9 Gugatan Pilkada di MK Lanjut ke Pembuktian Meski Lewati Syarat Selisih Suara

9 Gugatan Pilkada di MK Lanjut ke Pembuktian Meski Lewati Syarat Selisih Suara

Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar


Setapak rai numbei - Gugatan hasil Pilkada di sejumlah daerah masih berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 132 gugatan Pilkada, sebanyak 100 permohonan di antaranya kandas dalam sidang pengucapan putusan/ketetapan pada 15-17 Februari.

Mayoritas gugatan atau 72 permohonan sengketa Pilkada tak lanjut karena tidak memenuhi syarat selisih suara sesuai Pasal 158 UU Pilkada.

Diketahui syarat selisih suara paslon yang menggugat hasil Pilkada dengan paslon pemenang, tak boleh melebihi 0,5 hingga 2 persen yang dihitung berdasarkan total suara sah.

Artinya, tersisa 32 gugatan Pilkada yang berlanjut ke tahap pembuktian. MK telah menentukan jadwal sidang pembuktian dengan pemeriksaan saksi, ahli, serta penambahan alat bukti pada 22 Februari hingga 4 Maret.


 Lihat Juga: 

Tugas Terakhir Mahkamah Konstitusi Tangani Pilkada (Gugat Menggugat di MK, dinilai hal lumrah

Putusan Sengketa Pilkada MK Dikritik


Namun dari 32 gugatan tersebut, tak seluruhnya lolos karena memenuhi syarat selisih suara.

Peneliti KoDe Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, menyatakan terdapat 9 gugatan Pilkada yang selisih suaranya melebihi syarat Pasal 158 UU Pilkada. Dari 9 gugatan tersebut, 1 permohonan di antaranya bahkan juga melebihi tenggat waktu pendaftaran ke MK.

"Dari 32 perkara, terdapat 8 perkara yang lewat ambang batas dan bahkan 1 perkara lewat ambang batas dan lewat waktu pengajuan sengketa," ujar Ihsan kepada wartawan, Jumat (19/2).

"Sehingga totalnya ada 9 perkara dari 32 yang lewat ambang batas tetapi MK tetap lanjutkan perkaranya," lanjutnya.

Ihsan menyebut 9 gugatan merupakan permohonan sengketa hasil Pilwalkot Banjarmasin, Pilbup Bandung, Pilbup Yalimo, Pilbup Pesisir Barat, Pilbup Nabire, Pilbup Nias Selatan, Pilbup Samosir, Pilbup Boven Digoel, dan Pilbup Belu.

 


Ihsan mencontohkan hasil Pilbup Bandung yang digugat paslon Kurnia Agustina dan Usman Sayogi. Selisih suara paslon Kurnia-Usman dengan pemenang, paslon Dadang Supriatna dan Sahrul Gunawan, mencapai 25.17%.

Menurut Ihsan, kasus ini berlanjut ke tahap pembuktian karena MK menilai dalil-dalil paslon Kurnia-Usman yang menyebut adanya politik uang hingga SARA yang dilakukan Dadang-Sahrul perlu dibuktikan. Diketahui Dadang merupakan eks anggota DPRD Jabar F-Golkar, sedangkan Sahrul selama ini dikenal sebagai artis.

"Dalil Pemohon (Kurnia-Usman) menyatakan adanya money politics atau menjanjikan sesuatu kepada konstituen melalui visi dan misi Pihak Terkait (Dadang-Sahrul), seperti bantuan untuk RW, pembagian kartu wirausaha, bantuan pertanian, dan insentif guru ngaji," ucap Ihsan.

 

"Selain itu, Pemohon mendalilkan ada dugaan keterlibatan ASN dan penggunaan sarana dan prasarana keagamaan dalam kampanye. Pemohon juga mendalilkan adanya kampanye Pihak Terkait yang menggunakan isu SARA terkait gender, yaitu menyatakan 'tidak ada sejarahnya Kabupaten Bandung dipimpin oleh perempuan dan perintah agama pemimpin harus laki-laki'. Pemohon juga menyinggung ketidaknetralan dan profesionalitas KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan Pilkada," lanjutnya.

Contoh lain, kata Ihsan, yakni gugatan Pilbup Yalimo. Selisih suara paslon yang menggugat, Lakius Peyon dan Nahum Mabel, dengan paslon pemenang, Erdi Dabi dan Jhon Wilil, mencapai 5.29%.

"Kasus ini melewati syarat ambang batas yang ditentukan, tetapi tetap masuk ke pemeriksaan pokok perkara. Poin-poin yang menjadi pokok-pokok permohonan Pemohon, di antaranya KPU tidak melaksanakan rekomendasi Panwascam, dugaan KPU melakukan rekapitulasi tidak sesuai dengan berita acara dan sertifikat rekapitulasi, serta terdapat dugaan perampasan, pengadangan, dan kekerasan oleh Tim Paslon Pihak Terkait terhadap logistik surat suara," jelasnya.

 Lihat Juga: Adili Sengketa Pilkada, MK diminta tidak hanya fokus pada proses hitung-hitungan suara

Ihsan menilai berlanjutnya 9 perkara meski tak memenuhi syarat selisih suara, setidaknya menunjukkan MK tak melulu berpatokan pada Pasal 158 UU Pilkada.

"Jika dilihat memang MK saat ini masih dalam batas menunda penerapan Pasal 158. Tetapi memang angka 9 perkara di Pilkada 2020 merupakan bentuk MK untuk mencari keadilan substantif. Walau pun penerapannya belum optimal," tutupnya.


***

Sumber Berita dari:

https://kumparan.com/kumparannews/9-gugatan-pilkada-di-mk-lanjut-ke-pembuktian-meski-lewati-syarat-selisih-suara-1vCuIVRfriz/full

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama