banner Menyelami Filsafat Retoris Xi Jinping Vs Drama Omong Kosong PCO: Belajar Tenang di Tengah Badai (Coretan Pena Akar Rumput)

Menyelami Filsafat Retoris Xi Jinping Vs Drama Omong Kosong PCO: Belajar Tenang di Tengah Badai (Coretan Pena Akar Rumput)

"Ekonomi Tiongkok bukanlah kolam kecil, melainkan lautan yang luas. Angin dan hujan mungkin menimbulkan riak di permukaannya, tetapi tidak akan pernah mengguncang kedalamannya." — Xi Jinping

 


Suara Numbei News - Ungkapan dari Presiden Tiongkok Xi Jinping yang diutarakan dalam sebuah respons kenegaraan terhadap tekanan dagang Amerika Serikat, terutama dalam masa pemerintahan Donald Trump, mengandung suatu nilai estetika sastra yang mengagumkan sekaligus kedalaman filsafat politik yang tak dapat diabaikan. Namun hal ini tentu juga bukan sebatas retorika diplomatik, tetapi juga merupakan manifestasi dari kepercayaan diri suatu bangsa yang telah melalui rekam sejarah dan peradaban yang sangat panjang: dari Dinasti Qin hingga Revolusi Kebudayaan, dari keterasingan era Mao menuju keterbukaan era Deng Xiaoping dan kemanjuan abad ke 21.

Pertanyaan kritis akan diajukan dan menjadi fondasi dari ulasan sederhana dalam argumentasi yang akan dibahas selanjutnya. Tentang bagaimana mungkin sebuah negara dapat menghadapi tekanan internasional dengan keteguhan yang nyaris tenang? dan tentang bagaimana sastra, filsafat, dan budaya dapat memperkuat ekonomi dan komunikasi publik suatu bangsa?

Etos dan Etika: Max Scheler dan Moralitas Ketahanan Bangsa

Max Scheler dalam karya terkenalnya Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values (1916), telah menempatkan etika sebagai ekspresi nilai-nilai hierarkis yang tidak bisa semata-mata direduksi ke relativisme moral. Dalam konteks ini, etos kolektif dari bangsa Tiongkok — etos kerja keras, penghormatan terhadap tradisi, dan solidaritas nasional bukanlah suatu relativitas budaya yang lemah, melainkan sebuah struktur nilai yang memungkinkan bangsa tersebut dapat memitigasi dan mengatasi berbagai krisis yang ada.

Xi Jinping juga telah mengartikulasikan etos ini sebagai keyakinan ontologis: Tiongkok adalah lautan, bukan kolam. Ini bukan perbandingan geografis, tetapi ontologi sosial dan politik yang telah menyiratkan kedalaman kolektif dari sebuah bangsa yang tidak mudah terguncang karena moralitasnya tidak bergantung pada keadaan eksternal, melainkan pada sistem nilai internal yang terstruktur secara hierarkis, seperti halnya yang telah ditekankan juga oleh Emmanuel Levinas dalam Totality and Infinity (1961).

Imajinasi dan Kesadaran: Sartre, Eksistensialisme, dan Visi Kultural Tiongkok

Jean-Paul Sartre dalam The Imaginary (1940), juga telah menegaskan bahwa imajinasi bukanlah sebatas reproduksi dari realitas, melainkan sebuah proses kesadaran yang menciptakan dunia. Dalam hal ini, Tiongkok tidak sekadar beradaptasi terhadap dunia, melainkan menciptakan realitas alternatif melalui imajinasi kolektif: Inisiatif Sabuk dan Jalan, ekspansi teknologi Huawei, dan sinema kontemporer Tiongkok adalah bentuk-bentuk dari imajinasi kolektif yang menyusun kembali tatanan global hari ini.

