PERANTAUAN MENGAIS HIDUP DI TANAH ORANG
PRAWACANA
Mobilitas telah menjadi satu realitas hidup dan kehidupan manusia. Ia bukan lagi dialami sebagai suatu posibilitas melainkan sebuah kemestian karena tuntutan situasi dan kondisi kehidupan itu sendiri. Alasan fundamental arus perpindahan manusia beraneka untuk setiap orang. Boleh jadi seseorang bergerak keluar dari daerah asalnya menuju tempat yang baru karena tuntutan profesi atau status yang melekat pada dirinya. Perpindahan model demikian merupakan suatu kelaziman dalam lingkungan birokratis pemerintahan. Yang lain misalnya ikut suami atau istri karena menjadi Aparat Sipil Negara (ASN) dan lain sebagainya. Mobilitas manusia dengan alasan demikian, bukanlah suatu hal yang menimbulkan problem. Mereka berpindah bukan karena kehendak atau kemauan mereka sendiri. Tambahan pula mereka yang beralih tugas dan beralih tempat dengan alasan demikian akan mendapatkan kemakmuran dengan jabatan atau tugas baru yang diembannya di tempat yang baru. Mobilitas manusia model ini justru menjadi incaran setiap insan yang mendambakan kesejahteraan dan kemakmuran materiil.
Monbilitas manusia
menjadi soal kalau realitas kemiskinan daerah asal menjadi alasan kuat. Dengan
bekal yang serba minim dalam banyak aspek orang pergi merantau dengan harapan
bisa menggapai kesejahteraan hidup yang hampir pasti tidak diperoleh ketika
masih di daerah asal. Namun pengalaman
sering kali berbicara laini. Idealilsme dan realitas sering kali berbenturan.
Yang diharapkan kemakmuran, tidak jarang kenyataan pahit yang diterima. Harapan
para perantau untuk bebas dari penjara kemiskinan justru semakin menderita di
balik jeruji kemiskinan. Bahwa ada yang sukses dalam perantauan adalah suatu
fakta aktual yang tak terbantahkan. Ini bukanlah suatu hal yang problematis.
Namun kalau kenyataan kemiskinan yang dialami maka ia menjadi problem. Hal yang
problematis inilah yang akan menjadi sentral dari tulisan ini. Di sini,
Perantauan dan Kemiskinan adalah dua hal yang mempunyai hubungan sebab akibat.
Kemiskinan menyebabkan orang merantau, sebaliknya merantau menyebabkan
kemiskinan.
PERANTAUAN:
APA ITU?
Term perantauan berasal
dari kata dasar rantau, yang berarti pantai sepanjang teluk, daerah (tanah,
negeri), di luar negara sendiri, negeri asing, tanah tempat mencari
penghidupan.[1]
Secara realis, perantauan dimengerti sebagai negeri asing, tempat di mana orang
mencari penghidupan, daerah yang didiami orang yang berasal dari negeri lain
atau orang asing yang mencari penghidupan ke negeri lain, pengembara.[2]
Perantauan berpadanan
arti dengan migrasi. Secara sederhana, migrasi adalah perpindahan satu atau
sekumpulan manusia dari satu wilayah/negara ke satu wilayah/ negara yang lain
dengan maksud meningkatkan taraf hidup dan ekonomi.[3]pelakunya
disebut migran. Karena kaum migran pergi untuk meningkatkan taraf hidup dan
ekonomi, dengan kata lain untuk bekerja, maka dikenal juga istilah yang disebut
pekerja migran. Pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah
kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat baru dalam jangka
waktu tertentu. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: Pekerja migran
internal dan Pekerja migran Internasional.[4]
Dalam konteks yang
lebih luas migrasi secara konseptual didefenisikan sebagai suatu aktivitas
perpindahan penduduk yang mencakup beberapa dimensi kehidupan seperti perubahan
tempat tinggal, tujuan migrasi maupun keinginan-keinginan untuk menetap. Atau
tidak menetap di daerah tujuan.[5]
Ehn Hyun Choe dan Young Chan dengan lebih ekstrim mendeskripsikan aktivitas
migrasi sebagai suatu aktivitas perpindahan yang mencakup perubah administrasi
tempat tinggal, baik dalam konteks lokal, regional maupun internasional yang
berlangsung minimal dalam kurun waktu 5 tahun.[6]
Dalam pengertian ini aspek waktu menjadi salah satu barometer penting untuk
mengukur apakah suatu aktivitas yang dilakukan termasuk dalam kategori migrasi
atau tidak. Lain lagi dengan Naim. Ia lebih cenderung melihat batasan budaya
sebagai dasar untuk memahami fenomenal migrasi, di mana aktivitas migrasi
terjadi apabila aktivitas tersebut sudah melampaui batas-batas kulturalnya.[7]
Berpijak pada beberapa
pengertian di atas, maka merantau secara global sebagai sebuah aktivitas
meninggalkan kampung halaman atas dasar kehendak atau kemauan sendiri untuk
jangka waktu tertentu yang bertujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu dan
mencari pengalaman dan pada suatu saat akan kembali pulang ke daerah
asalnya. Dengan itu merantau, entah
dalam negeri atau luar negeri bukan merupakan sesuatu yang buruk dalam dirinya.
Orang merantau dengan tujuan yang luhur dan mulia demi kesejahteraan dan
kemakmuran perantau itu sendiri atau keluarga (rumah tangga) pada khususnya.
Namun acapkali tujuan mulia dan luhur merantau paradoks dengan apa yang dialami
secara riil di perantauan. Meninggalkan kampung halaman untuk membebaskan diri
dari belenggu kemiskinan dan menggapai kemakmuran tidak jarang menuai hal yang
sama di daerah rantau.
MOTIVASI
DASAR GERAKAN KEPERANTAUAN
Catatan
Singkat Gerakan Keperantauan
Perantauan sudah setua
munculnya kehidupan manusia di atas permukaan bumi ini. Boleh dikatakan ia
hadir dan ada bersama manusia sejak manusia muncul pertama kali di dunia ini.
Selama periode pleistosen, sekitar 1.8 juta tahun lampau terjadi perubahan
lingkungan secara besar-besaran.[8]
Perubahan itu berimplikasi pada perubahan aneka kehidupan yang mengisi bumi. Di
antaranya lenyapnya atau berubah jenis-jenis tanaman atau hewan. Mutasi
pelbagai jenis tumbnuhan dan hewan turut memberi warna tersendiri bagi
perubahan lingkungan. Hal lain yang terjadi sebagai efek dari perubahan
lingkungan adalah pergerakan kelompok-kelompok orang mencari peluang-peluang
bagi keberlanjutan hidup mereka.
Pergerakan manusia
sejak periode plestosen terus berlangsung hingga saat ini dan boleh jadi akan
terus berlangsung pada masa-masa yang akan datang. Dalam dunia sekarang,
perantauan telah menjadi bagian yang terpadu dari tata perekonomian dunia.[9]
Satu contoh klasik tentang migrasi manusia secara massal yang pertama-tama
didorong oleh tekanan ekonomi, dan kemudian oleh pertimbangan politik, adalah
kisah Keluaran dan Kitab Perjanjian Lama. Orang-orang Israel berpindah dari
kawasan yang terbilang kering-kerontang, dengan kelangkaan air yang
berkepanjangan, kelaparan yang terjadi berulang-ulang serta konflik sosial yang
terus menerus serta konflik sosial yang terus menerus ke kawasan yang kaya
secara ekonomis dan stabil secara politik di Delta sungai Nil. Akan tetapi,
vitalitas kelompok perantau baru ini dalam jangka panjang mengancam privilise
serta keunggulan sosio-politik masyarkat pribumi. Situasi ini niscaya bermuara
pada konflik kepentingan yang berkepanjangan, dan akhirnya dalam suatu perang
sipil yang begitu kilat lagi berdarah.
