Agama Penyihir, Agama Lokal, Agama Impor (Agama Impor Bersumber dari Agama Lokal)

Agama Penyihir, Agama Lokal, Agama Impor (Agama Impor Bersumber dari Agama Lokal)

Agama Penyihir, Agama Lokal, Agama Impor

(Agama Impor Bersumber dari Agama Lokal)

 Agama monoteis kekerabatan kemudian tersusun menjadi agama monoteisme-monarkhial setelah pembentukan kerajaan di kemudian hari.





SERIBUAN orang berkumpul di Washington Hebrew Congregation, sinagoge dan pusat agama Yahudi, di Washington DC, Amerika Serikat, Minggu, 10 September 2017. Mereka datang dari berbagai latar belakang agama yang akan mengikuti unity walk. Unity walk jalan bersama di antara para penganut berbagai agama untuk memperingati serangan teroris 11 September 2001 terhadap Gedung World Trade Center dan Pentagon. Unity walk merupakan simbol penolakan agama-agama terhadap terorisme. Berawal dari sinagoge tersebut, para peserta melewati dan menyambangi rumahrumah ibadah berbagai agama, lalu berakhir di Islamic Center Washington.


Berikut kesaksian orang-orang yang mengikuti 2017 Senior Journalist Seminar yang diorganisasi East-West Center, Honolulu, Amerika Serikat,peserta unity walk. Di Washington Hebrew Congregation, agama-agama membuka semacam konter. Yang menarik perhatian saya konter agama Wicca. Wicca bisa dikatakan agama penyihir yang menganggap Tuhan itu ajaib. Keberadaan konter agama Wicca mengonfi rmasi apa yang saya baca di  buku The Geography of Faith karangan Eric Weiner. Eric Weiner yang juga wartawan ini melaporkan keberadaan Wicca dalam bukunya.


 Selain Wicca, Eric juga melaporkan keberadaan agama Raelisme dan Syamanisme dalam bukunya. Raelisme agama yang ‘menuhankan’ unidentifi ed fl ying object (UFO). Penganut Raelisme percaya Tuhan itu nun jauh di sana. Syamanisme memetaforakan Tuhan serupa hewan.


Amerika yang menjunjung kebebasan beragama ‘mengakui’ agama-agama yang aneh bagi kita itu. Saya tidak sanggup membayangkan bila Wicca, Raelisme, atau Syamanisme ada di Indonesia yang katanya menganut kebebasan beragama juga.


Tidak sanggup membayangkan karena agama-agama itu pasti menjadi sasaran unjuk rasa, diskriminasi, dan penolakan bertubitubi, baik dari kelompok tertentu dalam agama mayoritas maupun negara. Jangankan agama-agama ‘ajaib’ itu, agama minoritas atau kelompok minoritas dalam agama mayoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah pun kerap mendapat diskriminasi dan tekanan. Agama-agama tradisional serupa nasibnya dengan agama-agama minoritas lain.


 Paling mutakhir agama tradisional yang mendapat diskriminasi ialah penganut Sunda Wiwitan. Pemerintah Kabupaten Kuningan menghentikan pembangunan kuburan leluhur Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan di Curug Goong, Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Massa dari kelompok agama mayoritas datang ke lokasi mendukung penghentian pembangunan kuburan itu.


Alasan penghentian pembangunannya klise, yakni tidak ada izin mendirikan bangunan. Ini serupa alasan penolakan pembangunan sejumlah gereja. Padahal, masyarakat adat sudah mengupayakan pembangunan kuburan itu sejak 2014. Mereka juga sudah mengurus IMB.


Satu per satu aset masyarakat adat juga dipereteli, mulai Leuweung Leutik, Tanah Mayasi, Paseban, hingga Curug Goong. Leuweung Leutik tanah adat yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Pemkab Kuningan menerbitkan sertifi kat hak milik pribadi atas tanah tersebut. Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan menggugat ke pengadilan supaya penerbitan sertifi kat itu dibatalkan.


Agama-agama tradisional itu sesungguhnya agama-agama asli orang Indonesia. Enam agama yang diakui negara, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, kiranya agama-agama impor. Celakanya, agama-agama impor ini ‘mengalahkan’ agamaagama lokal. Agama impor seolah menjadi tuan rumah di negeri ini. Ini serupa barang impor yang mendominasi barang lokal dalam dunia ekonomi.


Negara menyebut agama-agama impor itu sebagai agama resmi. Bila ada agama resmi, berarti ada agama tak resmi, dan agama-agama tak resmi itu terutama agama-agama lokal. Negara mendiskriminasi agama lokal itu dengan secara tidak langsung menabalkannya sebagai agama tak resmi. Ini pada gilirannya mendorong kelompok tertentu dalam masyarakat mendiskriminasi agama-agama lokal tersebut. Diskriminasi ialah kekerasan. Inilah yang oleh fi lsuf Hannah Arendt disebut kekerasan negara menular ke masyarakat.


Konstitusi mewajibkan negara menjamin kebebasan orang memeluk agama dan mengekspresikannya dalam kehidupan seharihari. Negara melanggar konstitusi bila abai melindungi kebebasan beragama. Pembangunan kuburan leluhur Masyarakat Adat Karuhun merupakan ekspresi keberagamaan penganut Sunda Wiwitan. Penghentian pembangunannya ialah bentuk pengabaian negara melindungi kebebasan beragama, dan itu merupakan pelanggaran konstitusi. Pemerintah pusat mesti turun tangan.

 

Agama Impor Bersumber dari Agama Lokal

Salah satu kegiatan aliran kepercayaan

























Agama lokal selalu menarik untuk dibicarakan. Dalam studi antropologi abad 19 dan abad 20 agama lokal disebut bermacam-macam. Ada yang menyebut animisme/ dinamisme, ada yang sebut agama suku atau agama pre-literer.

Semua sebutan itu merujuk pada makna agama bagi orang-orang berperadaban rendah. Demikian disampaikan Julianus Mojau, Rektor Universitas Halmahera dalam Dialog Komunitas Adat "Kepercayaan/ Agama Asli dan Posisinya Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia" di Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Ke-4 di Halmahera Utara, 19-25 April 2012.


"Saya lebih senang menyebut agama lokal sebagai agama kekerabatan. Agama manapun secara antropologis pada mulanya adalah agama keluarga, kekerabatan dalam komunitas kultural tertentu,"ujar Julianus.


Atas dasar bahwa semua agama bermula dari kekerabatan, ia mengusulkan semua agama dari komunitas etnis di Indonesia seharusnya memiliki posisi yang sederajat. "Kepercayaan Yehuwa dalam tradisi Agama Yahudi dan Kristen pada awalnya adalah agama nenek moyang Abraham, Ishak, Ismail dan Ya'kub. Seperti juga O Gomanga sebagai kepercayaan semua sub etnis Tobelo, Galela, Loloda dan Tobaru yang sekarang mendiami Halmahera," kata Julianus.


Alasan kedua, menurut Julianus, karena semua agama juga mengandung aspek edukatif dan memiliki daya membentuk kepribadian yang kuat, seperti agar manusia berbudaya, etis baik secara sosial maupun sosial.


Ketiga, orang yang berbudaya adalah beragama, juga setiap orang beragama adalah orang berbudaya. "Dalam masyarakat lokal pra aufklarung tidak ada pemisahan antara agama dan budaya," ujarnya. Setiap agama yang lahir merupakan hasil dari proses kultural manusia. Dan setiap kultur akan mengkristal menjadi agama.


Keempat, setiap agama lokal juga memiliki kesadaran monoteis. Hanya saja dalam masyarakat lokal konsep monoteis lebih bersifat nomaden bersifat cair dan terbuka. "Inilah ciri agama lokal di nusantara jauh sebelum agama monoteis monarkhial masuk ke Indonesia," katanya.


Kelima, dari agama monoteis kekerabatan itu kemudian tersusun menjadi agama monoteisme-monarkhial setelah pembentukan kerajaan di kemudian hari. Di Timur Tengah itu terjadi 310-332 sebelum Masehi. Di nusantara struktur agama monoteis-monarkhial itu terjadi saat kedatangan orang China dan makin kuat monoteis-monarkhial dalam masa kejayaan Hindu, Islam dan Kristen.


Keenam, agama monoteis-monarkhial baik Islam, Hindu, Kristen, Budha semua berwatak ekspansionis dan idelogis tertutup. "Inilah akal persoalan tidak diakuinya agama lokal kekerabatan,"ujar Julianus. Ia mengusulkan jika ada yang menginginkan agama lokal diakui keberadaanya, maka jalannya adalah meminta agama monoteis-monarkhial diinisiasi kembali ke dalam air atau roh agama monoteis nomaden. "Selama tak ada kerelaan diinisiasi kembali mala sulit terjadi kebijakan politik identitas yang negosiatif dalam hukum positif kita," ujarnya.


Ketujuh, baik agama monoteis kekerabatan maupun monoteis-monarkhial semua memiliki mitos, ritual dan etika. "Sebaikanya semua agama dihargai sebagai agama yang sah seperti diakui dengan jelas dalam UUD 1945 tentang agama dan kepercayaan," terangnya.



Sumber:

https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1888-agama-penyihir-agama-lokal-agama-impor

https://www.beritasatu.com/nasional/44336/agama-impor-bersumber-dari-agama-lokal

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama