Haruskah Saling Menjatuhkan Dalam Pilkada Malaka 2020? (Santun Berpolitik vs Budaya Politik Santun)

Haruskah Saling Menjatuhkan Dalam Pilkada Malaka 2020? (Santun Berpolitik vs Budaya Politik Santun)

Mewaspadai Politik Identitas di Panggung Pilkada Malaka 2020

(Haruskah Saling Menjatuhkan Dalam Pilkada?)



 

PANGGUNG pesta demokrasi Pilkada serentak akan kembali di gelar pada 9 Desember 2020  di 270 daerah. Situasi politik tingkat lokal mulai memanas dengan ‘perang urat saraf’ bakal calon di berbagai media cetak, elektronik maupun media sosial oleh para pendukung setianya. Dalam dinamikanya,  kali ini kembali, beragam persoalan mencuat ke permukaan. Salah satu persoalan yang ada, adalah munculnya politik identitas. Politik identitas dalam sepertinya telah kehilangan arah, karena tidak dimaknai dalam horison berpikir demokratis.

Politik identitas seperti dikutip dari Wikipedia adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa. Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas.

Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyarakat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum.

Kebangkitan politik identitas di Indonesia mestinya harus diimbangi, untuk menjaga kekayaan keragaman negara dan hubungan yang hangat antar seluruh warga negara, tanpa memandang suku atau agama. Mari kita semua dengan bangga menyatakan bahwa kita tidak akan terprovokasi dengan gaya politik adu domba berdasarkan hal-hal yang mengemuka karena agenda dan keinginan seseorang untuk menang, dengan segala cara. Politik identitas sejatinya merupakan ajang pengaktualisasian kekayaan keberagaman bangsa, berubah menjadi ajang untuk saling mengunggulkan dominasi kelompok atas kelompok lain.

Kontestasi yang seharusnya saling beradu gagasan dan konsep yang konstruktif, malah saling menjatuhkan lawan dengan isu Sara yang sangat destruktif bagi keharmonisan bangsa. Politik identitas bisa dikatakan sebagai ancaman karena akibat yang ditimbulkannya terhadap demokrasi di Indonesia telah menjadi perhatian banyak orang, termasuk politisi, anggota masyarakat dan pengamat asing.

Diskriminasi berdasarkan agama dan etnis telah dipandang sebagai hambatan utama bagi kemajuan demokrasi Indonesia, dengan beberapa peristiwa tahun ini berkontribusi pada meningkatnya kepedulian terhadap meningkatnya intoleransi di nusantara. Politik identitas di mainkan sebagai peran utama dalam berbagai Pilkada. Politik identitas menurut penulis adalah gerakan politik yang fokus  lebih kepada perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama, dan bukan prestasi.

Sementara itu, Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa: “Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan. Dengan demikian, politik identitas sekedar untuk dijadikan untuk menggalang politik–guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan hasrat kekuasaan saja. Dua definisi di atas menggambarkan situasi politik sekarang ini.

Wacana politik identitas digunakan oleh sebagian elit politik untuk menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politik yang berbeda identitasnya. Isu ini disebarkan melalui serangkaian propaganda yang dikemas melalui komunikasi politik nan piawai dan menembus alam bawah sadar pendukungnya. Inilah yang menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Cara-cara ini pelan atau lambat akan mengancam sendi-sendi kesatuan NKRI

Dalam konteks kehidupan berdemokrasi, politik identitas akan membawa masalah bagi demokrasi itu sendiri, setidaknya dilihat dari dua hal utama; Pertama, demokrasi lahir dan tumbuh dari prinsip kesetaraan dan rasionalitas publik. Politik identitas, di level ini berusaha menginterupsinya dengan menjadikan pilihan publik berjangkar pada ikatan primordial seperti kesamaan etnisitas, kesukuan dan agama. Sebenarnya tidak bermasalah sepanjang calonnya berkualitas, punya kredibilitas dan rekam jejak calon dengan segala prestasinya. Namun, politik identitas akan bermasalah ketika ikatan emosional jauh lebih dikedepankan dibanding alasan yang lebih rasional. Kedua, politik identitas riskan untuk digiring atau  menjadi praktik yang monolitik. Pemaksaan kehendak sebagai perwujudan ‘truth claim’ dikhawatirkan akan menambah segresasi sosial di tengah masyarakat. Rajutan persatuan dan kesatuan bangsa pada titik ini tentu akan akan mendapati tantangan yang amat serius.

Dalam konteks konsolidasi demokrasi untuk sebuah negara-bangsa yang plural seperti Indonesia, kohesivitas sosial adalah salah satu syarat demokrasi substansial dapat tumbuh subur dan berkembang. Dan jika kedua masalah ini dibiarkan berkembang di ranah publik, demokratisasi akan kehilangan taji. Pesta demokrasi lima tahunan tidak lagi menjadi tontonan menarik, namun akan menjadi pertarungan kelompok sosial yang satu dengan yang lainnya. Memang Politik identitas pada hakikatnya baik, sejauh dimaknai dalam bingkai kebhinekaan. Namun menjadi soal, ketika diejawantahkan secara tidak benar. Dia akan menjadi bumerang bagi perjalanan proses demokrasi.

 

Perspektif Budaya Politik

Budaya politik merupakan suatu landasan sistem dalam suatu politik yang memberikan suatu arahan dan peran politik yang dilakukan oleh struktur politik.

Budaya politik ini merupakan suatu kata yang berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa Yunani. Kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta “budhayah” yang berarti akal. Sedangkan politik merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu polis dan teta yang berarti kota atau negara. Jadi, budaya politik dapat diartikan sebagai suatu landasan akal dari suatu negara.

Secara garis besar, budaya politik dapat didefinisikan sebagai suatu pola perilaku atas kebiasaan  masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Budaya politik untuk berbangsa dan bernegara menyangkut berbagai pola perilaku masyarakat pada penyelenggaraan administrasi negara, adat istiadat, hukum, politik pemerintah, dan norma kebiasaan dari masyarakat.

Dalam suatu negara pasti mempunyai budaya politik yang berbeda-beda. Terjadinya suatu perbedaan pada budaya tersebut disebabkan oleh banyak hal, antara lain kondisi, situasi, dan pendidikan masyarakat dalam suatu negara.

Asal mula atau lahirnya suatu budaya politik pada dasarnya berasal dari lingkungan sekitar masyarakat. Hal itu karena masyarakatlah yang memiliki hak atau wewenang dalam membuat suatu kebijakan dan mengambil keputusan.

Perlu diketahui bahwa suatu budaya politik yang ada dalam suatu negara akan mengalami sebuah perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut disesuaikan dengan pemikiran masyarakat terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi pada saat itu.

Pemahaman tentang pengertian dasar dan inti dari sebuah “budaya politik” dapat dilihat dari berbagai perspektif sebagaimana pandangan para ahli dari beberapa negara sebagai berikut:

Kay Lawson berpendapat bahwa budaya politik merupakan adanya suatu perangkat yang memuat segala nilai politik yang terdapat pada suatu negara dan di seluruh bangsanya.

Gabriel Almond dan Sidney Verba (1966) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi suatu bangsa negara pada suatu sistem politik negara dan berbagai macam bagiannya. Dalam sebuah budaya politik, sikap dan peranan dari warga negara sangat mempengaruhi sistem budaya politik tersebut.

Samuel Beer berpendapat bahwa budaya politik merupakan suatu nilai-nilai politik dan sikap-sikap emosi tentang sebuah pemerintahan dalam suatu negara. Dalam pendapatnya, ia menyatakan bahwa dalam sebuah budaya politik dijelaskan tentang apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah.

Austin Ranney (1996) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu perangkat suatu gambaran akan suatu politik dan sistem pemerintahan yang dihandel secara bersamaan dalam sebuah orientasi pada objek-objek politik.

Alan R. Ball (1963) berpendapat bahwa budaya politik adalah suatu susunan pemikiran yang mencakup tentang sikap, emosi, kepercayaan, dan nilai-nilai masyarakat yang berkaitan dengan sistem dan isu-isu politik.

Lary Diamond (2003) menjelaskan bahwa budaya politik merupakan sebuah sikap, nilai-nilai, gagasan pokok, sentimen, keyakinan, dan evaluasi yang dimiliki oleh masyarakat dalam sistem politik pada masing-masing negara. Peran masyarakat atau peran individual sangat berpengaruh dan sistem politik tersebut.

Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000) mengemukakan pendapat tentang budaya politik sebagai suatu sikap dan orientasi yang dimiliki oleh setiap warga negara dalam sebuah pemerintahan negara dan segala sistem politiknya.

Dari beberapa pandangan tentang budaya politik menurut para ahli tersebut, dapat disederhanakan bahwa budaya politik merupakan sebuah sikap, ide-ide, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh warga masyarakat dalam suatu negara pada sistem politik pemerintahan beserta dengan isu-isu politiknya.

Seperti diketahui bahwa setiap negara pasti memiliki budaya politik yang berbeda-beda dan tidak terkecuali Indonesia.

 

Santun Berpolitik vs Budaya Politik Santun

Panasnya tahun politik di pilkada serentak 09 Desember 2020 menuntut setiap politisi, parpol dan calon kepala daerah untuk mengedepankan kesantunan dalam berpolitik.

“Santun berpolitik” dimaknai bahwa aksi politik bukanlah politik yang membawa perpecahan, bukan politik yang saling menghujat, bukan politik yang saling mencela, bukan politik yang saling memaki.

Budaya politik di Indonesia sejak dulu adalah budaya politik yang penuh etika dan kesopanan. Jika ada pihak tertentu yang mengajak masyarakat untuk memiliki budaya politik yang menghujat dapat dinilai sebagai tindakan yang tidak bermoral dalam politik.

Karena itu, bentuk kesantunan dalam berpolitik mencakup komunikasi dan interaksi melalui penuturan kata yang lemah lembut disertai dengan tingkah laku yang halus dan baik.

Intinya kesantunan seseorang akan terlihat dari ucapan dan tingkah lakunya. Santun tercakup dalam dua hal yaitu santun dalam berucap dan santun dalam perbuatan.

Jadi “santun berpolitik” dapat dilihat dari bagaimana berkata yang baik, tidak memecah belah, tidak menghujat, menghina atau merendahkan, dan tidak menjatuhkan lawan politik dengan cara-cara kotor.

Berbeda dengan pengertian “politik santun” ditinjau dari konsep budaya politik yang berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) manusia yang menjadi dasar bagi semua tindakan atau yang lazim disebut “fatsun politik”.

Fatsun disini diartikan sebagai sopan santun dan etika. Sementara dalam konteks “fatsun politik” adalah etika politik yang santun. Santun dalam arti mampu memberikan pembelajaran sekaligus pendewasaan dalam menyampaikan pendapat kepada khalayak umum.

Etika politik “santun” disini dimaknai sebagai budaya untuk selalu memberi solusi bukan masalah. Konsep ini diarahkan untuk memberikan ruang sekaligus cara bahwa dalam menyelesaikan masalah politik, tahapan proses sampai dengan pengambilan keputusan akhir tetap harus memberikan orientasi pembelajaran bagi publik melalui fatsun politik.

Budaya politik yang baik/santun seharusnya dapat membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial politik.

Karena itu “budaya politik santun”, secara realitas dapat dilihat dari suatu tindakan yang bersih (bebas dari KKN) dan beretika dalam sistem politik dan pemerintahan yang baik, serta dalam Cakupan substansi dari aplikasi politik santun dapat dilihat dalam beberapa upaya antara lain:

Pertama, mengembangkan etika politik dan pemerintahan yang mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Kedua, melakukan upaya penanaman suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukan semata politik kekuasaan, melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas, dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis.

Ketiga, membangun budaya politik santun, bersih dan beretika yang merupakan wujud dari perilaku dan sikap para elite politik yang mampu menjauhi perbuatan yang dapat merugikan kepentingan persatuan dan kerukunan dalam berbangsa dan bernegara.

 

Politik Santun, Menurut Hannah Arendt

Hannah Arendt seorang Filsuf Sosial berkebangsaan Amerika menegaskan bahwa politik adalah seni mengabdikan diri yang terus dikenang karena kepedulian terhadap kehidupan bersama dan penerimaan pluralitas dengan membangun ruang publik kebebasan berpolitik dan kesamaan.

Arendt mencoba menjelaskan istilah politik dengan analogi teater. Menurutnya, teater adalah seni politik paling indah; hanya situasi politik kehidupan manusia yang diubah dalam seni. Politik sebagai seni mengandung keagungan dan kesantunan yang diukur dari keutamaan dan upaya mangabdikan diri sebagai manusia sosial demi Kebaikan Bersama.

Ia kemudian merumuskan secara singkat politik sebagai makna, identitas, dan nilai yang semuanya terungkap dalam aksi politik di ruang-ruang publik yang memiliki dua dimensi. Pertama, ruang kebebasan politik dan kesamaan yang tercipta melalui wicara dan persuasi. Kedua, dunia bersama yang mencakup institusi dan lingkup permanen bagi kegiatan warga negara. Kedua dimensi ini merupakan ruang gerak warga negara secara timbal balik untuk membangun budaya politik santun melawan kecenderungan orang yang menjadikan politik sebagai mata pencaharian.

Penjelasan Arrendt ini sebenarnya mau mengajak kita semua menjadi politik melalui ruang demokrasi di suasana Pilkada baik dalam bentuk kampanye atau debat untuk memikirkan Kebaikan Bersama atau Bonum Commune.

Budaya Politik Santun adalah menjadikan kebebasan kita sebagai warga negara untuk ikut bertanggungjawab atas perkembangan dan masa depan negara atau masyarakat melalui bahasa yang persuasif, dan bukan memfitnah atau menyerang, melalui tindakan yang menyejukan dan bukan mempersalahkan.

Singkatnya Budaya Politik Santun adalah mengedepankan nilai kebaikan dan kebenaran untuk kebaikan bersama dan bukannya mempertontonkan keegoisan, kedigdayaan dengan membunuh karakter pihak lain. Ketika keegoisan dan budaya politik bodyguard yang hanya mementingkan suku, golongan, etnis dan budaya serta sentimen sara maka kita sedang memainkan politik bukan sebagai seni untuk melayani melainkan sebagai mata pencaharian belaka.

 Haruskah Saling Menjatuhkan Dalam Pilkada

Pilkada semakin memanas, panggung politik mulai sibuk dengan semaraknya giat politik baik kampanye maupun deklarasi ataupun giat lainnya yg berjalan mewarnai panggung politik.

warna politik yang sudah menggeliat sudah mulai menguras energi masyarakat untuk turut dalam semarak politik. Tidak peduli entah itu politik 'baik' maupun politik 'gelap-gelapan', karena memang masih krisis akan definisi dan kriteria baik buruknya suatu politik dalam masyarakat.

Masyarakat mulai disibukkan dan menyibukkan diri dengan 'memuja' jagoannya masing-masing, bahkan mulai menularkan asumsi negatif kepada jagoan pihak lain dan mengganggap jagoannya lebih hebat.

Disinilah letak kebobrokan demokrasi,  dengan egoisme, menyerang lawan politik ataupun yang bukan jagoannya dengan mencari titik kelemahan dan memupuknya menjadi hoaks dan benih kebencian yang sangat subur. Sadarkah bahwa hal ini bukanlah tujuan dari demokrasi? Sadarkah bahwa ini dapat meretakkan ikatan persaudaraan kita.

Sekiranya semua calon BAIK adanya, yang dibuktikan dari pengalaman-pengalaman mereka dan prestasinya masing yang tentunya berbeda. Dan hal ini meyakinkan saya bahwa semua paslon cocok memimpin, meski di balik pengalaman dan prestasi para calon yg menjadi modal mereka terdapat kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Hanya karena fanatisme pada jagoan tertentu, kita mencari titik lemah calon lain untuk menjatuhkannya, demikian sebaliknya.  Disinilah tuduh menuduh dan saling menjatuhkan, serta saling curiga. Hal ini memicu retaknya persaudaraan dalam lingkup masyarakat yang seharusnya merupakan satu keluarga politik.

Hal ini juga sangat menguras energi dan melelahkan, padahal masih banyak masalah yg lebih membutuhkan energi kita.

Sekiranya kita tidak menghabiskan energi kita untuk saling menjatuhkan, karena pada dasarnya semua calon baik adanya yg sudah dilengkapi dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing calon. Hanya tinggal analisis secara dewasa dari masyarakat yang menentukan calon siapa paling kondusif  menjadi pemimpin yang ideal membangun peradaban daerah kita

Karena politik sesungguhnya bukan berlari mencari kemenangan dengan cara saling menjatuhkan, karena kursi yg direbut bukanlah kursi kekuasaan. Tetapi politik sesungguhnya adalah berlari untuk menang dengan cara menyatukan semua kepentingan, BUKAN MENCARI KELEMAHAN LAWAN DAN MEMECAHKAN KEPENTINGAN BERSAMA. Politik sesungguhnya adalah memproses semua kepentingan menjadi kepentingan bersama, BUKAN AJANG MEMENANGKAN KEPENTINGAN SEPIHAK.

 Merajut Politik Berkualitas

Keberadaan politik identitas telah menjadi jurang pembatas antara pemilih dengan akal sehatnya. Sehingga dalam setiap pemilihan calon pemimpin baru pertimbangan kualitas mulai dikesampingkan, objektivitas mulai dikaburkan. Yang tersisa hanyalah sentiment politik yang berujung pada pesta saling membenci bukan pesta demokrasi.

Bahaya dari politik identitas ini tidaklah main-main, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ray Rangkuti bahwa politik identitas lebih bahaya daripada politik uang. Alasannya cukup sederhana; jika politik uang hanya berlaku pada waktu tertentu saja dan bersifat lokal terjadi di daerah pemilihan saja, maka politik identitas kendati kasusnya temporal, lokalistik, tapi efeknya justru menyebar, dan panjang --terjadi di satu tempat, tapi meluas efeknya sampai ke seluruh Indonesia. Dan, ini bisa kita rasakan dampak Pilkada DKI 2017 ke Pilpres 2019.

Melihat realitastas kontestasi 2019 yang masih dipenuhi dengan polarisasi berbasis irasionalitas, maka tak menutup kemungkinan pada Pilkada 9 Desember nanti jurus mabuk politik identitas yang bermuara pada berita bohong (hoax), saling fitnah, dan polarisasi mengatasnamakan agama, suku dan etnik tertentu akan menyeruak kembali.

Maka dari itu, tidak ada jalan lain selain membangun kesadaran bersama (common interest) bahwa pilkada adalah ruang pemilihan pemimpin daerah yang mempunyai visi dan misi jelas, berintegritas, dan mempunyai solusi konkrit terhadap permasalahan kehidupan masyarakat, bukan pemilihan ketua suku ataupun tokoh agama. Diperlukan proses yang fair, adil, dan terbuka, serta tidak adanya praktik polarisasi suku dan etnis ataupun modus operandi lainnya yang mendengungkan isu identitas.

Kesadaran tentang bahaya politik identitas ini setidaknya harus dimulai dari calon kepala daerah yang ikut berlaga di Pilkada 9 Desember nanti dengan tidak menggunakan politik identitas sebagai strategi kampanye untuk mendulang suara masyarakat, serta menyerukan kepada para tim sukses parpol pengusung dan pendukung untuk menutup rapat isu politik identitas sebagai jurus sapu jagat guna meraih kemenangan.

Di samping itu, penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum harus benar-benar menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 69 huruf (b) tentang Pilkada yang secara tegas melarang praktik politik identitas, dan Pasal 69 huruf (c) tentang larangan untuk melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau juga kelompok masyarakat, serta melakukan sanksi secara tegas kepada pelaku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 187 ayat (2).

Dan, yang tak kelah pentingnya untuk selalu diingat oleh semua elemen bangsa bahwa demokrasi Pancasila tidak dilahirkan dalam spectrum yang hanya bicara soal "kalah dan menang". Terlalu mahal harga yang harus kita bayar sebagai anak bangsa, jika kita saling berseteru hanya demi identitas diri dengan mengorbankan identitas orang lain.

Politik identitas baik berupa isu agama maupun etnisitas akan menjadi beban sejarah bangsa yang kita cintai ini dan kelak akan menjadi warisan yang tidak baik bagi generasi selanjutnya. Kehadirannya akan menjadi pembunuh berdarah dingin yang secara sadis akan merusak kebhinnekaan yang selama ini kita rajut bersama. Sudah saatnya, Pilkada 2020 yang akan diselenggarakan 9 Desember nanti menjadi ajang masyarakat Indonesia memilih pemimpinnya berdasarkan preferensi prestasinya, dan katakan "tidak" untuk politik identitas.


Catatan Penutup

Dalam memperkuat ketahanan bangsa, seyogyanya pemerintah dapat mengembalikan program pembelajaran budi pekerti (civic education) untuk dapat mendorong pengembangan “budaya politik yang baik (santun) sebagai bagian dari pendidikan politik.

Pendidikan politik melalui pelaksanaan “civic education” tersebut diharapkan dapat menjadi pondasi terbentuknya watak pemimpin, politisi dan generasi yang dapat diunggulkan dan paham tentang budaya dan etika politik.



Penulis: Frederick Mzaq (Penimba Inspirasi Jalan Setapak)

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama