Dentuman
Mariam Bambu Menyongsong Hari Raya Natal Diganti Dengan Bunyi Petasan
Permainan meriam bambu
ini di perkirakan terinspirasi dari senjata yang dipakai oleh bangsa portugis
saat mereka berupaya menduduki wilayah nusantara pada abad ke – 6. Meriam
adalah sebuah senjata modern yang dimiliki oleh bangsa portugis. Pada masa itu
kehadiran meriam bagi orang - orang pribumi menjadi perhatian mereka. Mereka
heran melihat ada benda yang bisa mengeluarkan bola panas yang bisa
mengakibatkan kerusakan yang lumayan besar. Merujuk pada kisah asal-usulnya
tersebut, permainan Meriam bambu atau bedil bambu diwujudkan dalam bentuk
“Meriam” yang dibuat dari bahan bambu. Cara memainkannya pun nyaris sama dengan
penggunaan Meriam sungguhan, yakni dengan menyulut lubang yang ada di bagian
pangkal bambu dengan api. permainan Meriam bambu ini sangat digemari anak-anak
dan kaum remaja laki-laki di banyak daerah di Indonesia. Tidak jarang
sekumpulan anak laki-laki berlomba – lomba membunyikan Meriam bambu. Barang siapa
yang berhasil menghasilkan suara ledakan paling keras, itulah yang diakui
sebagai jagonya Meriam bambu. Tidak jarang, Karena terlalu kerasnya suara
dentuman yang ditimbulkan, Meriam bambu bisa pecah dan terbelah menjadi dua
bagian.
Pada prinsipnya, permainan
Meriam bambu sebenarnya bukan tergolong dalam permainan yang bersifat
kompetisi, melainkan hanya untuk hiburan semata. Tidak hanya itu, permainan
Meriam bambu sudah menjadi tradisi yang secara turun – temurun dimainkan secara
rutin, Di tanah Minangkabau yang menjadi salah satu pusat peradaban melayu,
memiliki tradisi membunyikan meriam bambu ketika bulan puasa tiba. Para remaja
di Sumatra barat membunyikan Meriam bambu, yang oleh masyarakat disana lebih
dikenal dengan sebutan meriam betung, setiap petang hari sembari menunggu waktu
buka puasa tiba. biasanya, kalangan remaja di Minangkabau, terutama yang masih
bermukim di daerah – daerah pelosok, melakukan tradisi “ perang Meriam betung”
di sepanjang tepi sungai.
Mariam Bambu Menjadi
Cerita Masa Lalu di Kampungku Numbei
“Bwaaarrrrr” suara meriam
menggelegar di Kampungku, Numbei Desa Kateri, Kabupaten Malaka, NTT menyambut
natal dan tahun baru. kegiatan natal dan tahun baru adalah sebuah moment
bahagia sekaligus waktu yang ditunggu-tunggu bagi anak-anak didesaku.
Kemeriahan natal dan tahun baru ditandai dentum suara meriam bambu yang bergema
di setiap sudut desa.
Di kampungku tepat di
desa Kateri Kecamatan Malaka Tengah Kabupaten Malaka di Nusa Tenggara Timur. Di
desa inilah semasa kecilku, suara meriam bambu didentumkan setiap Akhir bulan
November hingga Bulan Desember bahkan memasuki tahun baru Bulan Januari. Kami
menanti nantikan hari libur panjang di bulan Desember untuk menikmati
kemeriahan natal dan tahun baru.
Meskipun kami akan mengorbankan tenaga pergi ke hutan untuk mencari bambu namun tidak menghalangi kami untuk mencari bambu ke hutan demi menyalurkan kebahagiaan memainkan meriam bambu. Bambu ini kemudian dipotong dan diukur sesuai ukuran meriam pada umumnya. Berdiameter 10- 20cm dengan panjang 3-4 ruas atau setara dengan 2.5-3 meter. Setiap ruas di lubangi supaya ruas satu dengan yang lain terhubung. Bagian pangkal bambu tidak dilubangi. Dibagian atas dekat pangkal di buat lubang kecil berukuran 2×2 cm. lubang ini untuk lubang menyusul api dalam proses pemasangan meriam.