Eksistensialisme Sartre juga secara sederhana telah memberikan kerangka epistemologis dalam memahami kepercayaan diri sebagai keputusan sadar. Tiongkok memilih menjadi "laut" karena ia sadar akan eksistensinya sebagai aktor global. Dalam dunia Sartrean yang terdapat dalam Being and Nothingness (1943), eksistensi mendahului esensi — dan Tiongkok, dalam narasi modernnya, pada akhirnya menciptakan sebuah esensinya sendiri.

Kebijaksanaan dan Esensialisme Budaya Timur dalam Menghadapi Politik Identitas Global

Jika Sartre menolak esensialisme, maka budaya Timur, khususnya Konfusianisme, justru merangkulnya seperti yang tercatat dalam pesan Analects dari Konfusius. Tiongkok modern yang kita lihat hari ini tentu bukanlah sekadar entitas politik, tetapi juga pewaris esensi budaya dan filosofis yang telah terbentuk selama ribuan tahun. Dalam kerangka ini, Xi Jinping tidak hanya berbicara sebagai kepala negara, tetapi sebagai representasi kontinuitas sejarah.

Merujuk pada pandangan Tu Weiming, dalam Confucianism in a Historical Perspective (1996), yang mengatakan bahwa dalam Konfusianisme, stabilitas ialah cerminan keharmonisan antara langit dan bumi — antara rakyat dan pemimpin. Maka kepercayaan diri yang ditampilkan oleh Tiongkok hari ini tentu bukan suatu bentuk arogansi, melainkan refleksi akan harmoni internal. Sementara Barat sering menekankan perubahan sebagai hal mutlak, filsafat Timur menawarkan bahwa stabilitas juga adalah bentuk kekuatan yang sah.

Metafora lautan dalam pernyataan Xi Jinping juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Konfusianisme yang telah membentuk fondasi moral dan etika kepemimpinan di Tiongkok selama ribuan tahun. Konfusius mengajarkan pentingnya ren () atau kebaikan hati, li () atau kesopanan, dan yi () atau kebenaran moral sebagai prinsip utama seorang pemimpin. Dalam bingkai ini, Xi Jinping menempatkan dirinya bukan hanya sebagai administrator ekonomi, tetapi sebagai penjaga stabilitas moral dan sosial bangsanya.

Lautan yang luas menggambarkan dàtǒng (大同) — gagasan Konfusianis tentang dunia harmonis yang penuh kedamaian, di mana kepemimpinan dijalankan dengan kebajikan, bukan dominasi. Pernyataan tersebut dapat dibaca sebagai upaya untuk menegaskan kembali prinsip-prinsip ini di tengah gejolak ekonomi global dan persaingan hegemonik.

Dengan kata lain, pernyataan Xi bukan semata propaganda, tapi juga strategi kebudayaan yang canggih. Ia mengartikulasikan ide-ide ekonomi dengan lensa etika Timur yang menekankan stabilitas, keseimbangan, dan kepemimpinan moral. Ini menjadi kontra narasi dari model Barat yang sering kali menekankan kebebasan pasar dan individualisme ekstrem sebagai satu-satunya jalan menuju kemajuan ekonomi.

Sastra dan Seni: Puisi Politik dan Retorika Estetik sebagai Wujud Kepercayaan Diri

Sastra Tiongkok modern — dari puisi Bei Dao dalam The August Sleepwalker (1988), hingga narasi Mo Yan dalam Red Sorghum (1986), sangat sarat dengan alegori tentang transformasi sosial dan politik. Di balik tekanan sensor, muncul sebuah kekayaan imajinasi yang berperan dalam membentuk etos publik Tiongkok.

Simbolisasi "laut" dalam pernyataan Xi Jinping tidak lepas dari metafora Taoisme oleh Lao Tzu dalam Tao Te Ching (sekitar abad ke-6 SM) dan puisi klasik Tiongkok. Di sana, air adalah kekuatan yang fleksibel namun tak tergoyahkan, melambangkan tentang kebijaksanaan dan kekuasaan yang tidak kasar. Politik pun menjadi perpanjangan dari seni: sesuatu yang tidak memaksa, tetapi menyusup dalam keheningan.

Dalam kajian sastra dan estetika politik, pernyataan Xi juga bisa dibaca sebagai semacam "puisi politis." Ungkapan metaforis seperti “lautan yang luas” bukanlah gaya bahasa tanpa arah, melainkan memiliki fungsi estetik sekaligus ideologis. Dalam budaya Tiongkok, puisi memiliki kekuatan historis dalam membentuk kesadaran kolektif. Kaisar, jenderal, dan cendekiawan masa lalu sering kali menggunakan puisi sebagai alat komunikasi publik yang menggugah emosi rakyat.

Maka, ketika Xi menggunakan metafora tersebut dalam forum internasional, ia tidak hanya berbicara kepada Donald Trump ataupun para ekonom dan pemimpin dunia, tetapi juga sedang mengomunikasikan rasa estetika nasional kepada rakyatnya. Ekonomi tidak hanya disajikan sebagai data atau grafik, tetapi sebagai lanskap hidup yakni sebuah pemandangan batin (inner landscape) yang membentuk suatu identitas nasional, seperti lukisan tinta shanshui yang merefleksikan keharmonisan hubungan antara manusia dan alam.

Estetika retoris seperti ini membawa dampak psikologis yang dalam terhadap masyarakat. Ketika seorang pemimpin menggambarkan kondisi bangsa dengan keindahan simbolis, rasa percaya diri kolektif pun terbentuk. Di sinilah ekonomi menjadi puisi, sebuah ciptaan bersama yang tak hanya diukur dengan angka PDB, tetapi juga dengan rasa bangga dan harapan yang tumbuh di benak hati rakyat Tiongkok hari ini.

Analogi Strategis Ekonomi Global: Rasionalitas, Risiko, dan Realitas

Dalam konteks ekonomi global saat ini, ekonomi Tiongkok memang menghadapi perlambatan, tetapi tidak dalam kerangka krisis struktural. Menurut data IMF dan World Bank, Tiongkok tetap akan menjadi penyumbang pertumbuhan global terbesar, dengan sektor teknologi, keuangan digital, dan energi hijau sebagai tulang punggung baru.

Ketegangan perang dagang yang terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat sejak 2018 telah menunjukkan bagaimana tarif menjadi senjata politik. Pemerintahan Trump menerapkan tarif impor terhadap produk-produk Tiongkok senilai 145%, memicu balasan tarif dari Beijing terhadap barang-barang Amerika. Tarif ini bahkan meluas ke negara lain, termasuk sekutu-sekutu tradisional AS, menyebabkan keresahan dalam sistem perdagangan multilateral.

Meskipun mendapat tarif yang tinggi dari AS, secara objektif juga Tiongkok memiliki sebuah kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi secara kuat tekanan ekonomi dari AS tersebut, karena Tiongkong juga memiliki dasar ekonomi yang kuat. Beberapa faktor yang mendukung hal ini ialah:

·        Skala Ekonomi yang Besar: Tiongkok memiliki populasi terbesar di dunia dan pasar domestik yang sangat besar. Hal ini memberikan daya tahan terhadap fluktuasi permintaan eksternal.

·        Diversifikasi Ekonomi: Meskipun ekspor masih penting, Tiongkok telah berhasil mendiversifikasi ekonominya ke arah konsumsi domestik, layanan, dan teknologi tinggi.

·        Investasi Infrastruktur yang Masif: Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan telah meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi Tiongkok.

·        Kemajuan Teknologi: Tiongkok menjadi pemain global yang semakin penting dalam inovasi teknologi, termasuk kecerdasan buatan, telekomunikasi 5G, dan energi terbarukan.

·        Cadangan Devisa yang Kuat: Cadangan devisa Tiongkok yang besar memberikan stabilitas terhadap gejolak mata uang dan krisis keuangan global.

·        Kemitraan Ekonomi yang Luas: Melalui inisiatif seperti Belt and Road, Tiongkok memperluas jaringan kemitraan ekonomi dengan berbagai negara, mengurangi ketergantungan pada satu atau dua mitra dagang utama.

Fondasi ekonomi yang kuat dan keyakinan akan visi strategis jangka panjang inilah yang telah memberikan Tiongkok kepercayaan diri untuk menavigasi kompleksitas lanskap ekonomi global. Seperti keyakinan yang telah diungkapkan oleh Presiden Xi, tentu hal itu bukanlah sekadar retorika populis, tetapi refleksi atas data makro tersebut yang telah menunjukkan ketahanan struktural ekonomi Tiongkok. Namun, tantangannya tetap nyata mulai dari tantangan global seperti: persaingan teknologi, isu geopolitik, dan perlambatan pertumbuhan global adalah faktor-faktor yang perlu diatasi, hingga tantangan lokal seperti: utang lokal, ketimpangan regional, dan aging population. Di sinilah filsafat dan komunikasi publik memainkan peran.

Dalam karya klasik The Art of War, Sun Tzu menulis, “In the midst of chaos, there is also opportunity.”. Strategi Tiongkok dalam merespons tekanan global tampaknya juga mengikuti prinsip ini. Riak-riak di permukaan lautan yang disebut oleh Xi, dalam logika Sun Tzu, bukanlah sekadar gangguan, melainkan sebuah peluang dalam melakukan sebuah manuver strategis yang lebih besar.

Sun Tzu percaya bahwa keunggulan tidak selalu berada pada kekuatan fisik, tetapi pada kemampuan membaca momentum (shi) dan mengelola ilusi serta persepsi. Pernyataan Xi yang tenang namun penuh makna menciptakan shi, yakni kekuatan strategis berbasis psikologis, yang membuat lawan akan berpikir dua kali sebelum menyerang kembali. Melalui Xi, Tiongkok telah berhasil menyusun narasi kekuatan tenang yang tahan terhadap badai. Ini adalah bentuk soft power yang sangat khas budaya dan filosofi Timur.

Dengan demikian, narasi Xi tidak hanya menjelaskan kondisi, tetapi juga menciptakan realitas strategis baru. Dunia melihat Tiongkok bukan sebagai pihak yang panik atau agresif, tetapi sebagai kekuatan besar yang tetap stabil, cerdas, berdasar dan strategis di tengah arus besar geopolitik.

Kepercayaan Diri sebagai Komunikasi Nasional: Psikologi Kolektif dan Semiotika Negara

Dari perspektif komunikasi dan psikologi politik, metafora "lautan" juga berfungsi sebagai semiotika negara yang mengarahkan emosi kolektif. Komunikasi pemimpin dalam situasi krisis bukan hanya soal menyampaikan fakta, tapi membentuk (narrative frame) yakni bingkai makna yang akan membantu masyarakat dalam memahami realitas dalam kerangka yang menenangkan dan memotivasi.

Dalam tradisi psikologi Carl Gustav Jung yang merujuk dari The Archetypes and the Collective Unconscious (1969), simbol lautan yang digambarkan adalah mencerminkan sebuah ketidaksadaran kolektif atau ruang batin yang luas, dalam, dan penuh potensi yang belum disadari. Jika ekonomi Tiongkok adalah lautan, maka Xi secara tidak langsung mengajak rakyatnya untuk menyelami potensi mereka sendiri, meneguhkan identitas nasional, dan berpartisipasi dalam perjalanan panjang menuju masa depan tanpa takut.

Sebagai bentuk komunikasi strategis, hal ini sangat efektif. Di tengah narasi negatif dari luar, rakyat membutuhkan afirmasi dari dalam. Pernyataan ini berperan sebagai "jangkar psikologis" yang menjaga kepercayaan diri kolektif masyarakat. Dalam komunikasi publik, kekuatan bukan hanya pada isi pesan, tetapi pada efek psikologis yang dibangkitkannya dan dalam hal ini Xi memahaminya dengan sangat baik.

Komunikasi Publik dan Krisis Etika: Catatan dari Istana Indonesia

Berbeda dengan Tiongkok yang mengedepankan citra kolektif dan narasi yang estetis, di Indonesia justru mengalami sebuah krisis komunikasi publik pemerintah yang parah, sebagai contoh yang terjadi dalam kasus pernyataan Hasan Nasbi, seorang Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), yang menyarankan wartawan Tempo untuk memasak kiriman kepala babi. Ungkapan ini tentu saja bukan hanya ofensif, tetapi menandai absennya estetika moral dalam komunikasi politik yang terjadi.

Kepemimpinan tentu bukan hanya berbicara soal kebijakan, tetapi juga bagaimana membentuk kesan dan narasi di tengah masyarakat. Di era digital seperti ini, sangatlah penting untuk memaknai komunikasi publik sebagai sebuah arena diplomasi yang tersendiri. Kegagalan dalam menyampaikan narasi yang baik, cerdas dan elegan tentu sangat disayangkan karena dapat mencoreng kredibilitas nasional suatu bangsa, bahkan sampai memaksa seorang presiden untuk meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh anak buahnya.

Kritik Konstruktif atas Peran Tiongkok: Antara Dominasi dan Tanggung Jawab

Namun, untuk menjaga objektivitas, penting juga argumentasi sederhana ini menyampaikan sebuah kritik yang diharapkan konstruktif. Meskipun Tiongkok telah menunjukkan ketenangan, kepercayaan diri dan ketangguhan ekonomi, pertanyaan selanjutnya adalah apakah lautan itu juga ramah bagi semua kapal yang berlayar di dalamnya? Artinya, dalam skala internasional, apakah kekuatan Tiongkok membuka ruang bagi dialog dan kerja sama lebih lanjut, atau justru menciptakan dominasi baru yang menyingkirkan negara-negara kecil pada nantinya?

Retorika Xi memang menekankan kekuatan internal, tetapi dunia menilai juga dari bagaimana Tiongkok memperlakukan negara lain dalam rantai pasokan global, hubungan investasi, dan standar kerja sama. Di sinilah peran diplomasi ekonomi menjadi krusial. Tiongkok diharapkan juga harus mampu menyeimbangkan kepercayaan diri dengan empati, kekuatan dengan kerendahan hati, dan kepentingan nasional dengan kepentingan kolektif umat manusia.

Paradoks antara kekuatan dan kerentanan, antara dominasi dan tanggung jawab, menjadi tantangan utama bagi Tiongkok ke depan. Semakin besar lautan, semakin besar pula badai yang harus dihadapi, dan semakin banyak pula kapal yang harus dilindungi.

Laut yang Tak Pernah Kering

Tiongkok telah membuktikan bahwa kekuatan tidak harus bersuara keras. Kadang, seperti air dalam puisi Lao Tzu di Tao Te Ching (ayat 78), kekuatan hadir dalam bentuk yang paling lembut. Xi Jinping menulis strategi dalam bentuk puisi, dan membungkus kebijakan dalam lapisan budaya. Inilah yang membedakan pemimpin besar dari sekadar administrator negara.

Dalam dunia yang semakin riuh oleh populisme, kebencian, dan kebisingan politik, Tiongkok justru menenangkan diri dengan menjadi lautan. Dan kita sebagai bangsa Indonesia dengan semangat dan akar budaya Timur yang sama mungkin seharusnya bisa belajar, seperti apa yang terkandung dalam buku Kishore Mahbubani The Great Convergence: Asia, the West, and the Logic of One World (2013), bahwa dalam menghadapi dunia, kadang kepercayaan diri terbaik adalah (self-confidence) dengan yang paling diam namun paling dalam.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama