Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar |
Mayoritas gugatan atau 72 permohonan sengketa
Pilkada tak lanjut karena tidak memenuhi syarat selisih suara sesuai Pasal 158
UU Pilkada.
Diketahui syarat selisih suara paslon yang menggugat
hasil Pilkada dengan paslon pemenang, tak boleh melebihi 0,5 hingga 2 persen
yang dihitung berdasarkan total suara sah.
Artinya, tersisa 32 gugatan Pilkada yang berlanjut
ke tahap pembuktian. MK telah menentukan jadwal sidang pembuktian dengan
pemeriksaan saksi, ahli, serta penambahan alat bukti pada 22 Februari hingga 4
Maret.
Putusan Sengketa Pilkada MK Dikritik
Namun dari 32 gugatan tersebut, tak seluruhnya lolos
karena memenuhi syarat selisih suara.
Peneliti KoDe Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana,
menyatakan terdapat 9 gugatan Pilkada yang selisih suaranya melebihi syarat
Pasal 158 UU Pilkada. Dari 9 gugatan tersebut, 1 permohonan di antaranya bahkan
juga melebihi tenggat waktu pendaftaran ke MK.
"Dari 32 perkara, terdapat 8 perkara yang lewat
ambang batas dan bahkan 1 perkara lewat ambang batas dan lewat waktu pengajuan
sengketa," ujar Ihsan kepada wartawan, Jumat (19/2).
"Sehingga totalnya ada 9 perkara dari 32 yang
lewat ambang batas tetapi MK tetap lanjutkan perkaranya," lanjutnya.
Ihsan menyebut 9 gugatan merupakan permohonan
sengketa hasil Pilwalkot Banjarmasin, Pilbup Bandung, Pilbup Yalimo, Pilbup
Pesisir Barat, Pilbup Nabire, Pilbup Nias Selatan, Pilbup Samosir, Pilbup Boven
Digoel, dan Pilbup Belu.
Ihsan mencontohkan hasil Pilbup Bandung yang digugat
paslon Kurnia Agustina dan Usman Sayogi. Selisih suara paslon Kurnia-Usman
dengan pemenang, paslon Dadang Supriatna dan Sahrul Gunawan, mencapai 25.17%.
Menurut Ihsan, kasus ini berlanjut ke tahap
pembuktian karena MK menilai dalil-dalil paslon Kurnia-Usman yang menyebut
adanya politik uang hingga SARA yang dilakukan Dadang-Sahrul perlu dibuktikan.
Diketahui Dadang merupakan eks anggota DPRD Jabar F-Golkar, sedangkan Sahrul
selama ini dikenal sebagai artis.
"Dalil Pemohon (Kurnia-Usman) menyatakan adanya
money politics atau menjanjikan sesuatu kepada konstituen melalui visi dan misi
Pihak Terkait (Dadang-Sahrul), seperti bantuan untuk RW, pembagian kartu
wirausaha, bantuan pertanian, dan insentif guru ngaji," ucap Ihsan.
"Selain itu, Pemohon mendalilkan ada dugaan
keterlibatan ASN dan penggunaan sarana dan prasarana keagamaan dalam kampanye.
Pemohon juga mendalilkan adanya kampanye Pihak Terkait yang menggunakan isu
SARA terkait gender, yaitu menyatakan 'tidak ada sejarahnya Kabupaten Bandung
dipimpin oleh perempuan dan perintah agama pemimpin harus laki-laki'. Pemohon juga
menyinggung ketidaknetralan dan profesionalitas KPU dan Bawaslu dalam
menyelenggarakan Pilkada," lanjutnya.
Contoh lain, kata Ihsan, yakni gugatan Pilbup
Yalimo. Selisih suara paslon yang menggugat, Lakius Peyon dan Nahum Mabel,
dengan paslon pemenang, Erdi Dabi dan Jhon Wilil, mencapai 5.29%.
"Kasus ini melewati syarat ambang batas yang
ditentukan, tetapi tetap masuk ke pemeriksaan pokok perkara. Poin-poin yang
menjadi pokok-pokok permohonan Pemohon, di antaranya KPU tidak melaksanakan rekomendasi
Panwascam, dugaan KPU melakukan rekapitulasi tidak sesuai dengan berita acara
dan sertifikat rekapitulasi, serta terdapat dugaan perampasan, pengadangan, dan
kekerasan oleh Tim Paslon Pihak Terkait terhadap logistik surat suara,"
jelasnya.
Ihsan menilai berlanjutnya 9 perkara meski tak
memenuhi syarat selisih suara, setidaknya menunjukkan MK tak melulu berpatokan
pada Pasal 158 UU Pilkada.
"Jika dilihat memang MK saat ini masih dalam
batas menunda penerapan Pasal 158. Tetapi memang angka 9 perkara di Pilkada
2020 merupakan bentuk MK untuk mencari keadilan substantif. Walau pun
penerapannya belum optimal," tutupnya.
***
Sumber Berita dari:
https://kumparan.com/kumparannews/9-gugatan-pilkada-di-mk-lanjut-ke-pembuktian-meski-lewati-syarat-selisih-suara-1vCuIVRfriz/full