Janji dan Sumpah Politik Pilkada Malaka 2020, Senjata Yang
Semoga Tak Makan Tuan
(Masyarakat harus pintar memilih pemimpin yang
ideal)
Menjelang Pilkada serentak 9 Desember, janji-janji
politik kembali merecoki kita bahkan mengajak masyarakat untuk bersumpah bersama sebagai komitmen untuk memilih dirinya pada hari H pencoblosan nanti di TPS. Sebagai masyarakat yang akan merasakan dampak
perbuatan pemimpin, kita mesti mengambil sikap terhadap janji-janji itu.
Lantas, sikap seperti apa yang harus kita ambil? Apakah mendengarkan janji itu
dan memberikan kesempatan kepada calon pemimpin terpilih untuk menepatinya,
atau menutup telinga dari janji itu dan tidak ikut berpartisipasi memberikan
suara di TPS? Mari kita berpikir sebentar untuk menentukan sikap.
Janji, antara
senjata dan petaka
Janji adalah senjata bagi calon pemimpin, tapi juga
bisa menjadi petaka. Dengan janji, calon pemimpin membujuk masyarakat untuk
memilihnya. Berbagai bentuk janji, mulai dari janji yang masuk akal hingga
janji yang tak termakan oleh logika, bertebaran di lapangan kampanye, baliho,
brosur, kartu nama, debat calon, berita di media massa, dan melalui berbagai
cara, yang disampaikan dengan berbagai bahasa manis oleh calon pemimpin.
Calon pemimpin yang pernah memimpin, diuntungkan
dengan janji apabila janjinya sebelum menjabat dipenuhinya, kalau tidak
semuanya, setidaknya lebih dari separuhnya. Sedangkan calon pemimpin yang belum
pernah memimpin, juga diuntungkan dengan janji karena ia belum pernah berjanji
dan memimpin sebelumnya. Dalam hal inilah janji adalah senjata, yang
digunakan untuk menembak hati masyarakat. Namun, apabila calon pemimpin yang
pernah memimpin tidak memenuhi janjinya saat menjabat, masyarakat tidak akan
percaya lagi dan mencibirkannya. Pada saat seperti inilah janji menjadi petaka.
Janji yang tadinya menjadi senjata yang moncongnya di hadapkan ke masyarakat,
kini moncong itu berbalik ke arahnya. Senjata makan tuan!
Sebagai masyarakat, objek yang dipimpin, masyarakat
semestinya mencatat, mengawal, dan mengevaluasi janji-janji calon pemimpin.
Berapa janji yang ditaburkan, berapa janji yang sudah ditepati, apa kendala
untuk mewujudkan janji itu, dan sebagainya. Akan tetapi, selama ini, jangankan
untuk mengawal janji itu, kita malah abai dan lupa terhadap janji-janji dan
siapa yang berjanji. Inilah yang menyebabkan kita terus tertipu dari satu Pemilu
ke lain penderitaan. Atau mungkin sejatinya kita tidak lupa, tetapi
iming-iming sejumlah uang menjelang Pemilu yang dibagikan oleh tim sukses calon
pemimpin membuat kita lupa. Sejak dulu saya percaya, bahwa uang adalah salah
satu faktor utama penyebab amnesia. Uang bisa membuat otak kita cedera sehingga
kita lupa segalanya.
Masihkah kita
akan bersikap begitu terhadap janji-janji calon pemimpin?
Soal penyakit lupa, tidak hanya masyarakat yang mengidapnya,
tapi juga pers. Pers, yang sesungguhnya memiliki ingatan yang panjang daripada
masyarakat pada umumnya, juga sering lupa. Pers sering lupa, tidak hanya
terhadap janji-janji politik, tapi juga terhadap kasus dan masalah lain yang
merugikan masyarakat dan negara. Banyak kasus yang pada awalnya diberitakan
hampir semua media, akan tetapi, semakin kasus tersebut mencapai ujungnya,
berita tentang kasus itu semakin pudar, sampai akhirnya hilang. Perlukah
wartawan disuntik dengan vaksin anti-amnesia agar ingatannya tetap bagus?
Penyakit lupa tidak hanya diidap oleh masyarakat,
tapi juga mengendap di otak calon pemimpin. Bagi calon pemimpin yang pernah memimpin,
janji yang diberikannya saat kampanye kadang adalah janji yang sama saat
kampanyenya pada Pemilu sebelumnya. Janji itu diulang-ulang, seperti gulai
nangka yang dipanaskan kembali, yang jangankan terasa enak, malah membuat
perut sakit. Setelah terpilih untuk kali kesekian menjadi pemimpin, ia lupa
lagi. Bayangkan, dengan janji lama saja dia lupa, apalagi dengan janji baru
yang dibuatnya.
Sementara itu, di sisi lain, para pemimpin memiliki
selalu ingat dengan janjinya kepada kawan-kawan separtai, tim sukses dan
rekan-rekan yang mendanainya saat maju pada Pemilu. Janji-janji untuk memberikan
proyek dan memberikan jabatan sempurna ditepatinya. Tak heran apabila
pemimpin berganti, orang-orang yang berada di sekitar rezim juga berganti,
walau si pemimpin berbusa-busa mulutnya mengatakan bahwa ia tidak melakukan
politik transaksional. Padahal, masyarakat tidak buta terhadap siapa penerima
proyek dan siapa yang mendapatkan jabatan oleh sebuah rezim.
Sumpah dan ikrar
politik
Janji pada dasarnya adalah sesuatu yang mulia. Janji
bermakna sama dengan sumpah dan ikrar. Akan tetapi, makna janji dalam fenomena
yang berkembang di tengah masyarakat, berubah makna menjadi sesuatu yang
potensinya untuk diingkari lebih besar daripada potensi untuk ditepati. Sementara
sumpah dan ikrar masih berada pada makna aslinya, sesuatu yang tetap dijaga
dan diupayakan sekuat tenaga untuk menepatinya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sumpah
adalah pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan
atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya
dan sebagainya); pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk
menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan
itu tidak benar. Kita kenal Sumpah Palapa, sumpah Patih Gajah Mada. Ia bersumpah
tidak akan menikmati segala sesuatu sebelum menaklukkan dan mempersatukan
daerah Nusantara.
Kemudian, ikrar. Dalam KBBI ikrart berarti, janji
yang sungguh-sungguh; janji (dengan sumpah). Sementara janji, menurut KBBI
adalah ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (seperti
hendak memberi, menolong, datang, bertemu).
Dari definisi sumpah, ikrar, dan janji di atas,
terlihat jelas bahwa janji hanyalah ucapan yang dilontarkan begitu saja tanpa
mesti ada kesungguh-sungguhan untuk menepati dan pertanggungjawabkannya.
Sedangkan sumpah tidak sekadar ucapan biasa, tapi pernyataan yang pertanggungjawabannya
bahkan kepada Tuhan. Demikian pula dengan ikrar, ada kesungguh-sungguhan di
dalamnya. Jika definisi tersebut dihubungkan dengan janji politik, sepertinya
calon pemimpin itu perlu bersumpah atau berikrar. Selama para calon pemimpin
hanya berjanji, selama itu pula mereka tidak akan bertanggungjawab terhadap
janji mereka. Janji politik mesti diganti dengan sumpah politik atau ikrar
politik karena masyarakat sudah tahu bahwa janji politik adalah bualan.
Janji-janji
politik seperti sumpah pernikahan. Diucapkan ketika awal hubungan kandidat dan
pemilihnya, dan dilupakan dengan cepat Janji politik, adalah serial harapan
baik. Para calon pemimpin memberi harapan kepada khalayak ramai. Janji politik
yang diucapkan berkali-kali memberi kesan sangat kuat bahwa itu janji pasti ditepati
nanti. Dan, tukang janji pasti dan wajib ditagih.
Sebab,
janji yang diucapkan berulang kali itu akan dicatat berkali-kali pula. Rakyat
pun mengambil sikap jelas memberi dukungan politik dengan cara sangat sederhana
yaitu memilih si tukang beri janji sebagai pemimpin mereka. Kata mereka itu
makna demokrasi.
Pilkada
dan dusta ibarat saudara kembar. Tiada Pilkada tanpa dusta, demikian kata
pengamat politik J. Kristiadi dalam ulasannya “Meredam Dusta dalam Pilkada” di
Harian Kompas, 4 Oktober 2016. Tentu saja, dia tidak asal bicara. Menjelang
Pilkada, muslihat dan dusta politik disulap menjadi kata-kata manis. Dia bagai
penyedap rasa dan pemanis masakan.
Tahun
ini merupakan tahun pilkada di Kabupaten Malaka, calon Bupati dan Wakil Bupati,
yang berkampanye dan mengumbar
janji-janji supaya masyarakat memilihnya. Lalu apakah bisa kita menggugat janji
yang diumbarkan jika dia tidak melaksanakan janjinya ketika terpilih ke ranah
hukum?…saya dalam kapasitas tidak bisa menjawabnya.
Ajakan
Pilkada 9 Desember ini adalah kesempatan bagi kita
untuk menentukan sikap terhadap calon pemimpin yang berjanji. Sepatutnya kita
memberikan mandat kepada calon pemimpin yang memberi lebih mungkin pasti akan
menepati janjinya. Kita berikan kesempatan kepada calon pemimpin untuk
membuktikan janjinya. Ini kesempatan bagi kita untuk membuktikan bahwa kita
sudah sembuh dari penyakit amnesia terhadap janji politik calon pemimpin,
yakni dengan mencatat, mengawal dan mengevaluasi janji-janji itu setelah
pemimpin terpilih. Mari kita sedikit menabah-nabahkan hati untuk memilih,
dengan catatan bahwa apabila calon pemimpin terpilih tidak menepati janjinya
dalam waktu yang ia tentukan, kita cabut mandat yang kita berikan. Setuju? Yang
setuju tidak perlu angkat tangan, tapi cukup pergi ke TPS.