Manusia Abad Ke 21: Cermin, Pikiran Dan Relasi Instrumental

Manusia Abad Ke 21: Cermin, Pikiran Dan Relasi Instrumental

 

Cermin, Pikiran Spekulatif Dan Relasi Instrumental Manusia Abad  Ke 21

 

I

Manusia pada umumnya adalah ada dari yang lain. Dan ada dari yang lain itu adalah ada dari dirinya sendiri. Olehnya keberadaan yang duplikat sangat bergantung dari keberadaan yang original. Jadi adanya kita adalah bayangan dari dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia tidak dapat mengadakan dirinya sendiri. Tapi adanya manusia adalah realitas original dan multidimensional.


Namun apabila manusia yang sama duduk berhadapan dengan cermin, ia dapat menemukan pantulan wajahnya sendiri. Cermin itu kadang digunakan manusia sebagai mediasi untuk mengevaluasi dirinya. Bila bibirnya nampak kering dan blau dalam cermin, ia akan melumat-lumat bibir dengan giginya sendiri agar terkesan merah dan sensual. Berdasarkan konteks ini dapatlah dikatakan bahwa betapa sulitnya manusia apalagi seorang wanita bila hidup tanpa cermin. Sebab bagi kebanyakan, orang-orang tampil menarik secara fisis sebelum berkonfrontasi dengan sesamanya. Oleh karena itu sebelum berpapasan dengan sesamanya, manusia selalu membuat aktus kemasan serasi di depan cermin. Mungkin benar juga Erich Fromm berkata bahwa pada umumnya manusia akan berusaha sedemikian rupa supaya menarik agar dicintai. “Laki-laki misalnya berkuasa, sedangkan perempuan berbuat agar kelihat menarik”.[1] Dalam konteks ini cermin menjadi kebutuhan yang mendesak bagi manusia sebagai mediasi untuk mengevaluasi sebuah penampilan diri yang lebih serasi.

Tapi tak dapat diingkari bahwa ketika manusia duduk berhadapan dengan cermin, yang terpantul di dalam cermin bukan realitas dirinya. Dengan kata lain dapat dikatakan  bahwa cermin itu Cuma memuat wajah manusia satu dimensia saja. Padahal kita tahu bahwa manusia adalah seorang pribadi yang multidimensional. Justru inilah letak perbedaan antara manusia sebagai gambaran Allah (Imitatio Dei) yang riil dan pantulan manusia satu dimensi yang tidak riil yang nampak di dalam cermin.

II

Kata “cermin” sebenarnya mempunyai akar kata dari bahasa Latin yaitu “speculum” menurunkan kata yang sering kita pakai yaitu spekulasi. Jadi bila kita membuat perbandingan antara wajah dan cermin dengan pikiran spekulatif, keduanya memiliki kesamaan. Apabila manusia berpikir spekulatif tentang sesuatu, itu berarti pikirannya hanya memuat satu atau dua dimensi saja dari sebuah realitas. Pikiran spekulatif bukanlah sebuah gambaran dari sebuah realitas yang utuhg. Oleh karena itu pikiran spekulatif tak dapat membenarkan realitas secara utuh.

Bila berhadapan dengan ramalan akan masa depan, manusia sering membuat spekulasi atau berpikir spekulatif  tentang apa yang bakal terjadi. Ketepatan mutlak penginderaan ke wilayah waktu yang terbentang di hadapannya, memang merupakan sesuatu yang ilahi. Prediksi insan manusia yang memakai kerangka pemikiran spekulatif selalu mempunyai derajat ketidaktepatan yang cukup besar. Bahkan justru yang terjadi adalah fenomena yang tak pernah diramalkan oleh manusia pada tenggang waktu sebelumnya.

Misalnya pada tahun 1980-an, para pakar sudah membuat skenario bahwa cadangan bahan bakar minyak bumi akan habis dalam waktu 10 sampa dengan 20 tahun. Ternyata prediksi ahli yang kompeten itu trernyata meleset. Demikian juga merebaknya fenomen internet yang bahkan tidak pernah kita dengar dalam prediksi spekulatif para pakar dua dekade yang lalu. Sekarang fenomena internet dunia dan Indonesia pada khususnya berkembang begitu oesart saat ini. Keadaan ini membuat pihak pemerintah Indonesia cukup hati-hati dengan maraknya pornografi, penipuan online, perjudian online, prostitusi online serta hacking cyber crime  yang dapat merusak generasi muda sekarang. Di sini berpikir spekulatif tentang masa depan adalah sebuah pengandaian yang sangat riskan

Demikian juga dalam sejarah perkembangan filsafat manusia, pernah muncul aliran-aliran filsafat yang mereduksi manusia yang multidimensional menjadi satu atau dua dimensi saja.[2] Hal ini disebabkan karena para filsuf menyelami misteri manusia hanya sampai pada satu atau dua dimensi saja. Misalnya, aliaran materialisme: mereka melihat manusia cuma sebagai materi belaka. Konsekuensinya manusia diperlakukan seperti barang-barang materi lainnya sejauh ia membawa guna materi. Kemudian muncul juga aliran idealisme yang melihat manusia sebagaiu budi atau roh, sedangkan tubuhnya dianggap mayat. Konsekuensinya orang mengabaikan ekonomi dan teknologi dan menurut mereka yang penting adalah pencerahan roh. Dalam sejarah filsafat pernah muncul juga aliran determinsme yang menyangkal kebebasan manusia. Konsekuensinya manusia jatuh pada sikap fatalistis yang pasif. Demikian juga ada aliran liberalisme yang memutlakan kemerdekaan manusia, konsekuensinya semua norma ditolak.

Pandangan-pandangan tentang siapa manusia ini membawa konsekuensi yang sangat luas dalam kehidupan pribadi dan sesama dalam masyarakat. Misalnya orang menjadi begitu sering berdebat tentang status, fungsi ketimbang martabat manusia sebagai pesona seutuhnya. Orang yang menjadi begitu sering berdebat tentang analisa ketimbang fakta sebenarnya.  

III

Sekarang manusia sedang berada pada dunia abad 21 yang ditandai dengan meningkatkanya interaksi antar warga dunia baik secara langsung maupun tidak langsung, semakin banyak informasi yang tersedia dan dapat diperoleh, meluasnya cakrawala intelektual, munculnya arus keterbukaan serta demokratisasi baik dalam kehidupan politik maupun dimensi kehidupan lainnya. Dalam percaturan internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakan diri dari proses ini. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung mengalir deras tanpa kenal batas. Fil, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet gencar menyuguhkan pemikiran, sikap dan perilaku yang sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label “modern” diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdance (1990) sebagaimana dikutip  oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi menimbulkan gaya hidup global. Tumbuhnya restoran dengan menu khusus dari mancanegara semakin menjamur, menggeser salera masyarakat yang semula bertumpu pada resep-resep tradisional. Gaya berpakaian dipengaruhi oleh garis-garis mode yang diciptakan oleh perancang kelas dunia. Kosmetikan, aksesoris dan pernak pernik lainnya untuk melengkapi penampilan tidak lepas dari era globalisasi, seperti halnya tata busana. Selain mode, dunia hiburan juga tersentuh. Munculnya kafe, club malam, rumah bola (bilyard) memberi warna baru dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula kegiatan-kegiatan pasar. Bentuk-bentuk pasar tradisional yang memungkinkan terjadinya keakraban antar penjual dan pembeli, sehingga keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan menghilang dan berganti dengan transaksi ekonomi semata ketika muncul pasar-pasar swalayan.

Keadaan arus perkembangan globalisasi mengharus manusia mau tak mau harus masuk ke dalam dalam suatu masyarakat modern di mana hukum ekonomi berkuasa. Setiap orang akan berusah mengejar keuntungan maksimal dengan biaya ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian kita sering dengar adegium yang berbunyi, “the right man of the right place”. Penerapan adagium ini akan membuahkan konsekuensi yang tak dapat diramalkan secara tuntas. Dengan pertimbangan untuk suatu keuntungan yang tinggi secara ekonomis, orang akan berusaha mengadakan pembagian kerja berdasarkan profesi dan kemudian menempatkan orang-orang pada posisi yang tepat sesuai dengan keahlian dan spesialisasi yang dimilikinya. Namun kenyataan ini tak membebaskan manusia dari akibat yang menjurus kepada relasi instrumental dan afeksi.

Bila manusia membangun relasi yang bersifat instrumental, maka dengan sendirinya sikap acuh tak acuh (indeferent) menjadi dasar pijak dalam berelasi. Sikap acuh tak acuh berarti tidak peduli kepada orang lain sebagai persona. Dalam berelasi orang lain dipandang tidak lebih dari sebagian lingkungan hidupku, yang sewaktu-waktu aku perlukan untuk hidup.[3]

Teknik yang diciptakan manusia mempunyai andil dalam proses penyelesaian pekerjaan secara efektif dan efesien kian mengarah kepada otomatisasi. Akibatnya manusia sudah sampai pada mentalitas teknokrasi. Yaitu, cara berpikir, bersikap serta memandang segalanya dari dalil-dalil teknik. Dengan demikian harga manusia tak lagi berproduksi, maka ia menjadi kurang dihargai. Oleh karena itu, manusia akan berusaha semaksimal mungkin agar dapat penghargaan yang lebih tinggi. Dengan demikian manusia cenderung bekerja seperti mesin yang lama kelamaan ia menyesuaikan cara hidupnya, cara berpikir serta cara kerja mesin. Tentang hal ini Gabriel Marcell menulis: “Hubungan antara manusia dipermiskin menjadi instrumen menjadi hubungan instrumental yang steril dari dari unsur-unsur emosional afektif”.[4]

Hubungan instrumental ini telah dilihat oleh Erich Fromm sebab terjadinya krisis identitas pada diri manusia. Hal itu dijelaskan dalam analisanya tentang watak pasar (marketing character). Ciri utama dari watak sosial ini adalah kecenderungan untuk melihat dan memperlakukan semua hal sebagai komoditi (barang dagangan). Dengan demikian, kebenaran dan kebaikan milik orang lain melalui cara pertukaran barang. Melalui pertimbangan yang sangat ekonomis itulah, maka pemberian kepada orang lain bisa dilakukan sejauh orang lain dapat memberikan keuntungan bagi dirinya. Dan pada titik ini menurut Erich Fromm, krisis identitas akan menimpa manusia. Hal itu dikemukakannya secara eksplisit sebagai berikut: “krisis identitas dari masyarakat modern sesungguhnya merupakan krisis yang diakibatkan oleh fakta bahwa anggota-anggotanya telah menjadi alat tanpa diri, yaitu identitasnya bertumpu pada partisipasi mereka dalam korporasi-korporasi (atau birokrasi-birokrasi lainnya) di mana tidak ada diri yang otentik di sana tidak mungkin ada identitas”.[5]

Demkian juga dalam sebuah sistem produksi, setiap manusia ditempatkan berdasarkan fungsinya masing-masing. Di sini manusia ditentukan oleh kemampuan untuk melakukan fungsi itu. Semakin tinggi fungsinya, semakin tinggi atau berharga orang itu. Manusia diikutsertakan dalam suatu sistem kerja, di mana pemimpinnya memperlakukan manusia sebagai suatu unsur dari keseluruhan mekanisme. Bila terjadi demikian maka hanya prestasi seseorang yang dipakai ketimbang manusia sebagai persona.[6] Jadi dasar penghargaan kepada manusia bukan martabatnya yang luhur sebagai persona, melainkan lebih berdasarkan fungsinya. Inilah yang dinamakan kebersamaan yang indiferen yaitu situasi perjumpaan yang dangkal tanpa afeksi sebab yang penting adalah fungsi. Dalam situasi seperti ini, walaupun ada bersama, bekerja bersama tetapi tidak ada “perjumpaan”. Tidak ada unsur afektivitas dalam pertemuan itu, dan seorang merasa terpencil bukan dalam arti geometris tetapi dalam arti eksistensial. Aku tidak mengenal engkau, tetapi yang kukenal adalah seperangkat predikat yang melekat di dalam dirimu. Aku berelasi dengan engkau sejauh engkau menjanjikan sesuatu yang menguntungkan diriku. Tetapi hubungan fungsional atau hubungan instrumental itu in se  tidak buruk. Namun yang ditantang adalah sikap yang menjadikan hubungan fungsional atau hubungan instrumental itu sebagai sesuatu yang mutlak. Sebab jikalau hal itu dimutlakan, maka manusia akan miskin secara eksistensial walau di lain pihak ia menjadi kaya secara ekonomis.

 

IV

Nampaknya relasi fungsional atau relasi instrumental yang steril dari unsur emosional afektif yang berlandaskan pada sikap acuh tak acuh itu, belum menujukkan sebuah relasi antar manusia yang sejati. Oleh karena itu manusia harus membangun sebuah relasi yang lebih berdasarkan pada cinta.

Cinta adalah sikap moral  yang paling kurang dapat menjawab kebutuhan manusia dalam mewujudkan relasi antar-manusia yang sejati. Oleh karena itu manusia harus membangun sebuah relasi yang lebih berdasarkan cinta.

Cinta adalah sikap moral yang paling akurat dapat menjawab kebutuhan manusia dalam mewujudkan relasi antar manusia yang sejati. Cinta adalah kesatuan manusia antara subjek dengan subjek. Di sini manusia saling menyerahkan diri secara total, tetapi masing-masing mereka tetap berdikari dengan kemerdekaan penuh. Cinta ditempatkan sebagai syarat dalam berelasi agar martabat manusia tetap dihargai agaknya sebuah pekerjaan gampang-gampang susah. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan. Pertama, cinta itu dipandang sebagai sebagai kegiatan yang bertujuan dan sudah pasti mempunyai cara untuk mencapainya. Namun menjadi persoalan yang sangat rumit apabila diajukan sebagai sebuah pertanyaan; relasi macam apa yang dikehendaki dan cara macam mana yang layak harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua, cinta adalah sebuah term yang sarat dengan bias dan suatu pernyataan sikap yang bersegi banyak. Hal ini disebabkan karena adanya kecenderungan dalam diri manusia yang berusaha sedemikian rupa supaya menarik agar dicintai. Laki-laki misalnya berkuasa, sedangkan perempuan cenderung berbuat agar kelihatan menarik.

Agar kita dapat memahami cinta secara benar dan kemudian supaya dapat diterapkan dalam konkretisasi berelasi, maka di sini akan dipaparkan ciri-ciri cinta secara umum.

 Pertama, cinta ditandai dengan suatu dinamika. Nilai sesama manusia bukanlah keadaan tanpa dinamika, melainkan nilai seorang pribadi yang begitu sibuk untuk mengembangkan dirinya, atau sedang membuat sejarahnya sendiri. Konsekuensi logisnya seseorang tak dapat memandang orang lain sebagai suatu data yang bersifat statis seperti masa lampau. Jadi kalau seseorang yang menawarkan diri untuk ikut serta membantu perkembangan orang lain, maka ia harus insaf bahwa sesama yang lain itu sedang dalam perjalanan untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Pada level ini sesungguhnya cinta ditandai oleh suatu dinamika. Louis Leahy membenarkannya dengan menulis “cinta adalah suatu dinamika aktif yang berakar dalam dalam kesanggupan kita untuk memberi cinta, dan dimaksudkan atau menghendaki perkembangan dan kebahagiaan orang lain.[7]

Kedua, cinta menuntut suatu respek terhadap kemerdekaan. Jikalau sikap tanggung jawab dalam mencinta dimutlakan, pasti sikap itu dengan gampang berubah menjadi pemilikan dan penguasaan. Tetapi jikalau tanggung jawab dalam mencintai diimbangi dengan respek terhadap kemerdekaan orang lain maka saya menyatu dan menerima dia bukan sebagaimana saya membutuhkan orang itu untuk dimanfaatkan menjadi obyek saya. Cinta hanya berlangsung dalam kebebasan dan tidak pernah dilihat sebagai penjelmaan dari penguasaan. Pengertian bahwa cinta harus memberikan respek terhadap kemerdekaan orang lain, hal ini dikemukakan secara baik oleh Frederich Perls yang dikutip oleh John Powell sebagai berikut: “kau dilahirkan di dunia ini bukan memenuhi harapan-harapanku, dan aku pun tidak memenuhi harapanmu. Kalau kita cocok satu sama lain baik sekali, kalu tidak apa boleh buat”.[8]

Ketiga, cinta itu tanpa syarat. Cinta tanpa syarat menolak pertanyaan apa yang akan saya peroleh dari dia. Tembok pemisah antara manusia hanya dapat dirobohkan dengan cinta tanpa syarat. Cinta tanpa syarat tidak mengenal batas awal dan akhir, “from the cradle to the grave”. Tentang hal ini Kahlil Gibran menulis: “mencintai tanpa syarat tak boleh dimengerti sebagai membuat pulau menjadi daratan yang utuh. Hubungan cinta lebih merupakan dua pulau yang tetap terpisah, tetapi pantai-pantainya dibasahi oleh air cinta yang sama”.[9]

Sedangkan cinta bersyarat dirasakan sebagai cinta timbangan, suatu barter bukan suatu hadiah tanpa pamrih. Kedua pihak yang saling mencintai harus mengisi timbangan masing-masing agar kedua sisi tetap seimbang. Hubungan cinta semacam ini adalah “do ut des”, saya member supaya engkau membalas.

********************************************************

Manusia adalah makhluk multidimensional. Oleh karena itu manusia tak boleh direduksi menjadi satu atau dua dimensi seperti yang Nampak dalam sebuah cermin. Hubungan inistrumental yang steril dari unsur-unsur emosional seperti yang terjadi dalam masyarakat modern, harus diusahakan dengan hubungan antar pribadi yang lebih berdasarkan pada cinta. Dan teori cinta yang abstrak itu harus bermuara dalam konkretisasi berelasi dalam masyarakat modern.

***

 



[1] Fromm, (Penerj. Ali Sigiharjan), Seni Mencintai, Pustaka Sinar harapan, Jakarta: 1990. P. 12

[2]Leo Kleden, “Filsafat Manusia”, (ms), STFK Ledalero, 2010/2011

[3]Th. Hujbers, Sekitar Manusia, Gramedia, Jakarta: 1985, pp. 220-221

 

[4] Hiddin Situmorang dan Sihir Simbolon, “Jati Diri Manusia Menurut Gabriel Marcel”, Basis (XXXIX, 3 Maret 1990), p. 117

 

[5] Erich Fromm, (Penerj. F. Soesilohardo), Memiliki dan Menjadi, LP3ES, Jakarta: 1990, P. 81

[6] P. Leenhouwers, Manusia Dan Lingkungan, Gramedia, Jakarta: 1988, p. 107

[7] Louis Leahy, Manusia sebuah Misteri, Gramedia, Jakarta: 1998, p. 68

[8] John Powell, Rahasai Cinta Lestari, Yayasan Cipta Caraka: 1978, p.107

[9] John Pweill, Cinta Tak Bersyarat, Gramedia, Jakarta: 1978.p. 69

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama