Sebagai Paus pertama
dari Amerika Latin dan anggota Ordo Jesuit, Paus Fransiskus dikenal karena
pendekatannya yang penuh kasih, kesederhanaan, dan komitmennya terhadap
keadilan sosial serta perlindungan lingkungan. Selama 12 tahun masa
kepemimpinannya, beliau menekankan pentingnya solidaritas, inklusivitas, dan
perhatian terhadap kaum marginal.
Mengenang Paus
Fransiskus berarti mengenang seorang pemimpin spiritual yang menempatkan
martabat manusia, keutuhan ciptaan, dan keadilan sosial sebagai fondasi utama
dari etika global. Dalam dunia yang kian terfragmentasi oleh kesenjangan,
krisis ekologis, dan kekakuan ideologis, Paus Fransiskus hadir bukan sekadar
sebagai pemimpin Gereja Katolik, tetapi sebagai suara kenabian yang mengganggu
kenyamanan struktur kekuasaan duniawi.
Sejak terpilih pada
2013, Jorge Mario Bergoglio—nama asli Paus Fransiskus—membawa napas baru ke
dalam politik global. Ia menyerukan "politik kemanusiaan" (politics of humanity), menolak logika
neoliberal yang mereduksi manusia menjadi komoditas pasar, serta mengajak
negara-negara untuk meletakkan kemanusiaan dan solidaritas sebagai dasar
kebijakan politik. Di dalam Fratelli Tutti (2020), Paus mengkritik keras
populisme, nasionalisme sempit, dan eksploitasi buruh migran, sambil mengajak
dunia untuk membangun “budaya perjumpaan” yang melampaui sekat agama dan
ideologi.
Di ranah ekologi, Paus
Fransiskus menjungkirbalikkan tafsir antroposentrisme dalam ajaran keagamaan
dan menyerukan spiritualitas ekologis dalam ensiklik
Laudato Si’: On Care for Our Common Home (2015). Menelusuri pemikirannya
melalui tulisan Skirbekk, G. yang berjudul Pope
Francis and the Environmental Question: Laudato Si’ and the Future of Catholic
Social Teaching (2017) , terurai betapa Paus Fransiskus memadukan
keprihatinan atas lingkungan dengan seruan untuk keadilan sosial, yang secara
fundamental merupakan pendekatan politik ekologis. Ia menegaskan bahwa krisis
ekologis adalah konsekuensi dari sistem ekonomi yang rakus dan tidak adil.
Bumi, menurut Paus, adalah “rumah bersama” yang harus dirawat dengan kasih dan
tanggung jawab. Menolak dikotomi antara lingkungan dan ekonomi, seraya
menegaskan bahwa tidak ada dua krisis terpisah: satu krisis lingkungan dan satu
krisis sosial, melainkan satu dan kompleks krisis sosial-ekologis. “...Oggi dobbiamo renderci conto che un vero
approccio ecologico diventa sempre un approccio sociale; deve integrare la
giustizia nei dibattiti sull’ambiente, per ascoltare tanto il grido della terra
quanto il grido dei poveri.”(Laudato Si’, n. 49)
Sedangkan di dalam
aspek keadilan sosial, Paus Fransiskus sangat kritis terhadap sistem ekonomi
global yang ia anggap sebagai penyebab utama ketimpangan dan ketidakadilan.
Melalui Evangelii Gaudium (2013), ia menyebut bahwa “ekonomi eksklusi dan
ketimpangan adalah ekonomi yang membunuh” (Francis, 2013, p. 53). Ia menolak
mentah-mentah logika trickle-down economics yang mempercayai bahwa pertumbuhan
ekonomi otomatis akan mengurangi kemiskinan. Menurut Paus, sistem seperti ini
justru melanggengkan eksklusi struktural terhadap kelompok miskin, buruh
informal, dan komunitas adat serta kelompok marjinal lainnya.
Warisan Pemikiran Politik Ekologi dan Keadilan
Sosial
Di tengah dunia yang
makin pragmatis, politik yang makin oportunistik, dan ekonomi yang kian
dehumanistik, warisan pemikiran Paus Fransiskus adalah ajakan untuk bermoral
dalam kebijakan, untuk melihat keadilan sebagai bentuk kasih, dan untuk
menjadikan bumi bukan sekadar tempat tinggal, tetapi rumah yang dirawat
bersama. Mengenang Paus Fransiskus berarti meneruskan perjuangannya—dalam
bentuk tindakan, kebijakan, dan solidaritas nyata. Maka penting kemudian
memahami upaya untuk merevitalisasi politik sebagai pelayanan dan bukan
dominasi; ekonomi sebagai sarana kehidupan bersama, bukan akumulasi kapital;
dan agama sebagai ruang kontemplasi sekaligus perlawanan terhadap
ketidakadilan. Di tengah krisis iklim, populisme, dan eksklusi sosial, suara
Paus Fransiskus adalah cahaya moral yang meruntuhkan tembok ketidakpedulian dan
skeptisme, alih-alih sekulerisasi.
Paus Fransiskus
memandang ekologi bukan hanya sebagai masalah teknis atau ilmiah semata, tetapi
juga sebagai masalah etis dan moral yang melibatkan hubungan manusia dengan
alam dan sesama. Melalui Laudato Si’
menegaskan bahwa krisis lingkungan adalah “krisis sosial” yang mencerminkan
ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang semakin tajam, terutama
antara negara-negara kaya dan miskin.
Warisan pemikiran Paus
Fransiskus akan terus hidup sebagai suara profetik bagi dunia yang dilanda
ketimpangan dan krisis ekologis. Ia bukan hanya pemimpin Gereja, tetapi juga
seorang moral force yang menyuarakan keadilan bagi bumi dan kaum miskin. Dalam
dunia yang seringkali dibutakan oleh kepentingan ekonomi semata, pesan-pesan
beliau menjadi penanda arah untuk kembali ke jalan yang berkeadilan, berbelas
kasih, dan berkelanjutan.
Pemikiran Paus
Fransiskus telah menginspirasi banyak gerakan lintas agama dan lintas
disiplin—dari aktivis lingkungan, akademisi, hingga gerakan buruh. Keberanian
moralnya dalam menyuarakan kebenaran di hadapan kekuasaan menjadikannya figur
transformatif, baik dalam konteks Gereja maupun dunia global. Warisan pemikiran
Paus Fransiskus tentang politik ekologi dan keadilan sosial sangat relevan bagi
dunia saat ini, terutama dalam menghadapi krisis lingkungan dan ketimpangan
sosial. Pesannya jelas: kebijakan pembangunan yang mengabaikan lingkungan dan
ketidakadilan sosial hanya akan memperburuk krisis yang ada.
Pada akhirnya,
sebagaimana sosoknya yang sangat sederhana, Paus Fransiskus tidak meninggalkan
apapun kecuali pemikiran bernas yang menggarisbawahi pentingnya melihat
ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan sebagai persoalan yang harus di
selesaikan. Pesan ini bisa saja sangat relevan sebagai kritik terhadap berbagai
kebijakan pembangunan di Indonesia, di mana konflik agraria dan kerusakan
ekosistem sering terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam. Kepentingan korporasi
dan kebijakan pembangunan ekstraktif yang mengabaikan masyarakat adat dan
petani kecil seringkali menciptakan ketimpangan sosial yang mendalam. Di dalam
konteks ini, keadilan ekologis tidak hanya mengutamakan perlindungan terhadap
alam, tetapi juga mengupayakan perlindungan hak-hak masyarakat yang paling
rentan.
Semoga warisan
pemikiran dan perjuangan Paus Fransiskus menjadi inspirasi abadi bagi para
pemimpin dunia, masyarakat sipil, dan generasi muda untuk terus memperjuangkan
bumi sebagai rumah bersama, tempat semua makhluk hidup hidup secara
bermartabat.
Dan kini, ketika ia
telah berpulang, semoga Paus Fransiskus beristirahat dalam damai di pelukan
Sang Pencipta. Damai untuk bumi, damai untuk umat manusia, damai untuk beliau. Requiescat in pace, Papa Francesco.