Perang Dunia, Puisi dan Indonesia Menyambut Pilkada Serentak 09 Desember 2020
PERANCIS menjelang
pecah perang dunia II: para politisi menggelar rapat bertubi-tubi, para perwira
sibuk berkoordinasi, moral tempur prajurit dipompa, semangat bela negara terus
dikobarkan ke seluruh dada rakyatnya. Menjelang perang dunia II, menjelang
penyerbuan tentara Jerman ke jantung kota: stratak perang dirancang,
benteng-benteng pertahanan disiapkan, kanal-kanal isolasi digali, kamp
pengungsian pun dibangun. Di hari itu, seisi Perancis bagai putra-putra Hastina
yang bersiap memerahkan Kurusetra.
Tapi lalu aneh. Di tengah
gegap-gempita menjelang perang, Les Feuilles Mortes muncul sebagai
lagu bersama. Daun-daun kering berguguran/…angin utara berhembus/…kau
begitu cantik/…kenangan dan penyesalan/…tapi cintaku tenang dan setia. Les
Feuilles Mortes adalah lagu yang mengisahkan kenangan bersama seorang
perempuan di suatu musim yang tak terlupa.
Les Feuilles Mortes: sederhana,
tenang, menghanyutkan. Denting piano berlompatan di antara gesekan cello,
sayatan biola, rintik-rintik harva—serupa mantra yang melucuti kesadaran dan
melemparkan kita pada kenangan. Orang-orang Perancis menyukainya. Semua babak
dan adegan nyaris selalu diiringi lagu itu. Makan malam, berdansa dengan
pasangan, bahkan saat meracik haute cuisine di atas wajan.
Kita boleh bertanya,
mengapa di masa-masa menjelang ganasnya perang, justru lagu romantis yang
banyak didengar orang?
Di sini, revolusi fisik
telah melahirkan lagu-lagu yang kebanyakan mewakili semangat jamannya. Mars:
jenis lagu perjuangan dengan kobaran semangat dan cenderung agung. Birama 2/4,
4/4, atau 6/8 dengan aksentuasi pada tiap ketukan menjadikannya lagu
penyemangat yang menggebrak dan menghentak-hentak.
Tapi perang, bahkan dalam
pengertiannya yang paling purba, selalu memiliki sudut-sudut remang yang
menyimpan sunyi. Sehelai kain William Wallace yang dimiliki Robert Bruce adalah
bentangan sunyi. Selembar foto perempuan yang ditemukan dari saku mayat seorang
serdadu adalah pecahan sunyi. Sesunyi tangis Muhammad untuk para mujahid perang
Mu’tah di utara Yordania, atau tatapan kosong Shalahudin al-Ayubi saat ia
memasuki gereja Yerusalem yang baru saja ditaklukkannya.
Sebab itu hymne muncul.
Ia menjadi semacam gita puja atas tiap pengorbanan yang terlibat di dalamnya.
Dan kita bertanya, mengapa lagu-lagu juang di sebuah negeri yang menjadi
sasaran Operasi Fall Gelb pasukan Panzer-7 itu seakan tak ada?
Octavio Paz, seorang
sastrawan mashur asal Meksiko pernah menyebut puisi sebagai “suara lain”. Suara
yang menamai segala yang samar. Yang menandai getar-getar halus dalam kalbu
manusia. Sebuah suara yang berdiri pada masa lampau, kini dan esok tanpa
titimangsa. Kenapa puisi disebut “suara lain”? Dalam esai The Other
Voice-nya Paz menjawab: “…sebab ia adalah hasrat dan visi-visi.”
Di titik inilah saya tak
setuju dengan penyair besar WS. Rendra. Hidup di negara dunia ketiga dan
berhadapan dengan puisi-puisi yang melulu mengisahkan anggur dan rembulan
memang menjengkelkan. Namun saya menolak menjadi seorang ekstremis. Puisi dapat
menjadi alat perjuangan kelas, namun bisa juga sesekali bolos dari kelas. Puisi
memang boleh menjadi saksi atas segala ketidakadilan, namun puisi juga berhak
mencatat apa-apa yang tak tertangkap indra dan pengetahuan.
