Awal Desember 2020 Hujan Mengguyur Kota Betun
(Secangkir Kopi Ditemani Sajak Hujan Milik Sapardi)
D'Numb Park Harekakae Trans Blok C2-Kabupaten Malaka
Selasa,
01 Desember 2020 merupakan awal bulan yang memberikan ide tersendiri seiring
irama hujan yang mengguyur kota Betun, Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur,
malam ini sekitar Pukul 19.00 WITA. Rinai hujan yang begitu deras merangsang
saya untuk melihat kembali syair-syair indah karangan sastrawan Sapardi Djoko
Damono
Di
masa kini, di era yang lebih fun diarus zaman modernisasi dan globalisasi,
publik lebih mengenang dua sajak Sapardi. Pertama, sajak Hujan Bulan Juni (1989). Kedua, sajak Aku Ingin (1989). Hujan Bulan Juni menarik karena Juni bagi
masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah masa kemarau, karena itu tentu unik
karena ada hujan di bulan Juni. Sedangkan sajak Aku Ingin memang quotable.
Sajak pendek ini hanya enam baris dalam dua bait. Biasa diterakan dalam kartu
undangan pernikahan.
aku
ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku
ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Tentu
bukan karena tiga sajak itu saja yang membuat saya suka Sapardi. Ada jauh lebih
banyak lagi sajak-sajak Sapardi yang indah. Namun yang membuat saya
terkenang pada Selasa, 01 Desember 2020, adalah saya beberapa kali menyaksikan
foto dan video Sapardi yang makin beranjak rapuh. Karena itu, pada Selasa malam
saya memilih sajak Dalam Doaku (1989) untuk saya forward ke beberapa grup
whatsapp dan beberapa grup puisi dan sajak di facebook yang saya bergabung
sebagai anggota (members). Saya berniat tiap pekan sekali memilih
puisi-puisinya. Sapardi telah berpulang ke pangkuan Maha Kuasa, 19 Juli 2020,
ini. Penyair kelahiran Solo pada 20 Maret 1940 ini telah meninggalkan hujan
pada kita. Hujan air mata.
Hujan
adalah metafora Sapardi untuk sajak-sajaknya. Seperti Popo Iskandar memilih
kucing untuk lukisan-lukisannya. Atau tubuh-tubuh telanjang dalam lukisan
Mochtar Apin. Atau diksi “jalang”
dalam sajak Chairil Anwar. Atau “Kekasih”
yang menjadi milik Amir Hamzah. Setiap seniman punya pilihan favorit untuk
mengekspresikan jiwanya.
Ada
banyak sajak Sapardi yang diberi judul yang menyertakan kata “hujan”, belum
lagi yang muncul di bait-bait sajaknya, seperti dalam Aku Ingin. Inilah
sajak-sajak “hujan” Sapardi: Hujan Turun Sepanjang Jalan; Gerimis Kecil di
Jalan Jakarta, Malang; Hujan dalam Komposisi 1 (ada tiga seri – pen); Di
Beranda Waktu Hujan; Percakapan Malam Hujan, Kuhentikan Hujan; Sihir Hujan;
Hujan Bulan Juni; Hujan, Jalak, dan Daun Jambu. Dalam Sajak Desember (tentu ini
musim hujan, sic!), Sapardi menulis: “mendadak
terasa: betapa miskinnya diriku;// di luar hujan pun masih kudengar// dari
celah-celah jendela. Ada yang terbaring// di kursi, letih sekali//”.
Atau
pada sajak Sehabis Mengantar Jenazah (1967): masih adakah yang kau tanyakan// tentang hal itu? Hujan pun sudah
selesai// sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap// di bawah
bunga-bunga menua, matahari yang senja//.
Sapardi
menyukai hujan, karena, katanya:
“Kau hujan memang suka serba kelam serba
gaib serba suara desah;
asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan
menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia sukas terang.” \(Percakapan Malam
Hujan, 1973).
Dengan
segala “serba”itu, Sapardi bisa menjadikan hujan untuk segala penggambaran. Ia
seperti tongkat ajaib yang bisa berubah menjadi apa saja.
Betul,
sajak Sapardi tak selalu menyampaikan protes sosial. Ia hanya ingin berpuisi,
menangkap keadaan, menjelaskan sesuatu. Ini bisa dilihat pada sajak Hujan Turun Sepanjang Jalan (1967). Hal
ini suatu kelaziman bagi penyair. Bukan hal ganjil. Namun tak benar bahwa
Sapardi tak pernah berteriak, tidak protes. Jika kita membaca tulisan HB
Jassin, Angkatan 66 Prosa dan Puisi, kita akan mendapati teriakan dan protes
Sapardi. Jassin berhasil meletakkan konteks dan membuat katalis sehingga
rumusan kalimat Sapardi yang sederhana itu menjadi bertenaga, menjadi teriakan,
menjadi protes:
kami
diam, kami terdiam dan teringat batang pohon besar
yang sudah tua di belakang rumah.
andaikata, ah tidak! ia pun tak akan tumbang malam ini
takkan menimpa rumah kami yang tua, tidak.
kami cemas, kami saling merapatkan diri
dan berdoa.
Coba
letakkan sajak Dalam Hujan tersebut dalam konteks era Demokrasi
Terpimpin yang saat itu dilawan oleh seniman-seniman yang menghendaki kebebasan
– melawan seniman-seniman Lekra yang ganas memberangus lawan-lawannya melalui
tangan kekuasaan. Sapardi bersajak dengan metafora. Pada sajak Dalam Hujan itu
ia bermetafora melalui “batang pohon
besar yang sudah tua” yang oleh Sapardi adanya “di belakang rumah”. Ada
kata “tumbang” di sana. Tentu kita
tak berharap Sapardi bisa cetho seperti Rendra atau Taufiq Ismail.
Bahkan
sajak Selamat Pagi Indonesia pun bisa menjadi puisi protes jika kita letakkan
dalam konteks yang sesuai. Dalam sajak yang dimuat pada majalah Basis Tahun
XV-4 Januari 1965 itu, Sapardi menulis:
para
perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat, dan pura-pura
Kita
tahu bahwa tahun 1965 kemudian menjadi klimaks prahara.
Metafora
dan keganjilan serta permainan logika menjadi kekuatan sajak-sajak Sapardi.
Penyair yang dikenal dengan susunan kalimat dan diksi sederhana itu meletakkan
tenaganya pada metafora dan logika melalui rangkaian kalimat yang membangkitkan
ketakjuban imajinasi. Membuat otak kita bernyala-nyala dan jiwa kita
berbinar-binar menikmati ekstase. Selalu ada punch line yang mengejutkan, yang membuat kita terkenang-kenang,
yang quotable. Sapardi tidak bersajak dengan kata-kata hambar, berindah-indah,
dan dipuitis-puitiskan.
Kita
bisa melihatnya di sini:
Lelaki
tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya
sendiri. (Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati, 1964).
Ini juga:
Belum
pernah ia meminta izin
Memutar jarum-jarum jam tua
Yang segera tergesa-gesa saja berdetak
Tanpa menoleh walau kau seru
(Tangan
Waktu, 1959)
Atau:
Kumandang kekal, percakapan tanpa
kata-kata. (Kita Saksikan, 1967)
mata
pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
(Mata
Pisau, 1971)
Yang
fana adalah waktu. Kita abadi (Yang Fana adalah
Waktu, 1978)
Tuan
Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang keluar.
(Tuan, 1980)
Sapardi
tak hanya menulis sajak, ia juga menulis prosa. Tak hanya itu, ia juga menulis
buku nonfiksi tentang sastra. Kerendahhatian Sapardi juga tecermin pada
kesahajaannya untuk menerbitkan karya-karya sastra dunia, seperti karya Ernest
Hemingway (The Old Man and the Sea) maupun
karya Kahlil Gibran (The Prophet dan
Jesus the Son of Man). Yang paling saya suka adalah terjemahan puisi karya
Okot p’Bitek.
Memang,
karya sastra sebaiknya diterjemahkan oleh sastrawan juga. Kualitasnya akan
terasa bedanya. Misalnya untuk The Prophet karya Gibran. Buku sajak
ini sudah diterjemahkan oleh Sri Kusdyantinah pada 1981 dan diterbitkan oleh
Pustaka Jaya dengan judul Sang Nabi, sesuai judul aslinya. Sajak Gibran ini
sangat terkenal dan banyak dikutip orang, khususnya yang tentang anak. Saking
terkenalnya, nama penyair asal Libanon ini banyak diadopsi orang Indonesia
untuk menjadi nama anaknya. Pada 2017, penerbit Bentang, menerbitkan terjemahan
oleh Sapardi dengan judul Almustafa, yang diambil dari nama tokoh dalam puisi
tersebut.
Kutipan puisi Gibran
yang sering dipetik orang adalah pada bait ini:
Anakmu
bukan milikmu
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu
Berikan
mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan
Yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian
Kau
boleh berusaha menyerupai mereka
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur
Pun tidak tenggelam di masa lampau
Kaulah
busur, dan anak-anakmulah, anak panah yang meluncur
Bandingkan dengan terjemahan Sapardi:
Anakmu
bukanlah anakmu
Mereka adalah putra putri kerinduan
Kehidupan terhadap dirinya sendiri
Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu
Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu
Kau
boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri
Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi,
bahkan dalam mimpimu
Kau
boleh berusaha menjadi seperti mereka,
tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu
Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin
Kau
adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup
Kualitas terjemahan
Sapardi juga terlihat pada prosa karya Gibran yang berjudul Jesus the Son of Man. Terjemahan versi
Indonesia uniknya diterbitkan oleh penerbit yang sama, Bentang. Pada terjemahan
pertama berjudul Yesus Sang Anak Manusia, sedangkan terjemahan Sapardi berjudul
Yesus Anak Manusia.
Untuk gambaran sajak,
pada dua alinea pertama versi asli tertulis:
Upon
a day in the spring of the year Jesus stood in the market-place of Jerusalem
and He spoke to the multitudes of the kingdom of heaven.
And
He accused the scribes and the Pharisees of setting snares and digging pitfalls
in the path of those who long after the kingdom; and He denounced them.
Adapun terjemahannya
adalah: Musim semi tahun itu, Yesus
berdiri di sebuah pasar Yerusalem dan berkata kepada orang-orang tentang kerajaan
surga.
Ia
menuduh ahli-ahli kitab dan kaum Parisi sebagai orang-orang yang hanya memasang
jerat dan menggali lubang di jalan untuk menjebak orang yang mencari jalan ke
surga; dan Ia mengecam mereka.
Bandingkan dengan
terjemahan Sapardi:
Pada
suatu hari pada musim semi Yesus berdiri di pasar Jerusalem dan Ia berbicara
kepada khalayak dari Kerajaan Surga.
Dan,
ia menuduh para pujangga dan kaum Farisi telah memasang jerat dan menggali
lubang di sepanjang jalan orang-orang yang mendambakan kerajaan; dan Ia mengatakan
bahwa mereka keliru.
Sapardi juga gemar
menjelaskan sajak karya Okot yang ia terjemahkan dan diterbitkan Obor. Sajak
Okot memiliki kemiripan dengan sajak Sapardi yang sederhana, deskriptif, dan
penuh metafora tentang Afrika. Kini, Sapardi telah tiada. Bangsa Indonesia,
khususnya bagi penggemar sastra, kehilangan besar atas kepergian penyair yang
kekuatan kalimatnya sejajar dengan Chairil Anwar.
Untuk mengenang
Sapardi, mari kita baca sajaknya yang penuh metafora yang berjudul Dalam Doaku
(1989):
Dalam Doaku
dalam
doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman
tak memejamkan mata, yang meluas bening siap
menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena
akan menerima suara-suara
ketika
matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam
doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau
senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau
entah dari mana
dalam
doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di
ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang
tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
magrib
ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-
nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
dalam
doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah
batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
aku
mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu.
Alam
terus memaklumatkan dirinya di awal bulan Desember 2020 mengisahkan dan mengkampanyekan
jati diri lewat rinai hujan maka saya tergerak untuk menciptakan sajak
sederhana bukan menyaingi sastrawan atau penyair manapun tetapi inilah ungkapan
hati pada jalan setapak yang terbekas kering berubah menjadi basah. Inilah
sajak hujan yang saya goreskan di lembaran kertas putih yang tergeletak diam di
atas meja bacaku.
Sajak Tentang Hujan
Kau tahu apa yang aku suka dari hujan? Dia akan
tetap turun meski kau berusaha keras menolaknya. Dan aku, akan tetap
mencintaimu meski kau berusaha mematikan perasaanku.
Hujan, dia pantang menyerah.
Jangan lupa, hujan juga bagian dari dirimu. Saat kau
menyangkal hidup itu bahagia; mengalir perlahan dari bola mata birumu, meriak
di pipi, dan bermuara di kesedihanmu.
Hujan, dia meneduhkan.
Ah, rasanya kau juga harus ingat. Ketika menyusuri
jalan malam dengan riak dan genangan air di sisi kanan kirinya, lamunanmu akan
terlempar beberapa waktu ke belakang.
Hujan, dia menyisakan kenangan.
Kamu adalah kehilangan yang tak terlupakan. Ketika
masa lalu adalah sebuah arsip bahagia, genangan air itu tumpah di atasnya,
tinta-tinta kenangan itu memudar, tersapu kesepian.
Hujan, dia begitu tega.
Terkadang kau bisa tertawa begitu lepas, berlarian
tanpa alas kaki, hingga rasanya beban tak ada lagi dan itu semua hanya bisa kau
lakukan bersamanya.
Hujan, dia membawa kebahagiaan.
Dan apa yang kaukatakan, adalah bagian dari masa
lalu yang tersapu. Saat rindu mulai memasung pasak di jantung kepergian. Jangan
lupa, hujan tidak selamanya bertahan. Begitu pun kita, saat kau memilih
berhenti bermain basah-basahan denganku selamanya.
Hujan, dia tidak abadi.
Dia berubah, sangat menyakitkan ketika akhirnya kita
memilih aliran masing-masing. Menjadi kenangan paling menyayat hati jika datang
menjelang petang.
Hujan, dia membawaku pada ingatan tentangmu.
Pada akhirnya, ke mana pun genangan air itu meriak,
ia akan sampai pada muara yang dituju. Entah itu bermuara pada sesiapa di depan
sana atau kembali pada kerinduan kita, hanya hujan yang tahu.
Hujan, dia datang memberi jawaban.
Waktu rasanya takpernah cukup untuk membicarakan
hujan bukan? Dia datang membawa kebahagiaan sekaligus menyeruak sungai
kenangan. Aku masih akan menunggumu dengan sajak-sajak tentang hujan.
Inspirasi Malam, pada taman bunga D’Numb
Medio Harekakae, Betun Malaka
Basah oleh rinai air hujan
Selasa, 01 Desember 2020
Frederick Mzaq (Penimba Inspirasi Jalan Setapak)