Puisi Persahabatan Kahlil Gibran
Dan jika berkata,
berkatalah kepada aku tentang kebenaran persahabatan?..
Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mesti terpenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau panen dengan penuh
rasa terima kasih.
Dan dia pulalah
naungan dan pendianganmu.
Karena kau menghampirinya saat hati lapa dan mencarinya saat jiwa butuh kedamaian.
Bila dia bicara, mengungkapkan pikirannya,
kau tiada takut membisikkan kata “tidak” di kalbumu sendiri,
pun tiada kau menyembunyikan kata “ya”.
Dan bilamana ia diam,
hatimu tiada ‘kan henti mencoba merangkum bahasa hatinya;
karena tanpa ungkapan kata,
dalam rangkuman persahabatan, segala pikiran, hasrat, dan keinginan terlahirkan
bersama dengan sukacita yang utuh, pun tiada terkirakan.
Di kala berpisah
dengan sahabat, janganlah berduka cita;
Karena yang paling kaukasihi dalam dirinya,
mungkin lebih cemerlang dalam ketiadaannya,
bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki,
nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.
Dan tiada maksud lain
dari persahabatan kecuali saling memperkaya ruh kejiwaan.
Karena kasih yang masih menyisakan pamrih,
di luar jangkauan misterinya, bukanlah kasih, tetapi sebuah jala yang
ditebarkan:
hanya menangkap yang tiada diharapkan.
Dan persembahkanlah
yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu,
biarlah dia mengenal pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu hingga kau senantiasa mencarinya,
untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria berbagi kebahagiaan.
Politik Persahabatan Derrida
Diskursus
mengenai politik erat kaitannya dengan manusia sebab seturut kodratnya manusia
adalah makhluk politik. Dalam konteks filsafat, diskursus politik ini
ditelaah secara spesifik dalam filsafat politik. Sebagai sebuah disiplin
filsafat, filsafat politik selalu berorientasi pada tatanan normatif
kontrafaktis yang seringkali berseberangan dengan realitas politik.
Untuk
mengembalikan fitrah politik yang seringkali berciri violatif dalam prakteknya,
refleksi tentang konsep politik menjadi penting untuk mengembalikan kesadaran
kita kepada pemahaman politik yang sesungguhnya.
Refleksi
mengenai politik ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. di zaman
Yunani Klasik misalnya, Aristoteles mengembangkan teori politiknya dari sudut
pandang eudaimonistis. Era abad pertengahan dengan pertautan kuat agama atas
filsafat, otonomitas Allah dalam dunia politik pun mendapat aksentuasi
kuat.
Di
zaman modern, Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karyanya Leviathan menempatkan
manusia sebagai unsur material dasar pembentuk Negara. Dan di era postmodern
ini, diskursus filsafat politik mendapat kontribusi kuat dari sejumlah filsuf.
Salah satunya adalah Jacques Derrida.
Derrida
melalui proyek dekonstruksinya, meretas persoalan politik dengan melakukan
pembacaan dekonstruktif atas pandangan politik dari Carl Schmitt dan konsep
persahabatan Aristoteles. Konstruksi politik Carl Schmitt sebagaimana tertuang
dalam bukunya Der Begriff des Politischen berlandaskan pada pemisahan tegas
antara teman dan musuh politik.
Logika
politik ini jelas menempatkan hubungan ontologi teman -- musuh sebagai unsur
substansial politik. Dengannya, politik perlu dan cukup ditandai dengan
diferensiasi tegas teman -- musuh. Tidak ada politik tanpa kehadiran sosok
musuh. Kehilangan sosok musuh menyebabkan musnahnya politik.
Aristoteles
dalam Nichomacean Ethics, memetakan persahabatan dalam tiga jenis berdasarkan
motivasi yang mendasarinya. Pertama, persahabatan yang lebih tinggi didasarkan
pada kebajikan. Kedua, persahabatan didasarkan pada utilitas dan
kegunaan.
Ketiga,
dan pada level yang lebih rendah, persahabatan didasarkan pada kesenangan.
Berbeda dari persahabatan jenis pertama dan ketiga, menurut Aristoteles,
persahabatan yang didasarkan pada utilitas memiliki kaitan erat dengan politik.
Jenis persahabatan ini masuk dalam kategori persahabatan politik.
Bertolak
dari kerangka pemikiran Aristoteles mengenai persahabatan ini, Derrida
mengkonfrontasikannya dengan persoalan politik kontemporer yang mana telah
mendepak persahabatan ke ruang agama dan moral. Marginalisasi persahabatan
dalam politik dinilai Derrida tidak bisa menjamin masa depan politik.
Bagi
Derrida, sebagaimana diuraikan Aristoteles, persahabatan justru menjadi bagian
penting dalam bangunan politik. Politik sebagai bentuk kerja sama dalam menata
peradaban komunitas yang terarah pada cita-cita kebaikan bersama mutlak
memerlukan persahabatan.
Dalam
terang semangat dekonstruksi, Derrida
mendekonstruksikan motivasi persahabatan dalam konteks politik. Berbeda dari
Aristoteles yang melihat persahabatan bermotifkan kegunaan sebagai basis dalam
politik, Derrida justru menempatkan motivasi keutamaan dalam persahabatan
sebagai basis politik.
Hal
ini bukan tanpa alasan sebab bangunan politik yang didasarkan pada motivasi
kegunaan cenderung mereduksi makna politik yang kemudian menjurus pada
ketimpangan politik dalam praksisnya.
Hal
ini bukan tanpa alasan sebab bangunan politik yang didasarkan pada motivasi
kegunaan cenderung mereduksi makna politik yang kemudian menjurus pada
ketimpangan politik dalam praksisnya.
Persahabat
seperti itu mengalir seindah sungai kecil yang airnya dingin dan segar. Arus
jernih dan tidak kotor dari dua orang yang bisa menyatu di dalam suatu
ketulusan, bergerak secara positif menuju mimpi dan harapan kita masing-masing.
Berjuang dan bertumbuh bersama, saling berbagi penderitaan, saling memberikan
dukungan dan semangat, mereka menciptakan sungai persahabatan yang lebih lebar,
dalam, dan jernih. Keindahan dan kejernihan dari sungai inilah yang akan
menginspirasikan semua orang yang meihatnya.
Persahabatan
adalah kekayaan yang amat berarti. Ada banyak pepatah yang mengenai
persahabatan, misalnya pepatah Cicero, “Persahabatan lebih rekat daripada
pertalian keluarga” dan “Sebuah kehidupan tanpa persahabatan adalah sebuah
dunia tanpa cahaya matahari.” Dan kata Aristoteles, “Seorang teman adalah
seperti dirimu yang lain.” Sebesar-besarnya status atau kekayaan yang dicapai
oleh seseorang, mereka yang hidup tanpa teman sudah pasti akan merasa kesepian
dan sedih. Sebuah kehidupan tanpa persahabatan mengarah kepada keberadaan
yang tidak seimbang dan mementingkan diri sendiri.