Peran Tabib Atau Dukun (dok) Pada Kehidupan Masyarakat Kabupaten Malaka, Masihkah Penting?

Peran Tabib Atau Dukun (dok) Pada Kehidupan Masyarakat Kabupaten Malaka, Masihkah Penting?


Dukun atau Tabib (dok) Menurut Konsep Perspektif Mayarakat Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur

Ilustrasi


Kearifan budaya mengandung norma yang penting bagi kehidupan masyarakatnya. Dalam tulisan ini, penulis ingin memperkenal kan makdok sebagai salah satu wujud budaya masyarakat Belu yang berimplikasi pada penanganan kesehatan manusia. Kearifan budaya masyarakat Malaka ini telah menjadi milik yang menjadi identitas diri sejak zaman leluhur. dok adalah tradisi yang diwariskan oleh leluhur atau nenek moyang orang Malaka (ema fehan). Tradisi ini telah melahirkan, memelihara dan ikut menjaga keharmonisan masyarakat semua suku tradisional di Kabupaten Malaka-NTT.

Tradisi dok telah beralkuturasi dengan banyak budaya baru, namun hasilnya bahwa justru tradisi ini agaknya masih tetap langgeng. Dok telah dan agaknya masih memegang peran penting bagi masyarakat tradisional suku tetun-terik. Ia telah memainkan peranan yang sentral dalam hubungannya dengan penanganan kesehatan masyarakat tradisional tetum-terik di rai Malaka. Dok dalam arti tertentu sebagai ungkapan warisan budaya leluhur orang tetun agaknya masih selalu dipelihara dengan baik.

Secara etimologis, kata dok menurut Kamus Tetum Plus Tetun-Indonesia, Indonesia-Tetun karangan Yastinus nahak, dok artinya duku, tabib, dokter.  Maka secara esensial, dok adalah orang yang memiliki kemampuan melihat jauh dalam hubungan dengan penyebab dan pengobatan orang sakit. Dalam arti, dok memiliki kemampuan untuk melihat ke alam sakrar atau dunia yang tidak bisa dilihat oleh orang normal, dunia gelap, dunia yang tidak bisa diindrawi selain dengan kemampuan khusus alamiah dari makdok sendiri yakni dunia alam bawah sadar dalam hubungan dengan dunia mitis itu.

Dok merupakan sebutan yang diberikan kepada seseorang dalam kampung atau suku yang memiliki kemampuan supernatural untuk melihat hal-hal di dunia yang tidak bisa dilihat oleh orang normal, dunia mitis, dunia jauh, dunia yang nampak dalam bayang-bayang alam bawah sadar. Dunia itu menurut pandangan orang tetum adalah dunia yang tak bisa diinderawi namun sangat berpengaruh dalam tata kehidupan manusia.

Sebagai sebuah norma yang berasal dari kearifan budaya tradisional tetum, maka makdok selalu menghubungkan peristiwa sakitnya seorang dari suku tetum sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma-norma tradisional suku tetum. Mungkin saja si pasien telah melakukan kesalahan melalui pancainderanya yakni kesalahan dalam bertutur kata, berpikir, bersikap dan merasakan dalam relasinya dengan sesama, alam-dunia, leluhur dan Tuhan sendiri, sebuah dunia  yang selalu dilupakan manusia.

Dunia tempat berdiamnya arwah leluhur (matabian iha kukun ka;lan) adalah dunia yang sering dilupakan manusia. Secara adat, setiap nama leluhur secara persona teristimewa nama leluhur yang dipakai sebagai nama pribadi seorang suku tetum perlu selalu diingat dalam doa-doa. Nama persona leluhur yang telah mendiami dunianya kini memang tidak dingat selalu namun sangat berperan penting dalam kesehatan dan keselamatan manusia (masyarakat Malaka tetun). Sebuah dunia yang digambarkan orang tetun-terik sebagai berikut:

Oh ama ina no bei sia hotu-hotu iha kukun kalan

Emi oras neee nuudar iha mota sorin balu

Ami iha mota sorin namai,

Ita la bele hakur ba no mai

Emi hotu-hotu kreis tian Nai Maromak, bi'i ain la dais lolo liman lato'o

Artinya: Oh..bapak  ibu dan leluhurku semua yang berada dalam kegelapan malam. Kalian sekarang seumpama di seberang sungai yang satu.Kami diseberang sungai yang ini. Di hadapan kita ada jurang dan batas yang telah memisahkan kita. Jurang telah membuat kita tidak bisa saling menyeberang. Kalian kini telah dekat dengan Tuhan, yakni DIA yang tak dapat digapai dengan jinjingan kaki dan tangan kami...

Maka sebagai sebuah wujud budaya tradisional, dok memiliki peran sentral dalam pemulihan kesehatan masyarakatnya. Maka baiklah kalau kita mencoba menelaahnya dari prespektif ilmu budaya namun sebelum kita melakukan analisis atas peran sentral dok dari prespektif ilmu budaya, marilah terlebih dahulu melihat 5 hal ini yang pada hakekatnya telah dilakukan oleh dok dalam pemulihan kesehatan seorang pasien.

Pertama, dok memiliki gagasan tentang penyebab penyakit yang diderita oleh manusia yang diyakini orang tetum selalu tepat dan karena itu diterima masyarakat suku.

Dok menyebutkan penyebab penyakit pasien secara jelas setelah berbasa-basi melalui tradisi lok-malu yakni menyuguhkan sirih pinang. Pada umumnya penyebab penyakit yang diderita oleh pasien bisa beragam. Beberapa hal dapat saya sebutkan di sini, misalnya karena bertemu dengan rai nain (kuntilanak atau roh halus), disantet atau disihir, gangguan arwah leluhur yang telah dilupakan, tidak pernah mempersembahkan sirih-pinang untuk suku ayah dan ibunya, melupakan saku atau tas kecil (kakaluk matabian) sirih-pinang leluhur yang disimpan di dekat kakuluk (tiang agung), kutukan karena menjual harta pusaka suku atau kekayaan suku, salah berbicara, salah bertindak dalam suku, tidak mempersembahkan korban di kebun, dll

Kedua, dok bertindak untuk memulihkan sakit pasien melalui upacara adat pemulihan sakitnya sesuai norma tradisional untuk memulihkan kesehatan pasien.

Tindakan oleh seorang dok melalui apa yang disebutnya hakasuk atau ritus adat pemulihan. Dia menggunakan bahan-bahan yang telah disiapkan sebelumnya oleh pasien, misalnya: daun sirih-pinang, air, api, buah kelapa, kulit kayu kimfaek, rumput ilalang, uang perak golden, pedang, dan ramuan yang disiapkannya dari rumahnya. Tempat acara adat pemulihan itu bisa beragam yakni di rumah, di tikungan jalan, di sungai, di bebatuan keramat, gunung, kebun, dll

Ketiga, dok menggunakan bahan-bahan atau ramuan-ramuan dari alam dan hewan-hewan tertentu yang diyakininya dapat membawa pemulihan dan kesembuhan bagi pasiennya.

Ramuan-ramuan untuk mengobati pasien biasa berupa akar-akar atau kulit-kulit kayu dari pohon-pohon tertentu misalnya: kusambi, cendana, dll. sebagai pemulihan, banyak kali makdok menggunakan ayam, babi atau sapi sebagai korban pemulihan. Setelah dibunuh maka daging-daging hewan-hewan itu dimasak lalu dibagikan kepada semua penghuni rumah untuk santap bersama-sama dengan si pasien.

Bagian daging yang utama, biasanya daging yang paling enak telah dimasak dan dipersembahkan sebagai persembahan atau sebagai lulik yakni persembahan untuk dewata sedangkan bagian lainnya di bawah ke rumah makdok.

Keempat, dok menyampaikan hal-hal yang perlu dihindari atau diharamkan oleh pasien selama pasien dirawat (luli atau pemali).

Selama berobat kepada dok yang bersangkutan, si pasien harus berpantang banyak hal yang akan disebutkan dok, misalnya: pasien tidak boleh keluar rumah, tidak boleh makan makanan tertentu, minum minuman tertentu, melakukan pengobatan sendiri pada saat-saat tertentu. Bahan-bahan untuk pengobatanpun tidak seperti obat modern. Dok memberikan akar-akar atau kulit-kulit kayu, minuman-minuman dari ramuan tertentu setiap pagi, siang atau malam. Juga berupa obat gosok pada bagian-bagian badan pasien.

Pada masa lampau, ada dok yang menggunakan sistem bakar. Caranya: dok memanaskan sebuah besi hingga memerah lalu besi panas itu disentuhnya pada bagian badan pasien dan menjadi sembuh. Ada juga dok yang menggunakan sistem urut pada badan pasien. Misalnya bagi pasien anak-anak yang kurang nafsu makan, dok menggunakan tangannya dengan dilumuri minyak dan melakukan "tane kabun" artinya melakukan urut perut terhadap pasien yang tidak ada nafsu makan.

Kelima, dok menyampaikan berapa jumlah uang yang harus dipenuhi atau dibayar oleh pasien untuk kesembuhan pasien setelah ritus adat hakasuk yakni ritus adat yang memastikan berakhirnya masa pengobatan. Selama masa pengobatan makadok pertama, si pasien tidak boleh memakai dok yang lain agar memberikan kesempatan kepada dok yang pertama untuk leluasa mempraktekkan ilmunya demi kesembuhan pasiennya.

Norma ini mengharuskan kepercayaan yang serius antara pasien dan dok tersebut. Tanpa kepercayaan antara keduanya maka mustahil akan ada kesembuhan, bisa saja bahwa penyakit si pasien akan kambuh dan membahayakan. Uang yang diberikan oleh pasien kepada dok merupakan uang balas jasa atas semua perhatian, kerja, ramuan, dll yang diberikan oleh dok selama proses pengobatan.

Selain itu, dok juga sering meminta pasien untuk menebus kesalahannya secara objektif. Bila si pasien menjadi sakit karena menjual harta keramat suku, tanah suku, dll maka dia harus berusaha untuk mengembalikan apa yang dirugikannya sehingga dapat terjalin kembali hubungan harmonis dengan sesama, alam dan Tuhan sendiri.

Dok Dalam Prespektif Kajian Budaya Indonesia

1.      Sebuah bangsa yang kuat dan bermartabat harus memiliki prespektif budaya yang unggul dan mampu bersanding dengan bangsa lain di dunia. Tradisi budaya makdok menandakan bahwa unsur kearifan budaya itu telah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia khususnya di setiap suku yang ada di Kabupaten Malaka. Kelak dalam perjumpaannya dengan dunia medis modern, bahan-bahan pengobatan itu akhirnya dimodernkan secara medis dan karena itu memiliki nilai kemanjran dan ekonomis yang tinggi.

Pengobatan modern sering menggunakan atau tepatnya memodernkan bahan-bahan pengobatan asli budaya daerah. Di dalam bahan-bahan ramuan tradisional itu telah tersimpan kemampuan pengobatan yang luar biasa manjur. Maka kita harus selalu terdorong untuk memiliki kesadaran budaya bahwa nenek moyang kita sejak dahulu sudah memiliki kemampuan medis yang luar biasa tingginya. Melalui kesadaran budaya ini maka akan memunculkan rasa kebanggaan terhadap budaya sendiri.

Kesadaran bahwa betapa tingginya nilai-nilai budaya kita harus membuat kita semakin bermartabat. Maka perlu juga banyak kajian yang lebih teliti dan modern terhadap bahan-bahan pengobatan tradisional yang telah dipakai oleh leluhur orang Malaka dalam hal ini diwakili oleh dok. Kajian transindisipliner terhadap bahan-bahan pengobatan yang dipakai oleh makdok akan membawa kita untuk semakin memahami nilai-nilai tradisional kita sendiri

 

2.      Antropolog Kluckhohn menandaskan bahwanilai-nilai budaya selalu berkenaan dengan hubungan antara manusia dengan hal-hal adikodrati serta hubungan manusia dengan sesamanya. Di sini konsep tentang kebenaran tertinggi selalu ditonjolkan. Juga konsep tentang hakekat kehidupan makhluk dalam alam semesta. Konsep-konsep religi ini membentuk sistem kepercayaan yang menjadi landasan penting bagi pembentukan dan penanaman nilai budaya dalam masyarakat.

Konsep kepercayaan tentang religi asli ini diperhadapkan dengan agama Kristen Katolik telah menghasilkan pembentukan nilai-nilai budaya baru masyarakat tetum-Indonesia yang terus berkembang hingga dewasa ini. Dalam agama kristen katolik konsep kebenaran tertinggi ialah Allah Tritunggal Yang Maha Kudus telah mencapai pembenaran melalui dasar budaya Malaka ini. Iman telah menemukan dasar yang kokoh dalam budaya. Tuntutan untuk hidup sebaik-baiknya dan beriman sedalam-dalamnya dalam agama Katolik telah berakar dari budaya masyarakat tetun ini. Nilai-nilai budaya yang bersumber pada norma-norma adat, norma kesopanan, norma kesusilaan, dll menjadi dasar yang kokoh sebagai jati diri kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini.

 

3.      Kepatutan perilaku dalam hubungan dengan masyarakat akan selalu dituntut oleh masyarakat tetum. Dengan berlaku patut maka orang tetum akan terhindar dari sakit dan menjadi sejahtera, makmur dan selamat baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya perilaku yang tidak tepat atau tidak patut dianggab sebagai tanda kekurangan adab. Hukumannya ialah sakit dan penderitaan. Nilai sentralnya ialah kepatutan, dan hanya kepatutanlah yang dapat menghadirkan rasa (Edy Sediawaty: Budaya Indonesia, P. 419).

 

4.      Pemilihan tutur kata yang tepat dapat membuat manusia semakin berbudaya. Penggunaan ragam kata yang salah dapat membuat orang lain terhina. Akhirnya berimbas pada renggangnya komunikasi dan berakibat pada penderitaan atau sakit.

 

5.      Tradisi budaya selalu berkembang dari masa ke masa dan selalu berubah dari perode ke periode dalam sejarah yang terus mengalir. Interaksi antar manusia membuat budaya itu juga ikut terpoles, namun bisa juga akan tergerus, misalnya: Dengan adanya banyak orang muda Belu yang telah meninggalkan tradisi aslinya, pergi merantau dan tak akan pernah kembali ke budaya daerahnya. Orang Malaka yang semestinya pemilik budaya dok telah meninggalkan adatnya dan bahasanya untuk kemudian berakar pada sebuah budaya baru yang asing. Akibatnya budaya setiap suku yang ada di kehidupan masyarakat Malaka menjadi tergerus, nilai-nilai budaya masyarakat yang melekat pada budayanya menjadi ikut tergerus pula.

Kita akan melihat manakah budaya Malaka yang betul-betul bertahan dan langgeng. Sesuatu yang pasti bahwa kearifan budaya selalu bergerak menuju pencapaian nilai-nilai kehidupan yang beradab, berkualitas tinggi dan bermartabat tinggi. Itulah dunia kita, dunia Indonesia, dunia kaum bermartabat yang selalu dalam proses menuju kepada yang terbaik. Semoga Tuhan memberkati Indonesiaku.....

 

By. Frederick Mzaq (Inspirasi Jalan Setapak)

Tulisan ini berdasarkan studi fenomenalogis penulis berhadapan dengan ritme kehidupan masyarakat tradisional di Kampung Numbei, Kateri, dan daerah di sekitarnya yang masih tetap membutuhkan kehadiran seorang dok dalam mengobati pasien yang lagi sakit.masyarakat masih meyakini bahwa peran seorang dok dalam kehidupan mereka itu sangat penting.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama