Renungan Hari Minggu, Pesta
Keluarga Kudus: “Kehadiran Tuhan Dalam Keluarga”
Bacaan : Kej. 15:1-6; 21:1-3; Ibr.
11:8, 11-12; 17-19; Luk. 2: 22-40
Virus
corona tipe baru (covid-19) sedang meruntuhkan segenap pranata kehidupan
manusia. Negara yang dianggap sebagai institusi paling sistematis dalam
mengurus kehidupan publik kalang kabut dihantam pandemi ini. Bahkan agama yang
selalu menyediakan dirinya untuk menjawab segenap pertanyaan eksisteni manusia
tak berkutik di hadapannya. Peradaban yang begitu mendewakan mobilitas, ambruk
di bawah hukum social distancing sebagai resep primer melawan corona.
Keluarga tentu tidak bisa luput dari situasi ini. Malah keluarga harus
menanggung beban dan kesulitan yang maha dasyat dan berat ketika pandemi
covid-19 menerpa setiap bahtera rumahtagga baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Satu-dua
gambaran sekedar contoh, bagaimana keluarga-keluarga di masa pandemi covid-19
ini, mengalami situasi yang berat dan sulit. Banyak keluarga mengalami
goncangan, stres dan tidak siap, membawa akibat yang sangat luas dan beragam.
Krisis itu semakin parah ketika ada anggota keluarga yang mengalami PHK
(Pemutusan Hubungan Kerja), kehidupan ekonomi semakin tak menentu. Para
orangtua semakin bingung dan gelisah ketika harus bekerja dari rumah. Apa yang
bisa dikerjakan di rumah kalau selama ini kehidupannya sangat bergantung pada
apa yang dikerjakan di tempat kerja dan sekarang harus tinggal di rumah.
Beban itu belum saja berakhir, ketika anak-anak yang harus ke sekolah tidak
bisa ke sekolah dan harus belajar dari rumah. Entah melalui daring juga melalui
tugas-tugas yang terasa sebagai beban. Tidak hanya anak-anak, tetapi orangtua
semakin terbebani ketika harus mendampingi anak dalam belajar secara daring dan
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.
Relasi
orangtua dan anak dalam keluarga selama masa pandemi yang seharusnya semakin
akrab karena lebih banyak waktu untuk bersama, ternyata tidak bertahan. Banyak
yang tidak bertahan karena bosan dan lelah. Doa dan ibadat dalam keluarga yang
dapat menjadi kesempatan utnuk lebih dekat dan pasrah kepada Tuhan, serta
menimba kekuatan, sering dirasa kosong. Ada keluarga yang bisa memanfaatkan
kesempatan pandemi ini untuk semakin meningkatkan iman dan imun keluarga,
tetapi tak dapat disangkal banyak keluarga yang kehilangan gairah untuk lebih
berpasrah.
Wabah
menyadarkan bahwa manusia adalah ciptaan yang rapuh yang tidak mungkin bertahan
juga ketika alam ciptaan lainnya dihancurkan. Kita selain mengoreksi diri dan
mengubah sikap, kita harus memiliki kesadaran dan tanggungjawab baru akan
pentingnya kehidupan ini, baik kehidupan kita sendiri dan makhluk-makhluk
lainnya, maupun kehidupan alam itu sendiri.
Ketika
keluarga-keluarga menghadapi dan mengalami situasi sulit dan berat seperti
dicontohkan di atas, banyak kali orang bertanya dan menggugat: di mana Tuhan?
Apakah Tuhan tidak peduli dan membiarkan kita berlarut-larut dalam
ketidakpastian sampai kapan badai ini bisa berlalu? Terkadang orang meragukan
dan mungkin tidak percaya akan kehadiran Tuhan, ketika keluarga-keluarga kita
tidak tau jalan keluar. Kita bertanya sampai kapan?
Tuhan
selalu hadir dan turut merasakan kecemasan, kebingungan dan kesulitan serta
penderitaan yang sedang kita hadapi dan alami. Namun menjadi pertanyaan, apakah
kita sudah sungguh menghadirkan Tuhan dalam setiap pengalaman dan peristiwa
hidup keluarga kita. Sering kita menjadi tak berdaya dan putus asa, bimbang dan
ragu atas kehadiran Tuhan.
Keluarga
kita seperti para murid ketika berlayar bersama Yesus (Mt. 8:23-27), dan perahu
mereka diterpa angin, badai dan gelombang sementara Yesus tidur. Dan para murid
membangunkan Yesus, “Tuhan, tolonglah, kita binasa”. Dan Yesus berkata,
“Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?” Yesus selalu hadir; juga dalam
keluarga-keluarga kita di saat kita sedang mengalami badai gelombang pandemi
covid-19 ini. Kehadiran-Nya memberi kita harapan, kekuatan dan kepercayaannya
bahwa badai ini pasti berlalu. Masihkah kita percaya pada-Nya?
Kita
terus diajak untuk mengupayakan kebaikan bagi orang lain. Bersikap solider
dengan orang lain menuntut pengorbanan dari setiap pribadi untuk berpihak pada
yang miskin dan tersingkir. Ketika kita berbicara tentang tanggungjawab merawat
rumah bersama, setiap kelebihan yang dimiliki satu orang atau kelompok
digunakan untuk keperluan bersama. (16-17). Kita perlu saling memperkaya dan
saling melengkapi.
Tuhan
selalu hadir dalam keluarga. Karena itu “untuk keluarga tidak ada jalan buntu”.
”Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan
sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila
melalui cintakasih timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama kepada
Allah, keluarga membawakan diri bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah. Kristus
memilih supaya dilahirkan dan berkembang dalam pangkuan keluarga Yusuf dan
Maria. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa Gereja itu juga adalah
“Keluarga Allah” (AA.11).
Keluarga
Kudus Nasaret: Yesus, Maria dan Yusuf, doakanlah keluarga-keluarga kami semoga
bahtera hidup keluarga kami dapat sampai ke pelabuhan-Mu yang aman dan
damai.***
Ditulis
oleh Rm. Fransiskus Emanuel da Santo, Pr; Sekretaris Komkat KWI
Catatanku sebagai Penimba Inspirasi Jalan Setapak
Perayaan
Keluarga Kudus adalah kesempatan untuk mengintrospeksi sekaligus meretrospeksi
diri. Perayaan yang menjadi kesempatan emas kita lakukan refleksi massal secara
bersama-sama di Rumah Tuhan ini. Apakah Keluarga kita sudah mencontohi Keluarga
Kudus Nasaret?
Sebagai
cermin saya kutip tulisan yang berjudul: “Berumah Tangga Itu Ibarat
Mengopi”
“Berumah
tangga itu ibarat mengopi, takarannya tidak melulu pas. Terkadang manisnya
lebih terasa, tetapi pada kesempatan lain mungkin pahitnya lebih dominan.
Jangan kamu hindari. Nikmati saja sampai suatu saat kamu menjadi terbiasa.
Ketika rumah tanggamu sudah jadi candu bagimu, maka percayalah bahwa tidak ada
tegukan yang lebih nikmat dari yang di luar sana.
Berumah
tangga itu ibarat mengopi.
Jika
kamu hanya mau manisnya saja, janganlah mengopi, tapi minumlah sirup. Sirup
adalah rasa manis yang dinikmati oleh mereka yang memutuskan pilihan hidup
single, jomblo. Tidak ada pilihan lain, selain manis. Memang manis, tetapi
tentu saja tidak senikmat kopi. Demikin pula apabila kamu hendak menikmati
sensasi pahitnya saja, janganlah mengopi. Tapi minumlah jamu. Nah, itulah
jomblo.
Berumah
tangga itu ibarat mengopi,
para
penikmat kopi adalah orang-orang yang terlatih dalam menakar hidup. Istri
pemasak airnya, suami berasnya.Dibutuhkan kerjasama yan cermat dari mulai
proses hingga hasil. Orang-orang di luar sana hanya boleh melihat asap yang
mengepul dan aoma wangi, tanpa perlu tahu bagaimana berantakannya dapurmu.
Berumah
tangga itu ibarat mengopi,
Kadang
ada pihak ketiga yang mencampuri, otomatis menambah gurih, tapi bisa pula
sebaliknya. Pihak ketiga, bisa saja ipar atau mertua. Anggaplah mereka itu
krimer atau susu. Takaran mereka tentu tidak mematikan.
Namun
yang perlu diwaspadai adalah campuran yang mematikan. Racun sianida. Kalo jenis
ini hampir pasti mantan, atau pengagum. Maka buang jauh-jauh itu. Pastikan
gelasnya bersih sebelum menuang kopi yang baru.
Berumah
tangga itu ibarat mengopi…
Kamu
tentu tidak suka jika ada yang mencoba mengaduk kopi di gelas istrimu.
Tapi sebaliknya, coba tanyakan juga pada dirimu, apakah kamu yakin, bahwa
kamu tidak pernah menikmati adukan kopi yang lain?
Demikianlah
cemburu, Akarnya adalah ketidaknyamanan dan lebih dari itu adalah
ketidakpercayaan. Karena itu, jangan sepelekan selingkuh-selingkuh kecil,
karena ia adalah awal pengkhianatan terhadap kasih sayang.
Bapa.
ibu, saudara, saudari,
kopi
boleh pahit, rumah tanggamu janganlah!! Agar kita tetap mengopi dalam suasana
ceria penuh berkat maka mari kita tiru sikap Simeon, Menyambut Yesus Sang Bayi
Natal dalam hati kita masing-masing. Sambil itu kita teladani Keluarga Kecil
Nasaret, yang senantiasa pergi ke Bait Allah, untuk selalu menguduskan diri dan
menerima berkat. Pada gilirannya, kita akan menjadi berkat bagi banyak orang,
agar mereka pun ikut terberkati.***