Hasil
Pilkada Malaka 2020 dan Mahkamah Konstitusi
(Mengenal
Sekilas Persidangan Gugatan Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi)
Suasana sidang Makamah Konstitusi (ilustrasi) |
Namun proses rekapitulasi
suara ini rentan dengan gugatan yang dilayangkan oleh pasangan calon kepala
daerah yang tidak puas dengan hasil penghitungan suara KPU.
Lalu apakah setiap paslon
dapat mengajukan gugatan terhadap hasil rekapitulasi? Tentu tidak, karena ada
syarat wajib yang harus mereka penuhi sebelum mengajukan gugatan.
Dalam Undang-undang
Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 sudah dijelaskan bagaimana syarat paslon mengajukan
gugatan hasil rekapitulasi KPU.
Pada Pasal 157 ayat 4
disebutkan jika perkara hasil Pilkada di provinsi, kabupaten atau kota akan
diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Namun karena belum ada
peradilan khusus, maka dikembalikan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Peserta Pemilihan dapat
mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara
oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
Masih dalam Pasal 157 ayat
5 dan ayat 6 disebutkan paslon mengajukan gugatan paling lambat 3 hari setelah
penetapan calon hasil perolehan suara oleh KPU provinsi atau KPU
kabupaten/kota. Paslon juga harus melengkapi dokumen dan bukti keputusan KPU
tentang hasil rekapitulasi suara.
Jika berkas gugatan
diterima, maka MK akan memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil pemilihan
paling lama 45 hari kerja sejak diterimanya permohonan. Selain itu, putusan MK
bersifat final dan mengikat.
Yang Menang Yang Dilantik
Keriuhan Pilkada di Kabupaten
Malaka 2020 sebenarnya secara perlahan mulai redup. Tak lagi banyak eforia di
sana-sini. Bahkan, kelompok pasangan calon pemenang pilkada pun sudah tidak
lagi segembira sebelumnya. Tidak banyak lagi yang harus diteriakkan, kecuali
bila nanti pasangan yang mereka dukung dilantik, lalu bertugas.
Namun sebaliknya bagi
pasangan yang kalah. Sebagian memang sudah menyerah secara sadar. Sebagian lagi
masih berusaha meyakinkan diri bahwa mereka adalah pemenang sebenarnya dan yang
dinyatakan pemenang itu adalah yang kalah. Bahkan ada yang berusaha dengan cara
berlebihan meyakinkan masyarakat dengan mengatakan bahwa merekalah yang akan
dilantik meski yang menang adalah pasangan lain.
Aneh memang. Tapi itu
memang keanehan musiman. Keanehan setiap musim pemilu/pilkada. Jadi itu hal
biasa saja. Tidak perlu ditanggapi serius. Nanti reda dengan sendirinya.
Satu pasangan kalah di
Pilkada Kabupaten Malaka menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kabar baiknya,
tahap awal gugatan mereka berhasil lewati. Berkas gugatan disiapkan dan dalam
proses.
Nah, ini pun bisa
dimanfaatkan sebagai ‘jualan’ lagi seolah-olah kemenangan sudah di depan mata.
Tinggal diambil dan digunakan. Dilantik. Masyarakat yang sebagian besar tidak
tahu menahu seluk beluk persidangan gugatan di MK tak sedikit yang termakan
‘kampanye’: “mereka menang, kami yang dilantik” itu.’ Padahal, kalau saja
masyarakat mendapatkan pemahaman yang cukup, mereka tidak perlu kuatir terlalu
jauh mengenai hasil akhir Pilkada tersebut.
Karena itu, agar tidak
ikut tergiring, lalu termakan isu yang tidak berdasar alias ngaco, mari
belajar beberapa hal di bawah ini supaya tidak terus dibikin galau.
PERTAMA, yang pasti
akan dilantik sebagai kepala daerah adalah yang resmi dinyatakan menang, baik
oleh KPUD maupun oleh MK. Jadi bukan yang resmi dinyatakan kalah yang akan
dilantik. Kalau ada yang mengatakan bahwa mereka yang akan dilantik meski pihak
lain yang dinyatakan menang, maka orang-orang itu tidak hanya malas berpikir,
kemungkinan sedang mengalami masalah lain karena merasa tertekan akibat hasil
yang diperoleh tidak sesuai harapan.
Sama juga halnya dengan
slogan “dipilih atau tidak dipilih pasti menang.” Ini juga logika yang sangat
kacau. Tapi itu bisa dimaklumi. Itu sebenarnya sekadar slogan pembakar semangat
saja menjelang pertarungan. Itu hal biasa dalam masa kampanye. Tapi yang benar
adalah yang dipilih dengan suara terbanyak itulah yang menang. Dan yang kalah
adalah meski dipilih juga tapi suaranya tidak sebanyak suara pemenang. Apakah
kemenangan itu nanti dikukuhkan melalui keputusan MK itu tak mengubah kenyataan
bahwa yang menanglah yang akan dilantik, bukan yang kalah.
Tapi, mungkinkah yang
kalah tetap dilantik dan yang menang tidak dilantik? Mungkin saja. Iya, sangat
mungkin. Bagaimana bisa begitu?
Berikut beberapa
kemungkinannya. “Mereka yang menang, kami yang dilantik” itu mungkin terjadi
bila:
Pasangan yang menang
melakukan pelanggaran-pelanggaran fatal yang berakibat terjadinya
diskualifikasi atau pengguguran sebagai peserta pilkada. Dalam bahasa klasik
MK, terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif. Aturan lain
menyebutkan secara spesifik pelanggaran yang bisa menyebabkan diskualifikasi
meski menang adalah bila terbukti melakukan politik uang dan atau melakukan
pelanggaran fatal pada laporan keuangan kampanye karena tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Kemungkinan kedua adalah
kalau pasangan yang kalah itu melakukan segala upaya curang untuk mengalahkan
pasangan yang telah dinyatakan menang. Ini hanya mungkin dengan kolaborasi jahat
dengan pengadilan. Ini biasanya tidak gratis, bisa melibatkan aksi suap bin
sogok. Untuk hal kedua ini, tampaknya tidak mudah melakukannya di tengah
sorotan ketat kepada MK agar kasus Akil Mochtar tidak terulang kembali.
Persidangan MK
KEDUA, mari pahami
prosedur persidangan gugatan hasil pemilu di MK. Persidangan di MK itu, khusus
sengketa hasil Pemilu/Pilkada mirip dengan persidangan di pengadilan umum.
Penggugat dan tergugat hadir di ruang sidang bersamaan. Tak cuma itu, pihak
terkait juga dihadirkan.
Pihak terkait ini adalah,
pihak yang disebutkan dalam gugatan dan atau bila keputusan persidangan akan
berkonsekuensi pada status hukum dan politiknya. Misalnya, pasangan A menggugat
KPUD agar membatalkan keputusan yang memenangkan pasangan B. Pasangan B ini
masuk kategori pihak terkait. Dalam persidangan MK, pihak terkait ini nanti
juga bisa memberikan sanggahan ataupun sebaliknya membuktikan hal lain yang
menunjukkan bahwa pasangan A sebenarnya salah atau melakukan kesalahan.
Tergantung perkembangan,
majelis hakim juga akan menghadirkan para saksi ahli. Oh ya, Panwas hingga
petinggi aparat Polri di daerah biasanya juga akan dihadirkan untuk memberikan
penjelasan entah dalam kapasitas sebagai pihak terkait ataupun sebagai saksi.
Persidangan biasanya
dipimpin panel hakim yang terdiri atas tiga hakim konstitusi dimana salah
satunya menjadi ketua panel. Selanjutnya, setelah rangkaian persidangan
selesai, maka hasilnya akan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
Konstitusi yang dihadiri 9 hakim konstitusi. Dari situ kemudian keputusan
ditetapkan dan dibacakan secara terbuka oleh 9 hakim konstitusi pada waktu yang
telah dijadwalkan. Putusan lengkap pun akan diunduh di website resmi MK.
Nah, lalu bagaimana
mengetahui bahwa gugatan akan dimenangkan atau sebaliknya ditolak oleh MK? Dari
sekian banyak variabel penting yang menentukan, setidaknya, terjawab tuntasnya
tiga hal berikut akan menjadi pertimbangan gugatan ditolak atau diterima.
1. Apakah semua dalil
penggugat itu terbukti? Di sini kekuatan pembuktian dan saksi-saksi sangat
menentukan. Kualitas bukti dan saksi sangat menentukan.
Sistem hukum kita
memberikan kewajiban pembuktian kepada penggugat. Kalau misalnya, pasangan A
mendalilkan bahwa KPUD dan pasangan B melakukan pelanggaran sehingga meraih
suara lebih banyak dan karena itu memohon agar pasangan B dibatalkan
kemenangannya (diskualifikasi) maka pasangan A yang berkewajiban membuktikan
dalil atau tuduhan itu. Beban pembuktikan ada pada pasangan A, bukan pada KPUD
dan pasangan B. Nah, kalau tidak bisa membuktikan tuduhannya, maka gugatannya
dengan sendirinya akan dinilai tidak terbukti dan tidak memiliki kekuatan untuk
dipertimbangkan.
Pembuktian adalah momen
paling menentukan di persidangan MK. Sengketa hasil Pilkada biasanya memerlukan
saksi-saksi yang banyak. Tentu saja umumnya orang-orang dari daerah, bahkan
dari kampung-kampung. Belajar dari beberapa kali persidangan gugatan hasil
Pilkada di Pulau di Nias pada 2011 lalu, tak sedikit saksi yang didatangkan
dari pulau Nias terkendala bahasa Indonesia sehingga tidak bisa menjelaskan
dengan baik.
Juga terkendala kemampuan
menjelaskan, khususnya ketika menjawab cecaran hakim, pengacara penggugat
apalagi dari pengacara tergugat dan pihak terkait. Tidak sedikit yang kemudian
menjadi bahan tertawaan di persidangan. Juga ada saksi yang tidak bisa
dihadirkan karena besarnya biaya untuk mendatangkannya ke Jakarta.
Nah, bagi yang menggugat,
sebaiknya persiapkan para saksi dengan bahasa Indonesia yang baik dan kemampuan
berbicara/menjelaskan argumentasi dengan baik. Sebab, bisa saja sebenarnya
saksinya memiliki bukti atau penjelasan yang benar, tapi kemudian diabaikan
karena membuat sidang terasa bertele-tele karena penjelasan dianggap
tidak nyambung.
2. Kalau penggugat
berhasil membuktikan dalilnya seperti diuraikan pada poin 1, maka selanjutnya
adalah membuktikan bahwa suara yang dianggap ‘diperoleh secara melanggar hukum’
oleh pasangan pemenang itu seharusnya dan pasti milik pasangan penggugat. Demikian
juga dengan pemilih ganda atau yang tidak mendapatkan surat undangan memilih
harus dibuktikan bahwa kalau mereka memilih pasti akan memilih pasangan
penggugat.
Ini biasanya lebih sulit
dilakukan. Bahkan, pembuktian akan semakin sulit bila peserta Pilkada lebih
dari dua pasangan. Makin banyak peserta makin sulit. Sebab, asumsi dasarnya
adalah suara yang diperoleh secara melanggar hukum itu harusnya akan tersebar
kepada semua pasangan dan bukan hanya untuk pasangan penggugat. Nah, dalam hal
ini penggugat tidak bisa mengklaim bahwa semua suara yang didalilkan dicurangi
oleh pasangan pemenang itu pasti untuk penggugat semuanya. Itu naif sekali
karena penggugat pasti tidak bisa mencari tahu siapa yang akan dipilih para
pemilih karena pemberian suara bersifat rahasia.
3. Ini lebih berat lagi.
Kalau poin pertama dan kedua bisa (andaikan) dibuktikan bahwa semua suara yang
diperoleh secara curang itu terbukti adalah milik pasangan penggugat maka
pertanyaan selanjutnya adalah: apakah setelah dilakukan koreksi perolehan
suara, apakah seluruh pertambahan suara pasangan penggugat itu bisa mengubah
hasil akhir perolehan suara atau tidak.
Di pilkada dengan lebih
dari dua pasangan peserta biasanya susah mendapatkan tambahan suara yang
melampaui suara pemenang dengan selisih sangat besar apalagi di atas di atas 5
persen. Karena itu, meski mungkin penggugat berhasil membuktikan pihaknya benar
dalam berbagai kejadian pelanggaran tapi sulit menang karena total suaranya
tidak melebihi perolehan pasangan pemenang. Paling mungkin hanya mengurangi
total suara pemenang.
