
memutuskan untuk ’’meminang’’ sang putri dengan cara kekerasan. ’’Siapa pun
yang berhasil mendapatkan putri Nggerang, bagian mana pun, berhak menguasai
Manggarai,’’ tuturnya.
Kalimat ’’bagian mana pun’’ ini dipahami betul oleh
Jama sebagai sebuah kesempatan. Berperang dengan dua raja besar berarti cari
mampus. Jama kemudian mengirimkan salah seorang utusannya (dalam beberapa
keterangan, utusan itu adalah seorang komengkaba atau camat) untuk membunuh
Wela Lowe.
Perjanjian adalah perjanjian, raja Bima maupun raja
Gowa mengakui bahwa Jama telah berhasil ’’mendapatkan’’ Wela Lowe. Sang putri
dimakamkan di Ndoso, tempat tinggalnya. Sementara kulit perutnya dikelupas dan
dibawa ke Todo.
Dari kulit tersebut, Jama membuat sebuah gendang
sebagai pendamping sebuah gong kerajaan yang dibuat dari kuningan dan memiliki
permukaan yang rata (Gong Buka). Peperangan antar-adak mulai mereda dan Todo
tampil sebagai pusat kekuasaan dengan Gong Buka dan Loke Nggerang sebagai simbolnya.
Teritori Kerajaan Manggarai terbentang luas mulai Selat Sape di barat hingga
Wai Mokel (Sungai Mokel) di timur.
Gendang Loke Nggerang berwarna coklat,
berdiameter 30 sentimeter. Panjang kayu 30-40 sentimeter. Bentuk lubangnya
tidak seperti gendang umumnya, mirip lesung, tak punya lubang di ujung
lainnya.