POLITIK BUNGA VS BUNGA POLITIK
(Catatan untuk masa tenang Pilkada Malaka 2020)
PERJALANAN saya
ke sebuah kampung Namanya Kateri tempo hari sungguh produktif. Pak Tua yang
duduk di samping saya rupanya penyuka politik sambal menyeruput segelas kopi. Ia
Sangat rajin mengikuti perkembangan kampanye Pilkada Kabupaten Malaka, 2020.
Pak Tua antusias sekali menyambut perkenalan saya. Rupanya rajin juga mengikuti
catatan saya di website pribadiku di https://setapakrainumbei.blogspot.com/,
dengan membacanya dengan penuh khidmat dan saksama.
Pak
Tua langsung mengawali gesah soal pemilihan kepala daerah (pilkada) di
Indonesia yang akan terjadi pada Rabu, 09 Desember 2020 nanti. Ia memaparkan
analisisnya. Ternyata tak kalah dengan pengamat profesional yang biasa muncul
di televisi. Bahkan terasa lebih bernas. Saya serius menyimaknya.
Dengan
metafor bunga mawar yang dikutip dari Bung Karno, Pak Tua berteori: “bunga
mawar tak mempropagandakan harum semerbaknya. Dengan sendirinya harum semerbak
itu tersebar di sekilingnya.”
Saya
acungi jempol analisisnya. Teori “politik bunga mawar” Pak Tua tampaknya cukup
menjelaskan siapa pemenang pilkada pada 09 Desemeber 2020. Baginya, tak ada
jaminan petahana menang karena masyarakat sekarang sudah pintar. Tak ada ja
minan koalisi partai politik (parpol) besar menang. Tak ada jaminan basis
pendukung parpol akan memilih pasangan calon (paslon) yang diusung parpol
tersebut.
Pak
tua mengisahkan pengalamannya melihat situasi pilkada di Provinsi Sulawesi
Selatan, Paslon Partai Golkar di Sulawesi Selatan keok oleh paslon yang di
usung parpol lain. Padahal Sulawesi Selatan lumbung Partai Gol kar. PKB yang
jaya di Jawa Timur harus melihat kenyataan basis pendukungnya banyak yang
memilih paslon parpol lain. Di daerah Mataraman Jawa Timur banyak pula
“banteng” ke luar kandang. Tak mau pilih paslon PDIP. Koalisi dua parpol terbesar
di Jawa Timur, PKB dan PDIP, ternyata tak menjamin kemena ngan paslonnya.
Bahkan pilwali di Makassar dimenangi kotak kosong. Padahal paslon didukung 10
parpol, termasuk parpol besar. Tapi realitas bicara lain. Rakyat sungguh
memberi pelajaran berharga buat perpolitikan negeri ini. “Rakyat lebih
pintar parpol,” kata Pak Tua dengan terkekeh dalam dialek Bahasa Tetun Terik
Fehan.
Pak
Tua boleh jadi benar. Apa kah parpol tidak bekerja? Bekerja. Tapi apa yang
dilakukan tak akan melampaui kadar keharuman bunga mawar itu sendiri. Yang
dilakukan parpol (dan relawan) saat pilkada sesungguhnya hanyalah membantu
meluaskan sebaran keharuman paslon. Tapi publik memiliki “kepekaan” sendiri
untuk merasakan kadar keharuman itu. Publik ternyata tidak gampang lagi dicocok
hidungnya agar patuh. Saya mengamini pikiran Pak Tua bahwa parpol harus
belajar dari fenomena tersebut.
Maka
kata kuncinya adalah kaderisasi. Kata Pak Tua, tumbuhkan bunga mawar sebanyak
mungkin di bumi Nusantara, hal ini terlebih khusus untuk Rai Malaka tercinta
ini. Fenomena pilkada kemarin yang terjadi di beberapa Provinsi memperlihatkan betapa di tubuh parpol ada
masalah serius soal kaderisasi.
Saya
cocok dengan teori “politik bunga mawar” Pak Tua. Di negara demokratik modern,
kaderisasi politik adalah tugas dan tanggung jawab pokok parpol. Parpol harus
mendidik dan menyiapkan para anggotanya sebagai calon pemimpin politik, bukan
calon provakasi untuk memecahkan belahkan rakyat dalam tatanan kehidupan social.
