SEKOLAH: LIPSYNC KEBODOHAN - Karya Vincent
Kristianto
Kau
pikir ini sekolah? Ini pabrik mayat bernyawa,
Di
mana otak dikubur dalam peti soal pilihan ganda.
Guru-guru
adalah algojo berkopiah "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa",
Mereka
menembak kurikulum buta ke kepala kami tanpa ampun, tanpa makna.
"Refleksikan
dirimu!" kata mereka sambil tertawa,
Seolah
kami bisa mencerna debu tanpa air.
Kau
beri kami tugas seperti melempar anak ke jurang,
Lalu
menuntut kami terbang dengan sayap yang kau potong tadi malam.
Ini
bukan pendidikan, ini lelang kebohongan,
Di
mana angka palsu dijual di rak-rak Google Review.
Kau
pamerkan piala, tapi lupa kami yang terinjak di podium,
Berdarah,
berdebu, terdampar di antara PPT dan deadline absurd.
Kau
kirim tugas lewat WhatsApp, lalu ghosting seperti pacu toxic,
Siswa
bertanya, tapi balasanmu lebih langka dari kejujuran politikus.
"Baca
sendiri!" katamu, sambil meminum kopi ketidakpedulian,
Seolah
Google adalah guru pengganti, bukan kuburan pengetahuan.
Kau
beri kami tugas seperti dukun melempar sesajen,
Tanpa
penjelasan, tanpa peduli kami tenggelam atau terbang.
"Kerjakan!"
itu satu-satunya mantra yang kau hafal,
Sementara
kami merangkak di gelap, mencoba jadi detektif tanpa petunjuk.
Kau
bicara karakter, tapi yang kau ukur hanya nilai,
Seolah
moral bisa di-compress jadi file PDF.
Kau
paksa kami menghafal Pancasila,
Tapi
kau sendiri lebih otoriter dari Orde Baru versi digital.
Ini
bukan kelas, ini laboratorium psikopat,
Di
mana kami jadi kelinci percobaan sistem yang sakit.
Kau
catat data, kau ukur stres, kau paksa kami tersenyum,
Lalu
kau pamerkan "sekolah ramah anak" di brosur-brosur dusta.
Dan
lihatlah! Di balik etalase koperasi suci penuh penggaris dan penghapus,
Tersembunyi
angka-angka busuk yang mengalir seperti darah para martir pendidikan.
Seratus
juta hilang bagai asap dupa di altar kemunafikan,
Tapi
mulut-mulut guru terkunci rapat seperti naskah Ujian Nasional.
Mereka
mencuri bukan dengan tangan, tapi dengan etika yang telah diautopsi,
Menelanjangi
nilai kejujuran di depan mural Pahlawan,
Sementara
kami diajari "Integritas itu penting, anak-anak!"
Namun,
mereka mengajarkan kami bahwa kebohongan adalah seni yang bisa dipasarkan.
Koperasi
jadi kuil kekuasaan para pedagang moral murahan,
Tempat
para pendidik menjelma kapitalis berkedok batik dan pin emas,
Menghisap
uang kami sambil berkhotbah tentang hidup sederhana.
Sekolah,
tempat episteme dibajak, kurikulumnya mesin pembentuk penjahat terpelajar.
Jika
sekolah adalah panggung, maka kami adalah badut-badut terluka,
Dipaksa
menari di atas paku, sementara penonton tertawa.
Kau
mau kami refleksi? Maka dengarlah jeritan logika yang kalian perkosa diam-diam
"Dunia
ini gila, dan sekolah adalah institusi yang merayakan kegilaan itu."
Opini Penulis
Puisi ini adalah epitaf
bagi nalar yang dikubur di halaman sekolah. Ia menelanjangi sistem pendidikan
sebagai panggung absurd tempat para guru menjelma aktor tragedi, memuntahkan
dogma di atas podium kekuasaan. Sekolah, dalam puisinya, bukanlah kuil ilmu,
melainkan pabrik keseragaman, tempat karakter dikloning dan suara hati
dibungkam dengan rubrik penilaian. Nilai lebih penting dari nurani, dan
kurikulum menjadi kitab suci yang tak boleh digugat. Di ruang kelas, logika
diperkosa oleh formalitas, dan pertanyaan dibunuh dengan lembar tugas tanpa
penjelasan.
Kesimpulannya?
Pendidikan telah kehilangan jiwa. Ia kini hanya proses industrialisasi manusia
agar patuh, bukan berpikir. Maka, puisi ini bukan sekadar amarah, tetapi ia
adalah autopsi sistem, ditulis dengan darah frustrasi siswa yang dipaksa
tersenyum di tengah reruntuhan integritas. Jika sekolah adalah panggung, maka
inilah drama paling ironis abad ini: kebodohan dirayakan dalam nama kecerdasan,
dan kita semua tanpa sadar berdiri di barisan penonton yang bertepuk tangan.