Mewaspadai
Politik Identitas di Panggung Pilkada Malaka 2020
(Haruskah
Saling Menjatuhkan Dalam Pilkada?)
PANGGUNG
pesta demokrasi Pilkada serentak akan kembali di gelar pada 9 Desember 2020
di 270 daerah. Situasi politik tingkat lokal mulai memanas dengan ‘perang
urat saraf’ bakal calon di berbagai media cetak, elektronik maupun media
sosial oleh para pendukung setianya. Dalam dinamikanya, kali ini kembali,
beragam persoalan mencuat ke permukaan. Salah satu persoalan yang ada, adalah
munculnya politik identitas. Politik identitas dalam sepertinya telah
kehilangan arah, karena tidak dimaknai dalam horison berpikir demokratis.
Politik
identitas seperti dikutip dari Wikipedia adalah sebuah alat politik suatu
kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan
tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan
jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi
secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang
merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen
perekat lainnya.
Puritanisme
atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan
mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di
sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas
tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang
fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang
didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau
primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa. Politik
identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan
narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik
identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas.
Fitur
dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan
kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran
individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk
memahami struktur masyarakat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat.
Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian imajinasi sosial tentang kehidupan
sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum.
Kebangkitan
politik identitas di Indonesia mestinya harus diimbangi, untuk menjaga kekayaan
keragaman negara dan hubungan yang hangat antar seluruh warga negara, tanpa
memandang suku atau agama. Mari kita semua dengan bangga menyatakan bahwa kita
tidak akan terprovokasi dengan gaya politik adu domba berdasarkan hal-hal yang
mengemuka karena agenda dan keinginan seseorang untuk menang, dengan segala
cara. Politik identitas sejatinya merupakan ajang pengaktualisasian kekayaan
keberagaman bangsa, berubah menjadi ajang untuk saling mengunggulkan dominasi
kelompok atas kelompok lain.
Kontestasi
yang seharusnya saling beradu gagasan dan konsep yang konstruktif, malah saling
menjatuhkan lawan dengan isu Sara yang sangat destruktif bagi keharmonisan
bangsa. Politik identitas bisa dikatakan sebagai ancaman karena akibat yang
ditimbulkannya terhadap demokrasi di Indonesia telah menjadi perhatian banyak
orang, termasuk politisi, anggota masyarakat dan pengamat asing.
Diskriminasi
berdasarkan agama dan etnis telah dipandang sebagai hambatan utama bagi
kemajuan demokrasi Indonesia, dengan beberapa peristiwa tahun ini berkontribusi
pada meningkatnya kepedulian terhadap meningkatnya intoleransi di nusantara.
Politik identitas di mainkan sebagai peran utama dalam berbagai Pilkada.
Politik identitas menurut penulis adalah gerakan politik yang fokus lebih
kepada perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama, dan bukan prestasi.
Sementara
itu, Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan,
menyebutkan bahwa: “Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin
sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki
kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan.
Dengan demikian, politik identitas sekedar untuk dijadikan untuk menggalang
politik–guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan hasrat kekuasaan saja. Dua
definisi di atas menggambarkan situasi politik sekarang ini.
Wacana
politik identitas digunakan oleh sebagian elit politik untuk menggalang
kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politik yang berbeda identitasnya. Isu ini
disebarkan melalui serangkaian propaganda yang dikemas melalui komunikasi
politik nan piawai dan menembus alam bawah sadar pendukungnya. Inilah yang
menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Cara-cara
ini pelan atau lambat akan mengancam sendi-sendi kesatuan NKRI
Dalam
konteks kehidupan berdemokrasi, politik identitas akan membawa masalah bagi
demokrasi itu sendiri, setidaknya dilihat dari dua hal utama; Pertama, demokrasi
lahir dan tumbuh dari prinsip kesetaraan dan rasionalitas publik. Politik
identitas, di level ini berusaha menginterupsinya dengan menjadikan pilihan
publik berjangkar pada ikatan primordial seperti kesamaan etnisitas, kesukuan
dan agama. Sebenarnya tidak bermasalah sepanjang calonnya berkualitas, punya
kredibilitas dan rekam jejak calon dengan segala prestasinya. Namun, politik
identitas akan bermasalah ketika ikatan emosional jauh lebih dikedepankan
dibanding alasan yang lebih rasional. Kedua, politik identitas riskan
untuk digiring atau menjadi praktik yang monolitik. Pemaksaan kehendak
sebagai perwujudan ‘truth claim’ dikhawatirkan akan menambah segresasi sosial
di tengah masyarakat. Rajutan persatuan dan kesatuan bangsa pada titik ini
tentu akan akan mendapati tantangan yang amat serius.
Dalam
konteks konsolidasi demokrasi untuk sebuah negara-bangsa yang plural seperti
Indonesia, kohesivitas sosial adalah salah satu syarat demokrasi substansial
dapat tumbuh subur dan berkembang. Dan jika kedua masalah ini dibiarkan
berkembang di ranah publik, demokratisasi akan kehilangan taji. Pesta demokrasi
lima tahunan tidak lagi menjadi tontonan menarik, namun akan menjadi
pertarungan kelompok sosial yang satu dengan yang lainnya. Memang Politik
identitas pada hakikatnya baik, sejauh dimaknai dalam bingkai kebhinekaan.
Namun menjadi soal, ketika diejawantahkan secara tidak benar. Dia akan menjadi
bumerang bagi perjalanan proses demokrasi.
Perspektif
Budaya Politik
Budaya
politik merupakan suatu landasan sistem dalam suatu politik yang memberikan
suatu arahan dan peran politik yang dilakukan oleh struktur politik.
Budaya
politik ini merupakan suatu kata yang berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa
Yunani. Kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta “budhayah” yang
berarti akal. Sedangkan politik merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani
yaitu polis dan teta yang berarti kota atau negara. Jadi, budaya politik dapat
diartikan sebagai suatu landasan akal dari suatu negara.
Secara
garis besar, budaya politik dapat didefinisikan sebagai suatu pola perilaku
atas kebiasaan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Budaya
politik untuk berbangsa dan bernegara menyangkut berbagai pola perilaku
masyarakat pada penyelenggaraan administrasi negara, adat istiadat, hukum,
politik pemerintah, dan norma kebiasaan dari masyarakat.
Dalam
suatu negara pasti mempunyai budaya politik yang berbeda-beda. Terjadinya suatu
perbedaan pada budaya tersebut disebabkan oleh banyak hal, antara lain kondisi,
situasi, dan pendidikan masyarakat dalam suatu negara.
Asal
mula atau lahirnya suatu budaya politik pada dasarnya berasal dari lingkungan
sekitar masyarakat. Hal itu karena masyarakatlah yang memiliki hak atau
wewenang dalam membuat suatu kebijakan dan mengambil keputusan.
Perlu
diketahui bahwa suatu budaya politik yang ada dalam suatu negara akan mengalami
sebuah perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut
disesuaikan dengan pemikiran masyarakat terhadap perkembangan dan perubahan
yang terjadi pada saat itu.
Pemahaman
tentang pengertian dasar dan inti dari sebuah “budaya politik” dapat dilihat
dari berbagai perspektif sebagaimana pandangan para ahli dari beberapa negara
sebagai berikut:
Kay
Lawson berpendapat bahwa budaya politik merupakan adanya suatu perangkat yang
memuat segala nilai politik yang terdapat pada suatu negara dan di seluruh
bangsanya.
Gabriel
Almond dan Sidney Verba (1966) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu
sikap orientasi suatu bangsa negara pada suatu sistem politik negara dan
berbagai macam bagiannya. Dalam sebuah budaya politik, sikap dan peranan dari
warga negara sangat mempengaruhi sistem budaya politik tersebut.
Samuel
Beer berpendapat bahwa budaya politik merupakan suatu nilai-nilai politik dan
sikap-sikap emosi tentang sebuah pemerintahan dalam suatu negara. Dalam
pendapatnya, ia menyatakan bahwa dalam sebuah budaya politik dijelaskan tentang
apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah.
Austin
Ranney (1996) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu perangkat suatu
gambaran akan suatu politik dan sistem pemerintahan yang dihandel secara
bersamaan dalam sebuah orientasi pada objek-objek politik.
Alan
R. Ball (1963) berpendapat bahwa budaya politik adalah suatu susunan pemikiran
yang mencakup tentang sikap, emosi, kepercayaan, dan nilai-nilai masyarakat
yang berkaitan dengan sistem dan isu-isu politik.
Lary
Diamond (2003) menjelaskan bahwa budaya politik merupakan sebuah sikap,
nilai-nilai, gagasan pokok, sentimen, keyakinan, dan evaluasi yang dimiliki
oleh masyarakat dalam sistem politik pada masing-masing negara. Peran
masyarakat atau peran individual sangat berpengaruh dan sistem politik
tersebut.
Mochtar
Masoed dan Colin Mac Andrews (2000) mengemukakan pendapat tentang budaya
politik sebagai suatu sikap dan orientasi yang dimiliki oleh setiap warga
negara dalam sebuah pemerintahan negara dan segala sistem politiknya.
Dari
beberapa pandangan tentang budaya politik menurut para ahli tersebut, dapat
disederhanakan bahwa budaya politik merupakan sebuah sikap, ide-ide, dan
nilai-nilai yang dimiliki oleh warga masyarakat dalam suatu negara pada sistem
politik pemerintahan beserta dengan isu-isu politiknya.
Seperti
diketahui bahwa setiap negara pasti memiliki budaya politik yang berbeda-beda
dan tidak terkecuali Indonesia.
Santun
Berpolitik vs Budaya Politik Santun
Panasnya
tahun politik di pilkada serentak 09 Desember 2020 menuntut setiap politisi,
parpol dan calon kepala daerah untuk mengedepankan kesantunan dalam berpolitik.
“Santun
berpolitik” dimaknai bahwa aksi politik bukanlah politik yang membawa
perpecahan, bukan politik yang saling menghujat, bukan politik yang saling
mencela, bukan politik yang saling memaki.
Budaya
politik di Indonesia sejak dulu adalah budaya politik yang penuh etika dan
kesopanan. Jika ada pihak tertentu yang mengajak masyarakat untuk memiliki
budaya politik yang menghujat dapat dinilai sebagai tindakan yang tidak bermoral
dalam politik.
Karena
itu, bentuk kesantunan dalam berpolitik mencakup komunikasi dan interaksi
melalui penuturan kata yang lemah lembut disertai dengan tingkah laku yang
halus dan baik.
Intinya
kesantunan seseorang akan terlihat dari ucapan dan tingkah lakunya. Santun
tercakup dalam dua hal yaitu santun dalam berucap dan santun dalam perbuatan.
Jadi
“santun berpolitik” dapat dilihat dari bagaimana berkata yang baik, tidak
memecah belah, tidak menghujat, menghina atau merendahkan, dan tidak
menjatuhkan lawan politik dengan cara-cara kotor.
Berbeda
dengan pengertian “politik santun” ditinjau dari konsep budaya politik yang
berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) manusia yang menjadi dasar bagi
semua tindakan atau yang lazim disebut “fatsun politik”.
Fatsun
disini diartikan sebagai sopan santun dan etika. Sementara dalam konteks
“fatsun politik” adalah etika politik yang santun. Santun dalam arti mampu
memberikan pembelajaran sekaligus pendewasaan dalam menyampaikan pendapat
kepada khalayak umum.
Etika
politik “santun” disini dimaknai sebagai budaya untuk selalu memberi solusi
bukan masalah. Konsep ini diarahkan untuk memberikan ruang sekaligus cara bahwa
dalam menyelesaikan masalah politik, tahapan proses sampai dengan pengambilan
keputusan akhir tetap harus memberikan orientasi pembelajaran bagi publik
melalui fatsun politik.
Budaya
politik yang baik/santun seharusnya dapat membentuk aspirasi, harapan,
preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan
oleh perubahan sosial politik.
Karena
itu “budaya politik santun”, secara realitas dapat dilihat dari suatu tindakan
yang bersih (bebas dari KKN) dan beretika dalam sistem politik dan pemerintahan
yang baik, serta dalam Cakupan substansi dari aplikasi politik santun dapat
dilihat dalam beberapa upaya antara lain:
Pertama,
mengembangkan etika politik dan pemerintahan yang mengandung misi kepada setiap
pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani,
berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari
jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral
kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Kedua,
melakukan upaya penanaman suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita
perjuangkan bukan semata politik kekuasaan, melainkan suatu politik yang
mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas,
dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis.
Ketiga, membangun
budaya politik santun, bersih dan beretika yang merupakan wujud dari perilaku
dan sikap para elite politik yang mampu menjauhi perbuatan yang dapat merugikan
kepentingan persatuan dan kerukunan dalam berbangsa dan bernegara.
Politik
Santun, Menurut Hannah Arendt
Hannah
Arendt seorang Filsuf Sosial berkebangsaan Amerika menegaskan bahwa politik
adalah seni mengabdikan diri yang terus dikenang karena kepedulian terhadap
kehidupan bersama dan penerimaan pluralitas dengan membangun ruang publik
kebebasan berpolitik dan kesamaan.
Arendt
mencoba menjelaskan istilah politik dengan analogi teater. Menurutnya, teater
adalah seni politik paling indah; hanya situasi politik kehidupan manusia yang
diubah dalam seni. Politik sebagai seni mengandung keagungan dan kesantunan
yang diukur dari keutamaan dan upaya mangabdikan diri sebagai manusia sosial
demi Kebaikan Bersama.
Ia
kemudian merumuskan secara singkat politik sebagai makna, identitas, dan nilai
yang semuanya terungkap dalam aksi politik di ruang-ruang publik yang memiliki
dua dimensi. Pertama, ruang kebebasan politik dan kesamaan yang tercipta
melalui wicara dan persuasi. Kedua, dunia bersama yang mencakup institusi
dan lingkup permanen bagi kegiatan warga negara. Kedua dimensi ini merupakan
ruang gerak warga negara secara timbal balik untuk membangun budaya politik
santun melawan kecenderungan orang yang menjadikan politik sebagai mata
pencaharian.
Penjelasan
Arrendt ini sebenarnya mau mengajak kita semua menjadi politik melalui ruang
demokrasi di suasana Pilkada baik dalam bentuk kampanye atau debat untuk
memikirkan Kebaikan Bersama atau Bonum Commune.
Budaya
Politik Santun adalah menjadikan kebebasan kita sebagai warga negara untuk ikut
bertanggungjawab atas perkembangan dan masa depan negara atau masyarakat
melalui bahasa yang persuasif, dan bukan memfitnah atau menyerang, melalui
tindakan yang menyejukan dan bukan mempersalahkan.
Singkatnya
Budaya Politik Santun adalah mengedepankan nilai kebaikan dan kebenaran untuk
kebaikan bersama dan bukannya mempertontonkan keegoisan, kedigdayaan dengan
membunuh karakter pihak lain. Ketika keegoisan dan budaya politik bodyguard yang
hanya mementingkan suku, golongan, etnis dan budaya serta sentimen sara maka
kita sedang memainkan politik bukan sebagai seni untuk melayani melainkan
sebagai mata pencaharian belaka.
Pilkada semakin
memanas, panggung politik mulai sibuk dengan semaraknya
giat politik baik kampanye maupun deklarasi ataupun giat lainnya yg berjalan
mewarnai panggung politik.
warna
politik yang sudah menggeliat sudah mulai menguras energi masyarakat untuk
turut dalam semarak politik. Tidak peduli entah itu politik 'baik' maupun
politik 'gelap-gelapan', karena memang masih krisis akan definisi dan kriteria
baik buruknya suatu politik dalam masyarakat.
Masyarakat
mulai disibukkan dan menyibukkan diri dengan 'memuja' jagoannya masing-masing,
bahkan mulai menularkan asumsi negatif kepada jagoan pihak lain dan mengganggap
jagoannya lebih hebat.
Disinilah
letak kebobrokan demokrasi, dengan egoisme, menyerang lawan politik
ataupun yang bukan jagoannya dengan mencari titik kelemahan dan memupuknya
menjadi hoaks dan benih kebencian yang sangat subur. Sadarkah bahwa hal ini
bukanlah tujuan dari demokrasi? Sadarkah bahwa ini dapat meretakkan ikatan
persaudaraan kita.
Sekiranya
semua calon BAIK adanya, yang dibuktikan dari pengalaman-pengalaman mereka dan
prestasinya masing yang tentunya berbeda. Dan hal ini meyakinkan saya bahwa
semua paslon cocok memimpin, meski di balik pengalaman dan prestasi para calon
yg menjadi modal mereka terdapat kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Hanya
karena fanatisme pada jagoan tertentu, kita mencari titik lemah calon lain
untuk menjatuhkannya, demikian sebaliknya. Disinilah tuduh menuduh dan
saling menjatuhkan, serta saling curiga. Hal ini memicu retaknya persaudaraan
dalam lingkup masyarakat yang seharusnya merupakan satu keluarga politik.
Hal
ini juga sangat menguras energi dan melelahkan, padahal masih banyak masalah yg
lebih membutuhkan energi kita.
Sekiranya
kita tidak menghabiskan energi kita untuk saling menjatuhkan, karena pada
dasarnya semua calon baik adanya yg sudah dilengkapi dengan kelebihan dan
kekurangan masing-masing calon. Hanya tinggal analisis secara dewasa dari
masyarakat yang menentukan calon siapa paling kondusif menjadi pemimpin yang ideal membangun
peradaban daerah kita
Karena
politik sesungguhnya bukan berlari mencari kemenangan dengan cara saling
menjatuhkan, karena kursi yg direbut bukanlah kursi kekuasaan. Tetapi politik
sesungguhnya adalah berlari untuk menang dengan cara menyatukan semua
kepentingan, BUKAN MENCARI KELEMAHAN LAWAN DAN MEMECAHKAN KEPENTINGAN BERSAMA.
Politik sesungguhnya adalah memproses semua kepentingan menjadi kepentingan
bersama, BUKAN AJANG MEMENANGKAN KEPENTINGAN SEPIHAK.
Keberadaan
politik identitas telah menjadi jurang pembatas antara pemilih dengan akal
sehatnya. Sehingga dalam setiap pemilihan calon pemimpin baru pertimbangan
kualitas mulai dikesampingkan, objektivitas mulai dikaburkan. Yang tersisa
hanyalah sentiment politik yang berujung pada pesta saling membenci bukan pesta
demokrasi.
Bahaya
dari politik identitas ini tidaklah main-main, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Ray Rangkuti bahwa politik identitas lebih bahaya daripada politik uang.
Alasannya cukup sederhana; jika politik uang hanya berlaku pada waktu tertentu
saja dan bersifat lokal terjadi di daerah pemilihan saja, maka politik
identitas kendati kasusnya temporal, lokalistik, tapi efeknya justru menyebar,
dan panjang --terjadi di satu tempat, tapi meluas efeknya sampai ke seluruh
Indonesia. Dan, ini bisa kita rasakan dampak Pilkada DKI 2017 ke Pilpres 2019.
Melihat
realitastas kontestasi 2019 yang masih dipenuhi dengan polarisasi berbasis
irasionalitas, maka tak menutup kemungkinan pada Pilkada 9 Desember nanti jurus
mabuk politik identitas yang bermuara pada berita bohong (hoax), saling fitnah,
dan polarisasi mengatasnamakan agama, suku dan etnik tertentu akan menyeruak
kembali.
Maka
dari itu, tidak ada jalan lain selain membangun kesadaran bersama (common
interest) bahwa pilkada adalah ruang pemilihan pemimpin daerah yang
mempunyai visi dan misi jelas, berintegritas, dan mempunyai solusi konkrit
terhadap permasalahan kehidupan masyarakat, bukan pemilihan ketua suku ataupun
tokoh agama. Diperlukan proses yang fair, adil, dan terbuka, serta tidak
adanya praktik polarisasi suku dan etnis ataupun modus operandi lainnya
yang mendengungkan isu identitas.
Kesadaran
tentang bahaya politik identitas ini setidaknya harus dimulai dari calon kepala
daerah yang ikut berlaga di Pilkada 9 Desember nanti dengan tidak menggunakan
politik identitas sebagai strategi kampanye untuk mendulang suara masyarakat,
serta menyerukan kepada para tim sukses parpol pengusung dan pendukung untuk
menutup rapat isu politik identitas sebagai jurus sapu jagat guna meraih
kemenangan.
Di
samping itu, penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum harus benar-benar
menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 69 huruf (b) tentang
Pilkada yang secara tegas melarang praktik politik identitas, dan Pasal 69
huruf (c) tentang larangan untuk melakukan kampanye berupa menghasut,
memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau juga kelompok
masyarakat, serta melakukan sanksi secara tegas kepada pelaku sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 187 ayat (2).
Dan,
yang tak kelah pentingnya untuk selalu diingat oleh semua elemen bangsa bahwa
demokrasi Pancasila tidak dilahirkan dalam spectrum yang hanya bicara soal
"kalah dan menang". Terlalu mahal harga yang harus kita bayar sebagai
anak bangsa, jika kita saling berseteru hanya demi identitas diri dengan
mengorbankan identitas orang lain.
Politik
identitas baik berupa isu agama maupun etnisitas akan menjadi beban sejarah
bangsa yang kita cintai ini dan kelak akan menjadi warisan yang tidak baik bagi
generasi selanjutnya. Kehadirannya akan menjadi pembunuh berdarah dingin yang
secara sadis akan merusak kebhinnekaan yang selama ini kita rajut bersama.
Sudah saatnya, Pilkada 2020 yang akan diselenggarakan 9 Desember nanti menjadi
ajang masyarakat Indonesia memilih pemimpinnya berdasarkan preferensi
prestasinya, dan katakan "tidak" untuk politik identitas.
Catatan Penutup
Dalam
memperkuat ketahanan bangsa, seyogyanya pemerintah dapat mengembalikan program
pembelajaran budi pekerti (civic education) untuk dapat mendorong
pengembangan “budaya politik yang baik (santun) sebagai bagian dari pendidikan
politik.
Pendidikan
politik melalui pelaksanaan “civic education” tersebut diharapkan dapat
menjadi pondasi terbentuknya watak pemimpin, politisi dan generasi yang dapat
diunggulkan dan paham tentang budaya dan etika politik.
Penulis: Frederick Mzaq (Penimba Inspirasi Jalan Setapak)