Yulhasni Anggota
KPU Sumatra Utara | Opini
Substansi Data Pemilih Terkait Sengketa di MK Yulhasni Anggota KPU Sumatra Utara | Opini kpu.go.id MEDIA INDONESIA, Selasa (5/1), melansir berita bertajuk ‘KPU Didesak Benahi Daftar Pemilih.’ Mengutip pernyataan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantobi, daftar pemilih tetap (DPT) yang masih kisruh berpotensi menjadi salah satu hal yang dipersoalkan dalam perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Masih
di berita yang sama, Koordinator Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu
Mochammad Afifuddin mengatakan pascapenetapan DPT, jajaran Bawaslu masih
menemukan pemilih tidak terdaftar sebanyak 25.435 orang, pemilih yang tidak
memenuhi syarat (TMS) masih terdaftar di DPT sebanyak 39.113 orang, dan
penduduk potensial memiliki hak pilih, tapi tidak memiliki dokumen kependudukan
sebanyak 676.030 orang.
Data
pemilih
KPU telah bersiap-siap menghadapi sengketa
perselisihan di Mahkamah Konstitusi (MK), yang telah menerima 123 permohonan
terdiri dari 109 permohonan sengketa hasil pemilihan bupati, 13 sengketa hasil
pemilihan wali kota, dan satu sengketa hasil pemilihan gubernur. Meski terkait
dengan perselisihan perolehan suara, akan tetapi sengketa di MK senantias
menyeret aspek yang lain, terutama data pemilih.
Menjawab
dua hal di atas, penting dijabarkan proses pemutakhiran data pemilih pada
Pemilihan Serentak 2020 kemarin, yang sudah selesai di 270 daerah. Hal
substansi terkait dengan suara rakyat berkaitan prinsip administrasi sejak awal
sudah diminimalisasi KPU. Sejak 15 Juli 2020 sudah memulai dengan Gerakan
Coklit Serentak yang bermakna proses pendataan pemilih telah dimulai, dan
kemudian diselesaikan dengan penetapan daftar pemilih tetap (DPT) pada 16
November 2020.
Secara
administratif, KPU sudah menjalankan tahapan sesuai regulasi. Proses perbaikan
data pemilih dikerjakan secara simultan dan berjenjang. Akan tetapi, proses
tahapan tersebut masih menyisakan berbagai problem terkait data pemilih yang
belum melakukan perekaman KTP elektronik.
Anggota
KPU RI Viryan meng akui sebelumnya bahwa terdapat 1% atau 1.052.010 pemilih
dalam Pilkada 2020 yang belum melakukan perekaman e-KTP. Hal itu juga diamini
Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri
Zudan Arif Fakrulloh yang mengatakan 98,95% pemilih dalam Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) 2020 telah melakukan perekaman e-KTP.
Data ini, tentu menjadi perhatian ekstra bagi
KPU sebagai penyelenggara, karena sikap profesionalisme menjaga suara rakyat
adalah hal yang mutlak, karena itu adalah mahkota. Tidak sedikit anggota KPU di
Indonesia yang mendapat sanksi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) sebagai akibat tidak profesionalnya menjaga hak suara rakyat dalam hal
data pemilih.
KPU
sudah mengambil jalur dan peran dalam usaha membantu pemerintah menggerakkan
perekaman e-KTP. Pada konteks inilah kemudian gerakan Mendukung Perekaman e-KTP
yang digaungkan KPU pada Rakor se-Indonesia di Yogyakarta tahun lalu, dimaknai
sebagai langkah konkret menjaga substansi hak pilih rakyat.
KPU
dan jajarannya tidak lagi hanya menunggu warga memenuhi legalitas
administrasinya agar dapat memilih. Tetapi, melakukan upaya jemput bola dengan
mendata ulang warga yang belum memiliki e-KTP. Berbagai gerakan mendukung
perekaman e-KTP itu, misalnya, dengan menyurati pemilih agar segera mendatangi
Disdukcapil, atau memobilisasi pemilih di suatu tempat yang kemudian didatangi
Disdukcapil. Bahkan sebagian PPK dan PPS langsung mendatangi pemilih dengan
menyerahkan surat pemberitahuan jadwal perekaman e-KTP.
Aspek
substansi daftar pemilih selalu berbenturan dengan legalitas administrasi
kependudukan. Secara faktual, pemilih jelas keberadaannya dan telah masuk di
DPT, tetapi aspek legalitas administrasi mereka tidak memiliki e-KTP. Perbenturan
aspek substansi dan legalitas adminitrasi tidak bisa diselesaikan hanya dengan
gerakan perekaman e-KTP semata. Banyak faktor yang menyebabkan proses perekaman
tidak seideal yang dibayangkan para pengambil kebijakan.
Di
berbagai daerah yang melaksanakan Pilkada 2020, aspek geografi s dan psikologis
menjadi kendala melambatnya proses perekaman e-KTP.
KPU
sangat berkepentingan status perekamanan e-KTP pemilih di DPT menjadi nol.
Dengan demikian, warga yang menggunakan hak pilihnya di TPS benar keberadaannya,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sejak awal proses pendataan
dilakukan dalam upaya memastikan bahwa yang menggunakan hak pilihnya di TPS,
adalah mereka yang terdaftar di DPT atau penduduk setempat, bukan orang yang
digerakkan kekuatan politik tertentu. Oleh karena itu, basis pendataan tidak
merujuk kepada aspek administrasi (KTP-el dan KK) saja, akan lebih penting
adalah aspek faktualnya.
Duduk bersama
Pemilihan
Serentak 2020 memang rentan dengan upaya-upaya mobilisasi pemilih sebagaimana
pernah terjadi pada Pilkada 2015 yang memunculkan ghost voter, yakni pemilih
yang menggunakan hak pilih bukan atas nama dirinya, atau menggunakan identitas
orang lain untuk menggunakan hak pilih. Hal ini dimungkinkan karena pada
regulasi PKPU ketika itu dalam terkait pemungutan dan penghitungan suara
disebutkan, pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak
pilihnya dengan menunjukkan KTP, kartu keluarga, paspor, atau identitas lain.
Idealnya,
dalam praktik demokrasi, aspek substansi tidak terbentur legalitas
administrasi. Karena semangat menjaga hak konstitusi rakyat sejatinya berada
pada wilayah substansi, sebagaimana proses pendataan pemilih yang dilakukan KPU
secara berjenjang. Pada kondisi yang lain tidak dapat dipungkiri bahwa pemilu dan
pemilihan masih mendapat tantangan partisipasi rakyat itu sendiri. Indikatornya
dapat dicermati dari proses perekaman e-KTP jika dikaitkan dengan syarat
menggunakan hak pilih di TPS.
Oleh
karena itu, sejatinya dalam konteks pemenuhan hak konstitusi rakyat tersebut,
beban tidak berada di pundak KPU saja. Para pemangku kepentingan, mesti menaruh
perhatian besar terkait hal ini. Langkah percepatan ‘duduk bersama’ antara KPU,
Bawaslu, pemerintah, dan DPR harus terus diperjuangkan agar problem seperti ini
dapat dicari solusi untuk ke depannya.
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/375398/substansi-data-pemilih-terkait-sengketa-di-mk