Setiap malam hari kami
akan membawa bambu beserta peralatan lainnya seperti korek api, minyak tanah,
kayu, sandal bekas menuju tempat yang dianggap strategis jauh dari pemukiman
warga supaya tidak mengganggu kenyamanan warga beristirahat. Kalau dihubungkan
dengan ilmu fisika dan kimia, Kombinasi api dan minyak tanah menghasilkan panas
dan suara keras. Caranya adalah dengan memasukkan minyak tanah kemudian disusul
api kecil untuk memanaskan meriam. Salah satu diantara kami siap memasang
meriam. Caranya cukup mudah, corong api ditangan kanan dan sandal bekas
ditangan kiri. Corong diarahkan dekat lobang meriam kemudian sandal menutup
apinya, lalu “ bwaaaaarrrrrrrrrrrr” suara fantastis bak tembakan meriam perang
berhasil bergema meluncur ke udara. Suara meriam ini membuat kami bahagia dan
tertawa sepuasnya. Suara meriam seperti yang kami buat terdengar di setiap
sudut desa. Suara meriam diluncurkan bersahut-sahutan sehingga terkesan bak
perang saudara Di suatu desa. Meriam di arahkan ke gunung atau bukit supaya
suara keras bergema menyelimuti desa.
Bunyi meriam ini tidak
kalah kuat dan meriah dengan mercun atau petasan sekarang. Meriam bambu ini
adalah kreatifitas anak-anak di desa seperti kami. Selain irit biaya, anak-anak
di tuntut secara langsung memiliki kreatifitas dalam menyambut kemeriahan
natal. Banyak hal positif ketika masa kecil seperti ini di lakukan, anak-anak
berinteraksi, belajar menjaga tradisi di desa dan menikmati masa kanak dengan
kegiatan yang positif.
Kebiasaan tersebut sudah
pudar di jaman sekarang ini. Meriam yang dulu kebanggaanku kini sudah usang
jamanya dan mercun dan petasan mahal menjadi gantinya. Mercun yang mudah di
jumpai di pasar menjadi pengganti hiburan dentuman suara memeriahkan natal dan
tahun baru. Sekalipun mahal harganya tetapi anak-anak dan kaum pemuda
mengincarnya sebab mudah didapatkan di pasar kota Betun.
Sekali pakai langsung
habis, itulah mercun dan petasan. Bahan kimianya berbahaya buat kesehatan.
Mahal tidak menjadi permasalahan namun itu hanya berpihak bagi kaum pemilik
uang. Menjadi perhatian para orang tua adalah Anak-anak dan pemuda tidak kenal
tempat ketika memasang mercun sebab seakan lebih meriah kalau di pasang di
tengah-tengah pemukiman warga. Tidak lagi memusingkan orang tua yang sudah
tidak tahan lagi dengan bunyi kuat. Seakan tidak peduli bahwa masih banyak
tempat lain untuk memasang mercun tersebut.
Kalau dulu meriam bisa
menjadi milik bersama sekarang mercun milik siapa pemilik uang. Beli minyak
bersama-sama dan dipakai bersama-sama dalam waktu lama, sekarang mercun hanya
dipakai seorang saja. Nilai kebersamaan itu sangat kental di jaman bedil bambu
hijau itu. Serasa hidup itu penuh makna dan kegembiraan yang luar biasa
sekalipun ditengah kegelapan malam. Mercun dan petasan sekarang di desa menjadi
ocehan orang tua sebab pengguna tidak memasang di tempat yang jauh dari
keramaian.
Bedil bambu yang alami
sudah punah ditelan jaman mercun dan petasan yang terbuat dari bahan kimia itu.
Anak-anak tidak mau lagi melirik si bambu hijau itu, mata hanya tersorot ke
arah mercun mungil.
Hati dan mata rindu ingin
menyaksikan kedasyatan dentum suara meriam bambu menghiasi natal. Namun apa
daya, setiap aku pulang ke desa berlibur menikmati moment natal kerinduan ke si
bedil bambu sudah tidak terlampiaskan lagi.
Kiranya kaum muda tetap
menjaga kelestarian budaya sehingga nilai leluhur tidak pudar ditelan jaman.
Perkembangan jaman dan Iptek sah-sah saja diterima, tetapi budaya tetap
dipertahankan nilainya.
Masyarakat NTT dan Bunyi
Mariam Bambu Menyongsong Hari Raya Natal dan Tahun Baru
Dentuman meriam, jamak
terdengar dan dilakukan warga sejumlah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) kala Natal menjelang.