Parpol
dibentuk dengan ideologi yang berbeda-beda. Parpol dibedakan berdasarkan ciri
paradigmatik (ideologis). Tanpa ciri paradigmatik keberadaan parpol patut
dipertanyakan. Tak rasional dibentuk dan ditawarkan kepada rakyat untuk dipilih
sebagai pelembagaan politik. Kerangka berpikir yang menjadi ciri paradigmatik
itulah yang kelak menuntun kadernya sebagai pemimpin politik. Yang mengarahkan
kebijakan kepemimpinan kadernya. Maka kader parpol adalah calon pemimpin
politik yang menguasai ideologi partainya. Ini teorinya.
Maka
menjadi aneh bila parpol kebingungan calon pemimpin politik. Lalu mencari-cari
tokoh luar yang dianggap populer. Boleh jadi parpol tak menjalankan tugas dan
tangung jawab utamanya. Atau parpol tersebut memang tak memiliki ciri para
digmatik yang jelas.
Pertumbuhan
parpol di Indonesia pascareformasi, saya kira, patut dikritik dari sudut funda
mental itu. Rakyat disuguhi par pol yang amat banyak, tapi tak jelas ciri
paradigmatik yang membedakannya. Banyak parpol, tapi sedikit pilihan. Parpol di
bentuk terkesan formalitas untuk memenuhi ambisi politis pemim pinnya.
Faktanya sejumlah parpol dibentuk melalui pembelahan yang dilakukan elitenya.
Setelah mereka kalah dalam perebutan kekuasaan di internal parpol tersebut.
Menurut
Pak Tua, kita ternyata masih suka melihat “tokoh”, bukan “pokok”. Padahal,
pokok lah yang melahirkan tokoh. “Bung Karno besar karena pikiran dan
tindakannya besar,” tegas Pak Tua. Dan itulah kristalisasi keringat. Itulah
kadar keharuman sang bunga mawar.
Karena
itu pula model koalisi politik juga tidak jelas dasarnya. Yang terjadi adalah
koalisi pragmatis model “koalisi tokoh”. Bukan “koalisi pokok”. Pada satu momentum
politik parpol berkoalisi, tapi pada momentum lain berhadapan. Koalisi pada
pilgub Jawa Timur yang baru lalu, misalnya. Pasangan Ipul-Puti disokong PKB,
PDIP, Partai Gerindra, dan PKS. Padahal di pentas nasional dan di sejumlah
daerah parpol tersebut berhadapan. Bangungan koalisi lalu rapuh, tidak bisa
dipolakan, dan rentan konflik.
Di
sisi lain muncul kader “kutu loncat”. Orang bisa dengan mudah pindah parpol.
Hari ini kader parpol A, besok parpol B, lusa par pol C. Atau parpol juga gam
pang memberikan kursi kepada tokoh tertentu yang dinilai populer. Parpol dan
tokoh ter nyata cende rung cuek terhadap urusan “pokok”.
Karena
itu pula arah kebijakan kepemimpinan politik kader parpol satu dengan parpol
lain sering kali sulit dibedakan. Bupati/gubernur A (dari parpol A) ternyata
punya selera kebija kan yang sama dengan bupati/gubernur B (dari parpol B).
Tokoh berubah, tapi pokok tetap. Aneh, tapi nyata.
Secara
akademis muncullah pertanyaan apakah model kepar taian di negara Pancasila memang
seperti itu? Tatkala ideologi negara sudah ditetapkan (Panca sila), apakah
parpol sudah tidak perlu bicara ideologi? Lalu di mana fungsi ideologis
kepartaian?
Tak
terasa saya harus pamit Pak Tua karena hamper sudah larut malam. Terima kasih
atas gesah yang men cerahkan. Pak Tua berdiri menepuk pundak saya sambil
berujar, “Bunga mawar tak hanya harum semerbak. Tapi juga warna-warni nan
indah.”
Tendensi
Politik, Bunga, dan Peristiwa Manusia
Kepada
kesedihan, bunga berikan penghiburan dan penguatan sembari mengingatkan untuk
selalu berdoa. Kepada kegembiraan, bunga berikan ucapan selamat dan semangat
berkarya sembari mengingatkan untuk tak lupa bersyukur.
Bunga
bukan sekedar tanaman biasa. Bagi manusia, bunga punya arti simbolik dalam
kehidupannya. Di dalam kehidupan itu ada dua buah ruang besar yang sudah pasti
pernah dimasuki manusia, yakni suka cita (kegembiraan) dan duka cita
(kesedihan). Ketika manusia berada di dalamnya maka dengan caranya bunga pun
turut menemani.
Bunga
hadir di kedua ruang itu untuk memberikan sentuhan kemanusiaan pada sisi
terdalam si manusia-yang seringkali lalai dan terlindas putaran beban duniawi.
Bunga datang tanpa bawa keriuhan karena ia tahu di ruang itu berisi keheningan.
Di sana ia berbicara lembut mewakili berjuta kata yang dimiliki manusia namun
tak mampu terungkap.
Di
ruang kesedihan maupun kegembiraan bunga hadirkan harapan karena ia tahu
manusia harus menjalani putaran waktu dan aneka peristiwa baru di perjalanan
kehidupannya. Kepada manusia, bunga ingin katakan "kau tidak
sendiri. Ada banyak teman yang menyertaimu. Apapun kondisimu."
Bahasa
bunga tak mengenal siasat dan tendensi dunia politik walau seringkali hadir si
peristiwa politik. Ia datang kesana agar setiap manusia politik itu ciptakan
jalinan harapan bersama dan kebajikan. Untuk kehadirannya itu ia
memanggil para nurani tersesat, dibangunkannya yang tertidur, dirangkulnya
yang tersisih dan diobatinya yang terluka.
Bunga
tak perduli apakah pemilik kedua ruang itu manusia yang dimusuhi banyak orang
atau yang dikasihi sekelompok orang. Baginya ruang kegembiraan atau kesedihan
tak mengenal dikotomi lawan-kawan. Semua dianggap sama, mereka sama-sama butuh
harapan untuk lebih baik di dalam hidupnya.
Kalau
kemudian bahasa bunga diselewengkan dengan ragam saling silang telikung kata
dan suara cemooh manusia, hal itu tak menyurutkan spirit perjalanan bunga ke
ruang-ruang terdalam manusia itu sendiri. Perjalanan itu meninggalkan jejak
yang jelas sejak dari titik keberangkatan setiap penjuru mata angin hingga tiba
di ruang kegembiraan atau kesedihan.
Dengan
mata nurani yang jernih jejak itu terlihat; berisi empati dan ketulusan. Dan
bunga selalu percaya setiap manusia tak akan bisa mengingkari nuraninya walau
ditutupi beragam kata kotor sekalipun. Untuk itu ia tetap sabar mengajak mereka
meniti jejak itu sebagai rute perenungan perjalanan
hidup mereka sendiri.
Kapan
dan dimana? Kelak ketika si manusia itu 'dipaksa takdir' memasuki ruang
kegembiraan atau justru kesedihan yang mendalam.
Politik
Bunga yang Lucu-lucu Gimanaaa Gitu!
Tiga
anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore itu. Akrab,
atau bahkan mungkin hafal dengan kalimat-kalimat sederhana yang sangat
deskriptif itu? Ya, itu adalah penggalan awal baris-baris puisi Taufiq Ismail
berjudul 'Karangan Bunga' yang kita pelajari sejak SD dan SMP dulu.
Jika
kita ingat lanjutannya —Ini dari kami bertiga/ Pita hitam pada karangan
bunga/ Sebab kami ikut berduka/ Bagi kakak yang ditembah mati/ Siang tadi—
maka terlihat bahwa dalam puisi itu karangan bunga dimaksudkan sebagai bentuk
ungkapan duka cita.
Termuat dalam buku 'Tirani dan Benteng' yang pertama kali terbit pada 1966,
puisi tersebut lahir dari situasi politik masa itu. Kala itu, terjadi
demonstrasi mahasiswa melawan pemerintah Orde Lama. Bunga, setidaknya dalam
puisi itu, terasa dekat dengan dunia politik, menjadi idiom untuk mewakili
sebuah sikap polos dari anak-anak yang bersimpati pada perjuangan mahasiswa.
Bunga
memang bisa menjadi apa saja, untuk mewakili ungkapan perasaan. Sampai-sampai,
ada peribahasa yang sangat terkenal; ungkapkanlah dengan bunga. Pada Sitor
Situmorang, bunga mewakili perasaan kesepian yang teramat sangat. Simak puisi
pendeknya yang cukup terkenal, 'Bunga di Atas Batu':
bunga
di atas batu/ dibakar sepi // mengatas indera/ ia menanti // bunga di atas
batu/ dibakar sepi
Kelak,
di kemudian hari, bunga menjelma menjadi simbol perjuangan yang "mengerikan"
pada puisi Wiji Thukul, penyair-aktivis yang hilang dalam huru-hara Reformasi
1998.
Seumpama
bunga/ kami adalah bunga yang tak kau kehendaki/ tumbuh…//…kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi/ kami sendiri // jika kami bunga/ engkau adalah tembok/
tapi di tubuh tembok itu telah kami tebar biji-biji/ suatu saat kami akan
tumbuh bersama/ dengan keyakinan: engkau harus hancur.
Imajinasi
sang penyair yang ingin menghancurkan tembok dengan menebar biji yang kelak
tumbuh bunga, merupakan sesuatu yang menggetarkan. Mengapa bunga? Menghancurkan
tembok dengan bunga? Sungguh mengejutkan bahwa Wiji Thukul, seorang buruh yang
berorganisasi dan menulis puisi, menggunakan matafora bunga sebagai sesuatu
yang kelak menumbangkan tirani.
Kita
pun jadi ingat sebuah cerita pendek yang legendaris karya Kuntowijoyo yang
ditulis pada 1968, berjudul 'Dilarang Mencintai Bunga-bunga'. Cerpen ini
mengisahkan hubungan antara sang tokoh utama, seorang bocah dengan bapaknya
yang mendidik dirinya dengan keras. Sang bapak selalu menunjukkan wibawanya
sebagai orangtua dengan menanamkan nilai-nilai keberanian dan kekuatan seorang
laki-laki kepadanya.
Namun,
secara ironis, sang bocah justru memperlihatkan kecenderungannya menyukai
bunga-bunga, yang dianggap sebagai simbol kelemahan. Hal itu akibat dari
persahabatannya dengan seorang kakek tetangga dekat rumahnya, yang mengajarkan
sesuatu yang berbeda dengan apa yang diajarkan sang ayah.
Sang
kakek gemar merawat bunga, dan bocah itu belajar darinya tentang makna
kedamaian dan keindahan; bahwa selain keberanian dan kekuatan seperti yang
diajarkan ayahnya di rumah, orang perlu juga mengenal nilai-nilai kelembutan
dan ketenangan, yang disimbolkan dengan bunga --sesuatu yang membuat sang ayah
marah.
Bunga
memang subversif. Ia bisa terasa mengusik, mengganggu, mengancam, dan
mengintimidasi karena kekayaan makna yang bisa disampaikan olehnya. Ketika
seseorang merayakan sebuah kebahagiaan atau kemenangan dalam hidupnya, lalu
mendapatkan hadiah bunga, maka yang terjadi adalah sebuah kelaziman. Bunga
seolah menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya.
Namun,
ketika ada orang yang kalah dalam sebuah pertandingan, katakanlah menjadi
"pecundang", namun mendapat kiriman karangan bunga yang mengalir
tiada henti, maka hal itu menjadi masalah. Bunga tiba-tiba menjadi sesuatu yang
"melawan kodrat"-nya; dan itu membuat banyak orang gelisah. Masa orang
yang sedang "menderita" kekalahan justru mendapat ungkapan simpati
lewat bunga, ini jelas ndak benar!
Pasti
semua itu hanya rekayasa. Maka, timbullah berbagai spekulasi, komentar dan
analisis; ada yang mengatakan bunga-bunga itu adalah rekayasa —sebenarnya
pengirimnya hanya satu orang, dengan ucapan yang dibuat bermacam-macam.
Bunga-bunga itu adalah sebuah "kecelakaan"; sudah telanjur dipesan
untuk merayakan kemenangan, namun ternyata kekalahanlah yang didapat, maka
dibuatlah seolah-olah bunga-bunga itu adalah bentuk dukungan spontan tanda
simpati.
Ada
juga yang dengan lantang dan keras berteriak, bunga-bunga itu hanyalah
pencitraan murahan. Namun, semakin orang mengomentari macam-macam soal
bunga-bunga itu, justru diam-diam semakin menunjukkan bahwa orang mengakui
sedemikian besar makna bunga-bunga itu. Bunga-bunga yang diam membisu itu,
pasrah diterpa angin atau pun hujan, seolah-olah bicara sendiri; bicara banyak
tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Apapun
kata orang, faktanya, bunga-bunga terus mengalir, melebur sampai tak tertampung
di tempat yang semestinya. Orang-orang bahkan rela antri untuk berfoto bersama
bunga-bunga itu, atau memfoto satu per satu karangan bunga itu sendiri, lalu
menyebarkannya. Sehingga, orang bisa membaca ucapan yang tertera pada tiap-tiap
karangan bunga itu, yang semuanya bernada lucu-lucu.
Bunga-bunga
itu ternyata seolah-olah sedang menertawakan diri sendiri, menertawakan sebuah
kekalahan yang memang mau diapain lagi, namanya sudah kalah….
Pada
akhirnya, bunga-bunga yang dipersoalkan oleh sebagian kelompok orang itu
ternyata justru pertama-tama bukan ditujukan kepada pihak penerima. Melainkan,
bunga-bunga itu —kalau kita lihat fotonya satu per satu yang beredar di sosmed—
sebenarnya ditujukan untuk kesenangan dan hiburan pihak pengirimnya sendiri,
sebagai bentuk lucu-lucuan, main-main, dengan berbagai ucapan yang aneh-aneh;
dari 'undangan pernikahan' hingga berbagai plesetan dan lawakan lainnya.
Dan,
hal itu pun ternyata justru semakin membuat sebagian orang, kelompok-kelompok
tertentu, yang merasa terganggu, terancam, terintimidasi, semakin merasa
gimanaaa…gitu. Lho, wong kalah kok malah tertawa. Bersuka ria dengan
bunga-bunga. Foto-foto. Mestinya kan sedih dan menangis tersedu-sedu. Terpuruk
menyesal di pojokan. Lagi-lagi, ini jelas ndak benar!
Tapi,
seperti kata kakek pecinta bunga sahabat sang bocah dalam cerpen Kuntowijoyo
tadi, "Menangis adalah cara yang sesat untuk meredakan kesengsaraan.
Kenapa tidak tersenyum, Cucu? Tersenyumlah. Bahkan, sesaat sebelum orang
membunuhmu. Ketenangan jiwa dan keteguhan batin mengalahkan penderitaan. Mengalahkan,
bahkan kematian…."
Ah,
seandainya bunga-bunga itu sejak awal dibiarkan saja —tapi, apa mungkin? Dari
aromanya saja, bunga-bunga dengan aneka warna yang indah itu kadang memang bisa
meresahkan. Bunga mawar di malam Jumat misalnya, bikin bulu kuduk merinding.
Bunga memang bisa menjadi apa saja, bermakna apa saja, ditafsirkan sebagai apa
saja. Ya, politik bunga itu sungguh subversif. Kabar terakhir, mereka membakar
bunga-bunga itu….
Jadilah
Seperti Bunga
ADA pitutur
luhur mengatakan "Jadilah seperti bunga yang memberikan keharumannya,
bahkan pada tangan yang menghancurkannya."
Pitutur
ini mengajarkan bagaimana kita bersikap, bermasyarakat, memberikan makna kepada
lingkungan sekitarnya. Bagaimana hidup kita memberikan banyak manfaat kepada
orang, setidaknya bagi diri sendiri.
Jika
diibaratkan bunga, jadilah bunga yang menebar keharuman, bukan bau kebusukan.
Bahkan, ketika bunga itu dihancurkan, tetap memberikan aroma keharuman kepada
tangan yang meremasnya.
Begitu
pun hendaknya sikap dan perilaku kita seperti telah diajarkan para leluhur,
pendiri negeri melalui pedomam hidup bangsa, yakni Pancasila.
Pancasila
adalah falsafah hidup dan kepribadian bangsa Indonesia yang mengandung
nilai-nilai luhur, norma dan etika serta budaya.
Kita
pun telah meyakini bahwa nilai - nilai tersebutlah yang paling benar, adil, dan
tepat bagi bangsa Indonesia untuk mempersatukan bangsa.
Berbagai
peristiwa telah mewarnai perjalanan sejarah bangsa semenjak Proklamasi 17
Agustus 1945 hingga saat ini. Dan Pancasila pun telah berulang kali teruji
sebagai Dasar Negara tidak pernah sekalipun tergoyahkan.
Itulah
satu makna kesaktian Pancasila yang telah kita resapi, cermati dan dalami
sebagai momen penting dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan negara.
Dasar
negara atau ideologi bangsa, harus makin kuat dan diperkuat. Siapa yang
memperkuat platform dasar negara kita? Jawabnya kewajiban kita semua. Ya,
negaranya, punggawanya, rakyatnya.
Platform
dasar negara harus kuat agar senantiasa terhindar dari goncangan, agar negara
kita mampu mempertahankan survivalnya.
Kejadian
di negara lain, sebut saja Uni Soviet dan Eropa Timur di tahun sembilan puluhan
dapat dijadikan pelajaran bagaimana kita wajib membangun ideologi yang
kuat untuk mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa dan juga negara.
Lantas
bagaimana caranya memperkuat dasar negara sebagai pedoman hidup bangsa?
Jawabnya tidak akan sulit, jika kita mau mengamalkan nilai- nilai Pancasila
secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.
Ini
sebagai konsekuensi logis karena Pancasila sebagai pandangan hidup berarti
sebagai petunjuk arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maknanya
setiap warga, siapa pun dia, hendaknya baik dalam tutur kata bahasanya, sikap
dan perilakunya harus mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Merujuk kepada ketentuan, terdapat 36 butir-butir Pancasila sebagai
penjabaran dari lima asas/sila yang ada. Beberapa di antaranya yang cukup
relevan dengan situasi terkini adalah mengembangkan persatuan Indonesia
atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Artinya
Pancasila amat menekankan kesatuan dan persatuan, tetapi tanpa mematikan atau
melenyapkan kebhinekaan yang ada. Tentu, menghargai kebhinekaan dalam batas
toleransi, tidak membahayakan persatuan.
Ini
perlu, mengingat kita harus memahami bahwa potensi disintegrasi tetap ada dan
akan selalu ada. Sekecil apa pun potensi harus kita waspadai.
Dikaitkan
dengan penanganan pandemi saat ini, yang perlu dikembangkan adalah sikap suka
memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
Uluran
tangan dari mereka yang berada, yang memiliki kelebihan kepada mereka yang
serba kekurangan sangatlah dibutuhkan.
Ingat!
Dampak buruk pandemi sangat dirasakan, tak hanya sektor ekonomi. Juga sosial
budaya dan keamanan.
Itulah
sebabnya, tak kalah pentingnya meningkatkan kepedulian sosial melalui sikap
saling menghargai, menghormati dan mencintai sesama.
Bukan
saling memprovokasi, apalagi menebarkan sikap saling membenci dan menyakiti.
Sebab,
tak ada orang yang terlahir untuk membenci orang lain karena warna kulitnya,
latar belakangnya, atau agamanya.
Kita
tidak dilahirkan untuk saling menyakiti. Marilah bagaikan bunga yang selalu
menebar keharumannya kepada siapapun dia, termasuk orang membenci dan
menyakiti.
Penulis:
Frederick Mzaq (Penimba Inspirasi Jalan Setapak/Suara Akar Rumput)