HEROISME SUPER HERO
{Terinspirasi dari Film Batman Vs Superman}
Epos super hero atau pahlawan super
berdiri di atas dua kaki. Pertama, pemahaman bahwasanya kejahatan dan
kriminalitas hanya bisa dihadapi dengan baku hantam. Kedua, heroisme atau
kepahlawanan dangkal yang mengidap messiah complex/sindrom juru selamat/delusi ratu adil dengan memandang
massa hanya sebatas objek lemah nan tak berdaya (tanpa potensi sekaligus
kemampuan aksi kolektif) dan selalu perlu diselamatkan. Film adu domba “Batman
v Superman: Dawn of Justice” salah
satu contohnya.
Plot utama “Batman v Superman: Dawn of Justice” (selanjutnya disingkat
“BS”) sepenuhnya sudah digelontorkan lewat tiga trailer dan
publikasi-promosi masifnya. Batman melihat Superman sebagai ancaman potensial
karena memiliki kekuatan super sehingga memutuskan harus membunuhnya namun
dalam perjalannya mereka sadar keduanya diadu domba oleh Lex Luthor sehingga
memutuskan bersatu (dengan tambahan Wonder Woman) untuk mengalahkan monster
ciptaan Lex Luthor. Bentrokan antar pahlawan super pun sebenarnya bukan tema
baru. Avengers (1) diawali dengan perselisihan dan bentrokan pendek antar
pahlawan super. Watchmen bahkan sudah lebih awal mengangkat bukan saja
bentrokan namun juga pembunuhan terhadap para pahlawan super. Daftar ini bisa
terus bertambah bila kita memasukkan waralaba sosok berkuatan super di luar
Marvel dan DC seperti Highlander atau Kamen Rider Ryuuki. Oleh karena itu, tema
“bentrokan pahlawan super” yang sebenarnya umum dan klise ini, bukanlah gagasan
utama apalagi asli yang dijual BS.
Gagasan-gagasan utama BS yang
sebarnya bisa dilacak dalam latar belakang krisis ekonomi, degradasi politik,
dan dekadensi budaya di AS yang tercermin kuat dalam atmosfer film. Kehancuran
Metropolis tak bisa dipungkiri menyerupai reka ulang Peristiwa 9-11. Konflik
kaum Kriptonian (yang ditampilkan film Man of Steel (MS)) yang dalam upayanya
menuntut diserahkannya Kal-El mengakibatkan kehancuran menyerupai invasi AS ke
Irak berdasarkan dalih rezim Saddam Hussein menampung dan melindungi Usamah Bin
Laden. Operasi terra-forming Jenderal Zod terhadap bumi (bukan Mars,
Merkurius, Jupiter atau planet lainnya) merupakan karikatur ekspansi dan
eksploitasi perusahaan-perusahaan minyak di Irak pasca-perang. Pemanggilan
Superman ke Kongres AS untuk membahas bisa-tidaknya dan layak-tidaknya, suatu
kekuatan sangat besar (yang berpotensi sebagai ancaman) dibiarkan berada di
atas hukum dan di luar pemerintah, sebenarnya mencerminkan sikap pemerintah
Imperialis AS dan obsesinya untuk menjadi satu-satunya negara adidaya dengan
menuduh tiap negara (di luar blok sekutunya) yang mengembangkan nuklir sebagai
ancaman terhadap perdamaian dan demokrasi. Sikap dan tindakan Batman
menghalalkan segala cara, termasuk penyerangan, penyiksaan, bahkan pembunuhan ekstra
yudisial, terhadap kelompok penjahat-kriminal hampir tidak bisa dibedakan
dengan rezim George W.Bush. Kebangkrutan media cetak dicerminkan bukan hanya
lewat krisis Daily Planet namun juga gaya jurnalistik bombastis (yang sekarang
bukan hanya dianut koran-koran kuning tapi juga koran-koran arus utama!) serta
sekaratnya idealisme pers dan cuma hidup dan dipersonifikasikan Lois Lane.
Tesis meta-human (istilah DC untuk menyebut manusia super), yang dalam film
disematkan pada Superman dan Wonder Woman bahkan tidak bisa dibedakan dari epos
mitologi Dewa-Dewi yang diproduksi masyarakat perbudakan seperti peradaban
Yunani dan Romawi kuno.
Baiknya kita ungkit kembali
sub-judul BS, yaitu: Dawn of Justice,
atau Fajar Keadilan. Tapi keadilan macam apa yang ditawarkan dari kisah-kisah
heroik dangkal demikian? Apakah para penjahat biang ketidakadilan macam para
kapitalis, bankir, dan pialang Wallstreet diseret ke pengadilan? Apakah para
penjahat perang Imperialis seperti Bush, Henry Kissinger, Benyamin Netanyahu,
Tony Blair, dan lainnya dipenjarakan? Tidak. Mayoritas epos superhero hanyalah
kepahlawanan “jagoan” untuk menjatuhkan para penjahat dan kriminal tanpa
membongkar apalagi mencabut akar kejahatan dan penindasan itu sendiri:
kapitalisme. Lebih ironis lagi kenyataan bahwa Bruce Wayne sendiri adalah
kapitalis.
Film BS ini mengungkap alasan
Batman ingin membunuh Superman karena Superman punya kekuatan super. Sehingga
Batman menganggap Superman berisiko menyalahgunakannya. Ini hampir tidak bisa
dibedakan dari gagasan “power tends to
corrupt and absolute power corrupt absolutely/kekuasaan cenderung korup dan
kekuasaan absolut sepenuhnya korup”. Padahal sebenarnya pandangan ini merupakan
cerminan dalih dan ancaman Imperialis AS terhadap negara-negara di luar blok
dan sekutunya dengan tuduhan “mengembangkan senjata pemusnah massal dan
berpotensi merusak perdamaian dunia” seperti yang biasa dilayangkan ke Iran,
Irak, Korea Utara, dan sebagainya. Kontradiktifnya justru AS yang meluluh
lantakkan Hiroshima dan Nagasaki lewat bom atom, bukan lawan-lawan yang
dituduhnya tersebut. Saat kita menyaksikan rekonsiliasi Superman dan Batman
dengan bantuan Louis Lane, kita tidak mendapati solusi terhadap persoalan
gagasan di atas sama sekali. Baik terhadap ke-superpoweran (yang bisa diterjemahkan
dalam dua makna yaitu kekuatan super sekaligus keadikuasaan) maupun
terhadap Bat-Vigilante itu sendiri. Sebaliknya rekonsiliasi tadi
berdasarkan hal yang sepenuhnya personal dan emosional. Bukan sosial dan
rasional.
Saat ini masyarakat AS yang tengah
dilanda krisis kapitalisme semakin menunjukkan pembelahan dan kontradiksi kian
menajam. Rakyat tengah mengalami pergolakan sosial. Ada jatuh bangun fenomena
gerakan Occupy. Ada kampanye Black Lives Matters yang dilatarbelakangi
perlawanan terhadap brutalitas dan rasisme polisi terhadap kaum kulit hitam di
AS. Tentu saja, tidak ketinggalan, ada banyak pergolakan di antara kaum buruh
dan rakyat pekerja, mulai dari demonstrasi para buruh minyak sampai pemogokan
yang dipimpin Serikat Guru Chicago. Termasuk perlawanan anti-rasis terhadap
Donald Trump dan politik reaksioner yang diwakilinya.
Mayoritas
epos superhero—artinya tidak semua, secara terus-menerus menutup mata
terhadap pergolakan sosial ini dan mengalihkan perhatian (sekaligus imajinasi)
audiens ke konflik pahlawan super bentrok melawan penjahat super atau melawan
sesamanya. Bukan konflik antara kaum tertindas melawan kelas penindas.
Film-film superhero demikian, paling baik merupakan selingan yang
melenakan, dan paling buruk merupakan propaganda borjuasi agar audiens menerima
status quo melalui pemiskinan imajinasi sehingga tidak bisa membayangkan
(apalagi memperjuangkan) bahwa Another World is Possible. Bahwa dunia lain
itu mungkin diwujudkan. Dunia tanpa penindasan dan tanpa penghisapan. Dunia yang
bebas dari kemiskinan dan kelaparan. Suatu hal yang (dibuat) lebih susah
dibayangkan daripada baku hantamnya para manusia super, kiamat universal, dan
kehancuran dunia di tangan Alien.