Tradisi “HAKEBA UTU” Mencari Kutu Rambut Oleh Kaum Perempuan
(Budaya
Perempuan-perempuan di Pulau Timor Saat Mengisi Waktu Luang)
Ibu-ibu sedang mencari kutu seorang anak. (Foto:Kampung Numbei, Kabupaten Malaka) |
Hidupnya bergerombol, beranak pinak berbuyut canggah. Mereka selalu berusaha menguasai kepala manusia tanpa pandang rambut, menyasar kaum cacah sampai kaisar. Keberadaanya selalu tersembunyi, namun eksistensinya menebar teror saban waktu. Mereka penghisap darah yang lebih nyata bahkan lebih rakus dari vampir. Kedekatannya dengan manusia tak perlu disangsikan karena mereka adalah kutu. Dalam Bahasa Jawa disebut tumo atau koto dalam Bahasa Madura, sedangkan dalam bahasa Tetum-Timor dsebut utu
Kutu rambut adalah hama
laten bagi manusia tanpa memandang strata, dan rambut kepala seolah ditakdirkan
sebagai rumah bagi kutu. Namun kepala yang dihuni kutu tidak dapat dijadikan
tuduhan bahwa orang tersebut hidup jorok. Bagi yang selalu menjaga
kebersihanpun kutu selalu datang. Maka pepatah tukang cukur mengatakan bahwa
banyaknya jumlah kutu di rambut bukan ukuran kebersihan, karena kutu bisa
berpindah dari satu kepala ke kepala yang lainnya tanpa memandang rambut bersih
dan kotor.
Sejauh ini, Kutu kepala
tidak berbahaya dan tidak menyebarkan penyakit. Hanya mengakibatkan rasa gatal
yang membuat manusia gagaro alias menggaruk-garuk kepala. Gestur
menggaruk kepala juga memiliki beberapa makna. Pepatah kontemporer
tentang kebiasaan menggaruk kepala mengatakan : Bila tidak sedang bingung,
tentu sedang pusing oleh urusan utang, bila tidak dua-duanya maka orang itu
sedang berbohong, bila tidak ketiga-tiganya pasti akibat banyak kutunya.
Namun gestur menggaruk
kepala saat bingung, stress dan bohong bisa juga melanda mereka yang berkepala
botak. Maka kasus menggaruk gatal oleh kutu, hususon dinisbatkan bagi yang
berambut saja. Oleh karena itu, jika ada yang berkepala botak menggaruk-garuk
kepala tanpa sebab dari luar tubuhnya, maka ia tengah dilanda tiga kasus
diatas. Semakin sering menggaruk kepalanya yang botak maka semakin gawat urusan
dihatinya.
Akan tetapi peranan ketombe
sebagai penyebab rasa gatal juga tak dapat diabaikan. Maka sekali lagi pepatah
mengatakan, bila seseorang menggaruk kepala dan mengibas-ngibaskan rambutnya
pertanda ia sedang memanen ketombe. Di Dunia ini, ada sebagian orang merasa
nikmat melihat ketombe yang jatuh berserakan dan kemudian dikumpulkan. Entah
apa alasannya, karena yang namanya nikmat cenderung tak butuh alasan.
Tentu saja kasus kenikmatan
mengumpulkan ketombe adalah relatif dan masih bisa diperdebatkan. Lain halnya
dengan kenikmatan mencari kutu. Inilah fakta manusiawi yang tumbuh di
kalangan wanita tanpa perlu perdebatan. Dari fenomena mencari kutu,
tradisi tersebut banyak manfaatnya dan membuktikan adanya simbiosis mutualisme yang dapat dikaitkan dengan aspek, psikologis, ideologi, sosial, budaya dan
politik.
Lihat Juga: Nilai Budaya Cukur Rambut (Koi Ulun) Suku Mamulak, Kampung Numbei
Kabupaten Malaka-NTT
Hakeba Utu (Mencari Kutu Rambut), Tradisi Kuno yang masih ada hingga saat ini
Puncak kepuasan itu
adalah kegemasan yang diverbalkan dengan tindakan menindes si kutu dengan
kuku jari atau digigit tanpa ampun. Suara ‘peletuk’ sebagai tanda
pecahnya tubuh kutu adalah momen sakral, buncah kenikmatan bagi kedua belah
pihak.
Dari sisi sosial, momen
mencari kutu di kalangan wanita membuka ruang percakapan yang menyasar berbagai
tema. Peristiwa keseharian, bergosip ria, politik soal pemerintahan,
naiknya harga-harga, jodoh dan asmara, curhat rahasia pribadi sampai yang
berbau seksual, disampaikan secara ngalor ngidul ‘sabulang bentor’ penuh canda.
Kegiatan tersebut juga menjadi upaya alami dalam menjalin kedekatan sesama
keluarga dan tetangga. pelepas penat setelah bekerja. Bagi seorang ibu yang
mencari kutu di kepala anaknya adalah momentum untuk menggelontorkan
nasehat bijak dan petuah agama secara sederhana.
Akhirnya, keberadaan kutu
di rambut manusia menjadi tradisi yang asyik dan masyuk. Bahkan boleh jadi
tradisi mencari kutu rambut atau nyiaran kutu (sunda), golek tumo (Jawa) alias
dhidhi atau petan, nyellek koto (Madura) termasuk tingkah berburu paling
primitif. Bukankah saudara terdekat manusia, yaitu monyet juga memiliki naluri
yang sama dalam mencari kutu.
Sebagai kegiatan komunal
yang tersebar luas di belahan dunia, sumber klasik yang menggambarkan tradisi
mencari kutu dipaparkan M. Dwi Cahyono dalam tulisan berjudul Tradisi
“Dhidhis (Petan)” Di Kalangan Rayat Kecil, bahwa golek tumo divisualisasikan
pada sebuah pilaster teras Candi Surowono, di Desa Canggu Kecamatan Pare
Kabupaten Kediri. Candi tersebut merupakan pendharman bagi Bhre Wengker yang
mangkat pada tahun 1388 Masehi.
Relief Mencari Kutu pada sebuah pilaster teras Candi Surowono. (sumber foto : M. Dwi Cahyono /patembayancitralekha) |
Di salah satu reliefnya tampak pahatan yang menggambarkan dua orang desa sedang mencari kutu di bawah pohon rindang. Visualisasi dari dua orang tersebut digambarkan dalam perupaan panakawan di wayang kulit. Adegan yang ditampilkan menampakan seseorang tengah mencari kutu di kepala kawannya menggunakan semacam tongkat kecil berujung runcing untuk menyingkap helai-helai rambut agar memudahkan menemukan si kutu. Sedangkan tangan lainnya bersiaga siaga menangkap si kutu bila terlihat.
Dalam tulisannya M. Dwi
Cahyono menyatakan bahwa relief tersebut mendokumentasikan kehidupan nyata
rakyat kecil di pedesaan, terutama tradisi mencari kutu. Batur Candi Surowono
memang memuat panil-panil relief yang menggambarkan realitas kehidupan pedesaan
di sekitar candi ini, tak terkecali dalam mata pencaharian lokal, seperti
memancing ikan, memancing katak (kodok ijo), menjerat anak babi (genjik),
menyumpit burung, dsb.
Yang uniknya bahwa sosok
dalam relief tersebut menunjukan dua orang pria, gambaran punakawan. M.
Dwi Cahyono mengintrepetasikan hal tersebut sebagai penegasan dan sekaligus
sindiran bahwa kendati mencari kutu lazim dilakukan oleh kaum hawa, namun
kala itu lelaki yang berambut panjang dan kurang bersih dalam hal perawatan
rambut, tidak terelakan dari serangan kutu rambut.
Hakeba Utu (Mencari Kutu Rambut): Upaya membangun interikasi diri dengan
orang lain
ilustrasi |
Beberapa perempuan duduk
berderet dalam satu baris menghadap ke arah yang sama. mereka memanjang ke
belakang bisa tiga sampai empat orang dan duduk di tempat terang. Lalu
yang paling depan akan duduk diam. Sementara yang duduk di belakang, tangannya
akan terus menggerayangi kepala, memilah helai demi helai rambut lalu tangan
akan menjimpit menggunakan kuku jari. Terkadang usaha itu membuahkan
hasil.
Terkadang juga sia-sia.
Karena kalah cepat dengan pergerakan makhluk yang sedang diburu. Mereka
terlebih dahulu mengetahui kedatangan musuh dan menyaru dengan warna rambut
sehingga persembunyiannya tidak diketahui .
Kalau penangkapan itu
berhasil, nyawa sang makhluk akan berakhir di atas kertas bukti pembantaian,
atau malah berakhir di ujung gigi para pemburu dengan bunyi "klethuk"
Hakeba Utu (read, bahasa Tetun), atau mencari kutu adalah tradisi
lawas perempuan Indonesia sebagai media interaksi dengan sesama
perempuan. Bisa dengan anak-anak, sesama orang tua atau para gadis yang
rambutnya tumbuh memanjang. Kebiasaan mencari kutu ini sudah ada jauh sebelum
obat pemusnah kutu rambut ditemukan.
Di Kampung Numbei (Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur), saya sering
menyaksikan kebiasaan ini. Duduk membelakangi tempat terang, bisa di belakang
rumah atau di kamar dekat jendela. Secara bergantian ibu dan anak melakukan
ritual berburu Kutu rambut ini.
Pelan-pelan rambut disibak, lalu helai demi helai diurut. Utu Tolun(
telur kutu), utu oan (bayi kutu), utu inan (Kutu
betina) kadang tertangkap jari. Atau terkadang para kutu ini bergerombol dan
menyembunyikan muka di kulit kepala. Mata perempuan memang sangat awas,
sehingga mereka bisa mendeteksi keberadaan kutu di mana pun berada.
Makhluk kecil penyedot
cairan dari kulit kepala ini memang sering menjadi malapetaka. Gigitan ringan
dari makhluk lemah ini menimbulkan gatal tak terkira di kulit kepala, dan
seringkali anak-anak perempuan kecil mengalami luka lecet di kepala bekas
digaruk.
Dan tak jarang luka kecil
ini bisa melebar bila tangan yang digunakan untuk menggaruk mengandung kuman
atau bakteri dan menjadi sebab kepala menjadi korengan(borokan).
Tradisi hakeba utu memang
sangat unik. Kebiasaan ini menjadi sarana saling berbagi informasi yang paling
tepat. Saat para perempuan bergerombol mencari kutu, akan ada hubungan akrab
yang terbangun.
Mereka biasanya
membicarakan tentang hal-hal sederhana, mengenai harga gas yang akan melambung,
harga beras di pasar eceran yang sudah mulai naik.
Atau terkadang membicarakan
tentang masalah keluarga yang lain (kadang mengarah poada gossip). Tak jarang
saat hakeba utu para perempuan terjebak dalam hakes
ema seluk, membicarakan orang lain. Dan ini saya pikir hanya ekses dari
sebuah pertemuan.
Saat saya melihat,
keponakan wanita dengan ibunya, saya sering menyimak pembicaraan mereka.
Sesekali terdengar tawa ceria pecah diantara mereka. Lalu ibunya dengan kasih
sayang menyampaikan berbagai nasehat. Dan nasehat-nasehat itu memang sangat
efektif karena disampaikan dalam keadaan yang santai dan posisi nyaman.
Hari ini orang-orang lebih
memilih berkomunikasi menggunakan alat daripada bertemu langsung. Jadi
terkadang pesan yang disampaikan agak meleset dari niat semula. Tulisan memang
berbeda dengan suara. Makna yang terkandung dalam tulisan seringkali berbanding
jauh dengan apa yang dikehendaki oleh pengirim pesan.
Tentunya berbeda saat
informasi disampaikan secara langsung. Orang akan bisa memahami materi
informasi secara cepat, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Di kehidupan modern ini,
petan, mencari kutu rambut secara tradisional, sepertinya masih
dibutuhkan sebagai sarana membangun komunikasi keluarga. Agar hubungan semakin
akrab dan terbangun sikap kerja sama. Sebab tidak ada orang yang mau petan
kalau tidak saling mengenal. Tidak pula orang yang punya hubungan akrab
untuk melakukan hakeba utu.
Ada nasehat orang Fehan “keta
buka ema niak sala nudar hakeba utu"
Jangan mencari kesalahan orang lain seperti mencari kutu.
Sebab kesalahan orang lain akan terbuka sebagai aib bila terus dicari.
Berbahagialah anda yang masih bisa melakukan aktifitas Hakeba utu sampai
sekarang.
ilustrasi sedang mencari kutu rambut |
Puisi Mencari Kutu Rambut
Duduk hingga terkantuk
merasakan jemari keriput nenek
membuka helai demi helai rambut
guna mencari kutu
Perlahan dengan telaten
jemari nenek menelusuri
setiap inchi bagian kepala
dengan ujung kuku panjangnya
Kutu-kutu merayap di kepala
menghisap darah dengan leluasa
membuat nenek merasa gemas
ingin memites kutu yang meronta
Kutu-kutu lincah berkeliaran
hinggap di permukaan kulit kepala
membuat efek gatal luar biasa
mengaruk seperti orang hutan di rimba
Dan telur-telur kutupun berkilap
menetas pada rambut nan lembab
lalu menjelma menjadi anakkan kutu
yang siap bergerak bebas belingsatan
Menggigit kulit membabi-buta
mencipta huru hara di kepala
membuat gundukkan demi
gundukan yang bisa di raba
Nikmatnya dicarikan kutu nenek
sambil mata di kipasi angin nan sepoy-sepoy
memainkan rasa kantuk di pelupuk mata
yang membuat mata merem-melek
Seraya sayup-sayup terdengar
petuah bijak nenek di ujung telinga
agar selalu menjaga kebersihan kepala
agar kutu-kutu tak sudi melekat
Penulis: Frederick Mzaq
(Penimba Inspirasi Jalan
Setapak)