Natal adalah hari besar
keagamaan umat Nasarani. Umat Kristen sejagad di saat (Natal) itu memperingati
kelahiran Yesus yang diimani sebagai Tuhan dan penebus dosa umat manusia.
Kegembiraan menyambut hari yang saban tahun datang pada 25 Desember itulah, warga lalu merangkainya dengan sejumlah aksi. Salah satunya dengan dentuman meriam yang terbuat dari bambu.
Memang tak ada catatan
khusus tentang sejarah tradisi permainan meriam bambu jelang perayaan Natal.
Hal mana bukan sekadar terjadi di Pulau Timor yang memang hidup komunitas umat
bermayoritas kristen (Katolik) saja.
Permainan meriam bambu
jelang Natal, juga dilakukan oleh warga di Kota Kupang ibu kota Provinsi NTT di
era 1980 hingga 2000. Anak dan remaja di kala itu bahkan rela menabung jajannya
untuk bisa membeli bambu yang akan dijadikan sebagai meriam. Bukan hanya itu,
tabungan yang ada itupun dipakai untuk membeli bahan bakarnya (minyak tanah).
Kenikmatan dari permainan
meriam itu hanya ada pada bunyi dentumannya. Bunyi yang menggelegar akan
memberi semangat bagi anak-anak yang bermain meriam tersebut. Dan hal itulah
yang dicari.
Sangat sederhana membuat
dan bermain meriam bambu tersebut. Memang tak semua jenis bambu bisa dipakai
untuk permainan ini. Hanya jenis bambu tertentu saja (jenis nila). Bambu jenis
itu memiliki ruas yang panjang sehingga cukup menggunakan satu ruas untuk satu
meriam bambu tersebut.
Meriam bambu itu lalu
dibikin lubang di ujung ruas sebagai sumbu pemantik. Pada ujung ruas dekat
lubang akan diisi minyak tanah sebagai pemantik ledakan. Si pemain akan
menyulut lubang berisi minyak tersebut dan akan mengeluarkan bunyi. Untuk
menghasilkan bunyi yang kuat, maka bambu tersebut harus benar-benar bersih dari
asap dengan cara ditiup.
Setiap habis satu
ledakan, maka sang pemain wajib meniup meriam itu untuk bersihkan asap dari
dalam bambu agar sulutan berikut bisa menghasilkan bunyi yang besar.
Memang semua jenis
permainan ini tujuan selain bergembira juga menghasilkan bunyi-bunyian. Tanda
bunyi-bunyian itu bisa diartikan sebagai sebuah tanda penyambutan sebuah
momentum yaitu Kelahiran Yesus Kristus yang adalah Tuhan itu.
Dalam perjalanannya,
permainan meriam bambu di Kota Kupang memudar dan digantikan dengan
bunyi-bunyian lain seperti petasan dan sejenis meriam lain yang terbuat dari
bekas botol mineral yang digoyang setelah diberikan bahan bakar (spritus).
Jenis meriam ini dinilai
lebih praktis karena bisa diboyong ke mana-mana. Namun begitu jenis permainan
itupun hanya dimainkan oleh anak-anak saja. Sementara orang tua dan remaja akan
bermain petasan.
Kondisi tersebut juga
secara perlahan mulai ditinggalkan meskipun di Timor. Perkembangan zaman telah
memberikan pilihan bagi masyarakat untuk memilih cara menyambut Kelahiran Yesus
(Natal). Kegembiraan akhirnya mulai dilakukan dengan berbagai cara, yaitu bisa
dengan petasan dan juga nyanyian-nyanyian dan musik.
Kendatipun di beberapa
titik lokasi di Timor dan beberapa kabupaten lain di NTT masih terdapat
permainan meriam untuk menyambut Natal, itu karena warga di sana masih mudah
mendapatkan bambu.
Biaya murah itulah
menjadi pilihan warga untuk tetap mempertahankan tradisi meriam menyambut
Natal. Hal yang terpenting dari sekadar bunyi-bunyian dan cara melakukannya
(meriam dan petasan), namun ada makna di balik itu, bahwa warga Kristiani
sejagad termasuk di NTT mau melampiaskan kegembiraanya menyambut kelahiran
Yesus itu dengan gembira.
Setidaknya apa yang diimani dalam makna Natal adalah sebuah
kedamaian dalam kelahiran secara miskin di kandang. Damai di bumi damai di
hati.
***
Penulis
adalah anak desa, dimasa kecilnya suka bermain meriam bambu.
Frederick
Mzaq