135 Calon Kepala Daerah Gugat Hasil
Pilkada, KPU Perlu Dievaluasi?
Dikutip dari laman
resmi MK, jumlah PHPKada tersebut diajukan oleh calon kepala daerah yang gagal
dalam kontestasi pilkada 2020, sejak tanggal 17 - 23 Desember 2020 pukul 20.05
WIB.
Dari sisi jumlah,
permohonan PHPKada ini melonjak dibandingkan dengan posisi Minggu (20/12/2020)
pagi yang hanya sebanyak 76 permohonan.
Data MK juga
mengonfirmasi lonjakan permohonan perselisihan pilkada 2020 dibandingkan tahun
2017 dan 2018 yang masing-masing hanya 60 dan 72 PHPKada.
Dalam catatan Bisnis permohonan
sengketa yang cukup menonjol diajukan oleh calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota
Medan yakni Akhyar Nasution - Salman Alfarisi, calon Wali Kota dan Wakil Wali
Kota Surabaya Machfud Arifin-Mujiaman, serta gugatan dari calon Wali Kota dan
Wakil Wali Kota Tangerang Selatan.
Selain tiga gugatan
calon walikota, MK juga menerima gugatan PHPKada dari lima pemilihan gubernur,
dua di antaranya dari Sumatra Barat yang diajukan oleh pasangan calon (paslon)
Nasrul Abit - Indra Catri yang diusung Partai Gerindra serta paslon Mulyadi -
Ali Mukhni yang merupakan paslon yang diusung Partai Demokrat dan PAN.
Sementara tiga gugatan
lainnya diajukan oleh calon gubernur yang bertarung di Pilkada Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah dan Provinsi Bengkulu.
Sengketa atau
perselisihan pilkada lazim diajukan oleh pasangan calon kepala daerah yang
kalah dalam kontestasi pilkada. Pihak yang kalah biasanya akan mendalilkan
sejumlah temuan kecurangan selama pelaksanaan pilkada ke MK.
Adapun mekanisme
pegajuan permohonan Perselisihan Hasil Pilkada Tahun 2020 dilakukan setelah
pengumuman keputusan KPU tentang hasil penghitungan suara pemilihan pada 16 –
26 Desember 2020 (provinsi) dan 13 – 23 Desember (kabupaten dan kota).
Sedangkan untuk
pengajuan permohonan pada 16 Desember 2020 – 5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB
(provinsi), pengajuan permohonan pada 13 Desember 2020 – 5 Januari 2021
pukul 24.00 WIB (kabupaten/kota).
Gugat Pilkada Ke MK Pakai Donasi
PILKADA 2020 belum usai. Masih ada perkara perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi (MK). Setengah dari pilkada yang digelar pada 9 Desember bermuara ke MK.
Pendaftaran gugatan ke
Mk mengalir sejak 17 Desember atau sehari setelah Komisi Pemilihan Umum
menggelar rapat pleno rekapitulasi hasil pemungutan suara. Sejauh ini, dari 170
daerah yang menggelar pilkada, sudah ada 135 gugatan atau sebanyak 50%.
Gugatan ke MK sudah
menjadi ritual tetap pilkada meski sebelum pesta demokrasi lokal digelar, pasangan
calon (paslon) berikrar siap menang dan siap kalah. Ternyata siap kalah hanya
pemanis bibir sehingga pihak yang kalah mengadu nasib ke MK. Padahal,
pengalaman selama ini, sedikit permohonan yang diterima MK.
Fenomena menarik kali
ini ialah paslon yang menggugat ke MK mengumpulkan dana dari masyarakat. Salah
satu yang mengumpulkan dana ialah paslon Gubernur-Wakil Gubernur Kalimantan
Selatan, Denny Indrayana-Difriadi Darjat.
Gerakan donasi serupa
juga digalang paslon Stefanus Bria Seran-Wendelinus Taolin dari Kabupaten
Malaka, NTT. Pasangan itu menggugat kemenangan paslon Simon Nahak-Kim Taolin
yang meraup suara terbanyak.
Alasan paslon
menggalang donasi ialah pendidikan politik bagi masyarakat bahwa politik itu
membutuhkan biaya. Benar bahwa politik membutuhkan biaya, tetapi apakah
membiayai gugatan ke MK bagian dari pendidikan politik? Kesannya hanya sebuah
sensasi, seakan-akan rakyat berada di balik gugatan tersebut.
Disebut sensasi karena
proses gugatan ke MK bukan lagi ranah politik, tetapi memasuki wilayah hukum.
Karena itu proses hukum, maka pembiayaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
paslon, dan rakyat tidak perlu lagi diseret-seret. Alangkah tak eloknya
pengumpulan dana politik dipakai untuk membiayai proses hukum.
Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Pilkada hanya mengatur sumbangan untuk kampanye. Pasal 74
menyebutkan paslon yang diusung parpol dapat memperoleh sumbangan dari partai,
sumbangan dari paslon, dan sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang
meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta.
Prinsip utama sumbangan
politik ialah transparansi dan akuntabel. Karena itu, pelaporan dana kampanye
wajib dilakukan oleh paslon sebagai bentuk tanggung jawab dalam mewujudkan
proses pilkada yang transparan.
Kewajiban untuk melaporkan
dana kampanye tersebut tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
Nomor 12 Tahun 2020 Pasal 20 yang menjelaskan bahwa paslon wajib menyusun dan
menyampaikan laporan dana kampanye yang terdiri atas laporan dana kampanye,
laporan penerimaan sumbangan dana kampanye, serta laporan penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye. Dana kampanye itu diaudit untuk memenuhi prinsip
akuntabilitas.
Peraturan
perundang-undangan sama sekali tidak mengatur soal donasi pembiayaan perkara
paslon ke MK. Memang, tidak diatur bukan berarti dilarang. Persoalannya,
bagaimana soal prinsip transparansi dan akuntabilitas pengumpulan dana dari
masyarakat sekalipun itu masyarakat pendukungnya?
Daripada sibuk
mengumpulkan dana dari masyarakat, eloknya paslon yang mengajukan gugatan
mempersiapkan bukti-bukti yang relevan dengan gugatannya. Perselisihan di MK
itu hanya terkait pembuktian, tidak ada hubungannya dengan banyak atau
sedikitnya uang.
Setiap upaya pencarian keadilan, termasuk
permohonan gugatan di MK, patut diacungi dua jempol. Akan tetapi, dua jempol
itu ke bawah tatkala pencari keadilan memobilisasi donasi dari masyarakat untuk
membiayai proses hukum tersebut.
Sumber:
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2206-gugatan-ke-mk-pakai-donasi