Tugas Terakhir MK Tangani Pilkada
(Gugat Menggugat di MK, dinilai hal
lumrah)
MAHKAMAH
Konstitusi (MK) mestinya fokus mengawal konstitusi, tidak menyambi menjadi
pengawal demokrasi. Sebagai pengawal demokrasi, MK menjadi pemutus paling akhir
atas sengketa pilkada. Sengketa Pilkada 2020 harus menjadi tugas terakhir MK.
Hasil
pilkada yang digelar pada 9 Desember ditetapkan oleh Komisi Pe milihan Umum
(KPU) pada 16 De sember sampai 26 Desember. Atas penetapan itu, ada pasangan
calon yang menerima kekalahan, ada pula yang tidak bisa menerima dengan ragam
alasan. Mereka yang tidak terima itulah yang mengajukan gugatan ke MK.
Pendaftaran
gugatan ke MK paling lambat 3 hari setelah KPU menetapkan perolehan suara.
Sejauh ini sudah 75 pasangan calon yang mendaftarkan gugatan ke MK. Sesuai
Peraturan MK Nomor 8 Tahun 2020, batas akhir pengajuan permohonan gugatan ke MK
pada 29 Desember.
Gugatan
yang paling ditunggu-tunggu saat ini ialah gugatan yang dilayangkan pemantau
pilkada di 25 daerah dengan calon tunggal. Sesuai ketentuan Peraturan MK Nomor
6 Tahun 2020, pemantau boleh mengajukan gugatan terkait pilkada dengan calon
tunggal.
Pilkada
ialah bentuk nyata perwujudan demokrasi lokal. Akan tetapi, dalam praktiknya,
masih ditemukan fenomena yang merusak citra pilkada bermartabat.
Jika
mencermati dengan saksama putusan MK terkait pilkada selama ini, selain
pelanggaran dalam bentuk penggelembungan suara, setidaknya ada tiga bentuk
pelanggaran dalam proses pilkada yang dapat membatalkan hasilnya.
Pertama,
mobilisasi aparat birokasi pemerintahan. Pelanggaran seperti ini pada umumnya
dilakukan calon petahana. Kedua, keberpihakan dan kelalaian penyelenggara
pemilu terkait syarat calon kepala daerah.
Kelalaian
itu bisa berbentuk meluluskan calon yang seharusnya menurut undang-undang tidak
memenuhi syarat atau mendiskualifi kasi calon yang menurut undang-undang
seharusnya memenuhi syarat. Ketiga, pelanggaran politik uang yang dilakukan
secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Apa
pun putusan akhir MK terkait sengketa pilkada, hendaknya putusan itu tidak
hanya menyangkut nasib para kandidat yang berkompetisi. Paling penting ialah
putusan MK itu mengembalikan kemurnian kedaulatan rakyat pada saat di bilik
suara. Hanya itu cara menjadikan pilkada benar-benar sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan mahkamah.
Sengketa pilkada kali ini menjadi menarik disimak sebab Pilkada 2020 menjadi
pilkada serentak terakhir sejak 2015. Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Pilkada, pilkada serentak nasional digelar pada November
2024. Keterlibatan MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada, mestinya, kali ini
yang terakhir.
Putusan MK pada 2013 telah membatalkan kewenangan mahkamah mengadili sengketa
pilkada. Artinya, sejak putusan itu ditetapkan sampai pilkada kali ini,
keterlibatan MK hanya bersifat transisi sambil menunggu terbentuknya peradilan
khusus.
Pembentukan
badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada diamanatkan Pasal 157 UU
10/2016. Pasal itu pada intinya menyebutkan untuk sementara penanganan sengketa
pilkada masih ditangani MK sebelum dibentuknya badan peradilan khusus untuk
menangani sengketa hasil pilkada.
Eloknya, pemerintah dan DPR segera membuat undang-undang
pembentukan badan peradilan khusus sengketa pilkada.
Badan
peradilan khusus itulah yang kelak memiliki kewenangan mengadili seluruh
perkara hukum berkaitan dengan pelaksanaan pilkada. Baik menyangkut perkara
perselisihan hasil pilkada, administrasi pilkada, maupun perkara tindak pidana
pilkada.
Badan peradilan khusus itu hendaknya berkedudukan di ibu kota provinsi agar sengketa pilkada tidak berbiaya mahal seperti selama ini. Berbiaya mahal karena semua sengketa pilkada dari seluruh penjuru negeri diselesaikan di Jakarta.
Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2200-tugas-terakhir-mk-tangani-pilkada