Hal ini membangkitkan migrasi massal yang berkepanjangan, penuh derita dan
seringkali diwarnai pemberontakan dalam mencari tanah, kebebasan dan jati diri
budaya. Gerakan migrasi, secara besar-besaran selalu membuat status quo
terganggu menyebabkan konlik-konflik sosial pada saat yang sama membuka
rupa-rupa peluang bagi keberuntungan tertentu di bidang ekonomi.[10]
Banyak kemudahan yang
terus diusahakan di pelbagai belahan dunia turut memacu pergerakan manusia ke
mana saja. Kondisi yang tercipta ini, pada akhirnya membawa orang pada suatu
pemahaman bahwa dunia ini tidak lagi terkotak-kotak. Ia menjadi sebuah global village. Batasan teritorial,
agama, budaya, bahasa, paham dan lain-lain sebagainya tidak dilihat sebagai
persoalan yang merintangi orang untuk
berpergian ke mana saja. Orang Indonesia pergi ke Amerika, Singapura, Australia
dan lain sebagainya dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Yang penting ada
uang, akan mudah untuk mencapai tujuan. Orang Cina, Jepang, Inggris ataupun
negara lainnya datang ke wilayah NTT membuka usaha atau bisnis tidak lagi
dilihat sebagai sesuatu yang asing. Sekat-sekat alienasi yang tercipta pada
masa lampau kini telah terbuka dengan adanya arus migrasi manusia dari satu
tempat ke tempat lain. Atau dari satu negara ke negara lain.
Alasan-alasan
Orang Merantau
Gerakan keperantauan telah menjadi gejala-gejala global dewasa ini. Gerakan itu bukan lagi menjadi gerakan yang dilakukan oleh satu bangsa atau sekelompok orang dalam satu wilayah tertentu di suatu negara. Mobilisasi manusia itu, bukan sekedar sebuah mobilisasi biasa tanpa tujuan jelas dan bukan juga sekedar sebuah perjalanan seperti yang dilakukan oleh para peziarah. Sekurang-kurangnya beberapa alasan berikut bisa menjadi jawaban mengapa orang merantau.
Keadaan
alam yang kritis
Untuk masyarakat
agraris, alam mempunyai andil besar dalam menunjang pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. Sebagai misal mayoritas
penduduk bumi Indonesia umumnya, dan NTT khususnya bermata pencaharian sebagai
petani, mereka bisa bertahan hidup atau tidak, amat tergantung produktivitas
pertanian. Suplai kebutuhan hidup atau produktivitas pertanian bisa terjamin
sangat bergantung pada kondisi alam yang ada.
Topografi wilayah NTT
bergunung-gunung untuk beberapa wilayah tertentu. Di samping itu ada beberapa
wilayah lain yang kering kerontangh, tandus, dipenuhi lahan gambut dan
berbatu-batu . keadaan alam yang demikian membuat orang stress. Lebih dari
masyarakat NTT memiliki mentalitas santai. Oleh karena itu, berhadapan dengan
realitas alam seperti itu orang enggan untuk berusaha. Kondisi alam yang kritis
membuat orang sulit untuk bercocok tanam. Atas dasar itu, kita bisa memahami
banyak orang NTT meninggalkan kampung halaman lalu pergi ke Jawa, Kalimantan,
Sumatra dan bahkan ke luar negeri seperti Malaysia, Hongkong dan Singapura
menjadi tempat untuk mengais kehidupan.
Tuntutan
kebutuhan hidup
Manusia adalah ens dinamicum. Manusia juga adalah makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang telah ia punya. Sebagai makhluk yang dinamis dan selalu haus, manusia giat dan gencar mencari sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu bisa berupa kebutuhan-kebutuhan. Dulu kalau kebutuhan akan makanan, pakaian dan tempat tinggal sudah terpenuhi maka sudah cukup untuk bisa bertahan hidup. Tetapi untuk manusia dalam konteks sekarang, selalu giat mencari hidup, terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan di atas belumlah cukup untuk sebuah kehidupan ytang layak. Apa yang dulu dianggap kebutuhan sekunder dan tersier, kini karena tuntutan zaman tidak dilihat lagi sebagai kebutuhan sekunder atau tersier tetapi kebutuhan komplementer yang disejajarkan dengan kebutuhan primer. Zaman globalisai mengharuskan orang untuk hidup serba berkecukupan semisal harus mempunyai rumah layak huni yang bagus dan nyaman, harus mempunyai kendaraan motor dan mobil. System perekonomian dan pertanian di daerah atau desa tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. System ekonomi pertanian di daerah tidak member dan menciptakan ruang gerak bagi manusia untuk memenuhi segala macam kebutuhan itu. Maka tidak mengherankan, orang meninggalkan budaya bercocok tanam yang menjadi primadona di daerah asal menuju daerah baru yang lebih maju, lebih modern, canggih yakni suatu daerah yang member banyak peluang bagi pemenuhan segala macam kebutuhan manusia yang semakin kompleks.
Pembebasan
diri dari tuntutan social-budaya yang menekan
Dalam bukunya yang
berjudul, A Theology of Liberation¸Gutierrez
mengemukakan bahwa pembebasan an sich
memiliki tiga tatara yang mana tataran yang satu dan yang lainnya
bertali-temali, yang tak dapat dimengerti tanpa tataran yang lain.[11]
Pertama,
pembebasan social. Pembebasan social yang dimaksudkan di
sini ialah pembebasan dari strukturt-struktur social yang tidak adil, yang
merusak manusia, struktur-struktur itu bersifat politis, ekonomi maupun budaya.
Struktur-struktur itu, dapat tumbuh Dari tingkah laku tak beres yang
berdasarkan pada ras, kelas, bangsa, jenis kelamini, kepentingan kelompok
maupun ikatan primordial yang lain.
Kedua,
pembebasan dari kekuatan nasib. Yang dimaksudkan di
sini ialah pembebasan dari kuatnya perasaan bahwa situasi yang dialami oleh
seseorang telah ditentukan sebelumnya. Seringkali terdapat anggapan bahwa
terhadap situasi hidup yang dialami, orang merasa tidak akan berbuat apa-apa.
Tidak jarang bahwa bila ada orang yang mencoba mengatasi situasi hidupnya yang
tak beruntung, orang tersebut lantas dianggap lancing atau sombong. Anggapan
semacam itu mendukung anggapan lain bahwa kalau seseorang itu miskin secara
structural, hal itu dinggap sebagai suatu kondisi terberi bahwa ia memang dilahirkan untuk miskin. Anggapan sama
berlaku juga untuk orang kaya. Konsekuensinya orang kaya cenderung mempertahankan
status quonya, sedangkan orang miskin bersikap pasrah dalam menghadapi segala
kemalangan hidupnya. Yang mau dikatakan oleh pembebasan pada tataran kedua ini
adalah bahwa segala sesuatu tidak harus tinggal tetap sebagaimana adanya.
Ketiga,
pembebasan dari kesalahan atau dosa pribadi. Pembebasan dari
tataran ini berarti orang perlu melihat agama yang dianutnya. Semisal orang kristiani perlu melihat Kristus
sebagaimana ditunjukkan oleh Kitab Suci sebagai pembawa warta kebebasan.
Kristus adalah penyelamat yang membebaskan manusia dari dosa, yang adalah akar
dari kesalahan dalam persahabatan antar manusia serta semua ketidakadilan dan
penindasan.
Ketiga konsep
pembebasan seturut Guiterrez ini, bermuara pada satu konsep umum pembebasan
adalah suatu proses integral yang menyentuh setiap dimensi kehidupan.
Salah satu realitas
sosio-budaya yang sangat kuat menekan kebebasan adalah sistem adat perkawinan. Sistem
adat perkawinan yang menekan ini, sangat tampak dalam masyarakat yang menganut
budaya patriarkat. Satu elemen sistem perkawinan budaya patriarkat yang selalu
menjadi bahan perdebatan menarik dan mengundang diskusi yang alot adalah belis.
Dulu, belis dilihat sebagai tanda untuk memperat hubungan persaudaraan antara
pihak pemberi perempuan dan menerima perempuan. Namun kini menjadi disorientasi
arti belis, yakni orientasi ekonomis. Pergeseran makna berimplikasi pada nilai
belis itu sendiri. Besar kecilnya belis menjadi prasyarat untuk merestui
hubungan pasangan yang hendak membentuk mahligai rumah tangga. Biasanya status
juga turut mendukung besar kecilnya belis di samping aspek pendidikan dan lain
sebagainya. Hal ini tentu saja amat membebankan pihak penerima perempuan. Lebih
dari itu kedua pribadi yang sudah bersumpah setia untuk hidup bersama juga
sungguh terbebani. Maka tak heran, kalau merantau dijadikan sebagai sebuah
pilihan untuk menghindari adat perkawinan yang membelenggu.
Budaya matrilineal,
juga bisa menjadi motif terjadinya perantauan. Seperti yang kita kenal dalam
budaya matrilineal pengaturan warisan dan penentuan kebijakan ada di tangan
perempuan. Dengan kata lain yang menguasai warisan adalah anak perempuan. Anak laki-laki
tidak. Akan menjadi persoalan ketika perkawinan terjadi antara laki-laki dari
budaya matrilineal dengan budaya patrilineal. Calon suami tentu harus menafkahi
istri dan anak-anaknya, sementara dia tidak mempunyai bidang tanah atau lahan. Budaya
matrilineal turut memicu terjadinya perantauan kaum muda laki-laki.
Jadi jelaslah bahwa
tekanan sosial-budaya daerah asal seringkali menjadi pemicu terjadinya
perantauan. Sistem budaya demikian menghambat upaya membangun daerah sendiri,
dan mendorong orang keluar dari kampung halaman. Manusia berada di bawah
tekanan. Ia tidak merasa bebas.
Budaya
Hidup di Kota Menarik
Orang-orang NTT yang
merantau pada umumnya berasal dari daerah desa (kampung). Mobilitas manusia NTT
selalu bergerak dari desa ke kota. Setiap kita tahu dan sadar apakah kita hidup
di desa atau kota. Dua wilayah ini, desa dan kota memiliki kekhasannya
masing-masing.[12]
Kebanyakan orang menghubungkan desa dengan kata-kata seperti pertanian,
ketidaktahuan, adat, kemiskinan, ketinggalan. Kota dikaitkan dengan kata-kata seperti
perkantoran, informasi, persekolahan, kekayaan dan kemajuan. Kota adalah pusat,
sedangkan desa adalah pinggiran. Maka tidak perlu heran, kalau setiap orang
desa yang bisa, hendak merantau ke kota. Kota adalah puncak penimbun modal,
pokok pengembangan ideologi dan pusat jaringan kuasa politik.[13] Tata
ekonomi daerah, regional, nasional dan transnasional sudah lama dikoordinasikan
dan dikendalikan oleh kota. Arus migrasi manusia dari desa ke kota, membuat
kota penuh sesak dengan manusia. Yang sudah menetap lebih dulu tidak mau
beranjak pergi meninggalkan kota. Penambahan manusia baru di kota yang tata
ruang wilayahnya tidak bisa diperluas lagi dipaksakan terus menampung. Hal ini
tentu saja, menimbulkan problem baru yang berdampak luas pada matra-matra
kehidupan lainnya. Kolong-kolong jembatan, stasiun-stasiun kareta api dijadikan
areal pemukiman, muncul banyak pengemis. Kota menjadi tempat tidak layak untuk
didiami, sumber kejahatan dan lain sebagainya.
Orang-orang NTT,
merantau ke kota tanpa dibekali dengan spesialisasi atau keahlian khusus. Dengan
bekal sumber daya manusia yang rendah mereka berangkat. Yang penting ke kota. Tapi
apa lacur, yang dialami lebih sengsara dari pada ketika masih di kampung halam.
Mau kembali malu dan gengsi. Karena itu jalan yang ditempuh adalah tetap
bertahan dengan situasi yang ada,. Segala carapun dipakai untuk bisa tetap
bertahan hidup. Menjadi preman kota, pegawai orang-orang besar bahkan terjun
dalam dunia hitam. Apa yang diasumsi sebagai sesuatu yang menarik di kota
seringkali membawa kesengsaraan dan penderitaan.
REPRODUKSI
KEBUDAYAAN ASAL PARA PERANTAU: KONFLIK DENGAN SUKU PRIBUMI
Mobilitas telah menjadi
faktor esensial dalam pembentukan dan perubahan peradaban umat manusia karena
perbedaan tempat dalam kehidupan manusia telah menciptakan definisi-definisi baru,
tidak hanya tentang lingkungan di mana seseorang bertempat tinggal, tetapi juga
tentang dirinya sendiri.[14] Eksistensi
seseorang dalam lingkungan tertentu di satu pihak mengharuskan aadaptasi yang sustainable untuk dapat menjadi bagian
dari sistem yang lebih luas. Di lain pihak, identitas asal yang telah menjadi
bagian dari sejarah kehidupan seseorang tidak dapat ditinggalkan begitu saja,
bahkan kebudayaan asal cenderung menjadi ‘pedoman’ dalam kehidupan di tempat
yang baru.
Perubahan wilayah
tempat tinggal, latar belakang sosial, dan kebudayan merupakan konteks
memberikan warna bagi identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan. Batas-batas
wilayah tidak lagi menjadi penting karena suatu kelompok tidak selalu terikat
pada batas wilayah kebudayaannya sendiri. Para buruh yang bekerja di berbagai
tempat, para pegawai yang berpindah-pindah, para pencari suaka politik, para
pengusaha atau para pedagang yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain adalah sekelompok orang yang mengindikasikan betapa mobilitas merupakan
kekuatan penting dewasa ini dalam merekonstruksi relativisme budaya. Budaya kemudian
berfungsi sebagaimana dikatakan Ben Anderson sebagai imagined values, yang hanya berfunsgi dalam pikiran karena tidak
memiliki kekuatan pemaksaan secara institusional.[15]
Hanya kemudian muncul
persoalan, ketika para perantau (pendatang) memiliki sikap etnosentrisme yang
tinggi. Sekian sering konflik antara perantau (pendatang) dengan penduduk lokal
terjadi karena pemahaman pendatang yang memandang budayanya lebih tinggi dari
budaya setempat (penduduk pribumi). Konsep ini terus mempengaruhi para
perantau. Adaptasi dengan kebudayaan setempat hampir tidak ada. Maka tak heran
seringkali terjadi benturan-benturan. Contohnya, seringkali benturan dengan
suku pribumi karena dipicu oleh persoalan ini. Para perantau menganggap orang
asli bodoh dan tidak punya apa-apanya. Malah ada pemaksaan secara terselubung
untuk menghancurkan kebudayaan setempat.
DERITA TANPA UJUNG
PERANTAU PEREMPUAN: BELAJAR DARI KAUM MIGRAN DI MALAYSIA
Sepanjang 2014 - Maret
2019, kuantitas Pekerja Migran Indonesia (PMI) mencapai 1,55 juta pekerja.
Khusus selama triwulan pertama 2019, populasinya mencapai 64.062 orang terdiri
dari 19.597 (31%) pekerja laki-laki dan 44.465 (70%) pekerja perempuan. Realisasi
jumlah PMI Januari – Maret tahun ini turun 3,07% dibandingkan dengan periode
yang sama tahun lalu sebanyak 66.090 pekerja. Informasi di atas berasal dari
data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BN2PTKI). Dari sumber yang sama diketahui, penempatan PMI sepanjang 2018
meningkat 7,89% secara year on year menjadi 283.640 ribu pekerja.
Jumlah ini terdiri dari 84.665 (30%) pekerja laki-laki dan 198.975 (70%)
pekerja perempuan. Tingginya penempatan pekerja migran ke luar negeri
seolah mengindikasikan bahwa bekerja di luar negeri terus menjadi impian
sebagian masyarakat. Penghasilan yang cukup besar menjadi salah satu alasan
mereka mengadu nasib sampai ke negeri jiran.[16]
Tujuan terpopuler bagi migrant
perempuan Indonesia telah bergeser dari Timur Tengah ke nagara-negara Asia lain
yang ekonominya maju pesat pada beberapa decade terakhir. Salah satu di antaranya
adalah Malaysia. Malaysia menjadi tempat utama tenaga kerja perempuan mencari
kerja.[17] Umumnya
mereka bekerja sebagai buruh di perkebunan dan kawasan konstruksi, pekerja di
pabrik-pabrik dan pekerja rumah tangga di rumah pribadi. Mereka dipekerjakan
dalam jenis pekerjaan yang bercirikan tiga D: dirty (kotor), difficult
(sulit) dan dangerous (berbahaya).
Tenaga kerja perempuan adalah tenaga kerja yang
paling banyak diminati untuk dipekerjakan di luar negeri. Dengan demikian
penderitaan yang terbanyak seringkaliu dialami oleh kaum perempuan. Contoh kasusnya
adalah
Diberitakan CNN, Senin (27), foto-foto para
TKW korban penyiksaan itu diambil oleh fotografer peraih penghargaan, Steve
McCurry, dalam sebuah proyek yang bekerja sama dengan lembaga PBB, Organisasi
Pekerja Internasional, ILO, bernama "Tidak ada yang patut bekerja seperti
ini".
Salah satu foto yang dipamerkan di Klub
Koresponden Asing Hong Kong itu bercerita soal Tutik Lestari Ningsih alias
Susi, korban penyiksaan majikannya, Law Wan Tung. Selain Susi, Law juga
menyiksa TKW asal Indonesia lainnya, Erwiana Sulistyaningsih, hingga terluka
parah.
"Pertama kali dia memukul saya adalah
di hari gajian, dia meminta saya tanda tangan di secarik kertas, tapi saya
katakan, 'kenapa saya harus tanda tangan padahal anda tidak memberi saya uang?'
dia lalu memukul saya," kata Susi pada CNN.
Penyiksaan itu dialaminya selama bekerja di
rumah Law hampir setahun. Dia di lingkaran kerja paksa dan perbudakan tanpa
upah di rumah Law.
"Dia hanya memperbolehkan saya tidur
dari jam 6 sore hingga 10 malam. Setiap hari saya tidur hanya empat jam. Saya hanya
boleh ke kamar mandi tiga kali sehari. Dia tidak memberi saya hari libur, tidak
ada yang diperbolehkan," kata Susi.
Susi berhasil keluar dari rumah tersebut
namun enggan menceritakan peristiwa yang dialaminya karena diancam. Agen
penyalurnya juga menjanjikannya pekerjaan yang lebih baik jika dia tetap tutup
mulut. Law mengancam akan membunuh Susi dan keluarganya jika dia mengadu pada
polisi.
"Itulah mengapa saya sangat takut. Saya menahan setiap pukulannya, sembari
berharap dia tidak membunuh saya, karena saya punya anak yang masih
kecil," kata wanita 30 tahun ini.
Susi akhirnya membongkar penyiksaan yang dialaminya setelah kasus Erwiana
menyeruak. Law dinyatakan bersalah atas penyiksaan terhadap para pekerja di
rumahnya dan divonis enam tahun penjara.
Susi bukan satu-satunya TKW asal Indonesia yang menderita siksaan. Sumasri, TKW
di Malaysia, menderita luka parah di punggungnya karena disiram air panas oleh
majikannya di Malaysia. Bekas luka yang memilukan itu menjadi salah satu objek
foto McCurry.
"Saya rutin ke klinik untuk berobat.
Sekarang sudah tidak sakit lagi. Paling menyakitkan adalah empat bulan
pertama," kata Sumasri.
Korban lainnya adalah Anis, 26, yang
mengalami patah tulang jari setelah dibacok dengan pisau oleh majikannya.
Insiden itu terjadi lima hari setelah Anis bekerja di rumah majikannya di Hong
Kong.
Sritak juga mengalami penyiksaan saat bekerja di Taiwan. Luka bakar di dada
Sritak terlihat jelas dalam foto McCurry. Majikan Sritak membakar kulitnya
dengan garpu yang dipanaskan. "Dia mengambil garpu dan memanaskannya di
atas kompor dan meletakkannya di tangan saya. Dia seperti kerasukan setan,"
kata wanita 31 tahun ini yang terpaksa bekerja di luar negeri demi membantu
keluarganya di desa.
Sritak pernah dipukul dengan pipa besi dan disiram air panas karena dituduh
mencuri.
Nasib perempuan memang sungguh
tragis. Dalam banyak aspek kehidupan mereka selalu menjadi korban. Mereka akan
tetap menjadi korban. Mereka akan tetap menjadi warga kelas dua selama tidak
ada gerakan pembaharuan total yang dipelopori oleh semua elemen masyarakat.
POST
WACANA
Panbers, dalam sebuah
lagunya berjudul “Perantau” menulis beberapa penggalan syair seperti berikut:
Begini nasib orang
perantau
Hidup sendiri di negeri orang
Nasib baik mau pun malang
Itu sudah, suratan tangan
Ku tinggalkan sanak saudara
Ku tinggalkan kampung halaman
Ku tinggalkan kasih tersayang…
Mengadu nasib di negeri orang
Begini nasib
orang perantau
Mengadu nasib di negeri orang
Derita di tanggung
sendiri
Bahagia yang s’lalu di cari
Ku tinggalkan sanak saudara
Ku tinggalkan kampung halaman
Ku tinggalkan kasih tersayang…
Mengadu nasib di negeri orang
Begini nasib orang perantau
Mengadu nasib di negeri orang
Derita di tanggung sendiri
Bahagia yang s’lalu di cari
Ku tinggalkan sanak saudara
Ku tinggalkan kampung halaman
Ku tinggalkan kasih tersayang…
Mengadu nasib di negeri orang
Panbers
menulis syair ini, berangkat dari realitas yang dialami oleh para perantau
bahwa kebahagiaan yang dicari di tempat rantau seringkali tidak kesampaian. Yang
diterima malah penderitaan dan kesengsaraan. Kekayaan yang mau digapai kemiskinan
yang didapat.
Merantau
pada dasarnya mempunyai tujuan yang baik. Namun, seringkali realitas berbicara
lain. Apa yang diuraikan ini adalah sisi buruk dari aktivitas merantau sebagai
sebuah bencana. Dengan itu dibutuhkan kerarifan dan refleksi yang matang
sebelum memutuskan untuk merantau atau tidak. Dengan itu terjadi sinkronisasi
antara idealism dan realism, apa yang mau digapai dengan apa yang diperoleh.
[1] W. J. S. Poerwadarminta, kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 80
[2] Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta: Gajah Madah University Press, 1984), hlm. 2
[3] Edi Suhartto, “Permasalahan Pekerja Migran: Perspektif Pekerjaan Dalam Sosial”, dalam http://wwww.policy.hu/suhartto/modul-a/makindo_35.htm.
[4] Yang dimaksud dengan pekerja migran internal adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya untuk bekerja di tempat lain yang masih termasuk di dalam wilayah Indonesia. Karena perpindahan penduduk umumnya dari desa ke kota, maka pekerja migran internal seringkali diidentikan dengan ‘orang desa yang bekerja di kota’. Sedangkan yang dimaksud dengan pekerja migran internasional adalah mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Dalam konteks kita, Indonesia pengertian ini merujuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia. Lih. Ibid.
[5] Abdul Haris, Kucuran Keringat dan Derap Pembangunan (Jejak Migran Dalam pembangunan Daerah) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Hlm. 130-131.
[6] Ibid. hlm. 131.
[7] Ibid.
[8] Dominic T. Gaiono. “Pastoral Perantau di Eropa Abad XXI Para Perantau Filipina di Italia Utara”, dalam Georg Kirchberger dan John Manford Prior (eds), Mendengar dan Mewartakan (Ende: Nusa Indah, 2003), hlm. 130-131.
[9] Ibid., hlm. 131.
[10] Ibid.
[11] Baskara T. Wardaya, Sp[ritualitas Pembebasan, Refleksi atas Iman Kristiani dan Praksis Pastora, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 87-89.
[12] John Mansford Prior, “Gereja Wadah Demokrasi Bagi Jemaat Desa”, dalam , hlm. 53.
[13] Ibid.
[14] Abdul Haris, Op. Cit., hlm. Xii.
[15] Ibid. hlm. xiv.
[16] Bdk. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/30/2014-maret-2019-penempatan-pekerja-migran-capai-155-juta
[17]
Pilihan
untuk mencari kerja di Malaysia, untuk sebagian orang, masih menjadi pilihan
utama. Bukan berarti lapangan pekerjaan di Indonesia sudah sempit, namun
peluang kerja yang ada di negeri jiran tersebut terbilang lebih menggiurkan.
Selain karena letak geografisnya yang tidak terlalu jauh, Malaysia juga
menawarkan banyak keuntungan untuk pekerja yang datang ke negaranya.
Jarak serta budaya yang tidak jauh
berbeda menjadi faktor besar yang membuat pekerjaan di Malaysia banyak menjadi
incaran. Selain itu tentu ada beberapa faktor lain yang dapat dikatakan menjadi
faktor penarik. Mulai dari gaji atau upah yang kompetitif, pengalaman baru,
tunjangan serta kemudahan beradaptasi. Bdk. https://blog.qelola.com/benarkah-kerja-di-malaysia-banyak-keuntungannya/