Lengkap, Bisa Digugurkan
Tapi perlu diketahui,
tiga poin di atas adalah hal-hal yang akan terjadi bila gugatan penggugat
diproses dalam persidangan MK. Artinya, gugatan memenuhi syarat formal untuk
diperiksa hakim melalui proses persidangan.
Kenapa ini penting? Untuk
diketahui, dari semua gugatan hasil Pilkada tahun ini kemungkinan besar tidak
akan diproses semuanya di persidangan. Penetapan status “Lengkap” atas berkas
gugatan bukanlah keputusan bahwa penggugat sudah dan pasti menang. Itu sekadar
penilaian apakah berkas dan prosedur gugatan sudah lengkap dan sesuai. Jadi
ingat, status “Lengkap” itu bukanlah penilaian atas isi gugatan.
Sesuai prosedur
penanganan gugatan perselisihan hasil pilkada di MK, berkas-berkas yang telah
dinyatakan lengkap tersebut masih akan menempuh proses verifikasi lanjutan oleh
internal MK. Sesuai agenda hari dan tanggal yang ditentukan oleh MK,
berkas-berkas gugatan itu akan diproses.
Nah, berkas-berkas yang
kemudian dinilai tidak memenuhi syarat formal akan langsung digugurkan/dieliminasi.
Yang dinyatakan memenuhi syaratlah yang akan dilanjutkan pada tahapan
selanjutnya yakni proses persidangan yang sebenarnya, ditandai dengan memanggil
para penggugat, tergugat, para saksi, para pihak terkait, pemeriksaan barang
bukti dalam persidangan sampai penetapan dan pembacaan putusan.
Edukasi Hukum
Masyarakat di Kabupaten
Malaka telah menunjukkan tanda-tanda yang positif mengenai pemahaman politik
(edukasi politik) seperti tampak dari hasil Pilkada pada Rabu, 09 Desember 2020.
Pertanda masyarakat mulai bisa membedakan mana yang layak dipertahankan, mana
yang layak dinaikkan ke tampuk kekuasaan. Modal itu juga harusnya diikuti
dengan pengetahuan lanjutan mengenai proses-proses hukum (edukasi hukum) yang
terkait, khususnya soal gugat menggugat atas hasil Pilkada.
Gugat menggugat ini
adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Diakomodasi dalam aturan
perundang-undangan dan sistem hukum nasional. Adanya gugatan menunjukkan bahwa
keputusan apapun bisa dipertanyakan dan dikoreksi melalui jalur formal yang disediakan
dan dijamin undang-undang, yakni pengadilan.
Namun sebaliknya, juga
tidak berarti bahwa setiap gugatan akan dimenangkan atau mengubah keputusan
yang ada. Sebab, ada proses pengadilan, seperti diulas sedikit di atas, yang
membuat setiap gugatan diketahui berisi kebenaran atau sebaliknya hanya karena
dorongan emosional karena tidak bisa menerima kekalahan.
Jadi, kalau ada gugatan
seperti saat ini terjadi, masyarakat tidak perlu kuatir berlebihan. Itu hal
biasa saja. Kalau ada yang menyebarkan informasi yang mengatakan bahwa dengan
gugatan itu mereka pasti menang dan akan dilantik, itu pasti orang-orang yang
tidak mengerti pokok persoalan dan prosedur hukum yang berlaku. Mereka cuma
berusaha mengelabui masyarakat.
Ingat! Tidak ada siapapun
yang mengetahui siapa yang kalah dan siapa yang memenangi gugatan sampai MK
membacakan putusan sela pada waktu yang ditentukan atau putusan akhirnya pada waktu
yang telah diagendakan.
Karena itu, daripada
pusing-pusing, resah, gelisah dan repot menanggapi isu tak jelas yang
berseliweran, lebih baik ikuti saja proses persidangan di MK, baik melalui
media, maupun dengan membaca langsung dari website resmi MK, www.mahkamahkonstitusi.go.id.
Penulis: Frederick
Mzaq (Penimba Inspirasi Jalan Setapak)