Demikianlah Les
Feuilles Mortes. Dari dunia seberangia mendesir, menandai, dan mengada
sebagai “yang lain” di hadapan kenyataan. Ia mewakili hasrat sekaligus visi
yang beranjak bahkan dari tiada. Ia nyata dan menyejarah, namun sesekali bukan
sebagai mimesis. Dan di Perancis, saat menjelang perang, Les Feuilles
Mortes menjadi suara yang tak tertepiskan.
Orang-orang Perancis tahu
bahwa perang akan segera datang. Tahu bahwa lawan yang akan dihadapi adalah
yang tercepat dalam sejarah militer dunia. Mereka juga mengenal Komandan Führer-Begleitbattalion, Erwin
Rommel, yang oleh Sir Winston Churcill (Perdana Menteri Britania Raya), musuh
bebuyutannya, diakui sebagai jenderal paling jenius. Tapi, jika mesti terjadi,
masyarakat Perancis agaknya menolak mati sebagai benda mati.
Kita tak sedang
membicarakan asketisisme.Namun terlihat benar, dimensi rohani tak sekadar
diafirmasi tetapi juga dihidup-hidupi. Sejumlah seniman dan filsuf menganggap
dualisme tubuh semacam ini sebagai tuntutan roh, identik otentik dan senantiasa
mentenagai daya hidup dan daya kreasi. Dan kitasama-sama tahu betapa bangunan
kebudayaan masyarakat Perancis memang bertumpu pada itu.
19 Agustus 1944. Paris
yang sudah empat tahun diduduki Jerman di ambang jatuh ke tangan sekutu.
Seorang komandan militer Jerman yang berwenang di sana, von Choltitz, tiba-tiba
mendapat perintah pribadi dari Adolf Hitler untuk mempertahankan Paris dengan
cara meledakkan semua jembatan di atas sungai Seine yang mengeililngi kota. Ia
juga dipaksa meluluh-lantakkan tiap bangunan mashur yang ada di dalamnya.
Bagi Choltitz, perintah
di suatu pagi yang paling menentukan kota Paris itu adalah dilema. Meski
akhirnya sejarah mencatat—logika militer tak akan pernah bisa memahami ini,
Choltitz seperti terkena sihir hingga seorang Hitler pun tak diacuhkannya.
Empat hari kemudian, sebab perintahnya tak kunjung dilaksanakan, Hitler
menghubungi bawahan Choltitz, Kepala Staff Tentara Grup B, Generalmajor Hans
Speidel. Ia memberi perintah serupa.
Sang Fuhrer alpa
jika kedua jenderal ini pencinta berat kota Paris. Jejak-jejak masa silam,
museum, taman kota, gedung pertunjukan, kafe-kafe, dan tentu saja Eifel, semua
begitu tampak estetis dan impresif. Hingga belum juga tentara sekutu mendarat
di Normandia, kedua jendral itu bersepakat: apa pun yang terjadi, kota
Paris tak boleh dihancurkan.
Paris dengan segenap
lanskap yang dimilikinya memang utuh. Perang dapat dicegah oleh seorang konsul
Swedia bernama Raoul Nordling yang menengahi kedua pihak berseteru. Tertanggal
24 Agustus 1944, Jenderal von Choltitz bersama pasukannya menyerah pada Sekutu.
Mendengarnya, Hitler
murka. Seorang Hitler yang dikenal sejarah tentu tak akan bisa menerima
kejadian semacam ini. Ia pun tak butuh berpikir untuk memberi perintah pada
pasukannya agar seketika itu menghujani Paris dengan bom terbang V-1 dan
mortir-mortir raksasa 88 mm.
Tapi rupanya sihir memang
tak selalu berupa gugusan mantra. Perintah kembali digagalkan oleh General
der Infanterie Günther Blumentritt. Komandan GIGB saat itu
memberikan pertimbangan bahwa cadangan amunisi menipis. Belakangan diketahui,
merujuk pada pengakuan jenderal Jerman bernama Bodo Zimmermann, komandan
bersangkutan ternyata seorang perwira pencinta kota Paris lainnya.
Daun-daun kering
berguguran/…angin utara berhembus/…kau begitu cantik/…kenangan dan
penyesalan/…tapi cintaku tenang dan setia. Les Feuilles
Mortes bukan sekadar lagu. Di sebuah kota yang awas terhadap “suara-suara
lain” itu, Les Feuilles Mortes adalah satu peristiwa. Sebuah paradoks
sejarah. Sebagaimana kemudian kita menyaksikan seorang Albert Camus yang
Aljazair mengecam gerakan front Aljazair merdeka, sedang Sartre di Paris justru
mendukungnya.
Kita di sini juga punya
paradoks itu. Terutama karena menjelang pilkada serentak 09 Desember 2020: para
kader diajari pukul sana-sini, jutaan massa dicocok-dimobilisasi, floating
mass disandera, polisi dan tentara terus siaga di mana-mana. Menjelang
hari pilkada raya, menjelang pencoblosan atau pencontrengan sepasang nama: para
politisi membual ke sana ke mari, para kandidat berebut umbar janji seraya
bersiap mengingkari, segala jargon dipamerkan sebagai yang tak pernah menjadi
kenyataan, segenap aspirasi pun ditampung untuk kemudian tak pernah dijadikan
kebijakan.
Orang sudah lupa dengan
ide tol laut, mobil esemka, juga dolar yang terus naik. Orang mulai abai dengan
hutang negara yang terus membengkak, pajak-pajak yang dikalilipatkan, subsidi-subsidi
yang dicabut, BUMN yang menggap-menggap dan tergadai, juga kepungan
barang-barang impor yang mematikan industri dalam negeri. Di hari itu, seisi
nusantara bagai perayaan panjang kepalsuan demi kepalsuan.
Tapi lalu aneh. Di tengah
siklus eksploitasi lima tahunan yang akan diperpanjang kontraknya, semangat
juang menjadi ekspresi bersama. Orang terus menjilat penguasa, memosisikan
mereka hampir menggantikan nabinya. Kampret dan Cebong pun terus khusyuk
gontok-gontokan di segala media.
Anda boleh bertanya,
mengapa orang-orang begitu bersemangat menyambut seisi negeri yang, meminjam
istilah seorang tokoh politik Rusia, Mikhail Bakunin, sudah seperti rumah
jagal, di mana segala daya hidup menyerahkan dirinya untuk dicincang dan
dikubur? Mengapa orang-orang begitu bergairah menyongsong—kali ini dari penyair
Rendra, masa depan yang digadaikan? Jika ini emosi dan harapan-harapan yang
terus direproduksi, mengapa buih-buihbegitu menghapus guratan batu?
Dalam Pilkada, suara
setiap pemilih mempunyai nilai yang sama, baik itu pemilih pemula maupun
pemilih militan. Kuantitas pemilih lebih menentukan dibandingkan dengan
kualitas pemilih. Untuk bisa meraup suara yang besar, strategi harus diarahkan
untuk membidik sasaran pemilih dalam jumlah besar.
Maaf jika saya lebih
memilih menghabiskan waktu dengan menonton film-film atau pergi ke setiap jalan setapak dan menjumpai masyarakat akar rumput dan menuliskan percintaan pada sisa-sisa dingin kabut pagi dan rinai air hujan di bulan Desember. Saya percaya
pada “the other voice”. Sebagaimana sekali ini, di republik yang
sebentar lagi menggelar pesta demokrasi ini, saya juga percaya pada “the
other choice”. (*)
*Bukan Budayawan, tinggal
di Gubuk Bambu. Senang menikmati irama jalan setapak
Frederick Mzaq