Perantauan: Keringat Tubuh Vs Mengais Rejeki, Tanah Orang Vs Tanah Sendiri

Perantauan: Keringat Tubuh Vs Mengais Rejeki, Tanah Orang Vs Tanah Sendiri

 

PERANTAUAN MENGAIS HIDUP DI TANAH ORANG

PRAWACANA

Mobilitas telah menjadi satu realitas hidup dan kehidupan manusia. Ia bukan lagi dialami sebagai suatu posibilitas melainkan sebuah kemestian karena tuntutan situasi dan kondisi kehidupan itu sendiri. Alasan fundamental arus perpindahan manusia beraneka untuk setiap orang. Boleh jadi seseorang bergerak keluar dari daerah asalnya menuju tempat yang baru karena tuntutan profesi atau status yang melekat pada dirinya. Perpindahan model demikian merupakan suatu kelaziman dalam lingkungan birokratis pemerintahan. Yang lain misalnya ikut suami atau istri karena menjadi Aparat Sipil Negara (ASN) dan lain sebagainya. Mobilitas manusia dengan alasan demikian, bukanlah suatu hal yang menimbulkan problem. Mereka berpindah bukan karena kehendak atau kemauan mereka sendiri. Tambahan pula mereka yang beralih tugas dan beralih tempat dengan alasan demikian akan mendapatkan kemakmuran dengan jabatan atau tugas baru yang diembannya di tempat yang baru. Mobilitas manusia model ini justru menjadi incaran setiap insan yang mendambakan kesejahteraan dan kemakmuran materiil.


Monbilitas manusia menjadi soal kalau realitas kemiskinan daerah asal menjadi alasan kuat. Dengan bekal yang serba minim dalam banyak aspek orang pergi merantau dengan harapan bisa menggapai kesejahteraan hidup yang hampir pasti tidak diperoleh ketika masih di  daerah asal. Namun pengalaman sering kali berbicara laini. Idealilsme dan realitas sering kali berbenturan. Yang diharapkan kemakmuran, tidak jarang kenyataan pahit yang diterima. Harapan para perantau untuk bebas dari penjara kemiskinan justru semakin menderita di balik jeruji kemiskinan. Bahwa ada yang sukses dalam perantauan adalah suatu fakta aktual yang tak terbantahkan. Ini bukanlah suatu hal yang problematis. Namun kalau kenyataan kemiskinan yang dialami maka ia menjadi problem. Hal yang problematis inilah yang akan menjadi sentral dari tulisan ini. Di sini, Perantauan dan Kemiskinan adalah dua hal yang mempunyai hubungan sebab akibat. Kemiskinan menyebabkan orang merantau, sebaliknya merantau menyebabkan kemiskinan.

PERANTAUAN: APA ITU?

Term perantauan berasal dari kata dasar rantau, yang berarti pantai sepanjang teluk, daerah (tanah, negeri), di luar negara sendiri, negeri asing, tanah tempat mencari penghidupan.[1] Secara realis, perantauan dimengerti sebagai negeri asing, tempat di mana orang mencari penghidupan, daerah yang didiami orang yang berasal dari negeri lain atau orang asing yang mencari penghidupan ke negeri lain, pengembara.[2]

Perantauan berpadanan arti dengan migrasi. Secara sederhana, migrasi adalah perpindahan satu atau sekumpulan manusia dari satu wilayah/negara ke satu wilayah/ negara yang lain dengan maksud meningkatkan taraf hidup dan ekonomi.[3]pelakunya disebut migran. Karena kaum migran pergi untuk meningkatkan taraf hidup dan ekonomi, dengan kata lain untuk bekerja, maka dikenal juga istilah yang disebut pekerja migran. Pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat baru dalam jangka waktu tertentu. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: Pekerja migran internal dan Pekerja migran Internasional.[4]

Dalam konteks yang lebih luas migrasi secara konseptual didefenisikan sebagai suatu aktivitas perpindahan penduduk yang mencakup beberapa dimensi kehidupan seperti perubahan tempat tinggal, tujuan migrasi maupun keinginan-keinginan untuk menetap. Atau tidak menetap di daerah tujuan.[5] Ehn Hyun Choe dan Young Chan dengan lebih ekstrim mendeskripsikan aktivitas migrasi sebagai suatu aktivitas perpindahan yang mencakup perubah administrasi tempat tinggal, baik dalam konteks lokal, regional maupun internasional yang berlangsung minimal dalam kurun waktu 5 tahun.[6] Dalam pengertian ini aspek waktu menjadi salah satu barometer penting untuk mengukur apakah suatu aktivitas yang dilakukan termasuk dalam kategori migrasi atau tidak. Lain lagi dengan Naim. Ia lebih cenderung melihat batasan budaya sebagai dasar untuk memahami fenomenal migrasi, di mana aktivitas migrasi terjadi apabila aktivitas tersebut sudah melampaui batas-batas kulturalnya.[7]

Berpijak pada beberapa pengertian di atas, maka merantau secara global sebagai sebuah aktivitas meninggalkan kampung halaman atas dasar kehendak atau kemauan sendiri untuk jangka waktu tertentu yang bertujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu dan mencari pengalaman dan pada suatu saat akan kembali pulang ke daerah asalnya.  Dengan itu merantau, entah dalam negeri atau luar negeri bukan merupakan sesuatu yang buruk dalam dirinya. Orang merantau dengan tujuan yang luhur dan mulia demi kesejahteraan dan kemakmuran perantau itu sendiri atau keluarga (rumah tangga) pada khususnya. Namun acapkali tujuan mulia dan luhur merantau paradoks dengan apa yang dialami secara riil di perantauan. Meninggalkan kampung halaman untuk membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan menggapai kemakmuran tidak jarang menuai hal yang sama di daerah rantau.

 

MOTIVASI DASAR GERAKAN KEPERANTAUAN

Catatan Singkat Gerakan Keperantauan

Perantauan sudah setua munculnya kehidupan manusia di atas permukaan bumi ini. Boleh dikatakan ia hadir dan ada bersama manusia sejak manusia muncul pertama kali di dunia ini. Selama periode pleistosen, sekitar 1.8 juta tahun lampau terjadi perubahan lingkungan secara besar-besaran.[8] Perubahan itu berimplikasi pada perubahan aneka kehidupan yang mengisi bumi. Di antaranya lenyapnya atau berubah jenis-jenis tanaman atau hewan. Mutasi pelbagai jenis tumbnuhan dan hewan turut memberi warna tersendiri bagi perubahan lingkungan. Hal lain yang terjadi sebagai efek dari perubahan lingkungan adalah pergerakan kelompok-kelompok orang mencari peluang-peluang bagi keberlanjutan hidup mereka.

Pergerakan manusia sejak periode plestosen terus berlangsung hingga saat ini dan boleh jadi akan terus berlangsung pada masa-masa yang akan datang. Dalam dunia sekarang, perantauan telah menjadi bagian yang terpadu dari tata perekonomian dunia.[9] Satu contoh klasik tentang migrasi manusia secara massal yang pertama-tama didorong oleh tekanan ekonomi, dan kemudian oleh pertimbangan politik, adalah kisah Keluaran dan Kitab Perjanjian Lama. Orang-orang Israel berpindah dari kawasan yang terbilang kering-kerontang, dengan kelangkaan air yang berkepanjangan, kelaparan yang terjadi berulang-ulang serta konflik sosial yang terus menerus serta konflik sosial yang terus menerus ke kawasan yang kaya secara ekonomis dan stabil secara politik di Delta sungai Nil. Akan tetapi, vitalitas kelompok perantau baru ini dalam jangka panjang mengancam privilise serta keunggulan sosio-politik masyarkat pribumi. Situasi ini niscaya bermuara pada konflik kepentingan yang berkepanjangan, dan akhirnya dalam suatu perang sipil  yang begitu kilat lagi berdarah. Hal ini membangkitkan migrasi massal yang berkepanjangan, penuh derita dan seringkali diwarnai pemberontakan dalam mencari tanah, kebebasan dan jati diri budaya. Gerakan migrasi, secara besar-besaran selalu membuat status quo terganggu menyebabkan konlik-konflik sosial pada saat yang sama membuka rupa-rupa peluang bagi keberuntungan tertentu di bidang ekonomi.[10]

Banyak kemudahan yang terus diusahakan di pelbagai belahan dunia turut memacu pergerakan manusia ke mana saja. Kondisi yang tercipta ini, pada akhirnya membawa orang pada suatu pemahaman bahwa dunia ini tidak lagi terkotak-kotak. Ia menjadi sebuah global village. Batasan teritorial, agama, budaya, bahasa, paham dan lain-lain sebagainya tidak dilihat sebagai persoalan yang  merintangi orang untuk berpergian ke mana saja. Orang Indonesia pergi ke Amerika, Singapura, Australia dan lain sebagainya dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Yang penting ada uang, akan mudah untuk mencapai tujuan. Orang Cina, Jepang, Inggris ataupun negara lainnya datang ke wilayah NTT membuka usaha atau bisnis tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang asing. Sekat-sekat alienasi yang tercipta pada masa lampau kini telah terbuka dengan adanya arus migrasi manusia dari satu tempat ke tempat lain. Atau dari satu negara ke negara lain.

Alasan-alasan Orang Merantau

Gerakan keperantauan telah menjadi gejala-gejala global dewasa ini. Gerakan itu bukan lagi menjadi gerakan yang dilakukan oleh satu bangsa atau sekelompok orang dalam satu wilayah tertentu di suatu negara. Mobilisasi manusia itu, bukan sekedar sebuah mobilisasi biasa tanpa tujuan jelas dan bukan juga sekedar sebuah perjalanan seperti yang dilakukan oleh para peziarah. Sekurang-kurangnya beberapa alasan berikut bisa menjadi jawaban mengapa orang merantau.


Keadaan alam yang kritis

Untuk masyarakat agraris, alam mempunyai andil besar dalam menunjang pemenuhan kebutuhan  primer masyarakat. Sebagai misal mayoritas penduduk bumi Indonesia umumnya, dan NTT khususnya bermata pencaharian sebagai petani, mereka bisa bertahan hidup atau tidak, amat tergantung produktivitas pertanian. Suplai kebutuhan hidup atau produktivitas pertanian bisa terjamin sangat bergantung pada kondisi alam yang ada.

Topografi wilayah NTT bergunung-gunung untuk beberapa wilayah tertentu. Di samping itu ada beberapa wilayah lain yang kering kerontangh, tandus, dipenuhi lahan gambut dan berbatu-batu . keadaan alam yang demikian membuat orang stress. Lebih dari masyarakat NTT memiliki mentalitas santai. Oleh karena itu, berhadapan dengan realitas alam seperti itu orang enggan untuk berusaha. Kondisi alam yang kritis membuat orang sulit untuk bercocok tanam. Atas dasar itu, kita bisa memahami banyak orang NTT meninggalkan kampung halaman lalu pergi ke Jawa, Kalimantan, Sumatra dan bahkan ke luar negeri seperti Malaysia, Hongkong dan Singapura menjadi tempat untuk mengais kehidupan.

Tuntutan kebutuhan hidup

Manusia adalah ens dinamicum. Manusia juga adalah makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang telah ia punya. Sebagai makhluk yang dinamis dan selalu haus, manusia giat dan gencar mencari sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu bisa berupa kebutuhan-kebutuhan. Dulu kalau kebutuhan akan makanan, pakaian dan tempat tinggal sudah terpenuhi maka sudah cukup untuk bisa bertahan hidup. Tetapi untuk manusia dalam konteks sekarang, selalu giat mencari hidup,  terpenuhinya kebutuhan-


kebutuhan di atas belumlah cukup untuk sebuah kehidupan ytang layak. Apa yang dulu dianggap kebutuhan sekunder dan tersier, kini karena tuntutan zaman tidak dilihat lagi sebagai kebutuhan sekunder atau tersier tetapi kebutuhan komplementer yang disejajarkan dengan kebutuhan primer. Zaman globalisai mengharuskan orang untuk hidup serba berkecukupan semisal harus mempunyai rumah layak huni yang bagus dan nyaman, harus mempunyai kendaraan motor dan mobil.  System perekonomian dan pertanian di daerah atau desa tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. System ekonomi pertanian di daerah tidak member dan menciptakan ruang gerak bagi manusia untuk memenuhi segala macam kebutuhan itu. Maka tidak mengherankan, orang meninggalkan budaya bercocok tanam yang menjadi primadona di daerah asal menuju daerah baru yang lebih maju, lebih modern, canggih yakni suatu daerah yang member banyak peluang bagi pemenuhan segala macam kebutuhan manusia yang semakin kompleks.

Pembebasan diri dari tuntutan social-budaya yang menekan

Dalam bukunya yang berjudul,  A Theology of Liberation¸Gutierrez mengemukakan bahwa pembebasan an sich memiliki tiga tatara yang mana tataran yang satu dan yang lainnya bertali-temali, yang tak dapat dimengerti tanpa tataran yang lain.[11]

Pertama, pembebasan social. Pembebasan social yang dimaksudkan di sini ialah pembebasan dari strukturt-struktur social yang tidak adil, yang merusak manusia, struktur-struktur itu bersifat politis, ekonomi maupun budaya. Struktur-struktur itu, dapat tumbuh Dari tingkah laku tak beres yang berdasarkan pada ras, kelas, bangsa, jenis kelamini, kepentingan kelompok maupun ikatan primordial yang lain.

Kedua, pembebasan dari kekuatan nasib. Yang dimaksudkan di sini ialah pembebasan dari kuatnya perasaan bahwa situasi yang dialami oleh seseorang telah ditentukan sebelumnya. Seringkali terdapat anggapan bahwa terhadap situasi hidup yang dialami, orang merasa tidak akan berbuat apa-apa. Tidak jarang bahwa bila ada orang yang mencoba mengatasi situasi hidupnya yang tak beruntung, orang tersebut lantas dianggap lancing atau sombong. Anggapan semacam itu mendukung anggapan lain bahwa kalau seseorang itu miskin secara structural, hal itu dinggap sebagai suatu kondisi terberi bahwa ia memang dilahirkan untuk miskin. Anggapan sama berlaku juga untuk orang kaya. Konsekuensinya orang kaya cenderung mempertahankan status quonya, sedangkan orang miskin bersikap pasrah dalam menghadapi segala kemalangan hidupnya. Yang mau dikatakan oleh pembebasan pada tataran kedua ini adalah bahwa segala sesuatu tidak harus tinggal tetap sebagaimana adanya.

Ketiga, pembebasan dari kesalahan atau dosa pribadi. Pembebasan dari tataran ini berarti orang perlu melihat agama yang dianutnya.  Semisal orang kristiani perlu melihat Kristus sebagaimana ditunjukkan oleh Kitab Suci sebagai pembawa warta kebebasan. Kristus adalah penyelamat yang membebaskan manusia dari dosa, yang adalah akar dari kesalahan dalam persahabatan antar manusia serta semua ketidakadilan dan penindasan.

Ketiga konsep pembebasan seturut Guiterrez ini, bermuara pada satu konsep umum pembebasan adalah suatu proses integral yang menyentuh setiap dimensi kehidupan.

Salah satu realitas sosio-budaya yang sangat kuat menekan kebebasan adalah sistem adat perkawinan. Sistem adat perkawinan yang menekan ini, sangat tampak dalam masyarakat yang menganut budaya patriarkat. Satu elemen sistem perkawinan budaya patriarkat yang selalu menjadi bahan perdebatan menarik dan mengundang diskusi yang alot adalah belis. Dulu, belis dilihat sebagai tanda untuk memperat hubungan persaudaraan antara pihak pemberi perempuan dan menerima perempuan. Namun kini menjadi disorientasi arti belis, yakni orientasi ekonomis. Pergeseran makna berimplikasi pada nilai belis itu sendiri. Besar kecilnya belis menjadi prasyarat untuk merestui hubungan pasangan yang hendak membentuk mahligai rumah tangga. Biasanya status juga turut mendukung besar kecilnya belis di samping aspek pendidikan dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja amat membebankan pihak penerima perempuan. Lebih dari itu kedua pribadi yang sudah bersumpah setia untuk hidup bersama juga sungguh terbebani. Maka tak heran, kalau merantau dijadikan sebagai sebuah pilihan untuk menghindari adat perkawinan yang membelenggu.

Budaya matrilineal, juga bisa menjadi motif terjadinya perantauan. Seperti yang kita kenal dalam budaya matrilineal pengaturan warisan dan penentuan kebijakan ada di tangan perempuan. Dengan kata lain yang menguasai warisan adalah anak perempuan. Anak laki-laki tidak. Akan menjadi persoalan ketika perkawinan terjadi antara laki-laki dari budaya matrilineal dengan budaya patrilineal. Calon suami tentu harus menafkahi istri dan anak-anaknya, sementara dia tidak mempunyai bidang tanah atau lahan. Budaya matrilineal turut memicu terjadinya perantauan kaum muda laki-laki.

Jadi jelaslah bahwa tekanan sosial-budaya daerah asal seringkali menjadi pemicu terjadinya perantauan. Sistem budaya demikian menghambat upaya membangun daerah sendiri, dan mendorong orang keluar dari kampung halaman. Manusia berada di bawah tekanan. Ia tidak merasa bebas.

Budaya Hidup di Kota Menarik

Orang-orang NTT yang merantau pada umumnya berasal dari daerah desa (kampung). Mobilitas manusia NTT selalu bergerak dari desa ke kota. Setiap kita tahu dan sadar apakah kita hidup di desa atau kota. Dua wilayah ini, desa dan kota memiliki kekhasannya masing-masing.[12] Kebanyakan orang menghubungkan desa dengan kata-kata seperti pertanian, ketidaktahuan, adat, kemiskinan, ketinggalan. Kota dikaitkan dengan kata-kata seperti perkantoran, informasi, persekolahan, kekayaan dan kemajuan. Kota adalah pusat, sedangkan desa adalah pinggiran. Maka tidak perlu heran, kalau setiap orang desa yang bisa, hendak merantau ke kota. Kota adalah puncak penimbun modal, pokok pengembangan ideologi dan pusat jaringan kuasa politik.[13] Tata ekonomi daerah, regional, nasional dan transnasional sudah lama dikoordinasikan dan dikendalikan oleh kota. Arus migrasi manusia dari desa ke kota, membuat kota penuh sesak dengan manusia. Yang sudah menetap lebih dulu tidak mau beranjak pergi meninggalkan kota. Penambahan manusia baru di kota yang tata ruang wilayahnya tidak bisa diperluas lagi dipaksakan terus menampung. Hal ini tentu saja, menimbulkan problem baru yang berdampak luas pada matra-matra kehidupan lainnya. Kolong-kolong jembatan, stasiun-stasiun kareta api dijadikan areal pemukiman, muncul banyak pengemis. Kota menjadi tempat tidak layak untuk didiami, sumber kejahatan dan lain sebagainya.

Orang-orang NTT, merantau ke kota tanpa dibekali dengan spesialisasi atau keahlian khusus. Dengan bekal sumber daya manusia yang rendah mereka berangkat. Yang penting ke kota. Tapi apa lacur, yang dialami lebih sengsara dari pada ketika masih di kampung halam. Mau kembali malu dan gengsi. Karena itu jalan yang ditempuh adalah tetap bertahan dengan situasi yang ada,. Segala carapun dipakai untuk bisa tetap bertahan hidup. Menjadi preman kota, pegawai orang-orang besar bahkan terjun dalam dunia hitam. Apa yang diasumsi sebagai sesuatu yang menarik di kota seringkali membawa kesengsaraan dan penderitaan.

REPRODUKSI KEBUDAYAAN ASAL PARA PERANTAU: KONFLIK DENGAN SUKU PRIBUMI

Mobilitas telah menjadi faktor esensial dalam pembentukan dan perubahan peradaban umat manusia karena perbedaan tempat dalam kehidupan manusia telah menciptakan definisi-definisi baru, tidak hanya tentang lingkungan di mana seseorang bertempat tinggal, tetapi juga tentang dirinya sendiri.[14] Eksistensi seseorang dalam lingkungan tertentu di satu pihak mengharuskan aadaptasi yang sustainable untuk dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas. Di lain pihak, identitas asal yang telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan seseorang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, bahkan kebudayaan asal cenderung menjadi ‘pedoman’ dalam kehidupan di tempat yang baru.

Perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, dan kebudayan merupakan konteks memberikan warna bagi identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan. Batas-batas wilayah tidak lagi menjadi penting karena suatu kelompok tidak selalu terikat pada batas wilayah kebudayaannya sendiri. Para buruh yang bekerja di berbagai tempat, para pegawai yang berpindah-pindah, para pencari suaka politik, para pengusaha atau para pedagang yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain adalah sekelompok orang yang mengindikasikan betapa mobilitas merupakan kekuatan penting dewasa ini dalam merekonstruksi relativisme budaya. Budaya kemudian berfungsi sebagaimana dikatakan Ben Anderson sebagai imagined values, yang hanya berfunsgi dalam pikiran karena tidak memiliki kekuatan pemaksaan secara institusional.[15]

Hanya kemudian muncul persoalan, ketika para perantau (pendatang) memiliki sikap etnosentrisme yang tinggi. Sekian sering konflik antara perantau (pendatang) dengan penduduk lokal terjadi karena pemahaman pendatang yang memandang budayanya lebih tinggi dari budaya setempat (penduduk pribumi). Konsep ini terus mempengaruhi para perantau. Adaptasi dengan kebudayaan setempat hampir tidak ada. Maka tak heran seringkali terjadi benturan-benturan. Contohnya, seringkali benturan dengan suku pribumi karena dipicu oleh persoalan ini. Para perantau menganggap orang asli bodoh dan tidak punya apa-apanya. Malah ada pemaksaan secara terselubung untuk menghancurkan kebudayaan setempat.

DERITA TANPA UJUNG PERANTAU PEREMPUAN: BELAJAR DARI KAUM MIGRAN DI MALAYSIA

Sepanjang 2014 - Maret 2019, kuantitas Pekerja Migran Indonesia (PMI) mencapai 1,55 juta pekerja. Khusus selama triwulan pertama 2019, populasinya mencapai 64.062 orang terdiri dari 19.597 (31%) pekerja laki-laki dan 44.465 (70%) pekerja perempuan. Realisasi jumlah PMI Januari – Maret tahun ini turun 3,07% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 66.090 pekerja. Informasi di atas berasal dari data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BN2PTKI). Dari sumber yang sama diketahui, penempatan PMI sepanjang 2018 meningkat 7,89% secara year on year menjadi 283.640 ribu pekerja. Jumlah ini terdiri dari 84.665 (30%) pekerja laki-laki dan 198.975 (70%) pekerja perempuan.  Tingginya penempatan pekerja migran ke luar negeri seolah mengindikasikan bahwa bekerja di luar negeri terus menjadi impian sebagian masyarakat. Penghasilan yang cukup besar menjadi salah satu alasan mereka mengadu nasib sampai ke negeri jiran.[16]

Tujuan terpopuler bagi migrant perempuan Indonesia telah bergeser dari Timur Tengah ke nagara-negara Asia lain yang ekonominya maju pesat pada beberapa decade terakhir. Salah satu di antaranya adalah Malaysia. Malaysia menjadi tempat utama tenaga kerja perempuan mencari kerja.[17] Umumnya mereka bekerja sebagai buruh di perkebunan dan kawasan konstruksi, pekerja di pabrik-pabrik dan pekerja rumah tangga di rumah pribadi. Mereka dipekerjakan dalam jenis pekerjaan yang bercirikan tiga D: dirty (kotor), difficult (sulit) dan dangerous (berbahaya).

Tenaga kerja perempuan adalah tenaga kerja yang paling banyak diminati untuk dipekerjakan di luar negeri. Dengan demikian penderitaan yang terbanyak seringkaliu dialami oleh kaum perempuan. Contoh kasusnya adalah

Diberitakan CNN, Senin (27), foto-foto para TKW korban penyiksaan itu diambil oleh fotografer peraih penghargaan, Steve McCurry, dalam sebuah proyek yang bekerja sama dengan lembaga PBB, Organisasi Pekerja Internasional, ILO, bernama "Tidak ada yang patut bekerja seperti ini".

Salah satu foto yang dipamerkan di Klub Koresponden Asing Hong Kong itu bercerita soal Tutik Lestari Ningsih alias Susi, korban penyiksaan majikannya, Law Wan Tung. Selain Susi, Law juga menyiksa TKW asal Indonesia lainnya, Erwiana Sulistyaningsih, hingga terluka parah.

"Pertama kali dia memukul saya adalah di hari gajian, dia meminta saya tanda tangan di secarik kertas, tapi saya katakan, 'kenapa saya harus tanda tangan padahal anda tidak memberi saya uang?' dia lalu memukul saya," kata Susi pada CNN.

Penyiksaan itu dialaminya selama bekerja di rumah Law hampir setahun. Dia di lingkaran kerja paksa dan perbudakan tanpa upah di rumah Law.

"Dia hanya memperbolehkan saya tidur dari jam 6 sore hingga 10 malam. Setiap hari saya tidur hanya empat jam. Saya hanya boleh ke kamar mandi tiga kali sehari. Dia tidak memberi saya hari libur, tidak ada yang diperbolehkan," kata Susi.

Susi berhasil keluar dari rumah tersebut namun enggan menceritakan peristiwa yang dialaminya karena diancam. Agen penyalurnya juga menjanjikannya pekerjaan yang lebih baik jika dia tetap tutup mulut. Law mengancam akan membunuh Susi dan keluarganya jika dia mengadu pada polisi.

"Itulah mengapa saya sangat takut. Saya menahan setiap pukulannya, sembari berharap dia tidak membunuh saya, karena saya punya anak yang masih kecil," kata wanita 30 tahun ini.

Susi akhirnya membongkar penyiksaan yang dialaminya setelah kasus Erwiana menyeruak. Law dinyatakan bersalah atas penyiksaan terhadap para pekerja di rumahnya dan divonis enam tahun penjara.

Susi bukan satu-satunya TKW asal Indonesia yang menderita siksaan. Sumasri, TKW di Malaysia, menderita luka parah di punggungnya karena disiram air panas oleh majikannya di Malaysia. Bekas luka yang memilukan itu menjadi salah satu objek foto McCurry.

"Saya rutin ke klinik untuk berobat. Sekarang sudah tidak sakit lagi. Paling menyakitkan adalah empat bulan pertama," kata Sumasri.

Korban lainnya adalah Anis, 26, yang mengalami patah tulang jari setelah dibacok dengan pisau oleh majikannya. Insiden itu terjadi lima hari setelah Anis bekerja di rumah majikannya di Hong Kong.

Sritak juga mengalami penyiksaan saat bekerja di Taiwan. Luka bakar di dada Sritak terlihat jelas dalam foto McCurry. Majikan Sritak membakar kulitnya dengan garpu yang dipanaskan. "Dia mengambil garpu dan memanaskannya di atas kompor dan meletakkannya di tangan saya. Dia seperti kerasukan setan," kata wanita 31 tahun ini yang terpaksa bekerja di luar negeri demi membantu keluarganya di desa.

Sritak pernah dipukul dengan pipa besi dan disiram air panas karena dituduh mencuri.

Nasib perempuan memang sungguh tragis. Dalam banyak aspek kehidupan mereka selalu menjadi korban. Mereka akan tetap menjadi korban. Mereka akan tetap menjadi warga kelas dua selama tidak ada gerakan pembaharuan total yang dipelopori oleh semua elemen masyarakat.

 

POST WACANA

Panbers, dalam sebuah lagunya berjudul “Perantau” menulis beberapa penggalan syair seperti berikut:

Begini nasib orang perantau
Hidup sendiri di negeri orang
Nasib baik mau pun malang
Itu sudah, suratan tangan


Ku tinggalkan sanak saudara
Ku tinggalkan kampung halaman
Ku tinggalkan kasih tersayang…
Mengadu nasib di negeri orang

 Begini nasib orang perantau
Mengadu nasib di negeri orang

Derita di tanggung sendiri
Bahagia yang s’lalu di cari


Ku tinggalkan sanak saudara
Ku tinggalkan kampung halaman
Ku tinggalkan kasih tersayang…
Mengadu nasib di negeri orang


Begini nasib orang perantau
Mengadu nasib di negeri orang
Derita di tanggung sendiri
Bahagia yang s’lalu di cari


Ku tinggalkan sanak saudara
Ku tinggalkan kampung halaman
Ku tinggalkan kasih tersayang…
Mengadu nasib di negeri orang

Panbers menulis syair ini, berangkat dari realitas yang dialami oleh para perantau bahwa kebahagiaan yang dicari di tempat rantau seringkali tidak kesampaian. Yang diterima malah penderitaan dan kesengsaraan. Kekayaan yang mau digapai kemiskinan yang didapat.

Merantau pada dasarnya mempunyai tujuan yang baik. Namun, seringkali realitas berbicara lain. Apa yang diuraikan ini adalah sisi buruk dari aktivitas merantau sebagai sebuah bencana. Dengan itu dibutuhkan kerarifan dan refleksi yang matang sebelum memutuskan untuk merantau atau tidak. Dengan itu terjadi sinkronisasi antara idealism dan realism, apa yang mau digapai dengan apa yang diperoleh.



[1] W. J. S. Poerwadarminta, kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 80

[2] Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta: Gajah Madah University Press, 1984), hlm. 2

[3] Edi Suhartto, “Permasalahan Pekerja Migran: Perspektif Pekerjaan Dalam Sosial”, dalam http://wwww.policy.hu/suhartto/modul-a/makindo_35.htm.

[4] Yang dimaksud dengan pekerja migran internal adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya untuk bekerja di tempat lain yang masih termasuk di dalam wilayah Indonesia. Karena perpindahan penduduk umumnya dari  desa ke kota, maka pekerja migran internal seringkali diidentikan dengan ‘orang desa yang bekerja di kota’. Sedangkan yang dimaksud dengan pekerja migran internasional adalah mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Dalam konteks kita, Indonesia pengertian ini merujuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia. Lih. Ibid.

[5] Abdul Haris, Kucuran Keringat dan Derap Pembangunan (Jejak Migran Dalam pembangunan Daerah) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Hlm. 130-131.

[6] Ibid. hlm. 131.

[7] Ibid.

[8] Dominic T. Gaiono. “Pastoral Perantau di Eropa Abad XXI Para Perantau Filipina di Italia Utara”, dalam Georg Kirchberger dan John Manford Prior (eds), Mendengar dan Mewartakan (Ende: Nusa Indah, 2003), hlm. 130-131.

[9] Ibid., hlm. 131.

[10] Ibid.

[11] Baskara T. Wardaya, Sp[ritualitas Pembebasan, Refleksi atas Iman Kristiani dan Praksis Pastora, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 87-89.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

[12] John Mansford Prior, “Gereja Wadah Demokrasi Bagi Jemaat Desa”, dalam   , hlm. 53.

 

[13] Ibid.

[14] Abdul Haris, Op. Cit., hlm. Xii.

[15] Ibid. hlm. xiv.

[16] Bdk. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/30/2014-maret-2019-penempatan-pekerja-migran-capai-155-juta

[17] Pilihan untuk mencari kerja di Malaysia, untuk sebagian orang, masih menjadi pilihan utama. Bukan berarti lapangan pekerjaan di Indonesia sudah sempit, namun peluang kerja yang ada di negeri jiran tersebut terbilang lebih menggiurkan. Selain karena letak geografisnya yang tidak terlalu jauh, Malaysia juga menawarkan banyak keuntungan untuk pekerja yang datang ke negaranya.

Jarak serta budaya yang tidak jauh berbeda menjadi faktor besar yang membuat pekerjaan di Malaysia banyak menjadi incaran. Selain itu tentu ada beberapa faktor lain yang dapat dikatakan menjadi faktor penarik. Mulai dari gaji atau upah yang kompetitif, pengalaman baru, tunjangan serta kemudahan beradaptasi. Bdk. https://blog.qelola.com/benarkah-kerja-di-malaysia-banyak-keuntungannya/

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama