Telaah Singkat Atas Alam Pikiran Orang Numbei, Desa Kateri Kabupaten Malaka NTT

Telaah Singkat Atas Alam Pikiran Orang Numbei, Desa Kateri Kabupaten Malaka NTT

 

TELAAH SINGKAT ATAS ALAM PIKIRAN ORANG NUMBEI

(Oleh: Frederick Mzaq)


 

Catatan Awal


Paham-paham personal dan kolektif yang mencuat ke permukaan dari suatu masyarakat merupakan buah interaksi dan sosialisasi. Bila ditilik dari perspektif fenamenalogi, setiap pengalaman yang ada pada manusia (masyarakat) selalu merupakan eksteroriorasasi dari sebuah pengalaman tentang sesuatu. Sesuatu merupakan isi dari pengalaman itu bisa berupa interakasi antar manusia, juga interaksi manusia dengan lingkungan, tradisi, adat istiadat yang merupakan dimensi-dimensi yang melingkupi adanya (masyarakat etnis) manusia.



Secara eksternal, hal-hal yang menyangkut pola laku, sikap dan cara pandang merupakan ekspresi paling riil dari terbentuknya keperibadian manusia. Pada asas komunitas etnis, keterkaitan antarpribadi memberi warna khas yang membedakan satu kelompok masyarakat etnis dengan kelompok masyarakat etnis lainnya. Inilah yang dalam termin antropologi budaya disebut suku bangsa, atau ras. Rasa keterkaitan yang intim dalam kelompok ras menjadi titik tumpu lahirnya karakter khas dan eksklusif tertentu pada orang-orang dari daerah asal yang sama ketika mereka berada dalam satu masyarakat multicultural (masyarakat kota). Namun demikian, eksklusivitas itu tidak boleh dipandang sebagai tanda larang untuk satu interaksi lintas cultural yang baru. Justru dengan kesadaran akan diferensiasi itulah ciri dinamis eksistensi manusia diaktualisasikan. Manusia sanggup beradaptasi bahkan merupakan ciptaan Allah yang memiliki derajat kesanggupan “adaptasi diri” paling tinggi.

Demikianlah pemahaman tentang kepribadian masyarakat etnis yang termuat dalam sikap dan pola pikir maupun cara pandang orang tertentu semestinya tidak boleh secara subjektif-relatif ditakar berdasarkan situasi aktualnya saja di tempat mana ia hidup dan berinterkasi. Setiap proses, dalam hal ini interaksi social lintas cultural manusia, dalam bingkai inklusif masyarakat di mana hidup orang-orang dari latar belakang etnis yang berbeda-beda, selalu berdimensi ganda. Di satu sisi, ada kualitas-kualitas tertentu yang akan lenyap atau berubah (misalnya sifat eksklusif), dan di sisi lain, ada unsur-unsur yang tetap (kekhasan alam pikiran) yang tidak berubah. Dari perspektif ini, kembali harus ditegaskan bahwa penilaian atas (jati diri) orang tertentu harus disertai dengan pertimbangan mengenai latar belakang, etnis primordial dari mana orang itu berasal. Hanya dalam kerangka itu, kita memiliki pegangan yang cukup objektif dan pemahaman yang komprehensif mengapa orang-orang dari setting budaya yang memiliki karakter tertentu yang relative sama, misalnya bertemperamen halus, sopan, lemah lembut, atau bahkan kasar dan beringas.


Tulisan ini hendak melukiskan sedikit ilmiah, sekalipun hanya sepintas saja, perihal “orang Numbei”. Mengapa orang Numbei memiliki sifat-sifat, pola pikr “begini” atau “begitu?”  Apa sesungguhnya yang mereka hayati dalam lingkungan primordialnya dan bagaimana hal-hal itu berpengaruh terhadap masyarakat atau individu-individu yang lahir dalam bingkai masyarakat kampung Numbei itu?


Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik tumpu refleksi penulis. Tentu saja kesimpulan dari tulisan ini adalah pemahaman sedikit lebih komprehensif bahwa kemampuan orang Numbei untuk mengungkapkan diri tetap merupakan bukti keunggulannya sebagai manusia. Dan unsur-unsur khas yang melekat pada “Orang Numbei” yang dihidupinya dalam komunitas plural dan inkulsif mengungkapkan penghayatan emosionalnya yang mendalam akan pengalaman culturalnya.

Ilustrasi salah seorang Ibu di kampung Numbei sedang melakukan aktivitas di dapur..

Alam Pikiran Orang Numbei


Mengapa latar belakang falsafah (alam pikiran ) penting ditelaah? Apakah karena trend umum bahwa kajian filosofis-antropologis merupakan satu studi yang actual dan relevan saja? Jawaban yang bisa mengemuka untuk persolan di atas adalah “barangkali”. Paling kurang ada dua pertimbangan penting mengapa dikatakan “barangkali” ketika saya berhadapan dengan persoalan seperti ini. Pertama, kenyataan plural realitas etnis di negara kita merupakan satu “kekayaan” serentak “bahaya”. Pluralitas etnis menjadi kekuatan jika dimengerti dan dipahami tidak terlepas dari konteks orisininalitas eksistensi suatu masyarakat etnis untuk selanjutnya dihargai sebagai potensi produktif bagi kesejahteraan dan kebanggan hidup sebagai bangsa Indonesia. Akan tetapi di sisi lain, kemajemukan menjadi sumber api berbahaya bila semangat primordialisme etnis dan cara pandang antaretnis dibiarkan berkembang dalam bentuk streotipe tanpa pengelolaan yang matang. Dari situasi ini, hanya akan muncul rasa saling curiga , sikap tidak saling menghargai kekhasan budaya dan adat istiadat, aroganis etnik cultural dan seterusnya yang justru menjadi pemicu bagi merusak dan merenggangnya komunikasi sosio-kultutral sebagai satu bangsa. Jadi, usaha mendalam alam pikiran masyarakat etnis tertentu dalam hal ini kelompok masyarakat kampung Numbei, berguna untuk membina kedewasaan relasi antarmasyarakat etnis dalam lingkup social yang lebih luas.


Kedua, alam pikiran suatu kelompok masyarakat etnis tertetntu, meskipun tidak selalu berciri ilmiah-sistematis, sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu sosio-antropologis. Dan dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, hal ini menyadarkan setiap warga negara untuk senatiasa menaruh rasa hormat terhadap nilai-nilai plural. Kesadaran yang sama turut memacu kematangan hidup sebagai bangsa yang demokratis.


Memahami falsafah hidup, juga turut menyadarkan kita mengenal jati diri kebudayaan kita masing-masing. Itu berarti “kesadaran” selalu merupakan sumber cahaya yang menumbuhkan kuncup-kuncup semangat untuk, meminjam kata-kata Abraham Maslow, mengaktualisasikan diri. Apa artinya bertanya: mengapa orang Numbei memiliki kebiasaan sikap “begini” atau “begitu?”, jikalau hal itu tidak menghantar kita kepada penjernihan kesadaran dan penemuan jati diri diri sendiri di tengah realitas sosio-kultural yang serba aneka ini?


Alam pikiran orang Numbei antara lain tampak dalam dua hal ini. Pertama, kebersamaan dengan orang lain. Kedua, cara  mengenal yang abstrak.


Kebersamaan dengan orang lain

Sejak manusia lahir dari rahim ibunya, ia tidak pernah sebatang kara. Walaupun karena kerapuhan insaninya, masing-masing orang cenderung untuk membebaskan diri dari ikatan sosio-kulutural. Tuntutan hidup bersama ini mendorong orang tua dulu untuk berpikir dan mencari syarat-syarat dasarnya. Kesadaran itu terungkap misalnya dalam cara orang tua secara turun temurun menegur anaknya mengabaikan aturan hidup bersama antara lain:


v  Oa feto, oa mane, kaer kelon ba malu hodi neon no laran, hatudu lisan no hahalok diak, tuir lia badu no lia diak be sia rai rela. Keta halua husar ita bot mai. Keta hamoe isin lolon ba ema waik warak. Ita moris iha rai klaran nee haknater no haktaek malu. (anak perempuan dan anak laki-laki, bekerja samalah, tunjukkan tutur kata dan tindakan yang baik. Ikutilah perintah yang dilarang dan tradisi yang ditinggalkan leluhur. Jangan lupa sumber dari mana kita berasal. Jangan permalukan diri di depan orang banyak. Kita hidup di dunia ini harus dengan adat istiadat dan tata karma yang baik)


v  Hanoin lia hitu bauk, falu bauk (Ingatlah menjadi orang yang bijaksana)


Kisah yang ditekankan dalam rentetan kata di atas adalah frase hakneter no haktaek dan hitu bauk, falu bauk. Hakneter no haktaek adalah ungkapan sifat sopan dan penuh tata karama. Sedangkan lia hitu bauk, falu bauk adalah ungkapan untuk orang yang sangat bijaksana dan setiap kebijaksanaanya tidak pernah merugikan orang lain.


Penulis bersama Ferek Fukun sedang duduk santai di rumah adat Suku Mamulak Numbei

Dari terjemahan sederhana itu, tampak bahwa kata-kata itu tidak bermakna. Akan tetapi dalam tradisi, penggunaan kiasan itu sekurang-kurangnya menyiratkan tiga art: pertama, mematahkan dongeng kuno (kepercayaan mistis-magis) tentang pendidikan dan pembinaan mental anak dengan cerita horor yang menakutkan. Semisal di Numbei dengan cerita khasnya tentang fate ledu, batu yang bisa memakan manusia. Cerita dongeng horor ini memang unik dan bagus namun di dalamnya ada unsur yang menakutkan di mana di dalam rumah ada anak kecil yang menangis biasanya orang tua mengantasipasi dengan cerita horor semacam ini. Si anak yang bersangkutan akan berhenti menangis karena dia paham dan berimajimanasi tentang keadaan batu yang menyeramkan itu. Kedua, dari kata-kata nasihat di atas merupakan semacam petuah yang senantiasa diungkapkan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa dan mandiri. Mereka selalu dinasihati untuk tidak melupakan rai moris fatin, tanah kelahiran (kampung halaman) terutama orang tua dan sanak keluarga, kalau mereka sudah tinggal terpisah dari orang tua. Ketiga, ungkapan yang sama selalu memberi warna bagi cara menyampaikan sesuatu secara khas lewatbahasa-bahasa kiasan alegoris. Tradisi komunikasi adat masyarakat Numbei dan ema fehan (masyarakat Kabupaten Malaka dengan bahasa komunikasintya Tetum Terik) pada umumnya adalah semacam spiral yang berputar-putar dan berbelit-belit tetapi maksudnya yang sebenarnya hanya sedikit. Sekalipun secara rasional penggunaan bahasa yang demikian sama sekali tidak efektif dalam komunikasi, tetapi toh hal itu sudah dihidupi  secara batin. Tidak mengherankan jika ada kebiasaan orang-orang tua di pedesaan (kampun) yang bila bertamu, pembicaraannya akan memakan waktu berjam-jam, tetapi maksud yang sebenarnya akan dia ungkapkan ketika si tamu hendak beranjak pulang. Misalnya ia datang untuk meminjam barang tertentu atau mengajak tuan rumah untuk menghadiri suatu kegiatan tertentu dan lain-lain. Dengan demikian, terlihat bahwa ada sekian banyak interpretasi yang kita berikan berhadapan dengan kiasan yang dibahasakan secara halus (eufemistis) tersebut.


Selain itu, dalam tradisi juga sudah ada pertanyaan mengenai makna dan tujuan hidup bersama, yakni dambaan untuk hidup tenteram, damai dan selaras dengan apa yang dihidupi oleh masyarakat. Dalam hal kerja sama sosial, terdapat istilah mon metan ho mal, fui ibu, fui lia (berembuk secara bersama-sama dan melaksanakan secara bersama, atau hidup saling membantu). Kata-kata ini mengekspresikan nilai “kesalingan dalam kebersamaan” dalam hal menyelesaikan tugas bersama, memenuhi kebutuhan hidup, termasuk bagaimana orang-orang berembuk dalam rencana menyelesaikan pekerjaan berat atau urusan masalah adat yang mengharuskan keterlibatan keluarga besar. Menurut orang Numbei, dengan cara demikian, setiap manusia dalam satu masyarakat dapat melibatkan diri secara bertanggung jawab dalam mengusahakan hidup bersama yang sejahtera penuh kedamaian.


Dalam kerangka hidup bersama, pelukisan di tasa tidak berarti orang Numbei mengabaikan personalitas. Seorang pribadi, menurut cara pandang mereka, memiliki tempat tertetntu di dalam lingkungan sosial, walaupun secara tradisional pandangan-pandangan matriarkis dan diskriminatif masih ada. Misalnya, ada perlakuan berbeda-beda terhadap pribadi-pribadi bergantung pada atribut-atribut atau status sosial yang melekat di dalam diri orang itu. Sekalipun demikian jati diri seseorang tetap ditonjolkan dalam kebersamaan. Orang Numbei tetap berkeyakinan bahwa setiap orang memiliki kekhasan-kekhasan individual. Nama , misalnya merupakan sesuatu yang sangat pribadi. Dalam banyak hal nama merupakan simbol tunggal, hanya mewakili pribadi yang bersangkutan.


Orang Numbei juga memiliki konsep pandangan yang positif terhadap keberadaan seseorang. Manusia adalah ciptaan yang patut disyukuri dan dihargai. Sehubungan dengan itu, para orang tua tidak begitu saja larut dalam perasaan kecewa karena melahirkan anak-anak yang tidak sesuai dengan yang mereka idamkan atau sikap anak yang berlawanan dengan harapan orang tua. Mereka tetap menaruh kasih pada anak-anak mereka. Sebuah penggalan syair bahasa Tetum, la sa ida, moris mai nodi isin kles (tidak apa-apa, lahir datang dalam keadaan sehat). Dari penggalan syair adat ini terlihat bahwa hormat terhadap keberadaan manusia merupakan suatu keharusan karena ia ada dan hadir di tengah masyarakat (keluarga).


“Keunggulan hidup” pribadi mendapat tempat yang positif dan senantiasa diperjuangkan sebagai satu ideal. Setiap anak oleh orang tuanya dinasihati untuk memiliki persiapan bagi masa depan yang baik. Secara simbolis dikatakan agar seseorang senantiasa hidup seperti pohon yang kokoh: “abut kbit tama klean no tahan buras” (berakar kuat ke dalam tanah dan berdaun rimbun). Ini mengisyaratkan suatu perjuangan hidup yang sungguh-sungguh. Ini mengisyaratkan suatu perjuangan hidup yang sungguh-sungguh. Kesungguhan itu harus tampak dalam kematangan sikap hidup, pola piker dan tutur kata, juga memiliki rasa tanggung jawab baik secara horizontal maupun vertical.


Sketsa Mengenai Cara Mengenal Yang Abstrak


Epistemologi (filsafat mengenal) menjelaskan abstraksi sebagai aktivitas budi manusia yang normal di mana kesadaran manusia mampu menarik citra dari suatu objek sekalipun itu objek itu secara real tidak hadir di hadapan si subjek. Kesanggupan itu rupanya sudah dikenal dalam tradisi hidup orang Numbei. Hal itu terlihat misalnya dari cara mereka membahasakan realitas semesta. Secara sederhana sudah ada kesanggupan melekat dalam diriorang tua-tua zaman lampau untuk menarik pemahaman sederhana dari benda-benda yang dilihatnya. Hal paling mencolok di sini biasanya tampak dalam gaya pengungkapan yang kaya dengan personifikasi, termasuk juga kiasan-kiasan parabolis tertentu yang mencoba menarik garis penghubung yang melukiskan kedekatan makhluk manusia dengan makhluk-makhluk lain dan realitas alam sekitarnya. Dalam kaitannya dengan usaha menjadi manusia ideal, orang tua-tua menggunakan kiasan berikut: “as to’o kfitun, tubuh sae lalean” (agar tinggi menggapai bintang dan bertumbuh menggapai bulan). Sebab itu, meskipun seseorang tidak melihat suatu benda pada saat tertentu, dia bisa memiliki pengertian tentang benda itu.

 

Penutup


Di samping hal-hal positif di atas, kerap kali terjadi bahwa apa yang diungkapkan dengan bahasa halus (lia kwer), seperti kebiasaan orang-orang di desa (kampung) berbanding terbalik dengan kenyataan yang bakal terjadi. Maka dalam hal memahami alam pikiran orang Numbei, “kebingungan” yang ditimbulkan oleh sikap dan tutur katanya dapat menjerat orang kepada misinterpretasi. Artinya di satu sisi, dengan membahasakan sesuatu secara terbalik, orang Numbei langsung memahami pesan yang di sampaikan, yakni mengacu kepada etika sopan santun terhadap lawan bicara. Akan tetapi di sisi lain, untuk orang yang tidak mengenal baik kekhasan cara berpikir atau sikap tersebut, maka hal itu justru menimbulkan salah paham.


Demikianlah sepentas refleksi penulis sehubungan dengan alam pikiran antropologis orang Numbei. Sepenuhnya penulis sadar banyak aspek yang sama sekali tidak disinggung bila dibandingkan dengan ruang lingkup etnis, adat istiadat orang Numbei. Hal ini kiranya dapat dimaklumi karena begitu terbatasnya referensi yang dimiliki penulis. Apa yang tertuang dalam pikiran sederhana ini, lebih banyak merupakan hasil pengamatan sepintas dari penulis sendiri (selaku anak yang dibesarkan di kampung Numbei) yang juga turut serta merasakan dan menghidupi adat istiadat khas Numbei. Pembahasan dan ekspresi literere ini memang sengaja dimodifikasi sekedar untuk menonjolkan betapa pentingnya penelitian dan pengkajian sosio-antropologis dan cultural yang lebih mendalam akan khazanah hidup yang begitu kaya dari masyarakat kita. Akhirnya penulis berharap tulisan ini berguna, sekurang-kurangnya menjadi ajang kebangkitan kesadaran orang Numbei untuk mengemukakan kritik atas tulisan ini.

Numbei, Rai Moris Fatin, Hau Hadomi O





Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama