“Banyak yang terkena malaria. Namun tidak diobati
tapi malah ditembak Belanda,” ungkap Ida menukil ceritanya ayahnya.
Masa kegetiran itu berlangsung hingga tentara Jepang
masuk ke Hindia Belanda pada awal Maret 1942. Suasana sedikit berubah. Terlebih
ketika menjelang 1943, Moerad dan rekan-rekannya didatangi Ch. O. van der Plas,
seorang pejabat tinggi Hindia Belanda yang berpengaruh. Kepada mereka, Van der
Plas meminta para digulis untuk ikut melawan fasisme dari Australia. Upaya itu
sebenarnya untuk menghindari bergabungnya para digulis dengan bala tentara
Jepang.
Sementara itu Jepang membebaskan Hatta dan Sjahrir
dari pengasingan Hindia Belanda di Sukabumi. Praktis karena jarak mereka sangat
berjauhan, Moerad yang berada di Australia putus kontak dengan dua sahabatnya
itu. Syahdan di Sukabumi, Hatta dan Sjahrir masih melakukan kontak dengan
tokoh-tokoh pergerakan seperti Amir Sjarifudin, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sastra
dan Subagyo. Namun keduanya kemudian berpisah arah perjuangan: Hatta
menjalankan politik kooperasi dengan Jepang sementara Sjahrir melakukan gerakan
bawah tanah melawan Jepang.
Suasana Australia yang penuh dengan pengawasan dari
orang-orang Belanda tak menurunkan hasrat berorganisasi para digoelis. Moerad
bersama Rantulalo, Boerhanoeddin, Soeka, Maskoen, Djamaloeddin Thaib, Raden
Mohamad Singer (mantan Wedana Digul), Alibasah Winanta, dua letnan Angkatan
Laut Kerajaan Belanda bernama M. Nelwan dan Abdoelrachman Atmosoediredjo
berkumpul pada 24 Mei 1944 untuk membentuk sebuah organisasi. Tiga bulan
kemudian Van der Plas merestui organisasi yang mereka rancang dan baru pada 6
Agustus 1944 Serikat Indonesia Baroe (SIBAR) pun berdiri di Australia.
7 Pahlawan dibalik kemerdekaan Negara Indonesia yang sering dilupakan
Seiring dengan itu, angin perubahan berhembus
di palagan Pasifik. Militer Jepang yang terkenal kuat itu ternyata bisa
dikalahkan oleh Sekutu. Bersama 1.400 digulis lainnya, Moerad pun bertolak ke
Jawa dengan menumpang kapal Esperence Bay berbendera Inggris. Demikian menurut
penuturan Soewarsono, Herman Hidayat, Ana Windarsih, dkk dalam Jejak
Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel.
Setibanya di Tanjung Priok pada Oktober 1945, Moerad
yang memendam rindu tak tertahankan kepada keluarga langsung bertolak ke
Parungseah di Sukabumi. Namun betapa kecewa dan sedih dirinya ketika mengetahui
sang istri yang dinikahinya pada 18 September 1939 ternyata sudah
meninggal dunia.
Merasa tak harus berpanjang-panjang dalam kesedihan,
Moerad pun melakukan kontak dengan Edeng Abdullah di Sukabumi kota. Edeng
adalah tokoh yang dikirim ke Jakarta bersama Djakaria saat berita proklamasi
berhembus dan memastikan tentang adanya proklamasi kemerdekaan. Atas
saran Maruto Nitimihardjo, Edeng dan para pejuang berhasil melakukan
pengambilalihan kekuasaan dari Jepang pada 1-2 Oktober 1945.
Di rumah orang tua Edeng yang dijadikan markas para
pejuang tersebut, Moerad dikenalkan kepada adik Edeng yang bernama Siti Saudah
yang kelak dinikahinya. Selanjutnya Moerad melakukan kontak dengan Sjahrir dan
membantu menggalang kekuatan para pengikut sosialisme di Sukabumi yang saat itu
sudah tergabung dalam PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia) pimpinan S. Waluyo
(sepupu dari tokoh komunis, Wikana) yang menjabat sebagai kepala Biro
Perjuangan Sukabumi.
Selain Moerad, di Sukabumi saat itu tinggal pula
mantan digulis lainnya seperti Sambik (pemimpin Laskar Sosialis) dan dua tokoh
PSI lokal bernama Oscar Karel dan Haji Amin. Selain itu ada juga ada juga tokoh
lain seperti Gatot Mangkupraja (pendiri PETA), Dr. Abu Hanifah (Direktur
Rumah Sakit Lidwina) dan A.M Sipahutar. Atas insiatif para aktivis yang
tergabung dalam Pejuang Cikiray 10B, mereka semua lantas ditampung di
markas kelompok itu sesudah keluar dari penjara Jepang pasca proklamasi.
Angin perubahan pasca proklamasi membawa Sjahrir ke
posisi puncak di republik baru tersebut. Belanda nampak enggan melakukan
perundingan dengan Sukarno-Hatta yang dianggap kolaborator Jepang. Situasi
politik internasional memaksa Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat 3 November
1945 tentang pendirian partai politik guna menghapus kesan bahwa Republik
Indonesia adalah negara fasis. Sjahrir yang dianggap bersih dari pengaruh
Jepang kemudian diangkat menjadi perdana mentri dan mengumumkan susunan kabinet
pada 14 November 1945.
Sebagai kawan sehaluan, Moerad kemudian didapuk oleh
Sjahrir untuk menjadi wakil menteri keamanan rakyat di bawah Amir Sjarifudin
sebagai menteri keamanan rakyat. Namun usai pengangkatan muncul banyak protes
yang menilai susunan kabinet terlalu Sjahrir sentris.
Diprotes demikian, Moerad tak mau menjadi perintang.
Dia kemudian memutuskan mundur dan tak melanjutkan tugasnya. Maka pada Januari
1946 Moerad digantikan oleh S. Josodiningrat karena dianggap tidak menjalankan
tugasnya.
Usai meletakan jabatan yang termasuk penting itu,
Moerad lantas pulang ke Sukabumi dan menikahi adiknya Edeng Abdullah. Tak lama
setelah menikah, pada 19 Juni 1947 Siti Saudah lantas melahirkan seorang putri
yang kemudian diberi nama Mustika Rosadah. Ketika Belanda menyerbu Sukabumi
sebulan kemudian, keadaan Sukabumi menjadi genting. Para pejuang pro republik
sebagian besar menghindar ke Nyalindung dan bergabung dengan TRI (Tentara
Republik Indonesia). Moerad sendiri memutuskan untuk bertahan. Suatu keputusan
yang menjadikannya tawanan Belanda.
“Papi dikhianati bangsa sendiri dan dilaporkan ke
Belanda. Ketika sedang shalat beliau digerebek Belanda…,” ujar Ida.
Lihat Juga: Surat Rahasia ribuan tahun ungkap keterlibatan perempuan dalam perdagangan
Moerad lalu ditahan di penjara Paledang, Bogor.
Ketika pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada akhir 1949, dia baru
dilepaskan. Dia kemudian memboyong keluarganya ke Jakarta. Di sanalah lahirlah
Ida, anak kedua-nya lahir pada 1950.
Semenjak itu Moerad aktif di politbiro PSI. Sesekali
dia ke Sukabumi guna mengunjungi mertuanya. Di sela-sela kegiatan politiknya,
dia masih menyempatkan diri menulis di majalah Sikap. Ida mengenang
rumah mereka do Jalan Tanah Abang II sering menjadi tempat rapat dan
kerap dikunjungi tokoh-tokoh politik.
“Papi menjadikan rumahnya sebagai kantor partai,
bahkan ada plangnya, Pak Sjahrir dan Hatta dan tokoh partai sosialis seringkali
dating,” ujar Ida.
Dalam keseharian hidupnya, Moerad mencerminkan watak
seorang sosialis tulen. Nyaris selama hidupnya, dia tak mempunyai rumah.
Kecintaan Moerad kepada sesama manusia diperlihatkannya dengan berpantang naik
becak karena tidak tega melihat tukang becaknya yang mengayuh sampai ngos-ngosan.
Kepada setiap temannya yang berkunjung selalu dikasih bingkisan.
“Rumah di Tanah Abang II pun bukan miliknya, tapi
Hatta memintanya untuk tinggal di rumah itu. Dia baru bisa membeli rumah di
Kebonkacang sesudah menjual kapal penangkap ikan miliknya,” kenang Ida.
Moerad memang sempat menjadi anggota DPRD Kotapraja
Jakarta pada masa Gubernur Sudiro di pada 1957. Sebagai anggota parlemen
Jakarta, dia dikenal dengan kejujurannya. Karena sifatnya itulah, dia sempat
ditegur oleh seorang pejabat karena tidak memanfaatkan peluang bisnis yang
diberikan oleh yang bersangkutan. Di luar aktifitasnya, Moerad masih menjalin
hubungan erat dengan Hatta. Tak jarang Hatta berkunjung ke rumahnya dan bahkan
ketika semua anak-anak Moerad bertemu jodoh hampir selalu dipastikan Hatta akan
hadir selalu hadir dalam setiap upacara pernikahan mereka.
Sikapnya yang lurus juga dijalankan terhadap keluarga,
saat menjabat komisaris Bank Niaga. Dikisahkan, dia pernah menolak
mentah-mentah ketika salah seorang anaknya ingin bekerja di Bank Niaga. Lebih
baik kerja di tempat lain, katanya. Moerad senang membantu, tapi dengan cara
yang benar. Dia bahkan pernah menolak seseorang yang meminta keterangan pernah
berjuang dan dibuang ke Digul demi kepentingan mendapat uang pensiun. Betapa
sangat pedulinya dia kepada persaudaraan.
“Ada satu yang selalu saya ingat dari begitu banyak
nasehatnya yakni kalau mau mengaku saudara, datangi saudara-saudara kamu
yang tak punya, dia akan senang dan bangga karena merasa dihargai. Tapi jika
kamu datang ke saudaramu yang kaya, kamu seperti sedang meminta,” ungkap Ida.
Memasuki pertengahan 1960, PSI mendapat musibah
besar. Partai Sosialis binaan Sjahrir itu dituduh Presiden Sukarno terlibat
dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Pada 21 Juli 1960, pimpinan PSI dipanggil
ke Istana Merdeka. Moerad pun memasang dada dengan mendampingi sahabatnya
Sjahrir, Djohan Sjahruzah, Soebadio Sastrosatomo, dan Djoeir Moehamad. Mereka
diminta menjelaskan posisi PSI. Sjahrir kemudian menjelaskan melalui surat
jawaban ke Istana yang membantah keterlibatannya. Namun penjelasan tersebut
tidak memuaskan Sukarno. Pada 17 Agustus 1960, PSI bubar karena Keputusan
Presiden Nomor 201 Tahun 1960.
Moerad mengalami kekecewaan yang sangat. Hatinya
luka. Dia lebih terpukul dan sakit kala tokoh-tokoh PSI seperti Sjahrir dan
Soebadio ditangkap. Sejatinya Moerad pun termasuk yang akan ditahan. Tetapi
karena kondisinya sedang sakit, penahanan terhadap dirinya pun dibatalkan.
Pada April 1966, Sjahrir meninggal sebagai tahanan
politik. Moerad sangat bersedih. Itu terlihat jelas saat dirinya melayat ke
rumah Sjahrir. Semenjak kematian Sjahrir, Moerad memutuskan mundur dari dunia
politik. Namun dia masih sering menemui teman-temannya di Bandung dan Sukabumi untuk
sekedar bersilaturahmi. Bahkan dia sempat menulis tentang Hatta, bersama
beberapa tokoh lainnya.
Waktupun semakin berlalu. Moerad yang tak lagi muda
semakin letih dimakan usia. Kondisinya pun mulai sakit-sakitan. Pada suatu
hari, sakitnya semakin parah. Kawan-kawan seperjuangan-nya mendengar itu dan
beramai-ramai datang menjenguknya tepat pada 17 Agustus 1988. Saat masuk,
rombongan kawan-kawannya itu berdiri tegap di hadapan Moerad seraya mengepalkan
tangan dan mengucapkan: Merdeka Bung Moerad! Lantas apa yang dilakukannya?
Pejuang tua itu hanya tersenyum dan melambai pelan. Air matanya berlinang.
“Saat itu kondisinya sudah parah…” kenang Ida.
Tiga hari setelah pertemuan emosional itu, Moerad
pergi meninggalkan dunia selamanya. Jasadnya dimakamkan di Pemakamam Umum Tanah
Kusir, Jakarta Selatan. Ya, semasa hidupnya Moerad memang berpesan untuk tidak
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia hanya ingin dimakamkan di
dekat sahabat seperjuangannya, Hatt
Artikel ini diambil dari: