Tuduhan ijazah palsu
terhadap Jokowi kembali mencuat seakan menjadi komoditas musiman yang
dihidangkan saat suhu politik meningkat. Isu ini, yang sejatinya telah
berkali-kali dibantah dan dijelaskan secara terbuka oleh Universitas Gadjah
Mada (UGM), kembali diangkat dengan narasi seolah-olah ada skandal besar yang
ditutup-tutupi. Padahal, institusi akademik yang bersangkutan telah menegaskan:
Jokowi adalah alumni resmi Fakultas Kehutanan, dengan skripsi dan rekam jejak
akademik yang terdokumentasi.
Namun demikian, tuduhan
ini bukan semata tentang keabsahan sebuah ijazah. Ia mencerminkan krisis yang
lebih dalam: kegagalan sebagian elite politik dan segmen masyarakat dalam
memaknai demokrasi dan cara beroposisi secara sehat.
Politik yang Kehilangan Substansi
Kita tidak hidup dalam
dunia yang kekurangan akses informasi. Klarifikasi demi klarifikasi telah
disampaikan. Wakil rektor UGM bahkan menyebutkan secara gamblang tahun masuk,
tahun lulus, hingga judul skripsi Jokowi. Namun, sebagian pihak terus
menggulirkan isu ini dengan nada insinuatif.
Dalam prinsip hukum
dikenal adagium actori incumbit probatio-siapa yang mendalilkan, dialah yang
wajib membuktikan. Tuduhan tanpa bukti kuat hanya akan menjadi fitnah, bukan
kritik.
Sayangnya, logika
politik hari ini kerap tidak berjalan beriringan dengan logika hukum ataupun
etika. Tuduhan yang lemah sering justru mendapat panggung lebih luas di media
sosial dan kanal-kanal digital, menciptakan distorsi persepsi publik. Politik
kehilangan substansi ketika lebih sibuk menyerang personal daripada mengkritisi
kebijakan.
Bukan Kritik, Tapi Delusi
Kita bisa menerima
bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi. Pemerintah harus dikoreksi, dikawal,
dan diawasi. Namun, menyerang seorang mantan presiden-siapa pun orangnya-dengan
narasi tanpa dasar hukum yang valid, bukanlah praktik oposisi yang sehat. Itu
adalah delusi politik, lahir dari dendam dan kegagalan mengartikulasikan agenda
perubahan secara konstruktif.
Yang lebih mengkhawatirkan
adalah bahwa narasi ini bisa berdampak lebih luas. Ia mengikis kepercayaan
terhadap institusi pendidikan, menciptakan keraguan terhadap stabilitas politik
nasional, dan pada akhirnya merugikan iklim investasi.
Tidak sedikit investor
asing yang menjadikan kepastian hukum dan stabilitas politik sebagai parameter
utama.
Ketika narasi-narasi
seperti ini terus dikapitalisasi tanpa kendali, dampaknya bukan hanya politik
domestik, tapi juga reputasi Indonesia di mata dunia.
Agenda Tersembunyi?
Layak untuk dicermati
bahwa narasi ijazah palsu ini tidak hidup dalam ruang hampa. Ia muncul
beriringan dengan transisi kekuasaan menuju pemerintahan Presiden Prabowo
Subianto. Jika kita tarik benang merahnya, kampanye narasi semacam ini bukan
semata menyerang Jokowi, tapi bisa menjadi upaya sistematis untuk mengganggu
legitimasi pemerintahan berikutnya.
Demonstrasi dan
aksi-aksi publik yang mengusung isu ini, sering kali dibungkus dengan semangat
keterbukaan, namun ironisnya tidak membawa data baru. Yang justru muncul adalah
nada agitasi, provokasi, dan seruan-seruan yang berpotensi menjerumuskan bangsa
ke dalam kubangan instabilitas.
Pemerintah, dalam hal
ini aparat penegak hukum, tidak bisa terus bersikap permisif. Demokrasi memang
memberi ruang untuk berbeda pendapat, tetapi bukan untuk menyebar fitnah.
Negara tidak boleh abai ketika kebebasan digunakan sebagai tameng untuk
merusak. Ketegasan bukanlah musuh demokrasi, melainkan pelindung akal sehat
publik.
Jalan
ke Depan
Pemerintahan
Prabowo-Gibran akan dihadapkan pada tantangan berat: menjaga stabilitas
politik, mempercepat pemulihan ekonomi, dan memastikan bahwa Indonesia tetap
menjadi tujuan investasi yang menarik. Untuk itu, segala bentuk disinformasi
yang melemahkan kepercayaan publik harus dilawan dengan pendekatan hukum yang
tegas dan edukasi publik yang menyeluruh.
Lebih jauh lagi, elite
politik kita-dari semua spektrum-perlu introspeksi. Bangsa ini tidak kekurangan
persoalan substansial untuk dibahas: dari kemiskinan, pendidikan, hingga
perubahan iklim. Mari kita arahkan energi politik kita pada isu-isu nyata yang
menyentuh hidup rakyat banyak, bukan pada narasi-narasi busuk yang hanya
menguntungkan kelompok kecil dengan agenda sempit.
Sudah saatnya kita
keluar dari jebakan politik remeh-temeh. Demokrasi Indonesia tidak boleh
direduksi menjadi panggung fitnah. Ia harus menjadi ruang dialektika gagasan
dan integritas. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?