banner Pedagogi Mayat Hidup: Sekolah sebagai Teater Kekuasaan dan Sebuah Ilusi Moral

Pedagogi Mayat Hidup: Sekolah sebagai Teater Kekuasaan dan Sebuah Ilusi Moral



Suara Numbei News - Dalam semesta yang dikendalikan oleh sistem dan simbol, sekolah seharusnya menjadi ruang transendensi, tempat dimana individu mengenal dirinya melalui dialektika antara pengetahuan dan keberadaan. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh filsuf-filsuf kritis seperti Michel Foucault dan Ivan Illich, institusi pendidikan justru seringkali berubah menjadi alat kontrol, yakni sebuah panoptikon yang menundukkan tubuh dan pikiran ke dalam disiplin yang tak kasat mata. Di balik dinding-dinding kelas dan kurikulum yang tampak netral, tersembunyi kekuasaan yang menyamar sebagai moralitas, dan dogma yang menyaru sebagai kebenaran. Sekolah menjadi metafora dari masyarakat yang lebih luas, di mana individu dikomodifikasi, kebenaran direduksi menjadi angka, dan eksistensi disangkal oleh sistem yang menuntut kepatuhan buta. Dalam puisi berikut, tersingkaplah kemarahan eksistensial yang lahir dari kesadaran akan absurditas sistemik ini. Sebuah jeritan satir yang menelanjangi kontradiksi di balik jargon-jargon edukatif, serta menggugat makna sejati dari kata "belajar" yang telah dipalsukan oleh birokrasi dan kepalsuan etis.

SEKOLAH: LIPSYNC KEBODOHAN - Karya Vincent Kristianto

Kau pikir ini sekolah? Ini pabrik mayat bernyawa,

Di mana otak dikubur dalam peti soal pilihan ganda.

Guru-guru adalah algojo berkopiah "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa",

Mereka menembak kurikulum buta ke kepala kami tanpa ampun, tanpa makna.

"Refleksikan dirimu!" kata mereka sambil tertawa,

Seolah kami bisa mencerna debu tanpa air.

Kau beri kami tugas seperti melempar anak ke jurang,

Lalu menuntut kami terbang dengan sayap yang kau potong tadi malam.

Ini bukan pendidikan, ini lelang kebohongan,

Di mana angka palsu dijual di rak-rak Google Review.

Kau pamerkan piala, tapi lupa kami yang terinjak di podium,

Berdarah, berdebu, terdampar di antara PPT dan deadline absurd.

Kau kirim tugas lewat WhatsApp, lalu ghosting seperti pacu toxic,

Siswa bertanya, tapi balasanmu lebih langka dari kejujuran politikus.

"Baca sendiri!" katamu, sambil meminum kopi ketidakpedulian,

Seolah Google adalah guru pengganti, bukan kuburan pengetahuan.

 

Kau beri kami tugas seperti dukun melempar sesajen,

Tanpa penjelasan, tanpa peduli kami tenggelam atau terbang.

"Kerjakan!" itu satu-satunya mantra yang kau hafal,

Sementara kami merangkak di gelap, mencoba jadi detektif tanpa petunjuk.

Kau bicara karakter, tapi yang kau ukur hanya nilai,

Seolah moral bisa di-compress jadi file PDF.

Kau paksa kami menghafal Pancasila,

Tapi kau sendiri lebih otoriter dari Orde Baru versi digital.

Ini bukan kelas, ini laboratorium psikopat,

Di mana kami jadi kelinci percobaan sistem yang sakit.

Kau catat data, kau ukur stres, kau paksa kami tersenyum,

Lalu kau pamerkan "sekolah ramah anak" di brosur-brosur dusta.

Dan lihatlah! Di balik etalase koperasi suci penuh penggaris dan penghapus,

Tersembunyi angka-angka busuk yang mengalir seperti darah para martir pendidikan.

Seratus juta hilang bagai asap dupa di altar kemunafikan,

Tapi mulut-mulut guru terkunci rapat seperti naskah Ujian Nasional.

 

Mereka mencuri bukan dengan tangan, tapi dengan etika yang telah diautopsi,

Menelanjangi nilai kejujuran di depan mural Pahlawan,

Sementara kami diajari "Integritas itu penting, anak-anak!"

Namun, mereka mengajarkan kami bahwa kebohongan adalah seni yang bisa dipasarkan.

Koperasi jadi kuil kekuasaan para pedagang moral murahan,

Tempat para pendidik menjelma kapitalis berkedok batik dan pin emas,

Menghisap uang kami sambil berkhotbah tentang hidup sederhana.

Sekolah, tempat episteme dibajak, kurikulumnya mesin pembentuk penjahat terpelajar.

Jika sekolah adalah panggung, maka kami adalah badut-badut terluka,

Dipaksa menari di atas paku, sementara penonton tertawa.

Kau mau kami refleksi? Maka dengarlah jeritan logika yang kalian perkosa diam-diam

"Dunia ini gila, dan sekolah adalah institusi yang merayakan kegilaan itu."

Opini Penulis

Puisi ini adalah epitaf bagi nalar yang dikubur di halaman sekolah. Ia menelanjangi sistem pendidikan sebagai panggung absurd tempat para guru menjelma aktor tragedi, memuntahkan dogma di atas podium kekuasaan. Sekolah, dalam puisinya, bukanlah kuil ilmu, melainkan pabrik keseragaman, tempat karakter dikloning dan suara hati dibungkam dengan rubrik penilaian. Nilai lebih penting dari nurani, dan kurikulum menjadi kitab suci yang tak boleh digugat. Di ruang kelas, logika diperkosa oleh formalitas, dan pertanyaan dibunuh dengan lembar tugas tanpa penjelasan.

Kesimpulannya? Pendidikan telah kehilangan jiwa. Ia kini hanya proses industrialisasi manusia agar patuh, bukan berpikir. Maka, puisi ini bukan sekadar amarah, tetapi ia adalah autopsi sistem, ditulis dengan darah frustrasi siswa yang dipaksa tersenyum di tengah reruntuhan integritas. Jika sekolah adalah panggung, maka inilah drama paling ironis abad ini: kebodohan dirayakan dalam nama kecerdasan, dan kita semua tanpa sadar berdiri di barisan penonton yang bertepuk tangan.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama