Jakarta - Saya tetap tidak mau divaksin maupun sampai yang 63 tahun bisa
divaksin. Saya udah 63 nih, mau semua usia boleh, tetap, di sana pun hidup di
DKI semua anak-cucu saya dapat sanksi Rp 5 juta, mending gue bayar, mau jual
mobil, kek," kata Ribka Tjiptaning dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi IX
DPR bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Gedung DPR, Senayan,
Jakarta, Selasa (12/1).
Setelah raker tersebut, nama Ribka Tjiptaning
menjadi trending dan pembahasan yang menimbulkan kontroversi di media
sosial seperti Twitter, Instagram, hingga ke grup-grup Whatsapp. Hal ini banyak
memberikan berbagai spekulasi yang menjamur di masyarakat khususnya mengarah
pada hal yang kontra vaksin. Walau demikian, DPP PDIP mengklarifikasi melalui Sekjennya
menyebutkan, "Ribka Tjiptaning, jika melihat pernyataan secara menyeluruh
sebagai satu kesatuan pesan, yang disampaikan adalah mengingatkan garis
kebijakan politik kesehatan yang seharusnya kedepankan kepentingan dan
keselamatan masyarakat," demikian Hasto Kristiyanto.
Sebenarnya menanggapi tanggapan dari Anggota Komisi
IX DPR Fraksi PDIP tersebut tidak bisa dimaknai sebagai suatu pernyataan
singkat. Namun, perlu dipahami secara komprehensif termasuk apa konteks yang
ingin dimaksudkan. Apalagi Anggota DPR ini berasal dari Fraksi PDIP yang juga
sebagai partai pro pemerintah. Hal yang penting untuk dipahami adalah kedudukan
dia di sana bukan untuk memuluskan program pemerintah semata, sepatutnya salah
satu fungsi DPR ialah pengawasan yang merupakan tugas dia untuk memastikan
pelaksanaan vaksinasi nasional ini bisa berjalan dengan efektif dan efisien.
Namun bila kembali melihat situasi pandemi saat ini
merupakan hal yang sangat berbeda. Pertimbangan sains menjadi kunci utama dalam
penyelesaian pandemi yang terus mengalami peningkatan dan belum ada tanda-tanda
pelandaian. Apalagi karakteristik virus yang terus berubah-ubah atau cenderung
dinamis sehingga penanganannya pun memerlukan riset yang baik. Sementara itu,
para ahli dunia juga menyepakati untuk pencegahan penularan yang lebih besar
dibutuhkan vaksin yang diiringi pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat untuk
dapat membantu melandaikan kurva itu walau tidak menjamin 100% mencegah.
Pernyataan yang dilontarkan Ribka Tjiptaning
tersebut menuai berbagai pro dan kontra di masyarakat; disampaikan satu hari
sebelum penyuntikan vaksin Sinovac perdana kepada Presiden Joko Widodo di
Istana Negara. Pada raker yang diikuti oleh Menteri Kesehatan, Kepala BPOM, dan
Direktur Bio Farma itu dia mengkritik tajam terkait program vaksinasi nasional;
mengisyaratkan masih meragukan keamanan dari vaksin Sinovac tersebut.
Baca Juga:
Cinta Sederhana Versi Sapardi Djoko Damono
Bencana Datang Silih Berganti di Awal Tahun di Bulan Januari 2021
INFO CPNS dan Seleksi PPPK 2021, Formasi Guru Terbanyak, Siapkan Persyaratannya
Padahal, kebutuhan akan riset dalam negeri telah
hadir melalui tim pakar yang melaksanakan uji klinis tahap III yang sudah
dilakukan di Bandung, dan juga yang dilakukan di Turki dan Brazil yang telah
dipantau hingga periode 3 bulan setelah penyuntikan dosis ke-2, secara
keseluruhan menunjukkan vaksin Sinovac memiliki kemampuan membentuk antibodi
dalam tubuh dan kemampuan dalam membutuh atau menetralkan virus
(imunogenesitas). Hal tersebut yang mendasari pengeluaran Emergency Use
Authorization (EUA) untuk vaksin Covid-19 Sinovac oleh BPOM.
Sayangnya, pernyataan penolakan tersebut tidak semua
masyarakat memaknai hal yang sama dengan apa yang ibu dewan terhormat pikirkan.
Kedudukan sebagai "wakil rakyat" di DPR seharusnya dapat
"mewakili" aspirasi dan kebutuhan rakyat terhadap ketidakpastian
akhir pandemi dengan menghadirkan solusi di tengah kemelut dunia saat ini.
Diksi yang disampaikan sangat kurang tepat, menimbulkan kegaduhan, menggiring
opini, dan mengundang berbagai spekulasi.
Pandangan yang disampaikan oleh Ribka Tjiptaning
juga perlu dicermati, apakah perspektif yang diberikan itu sebagai "wakil
rakyat" atau pandangan pribadi. Pasalnya, kebutuhan vaksinasi menjadi
tumpuan utama di samping 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) dan
3 T (tracing, testing, treatment) untuk menciptakan herd immunity (kekebalan
kelompok) dalam menekan pandemi ini.
Kritik tajam dan membangun sangat diperlukan khususnya mengawasi program
vaksinasi nasional yang menargetkan 181,5 juta penduduk Indonesia ini. Karena
bila melihat konteks pandemi saat ini, sebagai anggota DPR yang terhormat lebih
penting untuk menghadirkan solusi dibanding hal yang penuh kontroversi.
M. Agung Akbar Magister Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Padjadjaran
Sumber Referensi:
https://news.detik.com/kolom/d-5333258/tolak-vaksin-aspirasi-wakili-rakyat-atau-pribadi